Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata
air yang tak pernah kering bahkan memiliki deposit yang mampu menyirami setiap
perkembangan hukum Islam yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan /
mashlahat ummat sepanjang masa. Para ulama Islam sepakat bahwa setiap peristiwa
/ kejadian, terkait didalamnya ketentuan hukum syari’at. Hukum tersebut sebagan
bersumber dari nash al- Qur’an dan as- Sunnah, dan sebagian lagi diketahui
melalui dalil-dalil lain yang diakui syara’. Dalil syara’ diluar Al Qur’an dan
As Sunnah itu yang amat jelas petunjukknya adalah ijma’ dan qiyas.
Maka dalam melakukan istinbat hukum dan upaya
yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan
apa yang tersurat yaitu bentuk lafadz nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga
memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafadz
nash serta begitu pula dengan dalalahnya. Berkenaan dengan cara penunjukan
dalalah lafadz nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat
perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam
penunjukan nash terbagi menjadi 4 yaitu ibarah al- nas, isyarah al- nash,
dalalah al- nash, dan iqtida’ al- nash[1].Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara
bagaimana penunjukannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana penunjukan lafadz nash menurut
madzhab Hanafi ?
C. TUJUAN MASALAH
Untuk mengetahui penunjukan lafadz nash
menurut madzhab Hanafi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dilalah Lafadz Nash
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar
(kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan
dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Adapun menurut
istilah sebagaimana disebutkan oleh syiakh
islam Zakariya al- Anshori bahwa yang dimaksud dengan dilâlah adalah ;
كـون الشـئ بـحـالـة
يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر
Dilâlah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat
memastikan untuk mengetahui yang lainnya.[2]
Dengan kata lain, dilalah itu ialah
penunjukan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami,
sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari
suatu dalil nash. Dilâlah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang
ditunjukan oleh suatu lafadz nash dan
atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang
dikandung oleh sesuatu dalil nash. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat
berikut ini:
وَاَحَـلَّ اللهُ
الْـبَـيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا
Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.(al- Baqarah: 275)
Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami
dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba’ itu hukumnya
haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh
akal seseorang.Pembahasan tentang dilalah ini sangat penting dalam ilmu ushul
fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Menurut Amir Syarifuddin[3],
bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu
secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir
dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilalah.
B.
Penunjukan Lafadz Nash Menurut Madzhab Hanafi
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kumpulan
lafadz- lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan
dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud
dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf[4]
adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـدل الـنـظر الصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل ا لـقـطع
أو الـظن
Artinya: “Segala sesuatu yang dapat dijadikan
petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum
syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’i maupun dhanni.”
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada
dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu
yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan
hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Atas dasar ini dapat
disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dilalah ialah sesuatu
yang ditunjukkan. Menyangkut dilalah lafadz nash ini di kalangan ulama ushul
memang terdapat perbedaan. Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukan
dilalah lafadz nash itu kepada empat macam, yaitu ‘ibarah
nash, isyarah nash, dilalah nash, dan iqtida’
nash.
A. Ibarah al-Nash.
Berikut beberapa definisi dari ibarah al- Nash:
عــبـارة الـنـص هـي دلالة
الـكلآ م عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه, اي المعنى المتبادر فهمه منه, سواء
كان مقصوداً أصالة أم تبعاً. فكل نص من نصوص الشرعية أوالقانون له معنى تدل عليه
عباراته. وهذا المعنى إما مقصود من الكلام ذاته, وهو المعنى المقصود أصالة, وإما
مقصود غير أصلي أو تبعي.
Artinya: “Ibarah al- Nash adalah penunjukan
lafadz atas makna yang diinginkan, yaitu suatu makna yang langsung bisa
dipahami, baik itu makna asli ataupun makna tabi’I (mengikuti). Setiap nash-
nash syar’i menunjukkan pada makna masing- masing, ada makna yang langsung
diinginkan dari lafadznya langsung, yaitu disebut dengan makna asli, tapi ada
juga lafadz yang tidak asli yaitu lafadz tabi’i.”[5]
Allah ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.”(Qs. Al- Baqarah: 275)
Ayat diatas memiliki makna asli
yaitu adanya perbedaan antara jual beli dengan riba. Karena ayat tersebut turun
untuk membantah orang- orang jahiliyah yahudi yang mengatakan bahwa “ jual beli
seperti riba”, namun ayat tersebut juga memiliki maksud lain yaitu makna
mengikuti (tab’an), yaitu bolehnya jual beli dan haramnya riba.
Contoh lain Allah ta’ala
berfirman:
فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
Artinya: “Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”(Qs. An- Nisa’: 3)
Dalam ayat, ini adapun yang
dimaksud dengan makna asli adalah batasan kebolehan menikahi wanita yaitu empat
orang. Karena ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang mengurus harta
anak yatim, sementara mereka takut akan jatuh dalam kedholiman memakan harta
anak yatim. Adapun maksud mengikuti (tab’an) yaitu bolehnya nikah lebih dari
satu. Maka dapat kita simpulkan bahwa kebanyakan dari dalil baik dalam al-quran
dan sunnah yang menunjukkan suatu hukum dapat diambil lewat ibarah al- nash. Seperti firman Allah ta’ala:
..أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ
Artinya: “Penuhilah
akad-akad itu.”(Qs. al- Maidah: 1).
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alihi
wa sallam:
البيعان
بالخيار مالم يتفرق
Artinya: “Dua orang yang jual
beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah.”(Hr. Bukhari)
Adapun hukum ibarah al- nash
hukumnya adalah qot’i, jika memang tidak ada penjelasan dari nash lain. Jika
misalnya lafadz ‘am masuk didalamnya takhsis (pengkhususan), maka berubahlah
hukumnya menjadi dzonny.
B. Isyarah al- Nash
Yang dimaksud dengan Isyara
al-Nash ialah ;
هـى الـدلالـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد
أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلام لا فـاد تـه.
Artinya: “Isyarah
al-Nash ialah penunjukkan lafadz atas suatu ketentuan hukum yang tidak
disebutkan langsung oleh lafadz nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang
diucapkan diungkapkan untuk itu”[6].
Defenisi lainnya:
هي دلالة الكلام على معنى غير مقصود أصالة ولا
تبعا, ولكنة لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته. وتكون دلالة النص بالإشارة لا
بالعبارة
Artinya: “Yaitu
penunjukan lafadz pada selain dari maksud asli (asolatan) ataupun maksud
mengikuti (tab’an). akan tetapi dia memiliki suatu makna yang mana hubungan
kalimatnya memiliki arti. Hal mana, maksud dari suatu lafadz dapat diambil
faidahnya lewat isyarah bukan lewat ibarah[7]”.
Yang dimaksud dengan makna yang dipahami dari
lafadz-lafadz, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah
makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami dari lafadznya. Jadi ia
adalah makna yang ditunjuki oleh lafadz melalui cara iltizam. Karena ia adalah
makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, segi kelazimannya terkadang jelas, dan terkadang pula
tersembunyi. Oleh karena inilah mereka berkata : “Sesungguhnya sesuatu yang
diisyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya membutuhkan penalaran yang
mendetail dan pemikiran yang berlebih. Terkadang pula ia dapat dipahami dengan
pemikiran yang sederhana. Jadi dalalah isyarat adalah dalalah nash terhadap
makna yang lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ibaratnya, namun tidak
dimaksudkan dari susunannya, pemahamannya membutuhkan perenungan yang berlebih
atau sederhana, sesuai dengan jelasnya segi kelaziman ketersembunyiannya.
Kekuatan isyarah nash sama dengan ibarah nash dimana keduanya merupakan dasar
dari kewajiban, kecuali ada dalil yang menghendaki sebaliknya.[8]
Contohnya Allah taala berfirman:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu”. (Qs. al- Baqarah: 187)
Dapat ditarik suatu makna dari sisi ibarah,
bahwa bolehnya berhubungan dengan istri pada malam hari sampai terbit fajar.
Tapi kalau ditarik makna dari sisi isyarah yaitu bolehnya junub pada siang
romadhon. Karena bolehnya berhubungan sampai fajar, otomatis seseorang ketika
dia berhubungan berakhir sampai fajar maka dia masih dalam keadaan junub.
Contoh lain Allah taala berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (Qs. al- Baqarah: 233)
Secara ibarah Nash pengertian yang dapat ditangkap dari
ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa
pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut
(ma’ruf). bahwa ungkapan “المولودلـه” yang
diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas.
Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam ayat
ini.Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami
oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah
terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود”yang arti
dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri
dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak
untuk ayah”. Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung
arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan
oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada
ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarah” yang dapat ditangkap dibalik
susunan lafadz
nash.[9]
Contoh lain Allah taala berfirman:
وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
Artinya: “Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Qs. al- Ahqaf: 15)
Ayat ini menunjukkan dari sisi ibarah betapa
lebih mulia ibu dalam mengasuh anaknya, adapun dari sisi pendekatan isyarah
bahwa minimal seorang wanita mengandung anaknya adalah enam bulan. Karena
lamanya wanita menyusui sampai menyapih anaknya adalah dua tahun. Maka sisa dari dua tahun dalam 30 bulan adalah enam
bulan.
Sebagaimana firman Allah taala:
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
Artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun” (Qs. Luqman: 14)
Contoh lainnya Allah ta’ala
berfirman:
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Qs. al- Baqarah: 187).
Ayat tersebut menurut ibarah
mangandung arti bolehnya makan dan minum serta hubungan kelamin sepanjang
malam. Disamping itu, isyarah
ayat tersebut mengandung beberapa maksud antara lain:
1. Seseorang yang masuk waktu subuh
dalam keadaan junub, (sudah berhubungan kelamin tapi belum mandi) sah puasanya
hari itu, karena sebelum ayat itu ada firman allah ta’ala: ثم أتموا الصيام الى الليل yang
mengandung arti bahwa bila hubungan kelamin dilakukan diakhir waktu malam, maka
mandinya dilakukan setelah setelah terbit fajar. Hal ini berarti ia dalam
keadaan junub (berhadas besar).
2. Niat puasa yang dilakukan sesudah
terbit fajar adalah sah karena lafadz tsumma adalah untuk maksud
“akibat” yang dilakukan kemudian. Bila disuruh melakukan puasa sesudah terbit
fajar yang dilakukan dengan niat dan menahan diri, maka dapat diketahui sahnya
niat sesudah fajar.
3. Rukun puasa itu adalah menahan dari
tuntutan dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, karena perbuatan-
perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan
sebelum terbit fajar. Hal ini mengandung arti bahwa semua yang disebut sebelum
terbit fajar menjadi terlarang, artinya menahan diri dari semua itu.[10]
Jika ibarah dan isyarah berlawanan, maka didahulukan hukum
ibarah daripada isyarah karena yang pertama lebih kuat. Seperti mendahulukan
qisas bagi pembunuh secara sengaja, sebagaimana disebutkan dalam ayat: diwajibkan
atas kalian qisas.(Qs. al- Baqarah: 178). Dengan tidak menjalankan qisas
dengan alasan balasan nanti diakhirat yaitu dengan menggunakan pendekatan
isyarah dalam ayat: maka orang yang membunuh dengan sengaja balasannya
adalah neraka jahannam.(Qs. al- Nisa’: 93).
Adapun isyarah sama seperti ibarah memiliki
hukum qot’i kecuali ada yang memalingkannya kepada dzony. Seperti ijma’ ulama
bahwa seorang anak mengikuti ibunya baik dalam keadaan hamba sahaya ataupun
merdeka, meski ayat berbicara anak dinasabkan kepada bapaknya. Namun ini
kekhususan terhadap surat al- Baqarah: 233.[11]
C. Dilalah
al- Nash.
Dilalat
al-Nash ini disebut juga dengan dilalat
al-dilalat. Adapun yang dimaksud dengan
dilalat al-dilalat adalah
دلالـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى
ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم
التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـر و اجـتـهـا د
Artinya: “Dilalat al-Nash
ialah petunjuk lafadz atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku
pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua
yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana
pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa
kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan
daya nalar.[12]
Imam Syafi’i menganggap dilalah al- nash ini seperti qiyas jaly, dan Syafi’iyah
menamakannya dengan sebutan mafhum muwafaqah.[13]
Contoh kesamaan dalam illatnya,
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara lalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).” (an- Nisa’: 10).
Dari sisi ibarah ayat ini menunjukkan
haramnya memakan harta anak yatim secara zolim, tapi kalau dilihat dari sisi
dilalah al- nash bahwa ayat ini menunjukkan haramnya merusak barang anak yatim
seperti dibakar atau dibuang. Nah setiap orang mesti memahami dari sisi bahasa
bahwa maksud dari ayat tersebut intinya menyia-nyiakan harta anak yatim, maka
merusak juga haram sama seperti memakan, karena kesamaan dari sisi illat.
Contoh lain Allah ta’ala
berfirman:
فَلا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ
Artinya: “Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"(Qs. al- Isra’: 23).
Dari sisi ibarah bahwa ayat ini
menunjukkan haramnya mengatakan “ah” kepada orangtua, karena itu bagian dari
menyakiti. Dari sisi dilalah haram hukumnya memukul, mencela, memenjarakan,
tidak memberi makan orangtua, karena itu semua lebih menyakitkan lagi dari pada
sekedar mengucapkan “ah”, karena secara bahasa, dapat dipahami larangan
mengatakan “ah” adapun melakukannya lebih dari pada itu (sekedar mengatakan
ah), tentu lebih dilarang. Maka hukum yang didiamkan lebih secara hukum, dari
pada hukum yang diucapkan, karena illatnya lebih kuat.[14]
D. Iqtidho’
al- Nash.
Iqtidho’ al- Nash adalah penunjukan lafazh
terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan
mentakdirkan lafadz yang lain.
Dalalah iqtidha’ terbagi kepada tiga macam:
1. Sesuatu yang wajib di takdirkan (
dimunculkan ) kebenaran suatu ucapan.
Contohnya sabda Rasul:
رفع عن أمتي
الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya: “Dicabut
dari umatku kesalahan dan lupa”
Ibarah
hadits ini mengandung makna bahwa kesalahan dan lupa telah dicabut sehingga
tidak ada lagi lupa dan kesalahan yang terjadi pada umat Muhammad Shallallahu
‘alihi wa sallam, namun kenyataan yang ada bertentangan dengan hadits
tersebut, karena kita masih mendapatkan kejadian itu di masyarakat. Maka
sebenarnya kesalahan dan lupa itu tidak bisa dicabut dari manusia. Oleh karena
itu hadits tersebut wajid ditakdirkan dengan itsmu (dosa ). Maksudnya itsmu
al-khatā’ wa al-nisyān ( dosa kesalahan dan lupa ), agar kalimat tersebut jadi
benar. [15]
2. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan) untuk
kebenaran suatu ungkapan atau kalimat secara akal. Contohnya, firman Allah
ta’ala:
وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ
Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri.”(Qs. Yusuf: 82).
Menurut zahir lafadz ayat tersebut terasa ada yang
kurang, karena tidak mungkin bertanya kepada kampung yang bukan makhluk hidup.
Karena itu perlu dimunculkan suatu kata sehingga ungkapan itu menjadi benar dan
selaras maknanya. Adapun kata yang layak dimunculkan adalah “penduduk” sebelum
kata “kampung”, karena penduduk kampunglah yang ditanya dan dapat memberi
jawaban.[16]
3. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan
(dimunculkan)untuk sahnya suatu ungkapan secara hukum. Contohnya, seperti
perkataanmu bagi orang yang memilki hamba, “kamu merdekakanlah hambamu dariku
dengan seribu rupiah”, maka sesungguhnya ini menunjukkan atas kepemilikannya
terhadap hamba itu, seolah-olah engkau mengatakan “jadikanlah dia milikku
dengan seribu rupiah, kemudian kamu merdekakan dia dariku”, sebab tidak sah memerdekakan
hamba itu kecuali setelah memilikinya.[17]
E. Urutan dilalah.
Bahwa urutan dilalah dilihat dari kekuatan penunjukannya, pertama: ibarah
al- nash, kedua: isyarah al- Nash, ketiga: dilalah al- Nash, keempat: iqtidho’
al- Nash. Yang
pertama lebih kuat dari kedua, kedua lebih kuat dari ketiga dan begitu
seterusnya.
BAB III
A.
Kesimpulan
1. Ibarah al- Nash adalah penunjukan lafadz atas
makna yang diinginkan, yaitu suatu makna yang langsung bisa dipahami, baik itu makna
asli ataupun makna tabi’I (mengikuti). Setiap nash- nash syar’i menunjukkan
pada makna masing- masing, ada makna yang langsung diinginkan dari lafadznya
langsung, yaitu disebut dengan makna asli, tapi ada juga lafadz yang tidak asli
yaitu lafadz tabi’i.
2. Ibarah al- nash adalah penunjukan
lafadz pada selain dari maksud asli (asolatan) ataupun maksud mengikuti
(tab’an). akan tetapi dia memiliki suatu makna yang mana hubungan kalimatnya
memiliki arti. Hal mana, maksud dari suatu lafadz dapat diambil faidahnya lewat
isyarah bukan lewat ibarah.
3. Dilalat al-Nash ialah petunjuk
lafadz atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas
sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang
disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana
pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa
kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan
daya nalar.[18] Imam Syafi’i menganggap
dilalah al- nash ini seperti qiyas jaly, dan Syafi’iyah menamakannya dengan
sebutan mafhum muwafaqah.
4. Iqtidho’ al- Nash adalah
penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri
sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang lain.
[1]
DR.Wahbah al- zuhaili, Al- wajiz fi ushul fiqh, (Damaskus :Darul al-
fikr, 1994), 164
[2]
Zakariya al- anshori, ghoyatul wusul fi syarhi lubbil ushul, juz,I. 7
[3] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu,
2001), 126
[4] Abdul
Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah
al-Islamiyah, 1984), 20.
[5]
Ahmad al- Bukhari, kasyfu al- asrar, juz I, (Beirut Libanon: Dar al-
Kitab al- Araby) 67
[6] Zaky
al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif
Lit-tiba’ah,1965), 363-364.
[7]
Umar at- Tazani, Syarh al- Talwif ala al- Taudih, juz I(mesir: Maktabah
Shobih, 2010), 130
[8] Mohammad
Hasyim Kamali, Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Pustaka Pelajar Offset,
Yogyakarta, 1996,). 163.
[9] Amir
Syarifuddin, op.cit. 13.
[10] Amir
Syarifuddin, op.cit. 140
[11] DR.Wahbah
al- zuhaili, op.cit. 167
[12] Zaky
al-Din Sya’ban, op.cit. 367-368
[13]
DR.Wahbah al- zuhaili, op.cit. 167
[14]
DR.Wahbah al- zuhaili, op.cit. 168
[15] Musthafa
Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf
al-Fuqahā’,(Muassasah al- Risalah, 1982). 136
[16] Abdul
Majid Mahmud Mathlub. Ushūl al-Fiqh al-Islām, 282-283
[17] Musthafa
Sa’id al-Khin,op.cit. 137
loading...
No comments:
Write komentar