Mari Berbagi: NASIHAT
Showing posts with label NASIHAT. Show all posts
Showing posts with label NASIHAT. Show all posts

Thursday, July 17, 2025

Doa Istighfar Penghapus Dosa: Kunci Hati yang Tenang dan Hidup Penuh Berkah

 


Doa Penghapus Dosa dan Istighfar Harian yang Ringan Tapi Dahsyat


Bismillah.

Setiap hari, sadar atau tidak, kita pasti pernah berbuat salah. Entah itu perkataan yang menyakiti orang lain, pikiran buruk, atau kelalaian dalam ibadah. Tapi jangan khawatir, Islam memberikan jalan luas untuk bertaubat dan membersihkan dosa-dosa. Salah satunya adalah dengan istighfar—memohon ampun kepada Allah.

Dalam artikel ini, kita akan bahas:

  • Makna dan keutamaan istighfar

  • Doa-doa istighfar harian yang ringan

  • Waktu terbaik membaca istighfar

  • Tips agar istighfar jadi kebiasaan

Yuk, simak sampai akhir.


Apa Itu Istighfar dan Mengapa Penting?

Istighfar adalah permohonan ampun kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan. Kalimat paling sederhana dari istighfar adalah:

Astaghfirullah – "Aku memohon ampun kepada Allah."

Nabi ﷺ bersabda:

"Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari." (HR. Bukhari)

Bayangkan, Rasulullah yang maksum saja masih beristighfar puluhan kali setiap hari. Bagaimana dengan kita?


Keutamaan Istighfar

  1. Menghapus dosa-dosa kecil

  2. Mendatangkan ampunan dan rahmat Allah

  3. Membuka pintu rezeki (QS. Nuh: 10-12)

  4. Menenangkan hati yang gelisah

  5. Mempercepat terkabulnya doa


Doa-Doa Istighfar yang Ringan dan Dahsyat

  1. Astaghfirullah
    Kalimat pendek, tapi penuh makna. Bisa dibaca kapan saja.

  2. Sayyidul Istighfar (Doa Istighfar Terbaik)

"Allahumma anta Rabbi la ilaha illa Anta, khalaqtani wa ana 'abduka, wa ana 'ala 'ahdika wa wa'dika mastatha'tu. A'udzu bika min sharri ma shana'tu, abu'u laka bini'matika 'alayya, wa abu'u bidzanbi, faghfir li fa innahu la yaghfiru adz-dzunuba illa Anta."

Artinya:

"Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perjanjian dan janji-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan perbuatanku. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau."

➡️ Dibaca pagi dan petang. Siapa yang membaca ini lalu meninggal di hari itu atau malamnya, maka ia masuk surga. (HR. Bukhari)

  1. Rabbighfir li wa tub 'alayya

"Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku."


Waktu Terbaik Membaca Istighfar

  • Setelah shalat fardhu (minimal 3x Astaghfirullah)

  • Pagi dan sore hari (Dzikir pagi-petang)

  • Di sepertiga malam terakhir (waktu mustajab)

  • Saat merasa bersalah atau lalai

  • Setiap ada waktu luang (misalnya saat menunggu, mengemudi, dll)


Tips Agar Istighfar Jadi Kebiasaan

  1. Pasang pengingat istighfar di HP

  2. Jadikan rutinitas setelah shalat

  3. Hafalkan Sayyidul Istighfar dan baca pagi-sore

  4. Tulis target pribadi: "Istighfar 100x hari ini"

  5. Bayangkan dosa diampuni tiap kali mengucapkannya


Penutup

Istighfar adalah amalan ringan, tapi pengaruhnya luar biasa. Ia bisa menjadi jalan masuk surga, penghapus dosa, dan pembuka rezeki. Mari jadikan istighfar sebagai sahabat harian kita.

Tidak ada manusia yang luput dari salah. Tapi yang terbaik di antara kita adalah yang cepat kembali dan memohon ampun kepada-Nya.

Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah...


Sudahkah kamu beristighfar hari ini? Yuk mulai sekarang. Bagikan artikel ini agar lebih banyak orang mendapatkan manfaat.

Monday, August 23, 2021

Proses Penciptaan Manusia Dan Penetapan Amalan Hamba



 PROSES PENCIPTAAN MANUSIA DAN DITETAPKANNYA AMALAN HAMBA

 Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

 حفظه الله عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abu ‘Abdir-Rahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiqul Mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda, ”Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim]

 TAKHRIJ HADITS

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, pada kitab Bada-ul Khalq, Bab Dzikrul Mala-ikah (no. 3208), kitab Ahaditsul Anbiya` no. 3332. Lihat juga hadits no. 6594 dan 7454. Imam Muslim dalam Shahih-nya, pada kitab al Qadar no. 2643. Imam Abu Dawud no. 4708. Imam at-Tirmidzi no. 2138. Imam Ibnu Majah no. 76.

 SYARAH (PENJELASAN) HADITS

Hadits ini mengandung beberapa pelajaran berharga, sebagai berikut:

 1.Tahapan Penciptaan Manusia.

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang awal penciptaan manusia di dalam rahim seorang ibu, yang berawal dari nuthfah (bercampurnya sperma dengan ovum), ‘alaqah (segumpal darah), lalu mudhghah (segumpal daging).

Allah Ta’ala berfirman:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ

“Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” [al Hajj/22:5]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang tahapan penciptaan manusia di dalam rahim seorang ibu. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang ragu tentang dibangkitkannya manusia dari kuburnya dan ragu tentang dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar pada hari Kiamat, maka Allah memerintahkan untuk mengingat dan melihat bagaimana seorang manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dia mengembalikan manusia (dari mati menjadi hidup kembali) lebih mudah daripada menciptakannya. Juga firman-Nya:

 وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ﴿١٢﴾ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ﴿١٣﴾ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ﴿١٤﴾ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ لَمَيِّتُونَ ﴿١٥﴾ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat” [al Mu’minun/23:12-16].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa Adam -manusia pertama-diciptakan dari saripati tanah, kemudian manusia-manusia sesudahnya diciptakan-Nya dari setetes air mani. Adapun tahapan penciptaan manusia di dalam rahim adalah sebagai berikut:

Pertama. Allah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina yang menyatu dengan ovum, Allah Ta’ala berfirman:

 ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ

“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)” [as-Sajdah/32:8]

 أَلَمْ نَخْلُقكُّم مِّن مَّاءٍ مَّهِينٍ

“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina”. [al Mursalat/77:20].

خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ﴿٦﴾يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

“Dia diciptakan dari air yang terpancar (yaitu mani). Yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan”. [ath-Thariq/86: 6-7]. Bersatunya air mani (sperma) dengan sel telur (ovum) di dalam rahim ini disebut dengan nuthfah.

 Kedua : Kemudian setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut, Allah menjadikannya segumpal darah yang disebut ‘alaqah.

 خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah”. [al-Alaq/96:2].

Ketiga : Kemudian setelah lewat 40 hari -atau 80 hari dari fase nuthfah– fase ‘alaqah beralih ke fase mudhghah, yaitu segumpal daging. Allah Ta’ala berfirman:

 ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ

“Kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna”. [al Hajj/22:5].

 ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. [al Mu’minun/23:14].

Keempat : Kemudian setelah lewat 40 hari -atau 120 hari dari fase nuthfah- dari segumpal daging (mudhghah) tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan daging yang bertulang, dan Dia memerintahkan malaikat untuk meniupkan ruh padanya serta mencatat empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal dan sengsara atau bahagia. Jadi, ditiupkannya ruh kepada janin setelah ia berumur 120 hari.

 2. Peniupan Ruh.

 Para ulama sepakat, bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin berusia 120 hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma dengan ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika janin berusia empat bulan penuh, masuk bulan kelima. Pada masa inilah segala hukum mulai berlaku padanya. Karena itu, wanita yang ditinggal mati suaminya menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, untuk memastikan bahwa ia tidak hamil dari suaminya yang meninggal, agar tidak menimbulkan keraguan ketika ia menikah lagi lalu hamil. Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup dan ini sepenuhnya urusan Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya.

 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ruh itu termasuk urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. [al Isra`/17:85]

 3. Wajibnya Beriman Kepada Qadar.

 Hadits ini menunjukkan, bahwa Allah Subahanhu wa Ta’ala telah mentakdirkan nasib manusia sejak di alam rahim. Pada hakikatnya, Allah telah mentakdirkan segala sesuatu sejak 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”

Kemudian di alam rahim, Allah Ta’ala pun memerintahkan malaikat untuk mencatat kembali empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal, sengsara atau bahagia.

Rizki.

Allah Yang Maha Pemurah telah menetapkan rizki bagi seluruh makhluk-Nya, dan setiap makhluk tidak akan mati apabila rizkinya belum sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

 وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.[Hud/11:6].

 

 

 وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rizki kepadanya juga kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [al-Ankabut/29:60].

 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِي رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ.

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga sempurna rizkinya. Meskipun (rizki itu) bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram”

 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan tentang rizki ini dengan perumpamaan yang sangat mudah dipahami, dan setiap orang hendaknya dapat mengambil pelajaran darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ؛ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا.

 “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi kalian rizki sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung, yang pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berjalan mencari maisyah (pekerjaan/usaha) untuk mendapatkan rizki. Allah Ta’ala berfirman:

 هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15].

 Rizki akan mengejar manusia, seperti maut yang mengejarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

 إِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُ الْعَبْدَ كَمَا يَطْلُبُهُ أَجَلُهُ.

 “Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba seperti ajal mengejarnya”

Ajal.

 Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan makhluk, mematikan, dan membangkitkannya kembali. Dan setiap makhluk tidak mengetahui berapa jatah umurnya, juga tidak mengetahui kapan serta dimana akan dimatikan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

 وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. [ali ‘Imran/3:145]

Ajal makhluk Allah sudah tercatat, tidak dapat dimajukan atau diundurkan. Allah Ta’ala berfirman:

 وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktu (ajal)nya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya”. [al-A’raf/7: 34].

 Amal.

 Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat amal-amal setiap makhluk-Nya, baik dan buruknya. Akan tetapi setiap makhluk Allah pasti akan beramal, amal baik atau pun amal buruk. Dan Allah dan Rasul-Nya memerintahkan para hamba-Nya untuk beramal baik. Celaka atau Bahagia. Yang dimaksud “celaka” dalam hadits ini ialah, orang yang celaka dengan dimasukkannya ke neraka. Sedangkan yang dimaksud “bahagia”, yaitu orang yang sejahtera dengan dimasukkannya ke dalam surga. Hal ini telah tercatat sejak manusia berusia 120 hari dan masih di dalam rahim, yaitu apakah ia akan menjadi penghuni neraka atau ia akan menjadi penghuni surga. Akan tetapi, “celaka” dan “bahagia” seorang hamba tergantung dari amalnya selama hidupnya. Tentang keempat hal tersebut, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatnya. Oleh karenanya, tidak boleh bagi seseorang pun enggan untuk beramal shalih, dengan alasan bahwa semuanya telah ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang benar, bahwa Allah telah mentakdirkan akhir kehidupan setiap hamba, namun Dia Yang Maha Bijaksana juga menjelaskan jalan-jalan untuk mencapai kebahagiaan. Sebagaimana Allah Yang Maha Pemurah telah mentakdirkan rizki bagi setiap hamba-Nya, namun Dia juga memerintahkan hamba-Nya keluar untuk mencarinya. Apabila ada yang bertanya, untuk apalagi kita beramal jika semuanya telah tercatat (ditakdirkan)? Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan Sahabat Suraqah bin Malik bin Ju’syum Radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 اِعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ.

“Beramallah kalian, karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah menurut apa yang Allah ciptakan atasnya. Adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang celaka, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka”

 Orang yang beramal baik, maka Allah akan memudahkan baginya untuk menuju surga. Begitu pun orang yang beramal keburukan, maka Allah akan memudahkan baginya untuk menuju neraka. Hal ini menunjukkan tentang kesempurnaan ilmu Allah, juga sempurnanya kekuasaan, qudrah dan iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Meskipun setiap manusia telah ditentukan menjadi penghuni surga atau menjadi penghuni neraka, namun setiap manusia tidak dapat bergantung kepada ketetapan ini, karena setiap manusia tidak ada yang mengetahui apa-apa yang dicatat di Lauhul Mahfuzh. Kewajiban setiap manusia adalah berusaha dan beramal kebaikan, serta banyak memohon kepada Allah agar dimasukkan ke surga. Meskipun setiap manusia telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala demikian, akan tetapi Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

 مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahala-nya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya)”. [Fushshilat/41:46].

Setiap manusia diberi oleh Allah berupa keinginan, kehendak, dan kemampuan. Manusia tidak majbur (dipaksa oleh Allah). Allah Ta’ala berfirman:

 لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ﴿٢٨﴾وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam”. [at-Takwir/81 :28-29].

Orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menuju surga, maka dia pun akan dimudahkan oleh Allah untuk melakukan amalan-amalan shalih. Begitu juga orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menuju neraka, maka dia pun dimudahkan oleh Allah untuk melakukan amalan-amalan kejahatan.

 [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo

 

Referensi: https://almanhaj.or.id/12017-proses-penciptaan-manusia-dan-ditetapkannya-amalan-hamba.html




Friday, June 12, 2020

Knowing about Islam



KNOWING ABOUT ISLAM

By: Shaykh Muhammad bin Abdul Wahab
 Islam, is surrender to Allah with monotheism and submit to Him with full obedience to all His commands and save yourself from acts of shirk and those who do syirk.
And Islam, in that sense, has three levels, namely: Islam, Faith and Ihsan, each level has its pillars.
 ISLAMIC LEVEL As for the level of Islam, there are five pillars:
1.     Shahada (confession with heart and oral) that "Laa Ilaaha Ilallaah" (There is no worship that is haq other than Allah) and Muhammad is the Messenger of Allah.
2.      Establish prayer.
3.     Issue zakat.
4.     Shiyam in Ramadan.
5.     Hajj to Baitullah Al-Haram.
Let’s see:
1.     The Evidence of Shahada
 The Word of Allah Ta'ala.
 "Allah states that there is no god (the Truth) but Him, by always upholding justice (also stated such) the angels and those who have knowledge . There is no worship (the haq) besides Him. The Almighty is the Most Wise ". [Al-Imraan / 3: 18]
 "Laa Ilaaha Ilallaah" ‘means: There is no worship except Allah.
This creed contains two elements: reject and determine. "Laa Ilaaha", is to reject all worship except Allah. "Illallaah" is to establish that worship is only for Allah, nothing can be used as an ally in worship of Him, as nothing can be made an ally in His power.
The interpretation of the creed is clarified by the word of Allah Subhanahu wa Ta'ala
"And (remember) when Abraham said to his father and to his people: 'Verily I declare independence from everything you worship, except God who created me, for surely He will point '. And (Ibrahim) to make the phrase of unity the eternal sentence in the offspring so that they always come back (to tawhid). "[Az-Zukhruf / 43: 26-28]
And also in [Ali ‘Imran / 3: 64]:
 " Let us say to a sentence that is not in dispute between us and you, namely; let us not worship other than Allah and not associate anything with Him, and let no part of us make another part of a god besides Allah. If they turn away then say to them: 'Watch that we are Muslims (surrender to Allah)'. [Ali ‘Imran / 3: 64]
The creed proposition that Muhammad is the Messenger of Allah. The Word of Allah Ta'ala.:
 "It has come unto you a Messenger from among yourselves, felt heavy to him agony, desperately wanted (faith and salvation) for you, so the mercy more compassionate to people who believe ". [at-Taubah / 9: 128]
Creed that Muhammad is the Messenger of Allah, means: Obey what he has commanded, justify what he preaches, stay away from what is forbidden and prevented, and worship God only in the manner prescribed.
2.     Evidence of Salat and Zakat and interpretation of Tawheed.
 The Word of Allah Ta'ala
"And they were not commanded except to worship Allah in order that, by purifying obedience to Him again to be straight, and that they establish Salah and Zakat issued. That is the direction of a straight religion ". [al-Bayyinah / 98: 5] 3.
 Arguments of the Word of Allah Ta'ala.
O ye who believe It is obligatory upon you to do shiyam, as it was obliged to those before you, so that you be cautious ". [Al-Baqarah / 2: 183]
4. Dalj Hajj.
The Word of Allah Ta'ala.
And only to God, for man shall perform the Hajj, which is (for) people who are able to travel to the House. And whoever denies (the obligation of Hajj) then surely Allah does not need the universe ". [Al ‘Imran / 3: 97)]
https://almanhaj.or.id/3983-mengenal-islam.html

Monday, April 20, 2020

Jadikan Ramadhanmu kali ini Lebih bermakna


AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH

Oleh

Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili

Pada kesempatan ini saya mengajak kepada dari saya dan para jamaah shalat , agar meningkatkan takwa kepada Allah Azza wa Jalla. Yaitu dengan cara mengerjakan amalan-amalan yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjauhi hal-hal yang dilarangnya. Inilah yang bisa meningkatkan keimanan dan amal kita.

Ingatlah wahai ikhwani, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب البقرة:197

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal”. [Al Baqarah : 197].

Mengingat telah datangnya bulan Ramadhan, maka kami akan menerangkan beberapa materi berkaitan erat dengan bulan yang suci ini, sebagai upaya meneladani Rasulullah n yang senantiasa memberikan petuah kepada para sahabat saat Ramadhan tiba.

Bulan Ramadhan, benar-benar merupakan bulan yang sangat agung, bulan istimewa, menjanjikan pahala tiada terkira besarnya bagi orang yang memanfaatkannya dengan ibadah puasa.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah semata, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau”.

Karena itulah, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu kesempatan emas, sarat dengan kebaikan, satu masa yang menjadi ajang berlomba bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Ikhwani rahimanillahu wa iyyakum jami’an,

Sebagian ulama telah memberikan beberapa kiat dalam menyongsong musim yang penuh dengan limpahan kebaikan ini. Di antaranya:

Pertama : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengingatkan, dalam menyambut datangnya musim-musim ibadah, seorang hamba sangat memerlukan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah. Caranya, (yaitu) dengan bertawakkal kepada Allah.

Salah satu teladan dari ulama Salaf, yakni sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, mereka tekun berdoa dan memohon kepada Allah, agar dapat menjumpai bulan Ramadhan kembali dan memudahkan mereka dalam menggali keutamaannya. Ini merupakan salah satu cerminan berserah diri kepada Allah.

Beliau (Syaikhul Islam) menambahkan, dalam melaksanakan suatu ibadah, seorang muslim berkepentingan dengan beberapa poin (berikut) yang harus diperhatikan menjelang, saat berlangsung dan pasca pelaksanaannya.

1. Mengenai hal yang dibutuhkan sebelum beramal ialah, menunjukkan sikap tawakkal kepada Allah dan semata-mata berharap kepadaNya, agar Dia senantiasa membantu dan meluruskan amalannya.

Ibnu Qayyim menyatakan, para ahlul ilmi telah bersepakat, bahwa salah satu indikasi taufiq Allah kepada hambaNya adalah pertolonganNya kepada hamba. Dan (sebaliknya), salah satu ciri dari kenistaan seorang hamba, yaitu orang yang hanya bermodalkan pada kepercayaan dan kemampuan dirinya semata.

Mengokohkan tawakkal kepada Allah merupakan modal paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah, guna menumbuhkan sikap ketidakberdayaan untuk menunaikan ibadah dengan sempurna, serta menyelamatkan diri dari kemungkinan terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kenistaan, apabila tidak mendapat anugerah taufiq dari Sang pencipta dalam beramal.

Selanjutnya, dia juga harus berdoa dengan penuh harap, supaya dapat bersua kembali dengan Ramadhan pada kesempatan yang akan datang. Juga agar Allah berkenan menolong dan meluruskan amalannya.

Langkah-langkah ini termasuk amalan yang paling agung, yang dapat mendatangkan taufiq Allah dalam menghidupi bulan Ramadhan.

2. Saat penyelesaian ibadah, maka yang perlu diperhatikan seorang hamba ialah ikhlas dalam beramal dan ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Usai pelaksanaan ibadah, yang harus dikerjakan ialah memperbanyak istighfar (meminta ampun) atas kekhilafan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Disamping itu, juga harus memperbanyak pujian kepada Allah yang telah memberikan taufiq. Apabila seorang insan bisa memadukan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh Allah.

Hal-hal di atas, betul-betul sangat perlu untuk diperhatikan, karena setan senantiasa mengintai manusia hingga detik-detik terakhir, bahkan setelah orang tersebut menyelesaikan ibadah sekalipun! Makhluk ini mulai mengungkit-ungkit ibadah seorang muslim, menghembuskan keragu-raguan serta tipu dayanya, dengan membisikkan “Hai fulan… kau telah berbuat begini dan begitu… kau telah berpuasa Ramadhan,…kau telah shalat malam di bulan suci ini… kau telah menunaikan amalan ini, itu dengan sempurna…”, dan dia terus mengungkap seluruh amalan yang telah dilakukan, sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub yang mengantarkannya ke lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seyogyanya kita tidak terjebak dengan jaring-jaring perangkap ‘ujub. Karena, orang yang terpukau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) dan amalan ibadahnya, pada dasarnya telah menunjukkan kenistaan dan kehinaan serta kekurangan diri dan amalannya.

Kedua : Sebelum Ramadhan tiba, hal lain yang harus dilakukan seorang hamba ialah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Banyak dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat. Diantaranya firman Allah Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai”. [At Tahrim : 8].

Masih banyak lagi ayat yang senada. Dan seorang muslim, pasti tidak lepas dari dosa ataupun kesalahan. Dosa hanya akan menjauhkannya dari taufiq, sehingga tidak kuasa untuk beramal shalih. Ini semua merupakan dampak buruk dari dosa yang diperbuatnya. Apabila ternyata dia mau bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka prahara ini akan sirna dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kembali menganugerahkan taufiq kepadanya.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya. Hakikatnya ialah bertaubat kepada Allah dari seluruh macam dosa. Sebagian ulama menjabarkan, taubat yang sempurna ialah taubat dari segala jenis dosa, bertekad bulat dan berniat kuat untuk tidak mengulangi dosa tadi. Jika dosa itu berkaitan erat dengan manusia (seperti mengambil barang dan lain-lain), maka dia harus mengembalikannya kepada sang pemilik.

Ada suatu kekeliruan yang harus diwaspadai, sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad untuk tidak berbuat maksiat, namun –ironisnya- hanya saat bulan Ramadhan saja. Ini merupakan perbuatan dungu …! Semestinya, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari dosa serta meninggalkan maksiat tadi, seharusnya tetap menyala, baik saat Ramadhan maupun bulan-bulan selanjutnya. Tidaklah disebut dengan taubat sejati, apabila seseorang bertaubat di suatu waktu, kemudian ia melanggarnya kembali pada waktu lain. Taubat seperti ini tidak akan dikabulkan. Sebab, salah satu syarat terkabulnya taubat ialah, dengan bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa tadi.

Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian, yaitu berusaha untuk membentengi ibadah puasa dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya, seperti ghibah (ngerumpi) dan namimah (mengadu domba). Dua “penyakit” ini sangat berbahaya, akan tetapi sangat disayangkan, sedikit orang yang menyadarinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak butuh kepada puasanya”.

Ahlul ilmi berbeda pandangan tentang makna hadits tersebut. Sebagian dari mereka melihat, bahwasanya ghibah dan namimah membatalkan pahala puasa, tidak menyisakan sedikitpun … ! Pendapat lainnya menyatakan, ghibah dan namimah mengurangi pahala puasa dan bahkan kadang-kadang hanya tersisa sedikit. Artinya ibadah puasanya tidak bermanfaat.

Orang yang mengekang lidahnya, tidak berbuat ghibah dan namimah ketika berpuasa Ramadhan tanpa diiringi amalan-amalan sunnah, ia lebih baik daripada orang yang berpuasa dengan menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun tidak berhenti dari dua kebiasaan buruk tadi. Demikian kenyataan mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan pelanggaran.

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa. Takwa ialah, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau.

Para ulama menegaskan: “Inilah takwa yang sebenarnya. Adapun mencampur-adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, ini tidak termasuk dalam bingkai takwa, meskipun dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.

Oleh sebab itu, para ahlul ilmi merasa heran terhadap sosok yang menahan (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tetapi masih menyukai perbuatan dosa.

Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: “Kewajiban seorang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan larangan agama. Mengekang diri dari makanan, minuman, jima`, sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan. Sementara itu, ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. Pada bulan suci, larangan tersebut tentunya menjadi lebih tegas”.

Maka, sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang dibolehkan (diluar Ramadhan) seperti makan dan minum, namun tidak merasa alergi dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan setiap waktu, seperti ghibah, namimah, mencaci, mencela, mengumpat, memandang perempuan ajnabiah (menonton film, Pent) dan lain-lain. Semua ini mengikis pahala puasa.

Masalah lain yang perlu diperhatikan, yaitu amalan fardhu. Aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan ialah: mendirikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid (bagi laki-laki), dan berusaha sekuat tenaga tidak tertinggal takbiratul ihram.

Telah diuraikan dalam suatu hadits, barangsiapa yang melaksanakan shalat 40 hari bersama imam dan mendapati takbiratul ihram, ditulis baginya dua jaminan surat kebebasan, (yaitu) bebas dari api neraka dan nifaq. Hadits ini shahih.

Seandainya kita, ternyata termasuk orang-orang mufarrith, yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang yang bersemangat melaksanakan shalat tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Demikian ini merupakan kebodohan dan pelecehan terhadap kewajiban…!

Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja, tanpa melakukan shalat tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan berarti kita memandang remeh terhadap shalat tarawih, akan tetapi, seharusnya seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan sunnah, seperti shalat tarawih.

Sebagaimana pada khutbah pertama telah kami sampaikan, bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat agung, bulan yang teramat istimewa. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang memanfaatkannya. Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi orang yang menginginkan kebaikan di sisi Allah Azza wa Jalla. Salah satu kesempatan emas itu ialah adanya lailatul qadar. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al Qur`an :

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ القدر:3

“Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan”. [Al Qadar : 3].

Karenanya, marilah kita berusaha untuk mendapatkannya, dan mengisi lailatul qadr itu dengan beramal shalih.

Sebagaimana tuntunan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, hendaklah umat ini berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan lailatul qadr pada tujuh hari yang tersisa dari sepuluh hari yang terakhir. Atau dalam hadits Abu Hurairah, carilah dia (lailatul qadr) pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Karenanya, seyogyanya setiap muslim bergegas untuk mencarinya dengan memperbanyak amal ibadah dengan tekun.

Para salafush shalih berusaha meraih lailatul qadr pada malam 21. Sebagian yang lain pada malam 23. Sebagian yang lain pada malam 27. Sebagian yang lain mencari pada malam 24. Dan hampir-hampir pada setiap malam 10 hari terakhir. Maka mengapa kita tidak mencontoh para salafush shalih? Marilah kita berusaha secara maksimal pada 10 terakhir bulan Ramadhan ini, dengan menyibukkan diri beramal dan beribadah, sehingga bisa menggapai pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hanya sedikit amalan, kita bisa menggenggam pahala, lantaran orang yang beramal pada malam lailatul qadr ini akan menyamai amalan ibadah selama seribu bulan.

Kalau ada orang yang tidak berusaha mencarinya kecuali pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan (dengan asumsi lailatul qadr jatuh pada tanggal ini atau itu), walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia -sama sekali- tidak akan pernah mendapatkan moment tersebut. Selanjutnya hanya penyesalan yang ada.

Sekali lagi, hendaklah setiap muslim beramal dan beribadah pada setiap malam sepuluh terakhir itu seraya berkata “malam ini adalah malam lailatul qadr”. Andai dugaannya meleset, dia perlu mengingat, bahwa sesungguhnya malam itu termasuk sepuluh terakhir Ramadhan, malam yang paling utama selama Ramadhan. Sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan lebih afdhal dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah. Wallahu ‘alam bish shawab.

[Diangkat berdasarkan untaian nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, pada malam Jum’at, 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurrain].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]



Sumber: https://almanhaj.or.id/2823-agar-ramadhan-bermakna-indah.html

Friday, May 24, 2019

MALU, ADALAH AKHLAK ISLAM

MALU, ADALAH AKHLAK ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”
TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).
PENJELASAN HADÎTS
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]
B. Keutamaan Malu
1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]
Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.
2. Malu Adalah Cabang Keimanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]
3. Allah Azza Wa Jalla Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]
4. Malu Adalah Akhlak Para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]
5. Malu Adalah Akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]
6. Malu Sebagai Pencegah Pemiliknya Dari Melakukan Maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]
Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10]
7. Malu Senantiasa Seiring Dengan Iman, Bila Salah Satunya Tercabut Hilanglah Yang Lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]
8. Malu Akan Mengantarkan Seseorang Ke Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[12]
C. Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”
Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]
Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[14]
D. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. [al-Ahzâb/ 33:53]
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi n memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[16]
E. Makna Perintah Untuk Malu Dalam Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya:
1. Perintah Tersebut Mengandung Arti Peringatan Dan Ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/41:40]
2. Perintah Tersebut Mengandung Arti Penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]
3. Perintah Tersebut Mengandung Arti Pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]
F. Malu Itu Ada Dua Jenis
1. Malu Yang Merupakan Tabiat Dan Watak Bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[22]
2. Malu Yang Timbul Karena Adanya Usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla .[23]
Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[24]
Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.
G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.[25]
H. Malu Yang Tercela
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.[28]
Ummul Mukminin ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.[29]
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]
I. Wanita Muslimah Dan Rasa Malu
Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash/28: 25]
Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.
Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.
J. Buah Dari Rasa Malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa’ (setia/menepati janji).
Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.
Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”
FAWÂÎD HADÎTS
1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa’ (setia).
8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
11. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
12. Malaikat mempunyai sifat malu.
13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.
Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.[34]
14. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ (hal. 53)
[2]. Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.
[3]. Lihat al-Haya’ fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).
[4]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain.
[5]. Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).
[6]. Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la.
[7]. Shahîh: HR.Muslim (no. 2401).
[8]. Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940).
[9]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.
[10]. Fathul Bâri (X/522).
[11]. Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).
[12]. Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.
[14]. Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.
[15]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).
[16]. Fathul Bâri (X/522).
[17]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.
[18]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)
[19]. Fathul Bâri (X/523).
[20]. Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).
[21]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37).
[22]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).
[23]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181).
[24]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).
[25]. Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).
[26]. Fathul Bâri (X/522).
[27]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182).
[28]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ’ fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).
[29]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ’ fil ‘Ilmi secara mu’allaq.
[30]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).
Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat apabila ia mimpi jimâ’ (bersetubuh) lalu keluar mani. Apabila ia mimpi jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika suami-istri jimâ’ (bersetubuh) keduanya wajib mandi meskipun tidak keluar mani.
[31]. Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153).
[32]. Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ (hal. 55).
[33]. Ibid (hal. 55).
[34]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah
Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah .


Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/3441-malu-adalah-akhlak-islam.html