AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH
Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili
Pada kesempatan ini saya mengajak kepada dari saya dan para
jamaah shalat , agar meningkatkan takwa kepada Allah Azza wa Jalla. Yaitu
dengan cara mengerjakan amalan-amalan yang diperintahkan Allah dan dicontohkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjauhi hal-hal yang
dilarangnya. Inilah yang bisa meningkatkan keimanan dan amal kita.
Ingatlah wahai ikhwani, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب البقرة:197
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal”. [Al Baqarah :
197].
Mengingat telah datangnya bulan Ramadhan, maka kami akan
menerangkan beberapa materi berkaitan erat dengan bulan yang suci ini, sebagai
upaya meneladani Rasulullah n yang senantiasa memberikan petuah kepada para
sahabat saat Ramadhan tiba.
Bulan Ramadhan, benar-benar merupakan bulan yang sangat
agung, bulan istimewa, menjanjikan pahala tiada terkira besarnya bagi orang
yang memanfaatkannya dengan ibadah puasa.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan
dan harapan pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam lailatul qadar
dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah semata, niscaya akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lampau”.
Karena itulah, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu
kesempatan emas, sarat dengan kebaikan, satu masa yang menjadi ajang berlomba
bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.
Ikhwani rahimanillahu wa iyyakum jami’an,
Sebagian ulama telah memberikan beberapa kiat dalam
menyongsong musim yang penuh dengan limpahan kebaikan ini. Di antaranya:
Pertama : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengingatkan, dalam menyambut datangnya musim-musim ibadah, seorang hamba sangat
memerlukan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah. Caranya, (yaitu) dengan
bertawakkal kepada Allah.
Salah satu teladan dari ulama Salaf, yakni sejak enam bulan
sebelum Ramadhan tiba, mereka tekun berdoa dan memohon kepada Allah, agar dapat
menjumpai bulan Ramadhan kembali dan memudahkan mereka dalam menggali
keutamaannya. Ini merupakan salah satu cerminan berserah diri kepada Allah.
Beliau (Syaikhul Islam) menambahkan, dalam melaksanakan
suatu ibadah, seorang muslim berkepentingan dengan beberapa poin (berikut) yang
harus diperhatikan menjelang, saat berlangsung dan pasca pelaksanaannya.
1. Mengenai hal yang dibutuhkan sebelum beramal ialah,
menunjukkan sikap tawakkal kepada Allah dan semata-mata berharap kepadaNya,
agar Dia senantiasa membantu dan meluruskan amalannya.
Ibnu Qayyim menyatakan, para ahlul ilmi telah bersepakat,
bahwa salah satu indikasi taufiq Allah kepada hambaNya adalah pertolonganNya
kepada hamba. Dan (sebaliknya), salah satu ciri dari kenistaan seorang hamba,
yaitu orang yang hanya bermodalkan pada kepercayaan dan kemampuan dirinya
semata.
Mengokohkan tawakkal kepada Allah merupakan modal paling
penting untuk menyongsong musim-musim ibadah, guna menumbuhkan sikap
ketidakberdayaan untuk menunaikan ibadah dengan sempurna, serta menyelamatkan
diri dari kemungkinan terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kenistaan,
apabila tidak mendapat anugerah taufiq dari Sang pencipta dalam beramal.
Selanjutnya, dia juga harus berdoa dengan penuh harap,
supaya dapat bersua kembali dengan Ramadhan pada kesempatan yang akan datang.
Juga agar Allah berkenan menolong dan meluruskan amalannya.
Langkah-langkah ini termasuk amalan yang paling agung, yang
dapat mendatangkan taufiq Allah dalam menghidupi bulan Ramadhan.
2. Saat penyelesaian ibadah, maka yang perlu diperhatikan
seorang hamba ialah ikhlas dalam beramal dan ittiba’ (mengikuti petunjuk)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Usai pelaksanaan ibadah, yang harus dikerjakan ialah
memperbanyak istighfar (meminta ampun) atas kekhilafan dalam melaksanakan
ibadah tersebut. Disamping itu, juga harus memperbanyak pujian kepada Allah
yang telah memberikan taufiq. Apabila seorang insan bisa memadukan antara
hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, amalan
tersebut akan diterima oleh Allah.
Hal-hal di atas, betul-betul sangat perlu untuk
diperhatikan, karena setan senantiasa mengintai manusia hingga detik-detik
terakhir, bahkan setelah orang tersebut menyelesaikan ibadah sekalipun! Makhluk
ini mulai mengungkit-ungkit ibadah seorang muslim, menghembuskan keragu-raguan
serta tipu dayanya, dengan membisikkan “Hai fulan… kau telah berbuat begini dan
begitu… kau telah berpuasa Ramadhan,…kau telah shalat malam di bulan suci ini…
kau telah menunaikan amalan ini, itu dengan sempurna…”, dan dia terus
mengungkap seluruh amalan yang telah dilakukan, sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub
yang mengantarkannya ke lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa
rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seyogyanya kita tidak
terjebak dengan jaring-jaring perangkap ‘ujub. Karena, orang yang terpukau
dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) dan amalan ibadahnya, pada
dasarnya telah menunjukkan kenistaan dan kehinaan serta kekurangan diri dan
amalannya.
Kedua : Sebelum Ramadhan tiba, hal lain yang harus dilakukan
seorang hamba ialah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Banyak dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk
bertaubat. Diantaranya firman Allah Azza wa Jalla.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai”. [At Tahrim : 8].
Masih banyak lagi ayat yang senada. Dan seorang muslim,
pasti tidak lepas dari dosa ataupun kesalahan. Dosa hanya akan menjauhkannya
dari taufiq, sehingga tidak kuasa untuk beramal shalih. Ini semua merupakan
dampak buruk dari dosa yang diperbuatnya. Apabila ternyata dia mau bertaubat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka prahara ini akan sirna dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan kembali menganugerahkan taufiq kepadanya.
Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya. Hakikatnya
ialah bertaubat kepada Allah dari seluruh macam dosa. Sebagian ulama
menjabarkan, taubat yang sempurna ialah taubat dari segala jenis dosa, bertekad
bulat dan berniat kuat untuk tidak mengulangi dosa tadi. Jika dosa itu
berkaitan erat dengan manusia (seperti mengambil barang dan lain-lain), maka
dia harus mengembalikannya kepada sang pemilik.
Ada suatu kekeliruan yang harus diwaspadai, sebagian orang
terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad untuk tidak berbuat maksiat,
namun –ironisnya- hanya saat bulan Ramadhan saja. Ini merupakan perbuatan dungu
…! Semestinya, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri
dari dosa serta meninggalkan maksiat tadi, seharusnya tetap menyala, baik saat
Ramadhan maupun bulan-bulan selanjutnya. Tidaklah disebut dengan taubat sejati,
apabila seseorang bertaubat di suatu waktu, kemudian ia melanggarnya kembali
pada waktu lain. Taubat seperti ini tidak akan dikabulkan. Sebab, salah satu
syarat terkabulnya taubat ialah, dengan bersungguh-sungguh tidak akan
mengulangi lagi perbuatan dosa tadi.
Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian, yaitu berusaha
untuk membentengi ibadah puasa dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan
pahalanya, seperti ghibah (ngerumpi) dan namimah (mengadu domba). Dua
“penyakit” ini sangat berbahaya, akan tetapi sangat disayangkan, sedikit orang
yang menyadarinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ
وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan
perbuatan dusta, niscaya Allah tidak butuh kepada puasanya”.
Ahlul ilmi berbeda pandangan tentang makna hadits tersebut.
Sebagian dari mereka melihat, bahwasanya ghibah dan namimah membatalkan pahala
puasa, tidak menyisakan sedikitpun … ! Pendapat lainnya menyatakan, ghibah dan
namimah mengurangi pahala puasa dan bahkan kadang-kadang hanya tersisa sedikit.
Artinya ibadah puasanya tidak bermanfaat.
Orang yang mengekang lidahnya, tidak berbuat ghibah dan
namimah ketika berpuasa Ramadhan tanpa diiringi amalan-amalan sunnah, ia lebih
baik daripada orang yang berpuasa dengan menghidupkan amalan-amalan sunnah,
namun tidak berhenti dari dua kebiasaan buruk tadi. Demikian kenyataan
mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan pelanggaran.
Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa. Takwa
ialah, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau.
Para ulama menegaskan: “Inilah takwa yang sebenarnya. Adapun
mencampur-adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, ini tidak termasuk dalam
bingkai takwa, meskipun dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.
Oleh sebab itu, para ahlul ilmi merasa heran terhadap sosok
yang menahan (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tetapi masih menyukai
perbuatan dosa.
Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: “Kewajiban seorang yang
berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan larangan agama. Mengekang
diri dari makanan, minuman, jima`, sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari
hal-hal yang dibolehkan. Sementara itu, ada larangan-larangan yang tidak boleh
dilanggar, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. Pada bulan suci,
larangan tersebut tentunya menjadi lebih tegas”.
Maka, sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang
berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang dibolehkan (diluar Ramadhan) seperti
makan dan minum, namun tidak merasa alergi dari perbuatan-perbuatan yang
diharamkan setiap waktu, seperti ghibah, namimah, mencaci, mencela, mengumpat,
memandang perempuan ajnabiah (menonton film, Pent) dan lain-lain. Semua ini
mengikis pahala puasa.
Masalah lain yang perlu diperhatikan, yaitu amalan fardhu.
Aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan ialah: mendirikan
shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid (bagi laki-laki), dan berusaha
sekuat tenaga tidak tertinggal takbiratul ihram.
Telah diuraikan dalam suatu hadits, barangsiapa yang
melaksanakan shalat 40 hari bersama imam dan mendapati takbiratul ihram,
ditulis baginya dua jaminan surat kebebasan, (yaitu) bebas dari api neraka dan
nifaq. Hadits ini shahih.
Seandainya kita, ternyata termasuk orang-orang mufarrith,
yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara
shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta
berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya.
Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan
taqarrub yang paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang
yang bersemangat melaksanakan shalat tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah
absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu
dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat
wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Demikian ini merupakan
kebodohan dan pelecehan terhadap kewajiban…!
Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja,
tanpa melakukan shalat tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan
shalat tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan
berarti kita memandang remeh terhadap shalat tarawih, akan tetapi, seharusnya
seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap
hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan
sunnah, seperti shalat tarawih.
Sebagaimana pada khutbah pertama telah kami sampaikan, bahwa
bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat agung, bulan yang teramat istimewa.
Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang memanfaatkannya. Ramadhan
merupakan kesempatan emas bagi orang yang menginginkan kebaikan di sisi Allah
Azza wa Jalla. Salah satu kesempatan emas itu ialah adanya lailatul qadar.
Sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al Qur`an :
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ القدر:3
“Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu
bulan”. [Al Qadar : 3].
Karenanya, marilah kita berusaha untuk mendapatkannya, dan
mengisi lailatul qadr itu dengan beramal shalih.
Sebagaimana tuntunan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
hendaklah umat ini berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan lailatul qadr pada
tujuh hari yang tersisa dari sepuluh hari yang terakhir. Atau dalam hadits Abu
Hurairah, carilah dia (lailatul qadr) pada sepuluh hari yang terakhir dari
bulan Ramadhan. Karenanya, seyogyanya setiap muslim bergegas untuk mencarinya
dengan memperbanyak amal ibadah dengan tekun.
Para salafush shalih berusaha meraih lailatul qadr pada
malam 21. Sebagian yang lain pada malam 23. Sebagian yang lain pada malam 27.
Sebagian yang lain mencari pada malam 24. Dan hampir-hampir pada setiap malam
10 hari terakhir. Maka mengapa kita tidak mencontoh para salafush shalih?
Marilah kita berusaha secara maksimal pada 10 terakhir bulan Ramadhan ini,
dengan menyibukkan diri beramal dan beribadah, sehingga bisa menggapai pahala
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hanya sedikit amalan, kita bisa
menggenggam pahala, lantaran orang yang beramal pada malam lailatul qadr ini
akan menyamai amalan ibadah selama seribu bulan.
Kalau ada orang yang tidak berusaha mencarinya kecuali pada
satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan (dengan asumsi lailatul qadr
jatuh pada tanggal ini atau itu), walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40
tahun, barangkali dia -sama sekali- tidak akan pernah mendapatkan moment
tersebut. Selanjutnya hanya penyesalan yang ada.
Sekali lagi, hendaklah setiap muslim beramal dan beribadah
pada setiap malam sepuluh terakhir itu seraya berkata “malam ini adalah malam
lailatul qadr”. Andai dugaannya meleset, dia perlu mengingat, bahwa
sesungguhnya malam itu termasuk sepuluh terakhir Ramadhan, malam yang paling
utama selama Ramadhan. Sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berpendapat, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan lebih afdhal dari
sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah. Wallahu ‘alam bish shawab.
[Diangkat berdasarkan untaian nasihat yang disampaikan oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, pada malam Jum’at, 27 Sya’ban 1423 H
di Masjid Dzun Nurrain].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun
IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Sumber:
https://almanhaj.or.id/2823-agar-ramadhan-bermakna-indah.html
loading...
No comments:
Write komentar