Friday, December 2, 2016

Takwil Dalam Ushul Fiqh

Ta’wil Dalam Ushul Fiqh
A.  Pendahuluan
Teks-teks keagamaan bagaimanapun juga adalah teks-teks linguistik seperti juga teks-teks yang lain. Ia selalu terhubung dengan struktur kebudayaan di mana teks tersebut diturunkan. Dari perspektif lain teks-teks tersebut tidak selalu dapat dipahami menurut makna literalnya. Karena seringkali mempunyai makna ganda. Fakta-fakta hukum fiqh menunjukkan bahwa sebuah teks hukum tertentu diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh para ulama dan karena itu keputusan hukum yang dihasilkannya juga berbeda-beda atau tidak selalu sama. Pemaknaan teks secara tunggal hanya dapat dipahami berdasarkan kesepakatan pemakainya.
       Ta’wîl  misalnya, dengan begitu ta’wîl  merupakan suatu cara (metode) yang mencoba untuk menjelaskan makna suatu kata atau bahasa yang jika difahami secara literal akan menimbulkan pengertian yang sulit diterima oleh akal. Pada masa klasik (zaman awal Islam) bahkan sampai hari ini, teori ta’wîl diperdebatkan secara hangat dan mendalam di kalangan para ulama.
       Pandangan fiqh tekstual yang ketat (ahl hadits) jarang sekali menggunakan kaedah ini. Golongan ini lebih suka menggunakan kata tafsir, meskipun al Qur-an sendiri lebih banyak menyebutkan kata ta’wîl dibandingkan tafsir. Menurut mereka menggunakan kaedah ini sama artinya dengan mendahulukan akal atas naql (teks).
Pandangan ini diikuti oleh kalangan ulama salafi. Hal ini berbeda dengan kaedah fiqh rasional (ahl al-ra’yi). Golongan ini menjadikan logik rasional dan ta’wîl sebagai kaedah mengaktualisasikan hukum Islam sehingga keberadaannya dapat menjawab konteks sosial baru. Para ulama kemudian membedakan pengertian antara tafsir dan ta’wîl   . Tafsir lebih banyak berhubungan dengan riwayat (sumber-sumber transmisi) naql (teks yang lain), sementara ta’wîl selalu berkaitan dengan penggunaan akal dan ijtihad..
       Demikianlah, maka pembacaan teks-teks keagamaan melalui pendekatan kontekstual merupakan cara yang paling sesuai untuk memahami teks-teks tersebut secara benar dan proporsional agar sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ah. Pendekatan ini juga sangat relevan untuk menjawab masalah-masalah kehidupan yang berkembang. Dengan cara ini, perumusan syari’ah Islam akan menjadikan aturan-aturan hukum syari’ah shalihah li kulli zaman wa makan (sesuai dengan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.
B. Pembahasan
1. Pengertian Ta’wîl  .
Secara etimologi, ta’wîl berasal dari kata الأَوْلُ  yang artinya الرجوع  (kembali)[1] dan العاقبة  (akibat atau pahala)[2].
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta’wîl secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta’wîl adalah sinonim (muradhif) dari tafsîr . Kedua, ta’wîl adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[3]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta’wîl adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta’wîl   ".[4]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, "Ta’wîl adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir".[5] Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam juga menggunakan defenisi yang sama dengan al-Ghazali.[6]
Wahbah Zuhaili mendefenisikan ta’wîl dalam kitabnya Ushul al-Fiqih al-Islamiy, memalingkan lafaz dari maknanya yang zhahir kepada makana yang lain tidak zhahir padanya, beserta kemungkinan baginya dengan dalil menyokongnya. Oleh karena itu para ulama membedakan antara tafsir dan ta’wîl. Tafsir adalah menjelaskan maksud-maksud dari kalam melalui cara yang qath’i, sementara ta’wîl adalah menjelaskan maksud-maksud dari kalam melalui cara yang zhanni[7].
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta’wîl menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta’wîl merupakan sinonim dari tafsîr , sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsîr nya Jami' Al-Bayan fi Ta’wîl Ayat Al-Qur'an; ta’wîl dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta’wîl ayat ini. Kata ta’wîl yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsîr . Sedangkan ta’wîl menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[8]
Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan bahwa istilah ta’wîl memiliki tiga pengertian; pertama, berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai dengan zhahir lafazh maupun bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A’raf: 53. Contoh lain, riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallah ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca, (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku) sebagai ta’wîl dari firman Al-Qur’an QS. An-Nashr: 3. Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan para ulama ahli tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), “Sesungguhnya orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta’wîl ayat-ayat mutasyabihat“. Kata ta’wîl yang beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga,  berarti mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu[9].
Jadi, ta’wîl dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsîr . Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
2. Bentuk-Bentuk Ta’wîl   .
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wîl, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[10]
1.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah: 228).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu)  selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab:49).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah:3).
Lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145, sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa': 2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS.An-Nisa': 2).
   Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS.An-Nisa': 6).
Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.
4.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.[11]
Sedangkan bentuk-bentuk ta’wîl   itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Amir Syarifudin adalah sebagai berikut [12]:
1.    Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wîl   ada dua bentuknya :
a. Ta’wîl   Maqbul (التأ ويل المقبول ) atau ta’wîl   yang diterima, yaitu ta’wîl   yang telah memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas.
b. Ta’wîl   ghair al-Maqbul (التأ ويل غير المقبول ) atau ta’wîl   yang ditolak, yaitu ta’wîl   yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
2. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wîl   dari makna zahirnya, ta’wîl   dibagi kedalam dua bentuk :
a. Ta’wîl   Qarib (التأ ويل القريب ), yaitu ta’wîl   yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wîl   ini termasuk ta’wîl   yang diterima.
b. Ta’wîl   Ba’id (التأ ويل البعيد ) yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang begitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
3.  Ruang Lingkup Ta’wîl   
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta’wîl (majaal al-ta’wîl   ).
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal al-ta’wîl   ); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[13]
a.  Ta’wil dalam masalah furu’
Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan yang subur bagi ta’wil, karena banyak mengandung lafazh ambigu (muhtamal) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain itu, keinginan untuk memahami nash syar’i memicu para ulama untuk melakukan ta’wil. Kendati demikian, ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i dan muhkam yang hanya memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari’ah sudah jelas. Sebagaimana dalam kaidah disebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang qath’i, mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian dalam warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar’i terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar.[14]
            Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir. Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal (global) jika belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta’wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang huruf ba’ dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ). Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta’wil di dalamnya.     
Ta’wil tidak dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafazh dan bukan mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa.
Jadi, nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i ad-dilalah tidak bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah), atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat, shiyam, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah.[15]
Sedangkan dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua teks dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu’, thawabit menjadi mutaghayyirat, qath’i dilalah menjadi zhanniy dilalah, dan yang ma’lum menjadi majhul.[16]
b. Takwil dalam masalah ushul
Objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil) dalam masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma’ dan sifat Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab Pertama, berpendapat nash tidak boleh dita’wil dan harus dipahami secara zhahirnya. Inilah pendapat Musyabbihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua, berpendapat nash aqidah ada ta’wilnya, tetapi yang tahu ta’wilnya hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7). Jadi, nash tidak boleh dita’wilkan untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Madzhab Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita’wilkan.[17]
Ibnu Burhan memandang bahwa madzhab pertama adalah batil, sedang madzhab kedua dan ketiga diriwayatkan dari para shahabat. Madzhab kedua adalah madzhab Salafush Shaleh. Sedang madzhab ketiga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah.[18]
Akar masalah dari perbedaan pendapat di atas adalah pembacaan dan pemahaman terhadap firman Allah QS Ali ’Imran :7. Ada yang berpendapat bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada lafazh Jalalah (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ), Sehingga maknanya, tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah. Inilah pendapat ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu Asy-Sha’tsa, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Malik bin Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lain-lain. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada kata ar-rasihkhun fi al-ilm (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ), sehingga maknanya tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasihkhun fi al-ilm). Inilah pemahaman Ibnu Abbas, Mujahid, Rabi’ bin Anas, Muhammad bin Ja’far, dan diikuti mayoritas para mufassir dan ulama ushul.[19]
Dari dua pendapat di atas, Ibnu Taimiyah berusaha mengkompromikan dengan menyatakan bahwa keduanya adalah pendapat ulama salaf. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah, maka yang dimaksud adalah hakikat dari ayat tersebut. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun fi al-ilm), maka yang dimaksud adalah makna dari ayat tersebut.[20]
Pendapat Ibnu Taimiyah di atas dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya pernyataan Ibnu Abbas bahwa tafsir ada empat macam; tafsir yang diketahui oleh orang-orang arab dengan bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh semua orang, tafsir yang diketahui hanya oleh para ulama, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.[21] Di sisi lain, Ibnu Abbas juga menyatakan, “Saya termasuk ar-rasikhun fi al-ilm yang mengetahui ta’wil Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat)”, hal itu berkat do’a Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas, “Ya Allah pahamkanlah ia tentang agama dan ajarilah ia ta’wil“. Kedua pernyataan Ibnu Abbas ini tidak akan kontradiksi jika dipahami dengan pendapat Ibnu Taimiyah di atas.
Dalam masalah ta’wil ayat-ayat yang berkenaan dengan asma’ dan sifat Allah, para ulama salaf berbeda pandangan dengan ulama khalaf, termasuk Asy-Syaukani. para ulama salaf menetapkan asma’ dan sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam al-Qur’an dan sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam As-Sunnah tanpa ta’thil (meniadakan sifat), tasybih (menyerupakan dengan makhluk), dan takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang Allah tegaskan sendiri dalam QS. Asy-Syura: 11.
            Para ulama salaf juga tidak melakukan ta’wil terhadap asma’ dan sifat Allah, seperti jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa’, “Istiwa’ dapat dipahami, bagaimana hakikatnya tidak dapat diketahui, beriman dengan sifat tersebut hukumnya wajib, dan menanyakan tentang hal itu adalah bid’ah”.[22] Begitu juga dengan pernyataan Abu Hanifah dalam bukunya Al-Fiqh Al-Akbar, “Dia memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana Allah Ta’ala sendiri sebutkan dalam Al-Qur’an. Dia memiliki sifat tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya, dan tidak boleh dikatakan (dita’wil) bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena itu adalah peniadaan (ta’thil) sifat-Nya, perkataan itu adalah pendapat Qadariah dan Mu’tazilah, akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya”.
            Sedangkan tentang ta’wil pada huruf-huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat, para ulama juga berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua;
pertama, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf terputus (al-huruf al-muqattha’ah) pada permulaan-permulaan surat Al-Qur’an termasuk ayat-ayat mutasyabihat, yang makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Inilah pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah ‘anhum, Amir Ash-Sha’bi, Sufyan Ath-Thawri, Rabi’ bin Khuthaim, Abu Hatim bin Hibban, dan ulama-ulama salaf lainnya.[23]
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah memiliki makna dan ta’wil, baik ta’wil yang jauh maupun dekat. Pendapat kedua ini memiliki dua puluh macam ta’wil, diantaranya adalah pendapat yang berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma yang menyatakan bahwa setiap huruf dalam huruf-huruf muqattha’ah merupakan nama dari asma’ dan sifat Allah Azza wa Jalla; alif adalah Allah, lam adalah Al-Lathif (Maha Lemah Lembut), mim adalah Al-Majid (Maha Agung), atau sifat lemah lembut-Nya dan sifat agung-Nya. Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma menyatakan bahwa alim laf mim berarti ana Allah a’lam (Aku Allah mengetahui), alif lam mim shad adalah ana Allah afshil (Aku Allah memberikan keputusan), dan alif lam ra’ adalah ana Allah ara (Aku Allah melihat).[24]
            Fakhruddin Ar-Razi mendukung pendapat kedua dan menolak pendapat pertama dengan alasan bahwa tidak boleh dalam Al-Qur’an ada satu ayat pun yang tidak dimengerti maksud dan maknanya, karena Allah memerintahkan untuk metadabburi firman-firman-Nya. Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi yang mendukung pendapat pertama, orang-orang Arab dahulu dengan ketinggian pemahaman mereka terhadap bahasanya sendiri mengakui keunggulan bahasa (balaghah dan fashahah) Al-Qur’an. Seandainya bahasa Al-Qur’an bertentangan dengan kaidah bahasa Arab niscaya mereka orang yang pertama kali menentangnya.[25]
            As-Suyuthi memandang bahwa pendapat pertama sebagai pendapat yang kuat (rajih). Selanjutnya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan pendapat tentang kegunaan huruf-huruf muqattha’ah yaitu untuk menarik perhatian (tanbih) orang-orang yang mendengarnya, dan huruf-huruf muqattha’ah merupakan ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih) yang efektif bagi orang-orang Arab terutama pada masa Islam di Makkah yang mengagungkan syair.[26] Bahkan huruf-huruf muqattha’ah bisa menjadi mukjizat Al-Qur’an karena belum ada syair Arab yang menggunakannya sebagai ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih).
4. Syarat-syarat Ta’wîl
Adapun syarat-syarat ta’wîl adalah :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wîl seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl-kan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wîl. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wîl seperti[27] :
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya: suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan untuk di ta’wîl kan, maka hadis itu di ta’wîl kan saja ketimbang ditolak sama sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya. Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar. Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wîl.
5. Macam-macam ta’wîl
Macam-macam Ta’wîl Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wîl [28]:
1.    Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.
Umpamanya men-ta’wîl-kan “tantangan Allah”dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48): 60: Tangan Allah berada diatas tangan mereka. Atau mengartikan “tangan Allah” dengan “kemurahan Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah (5):64: Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi menurut sesukanya. Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluk-Nya. Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut “tafsir” dengan majaz masyhur”.
2.    Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wîl yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wîl kan surat al-Baqarah (2): 240, yang bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234.
            Ta’wîl itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat, namun sewaktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Kadang-kadang tidak dibenarkan menggunakan ta’wîl, atau ta’wîl itu dianggap salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wîl; atau ada dorongan untuk men-ta’wîl, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan;atau ta’wîl itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i[29].
C.  PENUTUP
Ta’wîl   menurut bahasa berarti kembali kepada asal. Sedangkan ta’wîl   Dalam pengertiannya khusus hanya menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz ayat, dari yang kuat kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.
Ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal al-ta’wîl   ); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.
Adapun macam-macam ta’wil ada dua macam: pertama, Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya. Kedua Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan.



[1]Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.XI h. 32
[2]Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979). vol.I h.162
[3]Ibnu Manzhur, Lisan…..h. 32
[4]Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H). Jill I h. 511
[5]Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul , (Madinah: al-Jami’ah islamiyah-kulliyah as-Syar’iayah, tt). Juz. 3, h. 88
[6]Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Arab Saudi: Dar as-Shami’i li an-Nasyir wa at-Tauzi’, 2003). Jil.3 h.65.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1986). Jil.1 h. 313
[8]Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, Maktabah Syamilah, hal. 17
[9] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa’, 2005). Jil. III, hlm.55-56.
[10]Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi,Maktabah Syamilah, juz. 1, hal 7.
[11] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi, Maktabah Syamilah, juz. 1, hal 7.
[12]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008) cet.1, hal. 43.
[13]Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Kitab al-‘Arabi, 1999). vol. II h. 32
[14] Kan’an Musthafa Sa’id Shatat. At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). Hal 40
[15] Kan’an Musthafa Sa’id Shatat  At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007).hal 49.
[16] Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia, vol. I no.1 Maret 2004. p.52
[17] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani,  Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000), hal 756
[18] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani,  Irsyadul……… hal 757
[19] Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), Vol II, Hal 11.
[20] Ibnu Taimiyah, Majmu’…….. Jil. V, Hal 234-235.
[21] Ibnu Taimiyah, Majmu’……. Hal. 400.
[22] Ibnu Taimiyah, Majmu’……. Jil. XXXIII, Hal. 178.
[23] Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibnu Kathir, Tafsir ……… Vol. I, hal. 156.
[24] Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006), hal 123.
[25] Jalaluddin Ash-Shuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008), hal 758.
[26] Jalaluddin Ash-Shuyuthi, Al-Itqan………hal. 436-440.
[27] Amir Syarifuddin, Ushul ........hal. 42.
[28]Amir Syarifuddin, Ushul ........hal. 46-48
[29] Amir Syarifuddin, Ushul ........hal. 48.
gambar dari google

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...