Wednesday, November 8, 2017

Penunjukan Dilalah Nash Mazhab Hanafi

   A.    LATAR BELAKANG
Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang tak pernah kering bahkan memiliki deposit yang mampu menyirami setiap perkembangan hukum Islam yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan / mashlahat ummat sepanjang masa. Para ulama Islam sepakat bahwa setiap peristiwa / kejadian, terkait didalamnya ketentuan hukum syari’at. Hukum tersebut sebagan bersumber dari nash al- Qur’an dan as- Sunnah, dan sebagian lagi diketahui melalui dalil-dalil lain yang diakui syara’. Dalil syara’ diluar Al Qur’an dan As Sunnah itu yang amat jelas petunjukknya adalah ijma’ dan qiyas.
Maka dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafadz  nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafadz nash serta begitu pula dengan dalalahnya. Berkenaan dengan cara penunjukan dalalah lafadz nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam penunjukan nash terbagi menjadi 4 yaitu ibarah al- nas, isyarah al- nash, dalalah al- nash, dan iqtida’ al- nash[1].Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya.
B.    RUMUSAN MASALAH
   Bagaimana penunjukan lafadz nash menurut madzhab Hanafi ?

C. TUJUAN MASALAH
Untuk mengetahui penunjukan lafadz nash menurut madzhab Hanafi.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Dilalah Lafadz Nash
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh syiakh islam Zakariya al- Anshori bahwa yang dimaksud dengan dilâlah adalah ;
كـون الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر
Dilâlah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.[2]
Dengan kata lain, dilalah itu ialah penunjukan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.  Dilâlah lafadz  itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukan oleh suatu lafadz  nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَاَحَـلَّ اللهُ الْـبَـيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا
Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(al- Baqarah: 275)
Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba’ itu hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh akal seseorang.Pembahasan tentang dilalah ini sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Menurut Amir Syarifuddin[3], bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilalah.
B.  Penunjukan Lafadz Nash Menurut Madzhab Hanafi
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kumpulan lafadz- lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf[4] adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـدل الـنـظر الصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل ا لـقـطع أو الـظن
Artinya: “Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’i maupun dhanni.”
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dilalah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Menyangkut dilalah lafadz nash ini di kalangan ulama ushul memang terdapat perbedaan. Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukan dilalah lafadz nash itu kepada empat macam, yaitu ‘ibarah nash, isyarah nash, dilalah nash, dan iqtida’ nash.
A.  Ibarah al-Nash.
Berikut beberapa definisi dari ibarah al- Nash:
عــبـارة الـنـص هـي دلالة الـكلآ م عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه, اي المعنى المتبادر فهمه منه, سواء كان مقصوداً أصالة أم تبعاً. فكل نص من نصوص الشرعية أوالقانون له معنى تدل عليه عباراته. وهذا المعنى إما مقصود من الكلام ذاته, وهو المعنى المقصود أصالة, وإما مقصود غير أصلي أو تبعي.
Artinya: “Ibarah al- Nash adalah penunjukan lafadz atas makna yang diinginkan, yaitu suatu makna yang langsung bisa dipahami, baik itu makna asli ataupun makna tabi’I (mengikuti). Setiap nash- nash syar’i menunjukkan pada makna masing- masing, ada makna yang langsung diinginkan dari lafadznya langsung, yaitu disebut dengan makna asli, tapi ada juga lafadz yang tidak asli yaitu lafadz tabi’i.”[5]
Allah ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Qs. Al- Baqarah: 275)
Ayat diatas memiliki makna asli yaitu adanya perbedaan antara jual beli dengan riba. Karena ayat tersebut turun untuk membantah orang- orang jahiliyah yahudi yang mengatakan bahwa “ jual beli seperti riba”, namun ayat tersebut juga memiliki maksud lain yaitu makna mengikuti (tab’an), yaitu bolehnya jual beli dan haramnya riba.
Contoh lain Allah ta’ala berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”(Qs. An- Nisa’: 3)
Dalam ayat, ini adapun yang dimaksud dengan makna asli adalah batasan kebolehan menikahi wanita yaitu empat orang. Karena ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang mengurus harta anak yatim, sementara mereka takut akan jatuh dalam kedholiman memakan harta anak yatim. Adapun maksud mengikuti (tab’an) yaitu bolehnya nikah lebih dari satu. Maka dapat kita simpulkan bahwa kebanyakan dari dalil baik dalam al-quran dan sunnah yang menunjukkan suatu hukum dapat diambil lewat ibarah al- nash. Seperti firman Allah ta’ala:
..أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya: “Penuhilah akad-akad itu.”(Qs. al- Maidah: 1).
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam:
البيعان بالخيار مالم يتفرق
Artinya: “Dua orang yang jual beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah.(Hr. Bukhari)
Adapun hukum ibarah al- nash hukumnya adalah qot’i, jika memang tidak ada penjelasan dari nash lain. Jika misalnya lafadz ‘am masuk didalamnya takhsis (pengkhususan), maka berubahlah hukumnya menjadi dzonny.
B.  Isyarah al- Nash
Yang dimaksud dengan Isyara al-Nash ialah ;

هـى الـدلالـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلام لا فـاد تـه.
Artinya: “Isyarah al-Nash ialah penunjukkan lafadz atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafadz nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu”[6].
Defenisi lainnya:
هي دلالة الكلام على معنى غير مقصود أصالة ولا تبعا, ولكنة لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته. وتكون دلالة النص بالإشارة لا بالعبارة
Artinya: “Yaitu penunjukan lafadz pada selain dari maksud asli (asolatan) ataupun maksud mengikuti (tab’an). akan tetapi dia memiliki suatu makna yang mana hubungan kalimatnya memiliki arti. Hal mana, maksud dari suatu lafadz dapat diambil faidahnya lewat isyarah bukan lewat ibarah[7]”.
Yang dimaksud dengan makna yang dipahami dari lafadz-lafadz, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami dari lafadznya. Jadi ia adalah makna yang ditunjuki oleh lafadz melalui cara iltizam. Karena ia adalah makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, segi kelazimannya terkadang jelas, dan terkadang pula tersembunyi. Oleh karena inilah mereka berkata : “Sesungguhnya sesuatu yang diisyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya membutuhkan penalaran yang mendetail dan pemikiran yang berlebih. Terkadang pula ia dapat dipahami dengan pemikiran yang sederhana. Jadi dalalah isyarat adalah dalalah nash terhadap makna yang lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ibaratnya, namun tidak dimaksudkan dari susunannya, pemahamannya membutuhkan perenungan yang berlebih atau sederhana, sesuai dengan jelasnya segi kelaziman ketersembunyiannya. Kekuatan isyarah nash sama dengan ibarah nash dimana keduanya merupakan dasar dari kewajiban, kecuali ada dalil yang menghendaki sebaliknya.[8]
Contohnya Allah taala berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu”. (Qs. al- Baqarah: 187)

Dapat ditarik suatu makna dari sisi ibarah, bahwa bolehnya berhubungan dengan istri pada malam hari sampai terbit fajar. Tapi kalau ditarik makna dari sisi isyarah yaitu bolehnya junub pada siang romadhon. Karena bolehnya berhubungan sampai fajar, otomatis seseorang ketika dia berhubungan berakhir sampai fajar maka dia masih dalam keadaan junub.
Contoh lain Allah taala berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (Qs. al- Baqarah: 233)

Secara ibarah Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam ayat ini.Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang  berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah”. Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarah” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafadz nash.[9]
Contoh lain Allah taala berfirman:
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
Artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Qs. al- Ahqaf: 15)

Ayat ini menunjukkan dari sisi ibarah betapa lebih mulia ibu dalam mengasuh anaknya, adapun dari sisi pendekatan isyarah bahwa minimal seorang wanita mengandung anaknya adalah enam bulan. Karena lamanya wanita menyusui sampai menyapih anaknya adalah dua tahun. Maka sisa dari dua tahun dalam 30 bulan adalah enam bulan.
Sebagaimana firman Allah taala:
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
Artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun” (Qs. Luqman: 14)

Contoh lainnya Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Qs. al- Baqarah: 187).
Ayat tersebut menurut ibarah mangandung arti bolehnya makan dan minum serta hubungan kelamin sepanjang malam. Disamping itu, isyarah ayat tersebut mengandung beberapa maksud antara lain:
1.    Seseorang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub, (sudah berhubungan kelamin tapi belum mandi) sah puasanya hari itu, karena sebelum ayat itu ada firman allah ta’ala: ثم أتموا الصيام الى الليل  yang mengandung arti bahwa bila hubungan kelamin dilakukan diakhir waktu malam, maka mandinya dilakukan setelah setelah terbit fajar. Hal ini berarti ia dalam keadaan junub (berhadas besar).

2.    Niat puasa yang dilakukan sesudah terbit fajar adalah sah karena lafadz tsumma adalah untuk maksud “akibat” yang dilakukan kemudian. Bila disuruh melakukan puasa sesudah terbit fajar yang dilakukan dengan niat dan menahan diri, maka dapat diketahui sahnya niat sesudah fajar.
3.    Rukun puasa itu adalah menahan dari tuntutan dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, karena perbuatan- perbuatan  tersebut hanya boleh dilakukan sebelum terbit fajar. Hal ini mengandung arti bahwa semua yang disebut sebelum terbit fajar menjadi terlarang, artinya menahan diri dari semua itu.[10]
Jika ibarah dan isyarah berlawanan, maka didahulukan hukum ibarah daripada isyarah karena yang pertama lebih kuat. Seperti mendahulukan qisas bagi pembunuh secara sengaja, sebagaimana disebutkan dalam ayat: diwajibkan atas kalian qisas.(Qs. al- Baqarah: 178). Dengan tidak menjalankan qisas dengan alasan balasan nanti diakhirat yaitu dengan menggunakan pendekatan isyarah dalam ayat: maka orang yang membunuh dengan sengaja balasannya adalah neraka jahannam.(Qs. al- Nisa’: 93).
Adapun isyarah sama seperti ibarah memiliki hukum qot’i kecuali ada yang memalingkannya kepada dzony. Seperti ijma’ ulama bahwa seorang anak mengikuti ibunya baik dalam keadaan hamba sahaya ataupun merdeka, meski ayat berbicara anak dinasabkan kepada bapaknya. Namun ini kekhususan terhadap surat al- Baqarah: 233.[11]
C.  Dilalah al- Nash.
Dilalat al-Nash ini disebut juga dengan dilalat al-dilalat. Adapun yang dimaksud dengan dilalat al-dilalat adalah
دلالـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـر و اجـتـهـا د
Artinya: “Dilalat al-Nash ialah petunjuk lafadz atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.[12] Imam Syafi’i menganggap dilalah al- nash ini seperti qiyas jaly, dan Syafi’iyah menamakannya dengan sebutan mafhum muwafaqah.[13]
Contoh kesamaan dalam illatnya, Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara lalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an- Nisa’: 10).
Dari sisi ibarah ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara zolim, tapi kalau dilihat dari sisi dilalah al- nash bahwa ayat ini menunjukkan haramnya merusak barang anak yatim seperti dibakar atau dibuang. Nah setiap orang mesti memahami dari sisi bahasa bahwa maksud dari ayat tersebut intinya menyia-nyiakan harta anak yatim, maka merusak juga haram sama seperti memakan, karena kesamaan dari sisi illat.
Contoh lain Allah ta’ala berfirman:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"(Qs. al- Isra’: 23).

Dari sisi ibarah bahwa ayat ini menunjukkan haramnya mengatakan “ah” kepada orangtua, karena itu bagian dari menyakiti. Dari sisi dilalah haram hukumnya memukul, mencela, memenjarakan, tidak memberi makan orangtua, karena itu semua lebih menyakitkan lagi dari pada sekedar mengucapkan “ah”, karena secara bahasa, dapat dipahami larangan mengatakan “ah” adapun melakukannya lebih dari pada itu (sekedar mengatakan ah), tentu lebih dilarang. Maka hukum yang didiamkan lebih secara hukum, dari pada hukum yang diucapkan, karena illatnya lebih kuat.[14]
D.  Iqtidho’ al- Nash.
Iqtidho’ al- Nash adalah penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang lain.
Dalalah iqtidha’ terbagi kepada tiga macam:
1.    Sesuatu yang wajib di takdirkan ( dimunculkan ) kebenaran suatu ucapan.
Contohnya sabda Rasul:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya: “Dicabut dari umatku kesalahan dan lupa
            Ibarah hadits ini mengandung makna bahwa kesalahan dan lupa telah dicabut sehingga tidak ada lagi lupa dan kesalahan yang terjadi pada umat Muhammad Shallallahu ‘alihi wa sallam, namun kenyataan yang ada bertentangan dengan hadits tersebut, karena kita masih mendapatkan kejadian itu di masyarakat. Maka sebenarnya kesalahan dan lupa itu tidak bisa dicabut dari manusia. Oleh karena itu hadits tersebut wajid ditakdirkan dengan itsmu (dosa ). Maksudnya itsmu al-khatā’ wa al-nisyān ( dosa kesalahan dan lupa ), agar kalimat tersebut jadi benar. [15]
2. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat secara akal. Contohnya, firman Allah ta’ala:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ
Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri.”(Qs. Yusuf: 82).
Menurut zahir lafadz ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena tidak mungkin bertanya kepada kampung yang bukan makhluk hidup. Karena itu perlu dimunculkan suatu kata sehingga ungkapan itu menjadi benar dan selaras maknanya. Adapun kata yang layak dimunculkan adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, karena penduduk kampunglah yang ditanya dan dapat memberi jawaban.[16]
3. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan)untuk sahnya suatu ungkapan secara hukum. Contohnya, seperti perkataanmu bagi orang yang memilki hamba, “kamu merdekakanlah hambamu dariku dengan seribu rupiah”, maka sesungguhnya ini menunjukkan atas kepemilikannya terhadap hamba itu, seolah-olah engkau mengatakan “jadikanlah dia milikku dengan seribu rupiah, kemudian kamu merdekakan dia dariku”, sebab tidak sah memerdekakan hamba itu kecuali setelah memilikinya.[17]
E.  Urutan dilalah.
Bahwa urutan dilalah dilihat dari kekuatan penunjukannya, pertama: ibarah al- nash, kedua: isyarah al- Nash, ketiga: dilalah al- Nash, keempat: iqtidho’ al- Nash. Yang pertama lebih kuat dari kedua, kedua lebih kuat dari ketiga dan begitu seterusnya.
BAB III
A.  Kesimpulan
1.    Ibarah al- Nash adalah penunjukan lafadz atas makna yang diinginkan, yaitu suatu makna yang langsung bisa dipahami, baik itu makna asli ataupun makna tabi’I (mengikuti). Setiap nash- nash syar’i menunjukkan pada makna masing- masing, ada makna yang langsung diinginkan dari lafadznya langsung, yaitu disebut dengan makna asli, tapi ada juga lafadz yang tidak asli yaitu lafadz tabi’i.
2.    Ibarah al- nash adalah penunjukan lafadz pada selain dari maksud asli (asolatan) ataupun maksud mengikuti (tab’an). akan tetapi dia memiliki suatu makna yang mana hubungan kalimatnya memiliki arti. Hal mana, maksud dari suatu lafadz dapat diambil faidahnya lewat isyarah bukan lewat ibarah.
3.    Dilalat al-Nash ialah petunjuk lafadz atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.[18] Imam Syafi’i menganggap dilalah al- nash ini seperti qiyas jaly, dan Syafi’iyah menamakannya dengan sebutan mafhum muwafaqah.
4.    Iqtidho’ al- Nash adalah penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang lain.




[1] DR.Wahbah al- zuhaili, Al- wajiz fi ushul fiqh, (Damaskus :Darul al- fikr, 1994), 164
[2] Zakariya al- anshori, ghoyatul wusul fi syarhi lubbil ushul, juz,I. 7
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001), 126
[4] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1984), 20.
[5] Ahmad al- Bukhari, kasyfu al- asrar, juz I, (Beirut Libanon: Dar al- Kitab al- Araby) 67
[6] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965), 363-364.
[7] Umar at- Tazani, Syarh al- Talwif ala al- Taudih, juz I(mesir: Maktabah Shobih, 2010), 130
[8] Mohammad Hasyim Kamali, Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996,). 163.
[9] Amir Syarifuddin, op.cit. 13.
[10] Amir Syarifuddin, op.cit. 140
[11] DR.Wahbah al- zuhaili, op.cit. 167
[12] Zaky al-Din Sya’ban, op.cit. 367-368
[13] DR.Wahbah al- zuhaili, op.cit. 167
[14] DR.Wahbah al- zuhaili, op.cit. 168
[15] Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilāf fi al-Qawā’id al-Ushūliyah fiikhtilaf al-Fuqahā’,(Muassasah al- Risalah, 1982). 136
[16] Abdul Majid Mahmud Mathlub. Ushūl al-Fiqh al-Islām, 282-283
[17] Musthafa Sa’id al-Khin,op.cit. 137

[18] Zaky al-Din Sya’ban, op.cit. 367-368
gambar dari google

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...