Ta’wil Dalam Ushul Fiqh
A. Pendahuluan
Teks-teks
keagamaan bagaimanapun juga adalah teks-teks linguistik seperti juga teks-teks
yang lain. Ia selalu terhubung dengan struktur kebudayaan di mana teks tersebut
diturunkan. Dari perspektif lain teks-teks tersebut tidak selalu dapat dipahami
menurut makna literalnya. Karena seringkali mempunyai makna ganda. Fakta-fakta
hukum fiqh menunjukkan bahwa sebuah teks hukum tertentu diinterpretasikan
secara berbeda-beda oleh para ulama dan karena itu keputusan hukum yang
dihasilkannya juga berbeda-beda atau tidak selalu sama. Pemaknaan teks secara
tunggal hanya dapat dipahami berdasarkan kesepakatan pemakainya.
Ta’wîl
misalnya, dengan begitu ta’wîl merupakan suatu cara (metode) yang mencoba
untuk menjelaskan makna suatu kata atau bahasa yang jika difahami secara
literal akan menimbulkan pengertian yang sulit diterima oleh akal. Pada masa
klasik (zaman awal Islam) bahkan sampai hari ini, teori ta’wîl diperdebatkan
secara hangat dan mendalam di kalangan para ulama.
Pandangan
fiqh tekstual yang ketat (ahl hadits) jarang sekali menggunakan kaedah ini.
Golongan ini lebih suka menggunakan kata tafsir, meskipun al Qur-an sendiri
lebih banyak menyebutkan kata ta’wîl dibandingkan tafsir. Menurut mereka
menggunakan kaedah ini sama artinya dengan mendahulukan akal atas naql (teks).
Pandangan ini diikuti oleh kalangan ulama salafi. Hal ini berbeda dengan kaedah fiqh rasional (ahl al-ra’yi). Golongan ini menjadikan logik rasional dan ta’wîl sebagai kaedah mengaktualisasikan hukum Islam sehingga keberadaannya dapat menjawab konteks sosial baru. Para ulama kemudian membedakan pengertian antara tafsir dan ta’wîl . Tafsir lebih banyak berhubungan dengan riwayat (sumber-sumber transmisi) naql (teks yang lain), sementara ta’wîl selalu berkaitan dengan penggunaan akal dan ijtihad..
Pandangan ini diikuti oleh kalangan ulama salafi. Hal ini berbeda dengan kaedah fiqh rasional (ahl al-ra’yi). Golongan ini menjadikan logik rasional dan ta’wîl sebagai kaedah mengaktualisasikan hukum Islam sehingga keberadaannya dapat menjawab konteks sosial baru. Para ulama kemudian membedakan pengertian antara tafsir dan ta’wîl . Tafsir lebih banyak berhubungan dengan riwayat (sumber-sumber transmisi) naql (teks yang lain), sementara ta’wîl selalu berkaitan dengan penggunaan akal dan ijtihad..
Demikianlah,
maka pembacaan teks-teks keagamaan melalui pendekatan kontekstual merupakan
cara yang paling sesuai untuk memahami teks-teks tersebut secara benar dan
proporsional agar sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ah. Pendekatan ini juga
sangat relevan untuk menjawab masalah-masalah kehidupan yang berkembang. Dengan
cara ini, perumusan syari’ah Islam akan menjadikan aturan-aturan hukum syari’ah
shalihah li kulli zaman wa makan (sesuai dengan ruang dan waktunya) untuk
sebuah kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.
B. Pembahasan
1. Pengertian Ta’wîl .
Secara etimologi, ta’wîl berasal dari kata الأَوْلُ
yang artinya الرجوع (kembali)[1] dan العاقبة
(akibat atau pahala)[2].
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan
dua pengertian ta’wîl secara istilah dalam Lisan Al-Arab;
pertama, ta’wîl adalah sinonim (muradhif) dari tafsîr .
Kedua, ta’wîl adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada
makna lain karena ada dalil.[3]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan
fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta’wîl adalah mengalihkan lafazh
dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta’wîl ".[4]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi
Al-Ushul mengatakan, "Ta’wîl adalah sebuah ungkapan (istilah)
tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan
didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan
oleh lafazh zhahir".[5] Abu
Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam
fi Ushul Al-Ahkam juga menggunakan defenisi yang sama
dengan al-Ghazali.[6]
Wahbah Zuhaili mendefenisikan ta’wîl
dalam kitabnya Ushul al-Fiqih al-Islamiy, memalingkan lafaz dari
maknanya yang zhahir kepada makana yang lain tidak zhahir padanya, beserta
kemungkinan baginya dengan dalil menyokongnya. Oleh karena itu para ulama
membedakan antara tafsir dan ta’wîl. Tafsir adalah menjelaskan
maksud-maksud dari kalam melalui cara yang qath’i, sementara ta’wîl adalah
menjelaskan maksud-maksud dari kalam melalui cara yang zhanni[7].
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil
fi Al-Mutashabih wa At-Ta’wîl menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin
(salaf) berpendapat bahwa ta’wîl merupakan sinonim dari tafsîr ,
sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang
digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsîr nya Jami' Al-Bayan
fi Ta’wîl Ayat Al-Qur'an; ta’wîl dari ayat ini adalah demikian, para
ulama berbeda pendapat tentang ta’wîl ayat ini. Kata ta’wîl yang
dimaksudkan oleh beliau adalah tafsîr . Sedangkan ta’wîl menurut
ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam,
dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[8]
Lebih
terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu
Fatawa menegaskan bahwa istilah ta’wîl memiliki tiga pengertian; pertama,
berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai dengan zhahir lafazh maupun
bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering digunakan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A’raf: 53. Contoh lain, riwayat dari
‘Aisyah Radhiyallah ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca, (Maha Suci
Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku) sebagai ta’wîl
dari firman Al-Qur’an QS. An-Nashr: 3. Kedua, berarti tafsir
sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan para ulama ahli tafsir. Seperti
perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), “Sesungguhnya orang-orang
yang mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta’wîl ayat-ayat
mutasyabihat“. Kata ta’wîl yang beliau maksudkan adalah tafsir
dan penjelasan maknanya. Ketiga, berarti mengalihkan lafazh dari
makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu[9].
Jadi, ta’wîl dalam istilah salaf adalah
sinonim dari tafsîr . Kemudian pada masa khalaf mengalami
perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
2. Bentuk-Bentuk Ta’wîl
.
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling
mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok
disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan
hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul
merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman
kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wîl, diantaranya
mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh
yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang
hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi
makna yang sunnah.[10]
1. Mengalihkan lafazh
dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish
al-umum (تخصيص العموم).
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ
قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah: 228).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita
yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu)
selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini
berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse,
atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang
lain dalam QS.Al-Ahzab:49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab:49).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang belum digauli
tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2.
Mengalihkan
lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad),
dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS.
Al-Maidah:3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا
مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ
ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا
تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي
مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah:3).
Lafazh mutlak (muthlaq) kemudian
dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan)
dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145, sehingga
yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3.
Mengalihkan
lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah
dalam QS.An-Nisa': 2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا
الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ
إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Artinya: Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
(QS.An-Nisa': 2).
Ayat
diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak
yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan
dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6
وَابْتَلُوا
الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. (QS.An-Nisa': 6).
Ayat diatas menerangkan untuk
menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan
dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh
yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh
orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah
baligh dan dewasa.
4.
Mengalihkan
lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti
perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna
wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang
mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.[11]
Sedangkan bentuk-bentuk ta’wîl itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Amir
Syarifudin adalah sebagai berikut [12]:
1.
Dari segi
diterima atau tidaknya suatu ta’wîl ada dua bentuknya :
a. Ta’wîl Maqbul (التأ ويل المقبول ) atau ta’wîl yang diterima, yaitu ta’wîl yang telah memenuhi syarat-syarat yang disebut
di atas.
b. Ta’wîl ghair al-Maqbul (التأ ويل غير المقبول ) atau ta’wîl yang ditolak, yaitu ta’wîl yang hanya didasarkan kepada selera atau
dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
2. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wîl dari makna zahirnya, ta’wîl dibagi kedalam dua bentuk :
a. Ta’wîl Qarib (التأ ويل القريب ), yaitu ta’wîl yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya,
sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wîl ini termasuk ta’wîl yang diterima.
b. Ta’wîl Ba’id (التأ ويل البعيد ) yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang begitu
jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
3. Ruang Lingkup Ta’wîl
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua
macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat
adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan
arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau
ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat
merupakan objek kajian ta’wîl (majaal al-ta’wîl ).
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul
menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal al-ta’wîl );
Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam
nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang
lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua,
dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan
masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla,
bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga
huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[13]
a. Ta’wil
dalam masalah furu’
Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan
yang subur bagi ta’wil, karena banyak mengandung lafazh ambigu (muhtamal)
yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain
itu, keinginan untuk memahami nash syar’i memicu para ulama untuk melakukan ta’wil.
Kendati demikian, ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i dan muhkam
yang hanya memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari’ah sudah
jelas. Sebagaimana dalam kaidah disebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang
qath’i, mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian dalam
warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar’i
terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar.[14]
Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash
dan azh-zhahir. Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal)
makna lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang
ada oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash
dan azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal (global) jika
belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang
kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini
membuka ruang untuk ta’wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para
ulama berbeda pendapat tentang huruf ba’ dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ). Jika nash ayat yang mujmal
ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta’wil di
dalamnya.
Ta’wil tidak
dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi
maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun memiliki
banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah)
di luar lafazh dan bukan mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih)
kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi
pendekatan bahasa.
Jadi,
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i
ad-dilalah tidak bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya
memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara
yang merupakan aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah),
atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti
shalat, zakat, shiyam, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah.[15]
Sedangkan
dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua teks
dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan
kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat menjadi mutasyabihat, ushul
menjadi furu’, thawabit menjadi mutaghayyirat, qath’i
dilalah menjadi zhanniy dilalah, dan yang ma’lum menjadi majhul.[16]
b. Takwil dalam masalah ushul
Objek
kajian ta’wil (majaal al-ta’wil) dalam masalah ushul kebanyakan
dalam masalah asma’ dan sifat Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani
menyebutkan tiga madzhab; Madzhab Pertama, berpendapat nash tidak boleh
dita’wil dan harus dipahami secara zhahirnya. Inilah pendapat Musyabbihah
(golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua,
berpendapat nash aqidah ada ta’wilnya, tetapi yang tahu ta’wilnya
hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7). Jadi, nash tidak boleh dita’wilkan untuk
tetap memurnikan aqidah dari tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan
sifat makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Madzhab
Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita’wilkan.[17]
Ibnu
Burhan memandang bahwa madzhab pertama adalah batil, sedang madzhab kedua dan
ketiga diriwayatkan dari para shahabat. Madzhab kedua adalah madzhab Salafush
Shaleh. Sedang madzhab ketiga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas
(dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah.[18]
Akar
masalah dari perbedaan pendapat di atas adalah pembacaan dan pemahaman terhadap
firman Allah QS Ali ’Imran :7. Ada yang berpendapat bahwa pembacaan ayat
tersebut berhenti (waqaf) pada lafazh Jalalah (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا
اللَّهُ), Sehingga maknanya,
tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah.
Inilah pendapat ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu Asy-Sha’tsa, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud,
Malik bin Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lain-lain.
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti
(waqaf) pada kata ar-rasihkhun fi al-ilm (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا
اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ), sehingga maknanya tidak ada yang mengetahui ta’wil
ayat mutasyabihat kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasihkhun
fi al-ilm). Inilah pemahaman Ibnu Abbas, Mujahid, Rabi’ bin Anas, Muhammad
bin Ja’far, dan diikuti mayoritas para mufassir dan ulama ushul.[19]
Dari dua
pendapat di atas, Ibnu Taimiyah berusaha mengkompromikan dengan menyatakan
bahwa keduanya adalah pendapat ulama salaf. Pendapat yang mengatakan
bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat
kecuali Allah, maka yang dimaksud adalah hakikat dari ayat tersebut. Sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun fi al-ilm), maka
yang dimaksud adalah makna dari ayat tersebut.[20]
Pendapat
Ibnu Taimiyah di atas dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya pernyataan
Ibnu Abbas bahwa tafsir ada empat macam; tafsir yang diketahui oleh orang-orang
arab dengan bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh semua orang, tafsir yang
diketahui hanya oleh para ulama, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Azza
wa Jalla.[21]
Di sisi lain, Ibnu Abbas juga menyatakan, “Saya termasuk ar-rasikhun fi
al-ilm yang mengetahui ta’wil Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat)”,
hal itu berkat do’a Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu
Abbas, “Ya Allah pahamkanlah ia tentang agama dan ajarilah ia ta’wil“. Kedua
pernyataan Ibnu Abbas ini tidak akan kontradiksi jika dipahami dengan pendapat
Ibnu Taimiyah di atas.
Dalam
masalah ta’wil ayat-ayat yang berkenaan dengan asma’ dan sifat Allah,
para ulama salaf berbeda pandangan dengan ulama khalaf, termasuk
Asy-Syaukani. para ulama salaf menetapkan asma’ dan sifat Allah
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam al-Qur’an dan
sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam As-Sunnah tanpa ta’thil (meniadakan sifat), tasybih
(menyerupakan dengan makhluk), dan takyif (menanyakan bagaimana
hakikatnya), karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang serupa dengan Allah
Azza wa Jalla. Sebagaimana yang Allah tegaskan sendiri dalam QS.
Asy-Syura: 11.
Para ulama salaf juga tidak melakukan ta’wil terhadap asma’ dan sifat
Allah, seperti jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa’,
“Istiwa’ dapat dipahami, bagaimana hakikatnya tidak dapat diketahui,
beriman dengan sifat tersebut hukumnya wajib, dan menanyakan tentang hal itu
adalah bid’ah”.[22]
Begitu juga dengan pernyataan Abu Hanifah dalam bukunya Al-Fiqh Al-Akbar,
“Dia memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana Allah Ta’ala sendiri
sebutkan dalam Al-Qur’an. Dia memiliki sifat tanpa boleh ditanya bagaimana
hakikatnya, dan tidak boleh dikatakan (dita’wil) bahwa tangan-Nya adalah
kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena itu adalah peniadaan (ta’thil)
sifat-Nya, perkataan itu adalah pendapat Qadariah dan Mu’tazilah, akan tetapi
tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya”.
Sedangkan tentang ta’wil pada huruf-huruf muqattha’ah di
permulaan surat-surat, para ulama juga berbeda pendapat dan terbagi menjadi
dua;
pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf terputus (al-huruf
al-muqattha’ah) pada permulaan-permulaan surat Al-Qur’an termasuk ayat-ayat
mutasyabihat, yang makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah Azza
wa Jalla. Inilah pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Uthman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah ‘anhum,
Amir Ash-Sha’bi, Sufyan Ath-Thawri, Rabi’ bin Khuthaim, Abu Hatim bin Hibban,
dan ulama-ulama salaf lainnya.[23]
Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah memiliki makna
dan ta’wil, baik ta’wil yang jauh maupun dekat. Pendapat kedua
ini memiliki dua puluh macam ta’wil, diantaranya adalah pendapat yang
berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma yang menyatakan
bahwa setiap huruf dalam huruf-huruf muqattha’ah merupakan nama dari
asma’ dan sifat Allah Azza wa Jalla; alif adalah Allah, lam adalah Al-Lathif
(Maha Lemah Lembut), mim adalah Al-Majid (Maha Agung), atau sifat lemah
lembut-Nya dan sifat agung-Nya. Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas Radhiyallah
‘anhuma menyatakan bahwa alim laf mim berarti ana Allah a’lam
(Aku Allah mengetahui), alif lam mim shad adalah ana Allah afshil
(Aku Allah memberikan keputusan), dan alif lam ra’ adalah ana Allah
ara (Aku Allah melihat).[24]
Fakhruddin Ar-Razi mendukung pendapat kedua dan menolak pendapat pertama dengan
alasan bahwa tidak boleh dalam Al-Qur’an ada satu ayat pun yang tidak
dimengerti maksud dan maknanya, karena Allah memerintahkan untuk metadabburi
firman-firman-Nya. Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi yang
mendukung pendapat pertama, orang-orang Arab dahulu dengan ketinggian pemahaman
mereka terhadap bahasanya sendiri mengakui keunggulan bahasa (balaghah dan
fashahah) Al-Qur’an. Seandainya bahasa Al-Qur’an bertentangan dengan kaidah
bahasa Arab niscaya mereka orang yang pertama kali menentangnya.[25]
As-Suyuthi memandang bahwa pendapat pertama sebagai pendapat yang kuat (rajih).
Selanjutnya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan pendapat tentang
kegunaan huruf-huruf muqattha’ah yaitu untuk menarik perhatian (tanbih)
orang-orang yang mendengarnya, dan huruf-huruf muqattha’ah merupakan
ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih) yang efektif bagi
orang-orang Arab terutama pada masa Islam di Makkah yang mengagungkan syair.[26]
Bahkan huruf-huruf muqattha’ah bisa menjadi mukjizat Al-Qur’an karena
belum ada syair Arab yang menggunakannya sebagai ungkapan untuk menarik
perhatian (tanbih).
4. Syarat-syarat Ta’wîl
Adapun syarat-syarat ta’wîl adalah :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wîl seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak berlaku
untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl-kan
karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk
di-ta’wîl. Serta tidak asing dengan pengalihan
kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang
mendorong untuk ta’wîl seperti[27]
:
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui
secara dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya:
suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wîl kan, maka hadis itu di ta’wîl kan
saja ketimbang ditolak sama sekali.
b. Nash itu
menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya. Contohnya: suatu lafaz dalam
bentuk zhahir
diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk
nash.
c. Lafaz itu
merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang
mufassar. Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wîl.
5. Macam-macam ta’wîl
Macam-macam Ta’wîl
Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wîl [28]:
1.
Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis
Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang
berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada
yang menyamahi-Nya.
Umpamanya men-ta’wîl-kan
“tantangan Allah”dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath
(48): 60: Tangan Allah berada diatas tangan mereka. Atau mengartikan “tangan
Allah” dengan “kemurahan Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah
pada surat al-Ma’idah (5):64: Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi
menurut sesukanya. Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk
dalam lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari
anggapan penyamaan dengan makhluk-Nya. Bentuk seperti itu oleh ulama ini
disebut “tafsir” dengan majaz masyhur”.
2.
Ta’wîl bagi nash yang khusus
berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara
hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang kelihatan menurut
lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wîl yang bertujuan mendekatkan
ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan
sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang
bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wîl kan surat al-Baqarah (2): 240, yang
bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234.
Ta’wîl
itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat, namun sewaktu
dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Kadang-kadang
tidak dibenarkan menggunakan ta’wîl, atau ta’wîl itu dianggap
salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wîl; atau ada dorongan
untuk men-ta’wîl, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan;atau ta’wîl
itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i[29].
C. PENUTUP
Ta’wîl menurut bahasa berarti kembali kepada asal.
Sedangkan ta’wîl Dalam pengertiannya khusus hanya menentukan
salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz ayat, dari yang kuat
kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.
Ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal
al-ta’wîl ); Pertama, kebanyakan
dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai
bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul,
yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang
sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan
sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan
surat-surat.
Adapun macam-macam ta’wil ada dua
macam: pertama, Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung
bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia,
padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya. Kedua Ta’wîl
bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan.
[1]Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir,
tt). vol.XI h. 32
[2]Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1979). vol.I h.162
[3]Ibnu Manzhur, Lisan…..h. 32
[4]Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan
fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah
Universitas Qatar, 1399 H). Jill I h. 511
[5]Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa
Min Ilmi Al-Ushul , (Madinah: al-Jami’ah islamiyah-kulliyah as-Syar’iayah, tt). Juz. 3, h. 88
[6]Abu Al-Hasan Al-Amidi,
Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Arab Saudi: Dar as-Shami’i li an-Nasyir wa at-Tauzi’, 2003). Jil.3 h.65.
[9] Ibnu
Taimiyah, Majmu’
Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa’, 2005). Jil. III, hlm.55-56.
[10]Muhammad
Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi,Maktabah Syamilah, juz. 1, hal 7.
[11] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil
‘Inda Ahl Al-Ilmi, Maktabah Syamilah, juz. 1, hal 7.
[12]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta:
Kencana, 2008) cet.1, hal. 43.
[13]Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul,
(Riyadh: Dar Al-Kitab al-‘Arabi, 1999). vol. II h. 32
[14] Kan’an
Musthafa Sa’id Shatat. At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis
Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). Hal 40
[15] Kan’an
Musthafa Sa’id Shatat At-Ta’wil
‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah
Al-Wathaniyah, 2007).hal 49.
[16] Ugi
Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia,
vol. I no.1 Maret 2004. p.52
[17]
Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul
Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah,
2000), hal 756
[18]
Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul………
hal 757
[19] Abu
Al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, (Beirut:
Dar Thayyibah, 1999), Vol II, Hal 11.
[20] Ibnu
Taimiyah, Majmu’……..
Jil. V, Hal 234-235.
[21] Ibnu
Taimiyah, Majmu’…….
Hal. 400.
[22] Ibnu
Taimiyah, Majmu’…….
Jil. XXXIII, Hal. 178.
[23] Abu
Al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibnu Kathir, Tafsir ……… Vol. I, hal. 156.
[24]
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an,
(Kairo: Dar Al-Hadith, 2006), hal 123.
[25]
Jalaluddin Ash-Shuyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an,
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008), hal 758.
[26]
Jalaluddin Ash-Shuyuthi, Al-Itqan………hal. 436-440.
[28]Amir Syarifuddin, Ushul ........hal. 46-48
loading...
No comments:
Write komentar