Sunday, November 5, 2017

PEMIKIRAN IMAM IZZUDDIN TENTANG BIDAH



PEMIKIRAN IMAM  Al-'IZZUDDÎN TENTANG BID’AH
A.  Riwayat hidup Imam al-‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm
Uraian dalam bab ini dimaksudkan untuk menggambarkan latar belakang umum pemikiran Imam al-‘Izzuddîn, sehingga terlihat faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhinya dalam merekonstruksi pemikiran hukum Islam. Imam al-’Izzuddîn adalah pemikir muslim abad ke-6 H./12 M. dari Damaskus kemudian pindah ke Mesir
1.    Nama, nasab, kunyah dan laqab
Nama lengkapnya adalah: Abdul Aziz bin Abu al-Qâsim bin Hasan bin Muhammad bin Muhazzab. Nama ini didasarkan kepada kesepakatan Ulama dan kumpulan sumber-sumber yang dipegangi.
Nasabnya adalah al-Sulami, al-Maghribiy, al-Dimasyqyi, al-Mishriy, asy-Syâfi’iy. As-Sulami yang dinisbahkan kepada bani Sulaim, salah satu kabilah terkenal dari kabilah-kabilah Madhâr. Al-Magribiy yang asli: artinya asalnya kembali ke wilayah arab barat. Ad-Dimasyqiy: dinisbahkan ke wilayah Damaskus, karena ia lahir disana. Asy-Syâfi’iy: dinisbahkan kepada Mazhab Syâfi’iy karena ia mendalami Mazhab asy-Syâfi’yi, mempelajarinya, serta mengeluarkan fatwa berdasarkan pemahaman tersebut, juga mengarang kitab-kitab fikih dengan Mazhab ini.[1]
Adapun kunyahnya adalah Abu Muhammad serta laqabnya ialah Al-’Izzuddîn, yang berlaku menurut kebiasaan masa itu di mana gelar-gelar tersebar secara umum bagi para khalifah, raja, umara’, dan ulama. Penisbahan pada agama (ad-Din) secara khusus sebagai bentuk pendekatan kepada Allah, kecintaan dan afiliasi kepadanya, mengharapkan keutamaannya, keinginan berkhidmat kepadanya dan merasa bangga dengannya, karena kedudukan agama dalam jiwa manusia dan perhatian mereka kepadanya. Jadi gelar Syeikh dengan Al-’Izzuddîn, dan membatasi kepada al-Izz (kebanggaan), adalah penamaan yang umum dipergunakan banyak orang, dan dalam kitab-kitab sejarah, biografi, dan fikih.
Imam Al-'Izzuddîn juga masyhur dengan gelar keduanya, Sulthan al-Ulama`. Muridnya yang pertama, Ibnu Daqîq al-Id, menggelarinya dengan hal ini. Alasan penamaan ini bahwa ini lebih menegaskan kedudukan ulama, dan meninggikan nama mereka di masanya. Hal itu terbetuk dalam berbagai sikapnya dalam pengingkarannya terhadap pemerintah, penguasa, dan umara`, karena sebagian prilaku mereka yang menyimpang. Dia membantah mereka dengan hujjah dan penjelasan, lalu mengalahkan mereka..[2]
2.    Kelahiran Imam al-'Izzuddîn
Ada yang meriwayatkan, pada 577 H. Ada yang mengatakan, pada 578 H. Namun yang pertamalah yang lebih kuat, karena dia wafat pada usia 83 tahun. Sedangkan wafatnya disepakati pada 660 H. Kelahirannya di Damaskus berdasarkan kesepakatan berbagai sumber.[3]

3.    Riwayat perkembangan hidup
Ia adalah Abdul Aziz bin Abdissalâm bin Abi Al-Qasim bin Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab, bergelar Al-’Izzuddîn (kemuliaan agama). Masyarakat pada masa itu memanggilnya dengan Abu Muhammad. Ia dilahirkan di Damaskus.
Imam Al-’Izzuddîn Ibnu Abdissalâm dilahirkan dari keluarga miskin dan dari keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang didapat mengenai kehidupan masa kecil beliau dan sejarah nenek moyang beliau, karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang terpandang, atau pemimpin pemeritahan. Syaikh Ibnu As-Subki mengisahkan, bahwa pada masa awal hidupnya Imam Al-’Izzuddîn sangat faqir, karena itulah beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia lanjut.[4]
Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun beliau sangat bersemangat menghafalkan kitab dan giat belajar, dan secara berkala mengaji pada para ulama’ besar pada masa beliau, semua itu beliau lakukan untuk menebus masa kecil beliau yang tak sempat mengenyam pendidikan karena keadan keluarga beliau yang miskin.
Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa dilihat dari sikap beliau yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum menyelesaikannya. Dikisahkan bahwa suatu ketika guru beliau berkata; “Engkau sudah tidak membutuhkan apa-apa dariku lagi”, namun Imam al-’Izzuddîn tetap saja mengaji dengan tekun kepada sang guru dan mengikuti pelajaran sang guru hingga selesai kajian kitab yang diajarkan.
Ketekunan beliau juga dituunjukkan dengan jarangnya tidur pada malam hari, beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun beliau tidak tidur sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu lingkunagn dimana beliau tinggal, yaitu Damaskus pada waktu itu adalah kawasannya para ulama’, daerah yang dipenuhi ulama’-ulama’ yang masyhur dalam berbagai ilmu.[5]
Gelar al-’Izzuddîn diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap khalifah, sultan, pejabat, terlebih lagi para ulama diberi tambahan gelar pada namanya. Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih dikenal dengan nama Izzuddîn bin Abdussalâm atau Al-Izz bin Abdussalâm.
Ia juga digelari Sulthân Al-Ulama` (raja para ulama) oleh muridnya, Ibnu Daqîq Al-id. Ini sebagai legitimasi atas kerja keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya. Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. 
Selama beberapa tahun ia menjabat qadhi di kota Damaskus. Namun, karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu, beliau hijrah menuju Mesir. Ia akhirnya bermukim di kota Kairo. Najmuddin Ayyub, penguasa kota saat itu, menyambut kedatangannya. Ia kemudian ditasbihkan sebagai khatib masjid Jami’ Amr bin Al-Ash dan Qadhi di Kairo. [6]
4.    Wafat Imam al-'Izzuddîn
Syaikh al-Izz wafat pada jumadil Ula 660 H./1262 M. Berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah. Diceritakan bahwa seorang datang kepadanya seraya mengatakan, “ aku melihatmu dalam mimpi sedang bersenandung,
   Aku seperti memiliki dua kaki: satunya normal
   Dan satunya terpanah zaman lalu putus.”
Dia pun diam sesaat, kemudian mengatakan, “ aku akan hidup 83 tahun. Karena syair ini bagi katsir adalah kebanggaan, sedangkan tidak ada penisbatan antara diriku dengannya kecuali umur, aku Sunni sedangkan dia Syi’i, aku bukan pendek sedangkan ia pendek, aku bukan penyair sedangkan ia penyair, dan aku bermarga sulami sedangkan ia bukan bermarga sulami. Tetapi dia hidup dalam usia ini.” Ibnu Subki mengatakan, “ternyata perkaranya sebagaimana yang dia katakan.”
Al-Hâfiz ad-Dimyahti mengatakan, “dia wafat pada hari sabtu, pada tanggal sembilan Jumadil Ula, tetapi wafatnya masyhur pada tanggal 10; karena dia dimakamkan pada tanggal; tersebut menjelang Zhuhur di akhir Qarafah, pada Shaf al-Muqaththim dariu arah al-Barakah. Hari penguburannya disaksikan banyak orang. Jenazahnya dihadiri baik oleh masyarakat terpelajar dan masyarakat umum dari penduduk Mesir dan Kairo. Jenazah ini diiringi oleh banyak orang yang tidak terhitung banyaknya. Sementara jenazahnya dishalatkan oleh Raja Mesir dan Syam, azh-Zhahir Bibars. Azh-Zhahir Bibars bersedih atas kematian al-Izz ditengah masa pemerintahannya, seraya mengatakan, “la ilaha illallah. Wafatnya Syaikh hanyalah bertepatan di pemerintahanku.” Para umara`, orang-orang dekat, dan pasukannya datang untuk melayat jenazahnya. Dia ikut memikul kerandanya dan ikut menguburnya.[7]
B.  Aktifitas ilmiyah Imam al-'Izzuddîn
Al-'Izzuddîn Ibn Abdussalâm adalah seorang ulama` fiqih yang berani menjadi tokoh panutan bagi ulamalainnya pada zamannya. Apabila ia melihat kemungkaran, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, ia berani langsug menyampaikan dan mengkritiknya.
Setelah menimba ilmu dalam berbagai bidang ilmu (seperti tafsir, hadist, fiqih dan ushul fiqih) di Damaskus (Suriah), ia pindah ke Mesir. (1174-1250). Kedatangan Izzuddîn disambut dengan baik oleh pemerintah. Ia kemudian ditunjuk langsung oleh pemerintah untuk menjadi khatib tetap di  Masjid  Amr  biAs  di  Cairo.  Setelah  itu,  ia  diangkat sebagai qâdhi al-qudât (setingkat ketua MA), untuk daerah Mesir dan sekitarnya.
Sebagai seorang qâdhi (hakim), ia dikenal karena keadilan, kebijaksanaan, dan keberaniannymengemukakan kebenaran sesuai dengan keyakinannya. Suatu ketika seorang guru tetap kerajaan membangun rumah di atas masjid. Al-'Izzuddîn sebagai qâdhi al-qudât marah dan langsung meruntuhkan bangunan tersebut. Akan tetapi, atas tindakan ini ia diberhentikan oleh pemerintah dari jabatannya.
Dinasti Mamluk pada saat itu mengambil suatu kebijakan yakni pemungutan pajak dari seluruh rakyat untuk biaya pertahanan Mesir dan Syam (Suriah) dari serangan bangsa Mongol. Ulama`  Syam  tidak  menerima  kebijakan  tersebut  kerena, menurut pandangan mereka. Dinasti Mamluk terdiri atas budak-budak yang belum merdeka. Orang yang berstatus budatidaberhamemimpidamemungut  pajadari orang-orang merdeka. Akhirnya pihak penguasa meminta kepada al-’Izzuddîn untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, al-’Izzuddîn meminta kepada penguasa Mamluk agar setiap pejabat membayar sejumlah uang ke baitul mal (kas negara) sebagai tebusan atas kemerdekaamereka.  Dengademikian  Dinasti  Mamluk tidak lagi berstatus budak. Permintaan al-’Izzuddîn tersebut dengan segera dipenuhi oleh penguasa Mamluk. Cara penyelesaian inipun dapat diterima oleh ulama Syam. Dengan demikian, pemerintah Mamluk berhasil memungut pajak dari rakyat untuk mempertahankan negara dari serangan bangsa Mongol.
Berdasarkan  kasus  di atas,  menurut  Tagri  Bardi  (sejarawan Mesir), terlihat kepiawaian al-’Izzuddîn dalam menyelesaikan berbagi masalah yang timbul di zamanya, baik yang menyangkut masyarakat maupun pihak penguasa. Atas dasar kebijaksanaanya itulah  al-’Izzuddîn disegani oleh  ulama sezamannya baik yang ada di Mesir dan yang ada di Syam, setelah berhenti dari jabatan qadhi al-Qudhat al-'Izzuddîn tetap muncul sebagai pemberani yang berusaha meluruskan kekeliruan yang dilakukan oleh para penguasa ketika itu. Para penguasapun tidak berani menindaknya karena ia memilki banyak pengikut dan disayangi serta disegani oleh rakyat Mesir. Pihak pemerintah kemudian membangun sebuah sekolah yang diberi nama madrasah as-Shalihiyyah di Kairo dan al-’Izzuddîn ditunjuk untuk memimpin dan mengelola madrasah tersebut. Banyak murid datang ke sekolah tersebut untuk menimba ilmu darinya. Murid-muridnya yang banyak itu tidak hanya datang dari Mesir, tetapi juga dari Syam dan daerah sekitarnya. [8]
a. Gurunya: 
Ia belajar fikih kepada Syaikh Fahkruddin bin Asakir, belajar ushul dari Syaikh Saifuddin Al-Amidi dan juga yang lainnya, belajar hadits dari Al-Hafizh Abu Muhammad  Al-Qasim dan Al-Hafizh Al-Kabir Abu Al-Qasim bin Asakir. Ia juga menimba ilmu dari Barakat bin Ibrahim Al-Khusyu’I, Al-Qadhi Abdusshamad bin Muhammad Al-Harastani, dan lain-lain.[9]
1.      Fakhruddin bin ‘Asakir
Nama asliny aadalah Abu Manshur ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Hasan bin Habbatillah ad-Dimasyqi, diberi gelar dengan Fakhruddin, terkenal dengan panggilan Ibnu ‘Asakir. Ia merupakan seorang guru bermazhab Syâfi’iyyah yang berada di Syam. Ia merupakan seorang yang ahli fikih (faqih) di zamannya, juga merupakan seorang Muhaddits, dan memiliki akhlak mulia, serta memiliki keyakinan serta keteguhan dalam menegakkan kebenaran ditandai dengan tidak diam tatkala terjadi kemungkaran atau penyelewangan dalam syariat. Dia wafat pada tahun 620 hijriyah
Dari syeikh Fakhruddin bin ‘Asakir ini, al-'Izzuddîn mempelajari banyak hal. Ia mempelajari fikih serta hadis serta memberikan pengaruh yang besar dalam perkembangan keilmuan, akhlak dan tingkah laku.[10]
2.      Jamaluddin al-Harastani
Nama aslinya adalah ‘Abdu ash-Shamad bin Muhammad bin Abi al-Fadhal bin ‘Ali, Qadhi al-Qudhah, Jamal ad-Din, AbuQasim al-Khazraji al-Anshari, ad-Dimasyqi, terkenal dengan panggilan Ibnu Harastani, merupakan seorang hakim di Damaskus.
Pujian ulama terhadapnya adalah bahwasanya ia merupakan seorang yang shaleh, ‘Alim, Zuhud, ‘Adil, dan keutamaannya adalah beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaa’ah di Damskus kecuali tatkala sakit, dan merupakan hakim yang paling adil dan paling kuat berpegang kepada kebenaran, wafat tahun 614 Hijiriyah. Al-'Izzuddîn mepelajari hadis dan fikih kepadanya.[11]
3.      Saifuddin al-Amidi
Namanya adalah ‘Ali bin Abi ‘Ali bin Muhammad bin Salim at-Taglabi, Abu al-Hasan, ahli Fikih Mazhab Syâfi’iy, dan ia merupakan ahli Ushul. Ia mempelajari fikih di baghdad dan bermazhab Hanbali mulanya, kemudian pindah ke Mazhab Syâfi’iy. Ia belajar di Syam dan Kairo. Wafat tahun 631 Hijriyah. Al-'Izzuddîn mempelajari Ushul Fikih kepadanya karena ia mahir dengan ushul fikih dan mengarang kitab yang menjadi rujukan pada pembahasan ushul fikih dengan judul al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.[12]
4.      Qasim bin Asakir
Ia adalah al-Qâsim bin ‘Ali bin al-Hasan bin Habbatullah, al-Hâfiz Abu Muhammad bin al-Hâfiz abi al-Qâsim bin ‘Asakir, Baha`u ad-Din. Wafat tahun 600 hijriyah di Damaskus. Al-'Izzuddîn menerima hadis darinya dan memberikan dampak yang besar pada metode dan prilakunya.[13]
5.      Khusyu’î
 Ia adalah Barakat bin Ibrahim bin Thâhir al-Khusyu’i. Para ahli sejarah tidak sepakat dalam menentukan kapan wafatnya. Ibnu Katsir menyampaikan bahwasanya wafat tahun 597 Hijriyah, sementara Ibnu Tagri Bardi menyatakan tahun 598 Hijriyah. Dari al-Khusyu’i ini Al-'Izzuddîn mempelajari banyak ilmu dan pelajaran serta mendengarkan hadis.[14]
6.      Abdul Latif al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Lathif bin Isma’il bin Abi Sa’id as-Shufi, Abu al-Hasan, terkenal dengan nama Syeikh as-Syuyukh, digelari dengan Dhiya`u ad-Din. Wafat tahun 596 Hijriyah dan al-'Izzuddîn mempalajari hadis darinya.[15]
7.      Umar bin Thabarzadi
Nama lengkapnya adalah Umar bin Muhammad bin Mu’ammar bin Yahya bin Hassan, Abu Hafas, terkenal dengan ibn Thabarzadi. Ia wafat di Baghdad dengan usia 97 tahun pada 607 Hijriyah. Al-'Izzuddîn mempelajari hadis darinya.[16]
8.      Hanbal ar-Rushafi
Nama lengkapnya adalah Hanbal bin Abdullah bin al-Farj bin Su’adah, Abu ‘Ali ar-Rushafi, bermazhab Hanbali. Ia merupakan pembesar di Universitas al-Mahdi di Rushafah. Ia merupakan seorang rawi yang bersambung sanadnya kepada Abdullah terus ayahnya Ahmad. Wafat di Baghdad dengan usia 90 tahun pada 604 Hijriyah. Al-'Izzuddîn merupakan salah seorang yang mempelajari hadis darinya.
Itulah di antara beberapa guru yang memilki peranan penting dan yang al-'Izzuddîn ambil ilmu dari mereka. Namun dalam bebrbagai buku-buku sejarah menyatakan bahwa gurunya jauh lebih banyak. Al-'Izzuddîn tidak hanya menimba ilmu dari para guru yang ada di Damaskus, melainkan juga yang berada di Baghdad. Setelah hijrahnya ke Mesir pun ia juga bergiat belajar dengan para Ulama Mesir.[17]


b. Muridnya:
Imam As-Subki juga menyebut sebagian murid-murid Imam al-’Izzuddîn di antaranya: Ibnu Daqîq Al-Id, Imam Alaudin abu al-Hasan al-Baji, Abu Muhammad Ad-Dimyathi, Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad bin Yusuf bin Masdi, Allamah Ahmad Abu al-Abbas ad-Disynawi, dan Allamah Abu Muhammad Jibatullah al-Qafthi dan selain mereka.[18]
Penulis menemukan beberapa murid yang terkenal yang pernah belajar dengan Imam al-'Izzuddîn, di antaranya:
1.    Ibrahim bin ‘Abdul Aziz bin Abdi as-Salam
Ia adalah anak dari al-'Izzuddîn bin Abdis Salam, kunyah yang diberikan kepadanya adalah Abu Ishaq. Lahir tahun 611 Hijriyah. Ia belajar langsung kepada ayahnya. Tidak banyak sejarah yang mengungkapkan sejarahnya. Ia wafat tahun 686 Hijriyah.[19]
2.    Abdul Lathif Bin Abdul Aziz bin Abdi as-Salam
Ia merupakan anak dari al-'Izzuddîn bin Abdis Salam, ia lahir tahun 628 Hijriyah. Ia mempelajari ilmu fiqih dari ayahnya. Ia wafat di Kairo pada tahun 695 Hijriyah.[20]
3.    Ibnu Daqîq al-‘Abid
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Ali bin Wahab bin Muthi’, al-Qasyiri, al-Manfaluthi al-Mishri, Abu al-Fatah, Taqiyuddin, terkenal dengan panggilan Ibnu Daqîq al-‘Abid, merupakan seorang hakim, ahli fikih, dan ahli ushul. Pada awalnya ia mendalami Mazhab Maliki dan menyempurnakannya kemudian pindah kepada Mazhab Syâfi’iy dan mendalaminya dengan baik, kemudian berfatwa dan membaginya kepada dua Mazhab. Ia mempelajari ilmu ushul dan furu’ kepada Al-'Izzuddîn di Syam dan di Mesir. Ia wafat di Kairo pada tahun 702 Hijriyah.
4.    al-Qarafi
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Idris bin Abdu ar-Rahman bin Abdullah ash-Shinhaji al-Bahnasi Syihâb ad-Dîn Abu al-Abbas al-Qarafi. Ia merupakan seorang faqih bermazhab Maliki, ahli Ushul, Mufassir, Muhaddis, dan ilmu yang lainnya. Ia wafat pada tahun 684 Hijriyah di Kairo di desa Badir at-Thin. Ia mengikuti al-'Izzuddîn dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga ia menyerap banyak keilmuan dan terutama dalam pengajaran. Ia juga megarang beberapa buku seperti al-Faruq dalam bidang Qawaid Fiqhiyyah dan buu-buku lainnya.[21]
c. Karya-karyanya
Al-’Izzuddîn Al-Husaini menilai Imam al-‘Izzuddîn bin ‘Abdissalâm sebagai tokoh sentral ilmu pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Adapun menurut ulama lainnya, Imam Al-Izzu adalah Sultanul Ulama dan Syaikhul Ulama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan. Ia termasuk orang yang disebut‚ ilmunya lebih banyak daripada karyanya‛. Di antara karya-karya beliau adalah:

1. Al-Qawâid Al-Kubra
2. Al-Qawâid As-Shughra
3. Ad-Dala`il al-Mutha’alliqah bi al-Mala`ikah wa an-Nabiyyin alaihim as-Salam wa al-Khalq ajma’in
4. Al-Imamah fi Adillatil Ahkâm
5. Al-Fatâwa Al-Misriyah
6. Al-Fatâwa Al-Maushuliyah
7. Majaz Al-Qur’an
8. Syajarah Al-Ma’arif
9. At-Tafsir
10. Al-Ghâyah fi Ikhtishâr An-Nihâyah
11. Mukhtasar Shahih Muslim
12. Mukhtashar Ri’ayah al-Muhasibi
13. Bayan ahwal an-Nas yaum al-Qiyâmah
14. Bidayah as-Sul fi Tafdhil ar-Rasulullah.
15. al-Farq baina al-Imân wa al-Islâm.
16. Fawâ`id al-Bawa wa al-Mihan.
17. al-Jam’ baina al-Hawi wa an-Nihayah, yang diduga belum selesai.[22]
C.  Pandangan ulama terhadap Imam al-'Izzuddîn
Syeikh Syihabuddin Abu Syamah (665 H), salah satu murid syeikh mengatakan, “Dia adalah orang yang paling berhak sebagai khatib dan Imam. Dia menghilangkan banyak bid’ah yang biasa dilakukan para khatib, berupa mengetukkan pedang di atas mimbar dan selainnya. Dia juga melenyapkan shalat Ragha`ib dan shalat Nishfu Sya’ban, serta melarang keduanya.”[23]
  Al-’Izzuddîn al-Husaini mengatakan, “Dia adalah tokoh zamannya dalam keilmuan, menghimpun berbagai disiplin ilmu, ditambah lagi dengan sifat yang telah dikodratkan kepadanya, yaitu tidak memaksakan diri, di samping keteguhan dalam agama. Kemasyhuran tidak membutuhkan penjelasan lagi”.[24]
Adz-Dzahabi mengatakan tentang al-Izz, “ dia telah mencapai tingkat ijtihad, dan kepemimpinan Mazhab berpuncak kepadanya, di samping memiliki zuhud, wara’, menuruh yang makruf, dan mencegah yang mungkar, serta teguh dalam beragama.[25]
Tajuddin as-Subki mengatakan, “Syaikh al-Islam dan kaum muslimin, salah satu Imam terkemuka, sultan ulama, Imam zamannya tanpa ada perselisihan, orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar di zamannya, orang yang mencermati hakikat syariat dan rahasianya, lagi tahu tentang tujuan-tujuannya. Dia tidak melihat orang semisalnya, dan tidak pula orang melihatnya yang pernah melihat orang sepertinya dalam hal ilmu, wara’, melaksanakan kebenaran, keberanian, kekuatan hati, dan kekuatan lidah.”[26]
Allamah Ibnu Katsîr mengatakan, “ Dia adalah Syeikh Mazhab, orang yang berguna bagi pengikutnya, dia memiliki karya-karya yang bagus, menguasai tentang mazhab, menghimpun ilmu yang ilmu yang banyak, dan memberi manfaat kepada para penuntut ilmu. Setelah itu dia mengajar di beberapa sekolahan. Kepemimpinan Mazhab Syâfi’iyyah berpuncak kepadanya, dan dia diminta fatwanya dari berbagai penjuru. Dia adalah orang yang lembut lagi bagus, kerapkali menggunakan syair sebagai pendukungnya.”[27]
Allamah Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan, “Syeikh Al-’Izzuddîn Abu Muhammad Syaikhul Islam, sultan para ulama, mengambil ushul,  mendengar hadis, dan menguasai fikih, ushul dan bahasa arab. Dia tiba di Mesir dan bermukim di sana lebih dari dua puluh tahun, menyebarkan ilmu, menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, bersikap keras terhadap para raja dan orang-orang lebih rendah dari mereka.dia menyampaikan pelajaran tafsir di Mesir, dan dialah orang yang pertama-tama melakukan hal itu. Dia memiliki banyak karya, dan memiliki banyak karomah. Di akhir usianya, dia tidal terikat dengan mazhab. Bahkan, lingkupnya melebar, dan memfatwakan apa yang sejalan dengan ijtihadnya.” [28]
Allamah Fakhruddin Muhammad bin Syâkir al-Katabi mengatakan, “ dia adalah Syaikhul Islam, tokoh yang masih tersisa, Syeikh al-'Izzuddîn. Dia mendengar, bertafaqquh, mengajar, berfatwa, menguasai tentang Mazhab, dan mencapai tingkatan ijtihad. Para penuntut ilmu datang kepadanya dari berbagai negeri, dan para Imam menjadi alumnusnya. Dia memiliki fatwa-fatwa yang lurus, dan dia adala hseorang ahli ibadah, wara’, menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela dalam membela agama.”[29]
Allamah Ibnu Daqîq al-Id, mengatakan, “Ibnu Abdis Salâm adalah salah satu sultan para ulama.”[30] Ia adalah yang pertama menggelarinya dengan gelar ini. Alasannya adalah karena gelar ini lebih menegaskan kedudukan ulama dan meninggikan nama mereka di masanya.
Allamah Jalaluddin al-Isnawiy mengatakan, “Syeikh al-'Izzuddîn adalah Syaikhul Islam, Dalam hal ilmu, amal, wara’, mengarang, murid, menyuruh, yang makruf, mencegah yang mungkar, menghinakan para raja berikut orang-orang yang lebih rendah dari pada mereka, dan berkata-kata tegas. Di samping itu, dia adalah orang yang mampu menyampaikan ceramah dengan bagus dengan humor-humor segar dan syair-syair.”[31]
Allamah al-Yafi’i al-Yamaniy mengatakan, “(Dia adalah) Sulthan para ulama, orang pilihan, orang yang didahulukan pada masanya dibandingkan rekan-rekannya, lautan ilmu dan pengetahuan, orang yang diagungkan di berbagai negeri, memiliki penelitian, kesempurnaan, pengetahuan, dan keyakinan. Dia yang termasuk orang yang dikatakan mengenai mereka,  yaitu ilmu mereka lebih banyak dari karya mereka, bukan termasuk orang-orang yang ungkapan mereka lebih rendah dari pada pemahaman mereka. Kedudukannya, berkenan dengan ilmu-ilmu yang zhahir, setara dengan orang-orang terdahulu pada generasi pertama.”[32]
D.  Pemikiran Imam al-'Izzuddîn tentang bid’ah
Imam al-'Izzuddîn secara tegas memaparkan dalam kitab Qawâid al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm bahwa bid’ah dapat dibagi menjadi lima bagian. Adapun teks yang menjelaskan hal itu terdapat dalam kitab di atas pada jilid ke dua halaman 136 sebagai berikut:
فصل: في البدع
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة، وللبدع الواجبة أمثلة.
أحدها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم، وذلك واجب لأن حفظ الشريعة واجب ولا يتأتى حفظها إلا بمعرفة ذلك، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. المثال الثاني: حفظ غريب الكتاب والسنة من اللغة. المثال الثالث: تدوين أصول الفقه. المثال الرابع: الكلام في الجرح والتعديل لتمييز الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على القدر المتعين، ولا يتأتى حفظ الشريعة إلا بما ذكرناه.
وللبدع المحرمة أمثلة. منها: مذهب القدرية، ومنها مذهب الجبرية، ومنها مذهب المرجئة، ومنها مذهب المجسمة، والرد على هؤلاء من البدع الواجبة.
وللبدع المندوبة أمثلة. منها: إحداث الربط والمدارس وبناء القناطر، ومنها كل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها: صلاة التراويح، ومنها الكلام في دقائق التصوف، ومنها الكلام في الجدل في جمع المحافل للاستدلال على المسائل إذا قصد بذلك وجه الله سبحانه.
وللبدع المكروهة أمثلة. منها: زخرفة المساجد، ومنها تزويق المصاحف، وأما تلحين القرآن بحيث تتغير ألفاظه عن الوضع العربي، فالأصح أنه من البدع المحرمة.
والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك، فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة،ويجعله آخرون من السنن المفعولة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة.

Terjemahan teks
Fasal: tentang bid’ah
            Bid’ah adalah perbuatan apayang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW.
            Dan bid’ah itu terbagi kepada bid’ah yang wajib (wajibah), bid’ah yang haram muharramah), bid’ah yang sunah (mandub), bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang boleh (mubah).
            Dan metode dalam mengetahui itu bahwa dihadapkan bid’ah kepada kaidah-kaidah syari’ah. Jika masuk kedalam kaidah-kaidah ijab (pernyataan) maka ia wajib, jika masuk kepada kaidah-kaidah pengharaman maka ia haram, jika masuk kedalam kaidah-kaidah anjuran maka ia mandub (sunah), jika masuk kedalam kaidah-kaidah makruh maka ia makruh, jika masuk kedalm kaidah-kaidah yang mubah maka ia boleh.
Untuk bid’ah yang wajibah contoh-contohnya:
Yang pertama, sibuk dengan ilmu nahu yang perkataan Allah dipahami dengannya dan juga perkataan Rasulullah, dan itu wajib, karena menjaga syariat itu wajib, dan tidak akan mudah menjaganya kecuali dengan mengetahui itu, dan setiap yang tidak sempurna yang wajib kecuali dengan hal itu maka ia wajib.
Contoh yang kedua: mengahafal/menjaga baha al-Quran dan Sunnah yang sulit dipahami.
Contoh yang ketiga: pembukuan ushul fiqh.
Contoh yang keempat: pembicaran dalam jarh wa ta’dil, untuk membedakan yang sah (sehat/benar) dengan yang sakit.
Dan kaidah-kidah syari’ah sungguh telah menunjukkan kepada pemeliharaan syariat merupakan fardu kifayah terhadap ditambahkan kepada kesanggupan orang tertentu. Dan tidak akan mudah menjag asyariat kecuali dengan apa-apa yang telah kami sebutkan.
Untuk bid’ah muharramah contohnya: di antaranya mazhab qadariyah, mazhab jabariyah, mazhab murjiah, dan mazhab mujassimah. Dan membantah terhadap mereka itu dari bid’ah wajibah.
Untuk bid’ah mandubah contohnya:  di antaranya memperbaharui ikatan dan sekolah-sekolah dan membangun jembatan, dan di antaranya setiap kebaikan yang yang belum terjadi pada periode pertama. Dan juga shalat tarwih, dan pembicaraan pada perincian tasauf, berbicara dalam perdebatan, dan juga menyatukan pertemuan-pertemuan untuk memperoleh dalil dari permasalahan-permasalahan jika dimaksudkan dengan nya itu wajah Allah (ridha Allah)
Dan untuk bid’ah makruhah contonya: ornamen pada mesjid-mesjid, memperindah mushaf-mushaf.
Adapun mengubah (suara) al-Quran dimana mengubah lafaznya dari posisi arabnya, maka yang lebih benar termasuk kedalam bid’ah muharramah.
Dan bid’ah mubahah contoh-contohnya: berjabatan tangan akhir subuh dan ashar, dan juga berlapang-lapang pada yang enak-enak dari makanan-makanan dan minuman-minuman dan pakaian-pakaian dan tempat tinggal, dan menggunakan jubah, memperluas sorban.
Dan sebagian dari itu diperselisihkan, maka sebagian ulama menjadikannya bid’ah-bid’ah yang makruh, dan sebagian yang lain menjadikannya dari Sunah-sunah yang dilakukan pada masa Rasulullah saw dan apa yang setelahnya. Dan hal itu seperti mengucapkan isti’adzah pada shalat dan mengucapkan basmalah di sana.

Dari teks di atas penulis memahami bahwa Pendapat Imam ‘Al-’Izzuddîn ibn ‘Abdis Salâm, ia membagi bid’ah menjadi lima, sebagaimana hukum syara’ yang lima. Jika bid’ah tersebut sesuai dengan kaidah kewajiban suatu perkara, maka bid’ah tersebut dihukumi wajib. Jika bid’ah tersebut sesuai dengan kaidah dimakruhkannya sesuatu, maka ia dihukumi makruh. Demikian juga untuk tiga bagian bid’ah yang tersisa.
Contoh bid’ah yang wajib menurut beliau adalah: (1) menyibukkan diri dengan ilmu nahwu, yang dengan ilmu tersebut bisa dipahami kalamullah dan kalam rasul-Nya; (2) menghafal hal-hal yang gharib secara bahasa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; (3) penyusunan ilmu ushul fiqih; dan (4) pengkajian al-jarh wa at-ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dengan yang tidak shahih.
Contoh bid’ah yang haram adalah: (1) madzhab qadariyyah; (2) madzhab jabariyyah; (3) madzhab murjiah; dan (4) madzhab mujassimah. Dan memberikan bantahan terhadap madzhab-madzhab ini merupakan bid’ah yang wajib.
Contoh bid’ah yang mandub adalah: (1) mendirikan sekolah dan membangun jembatan; (2) shalat tarawih; dan (3) pembahasan terperinci dalam tasawuf.
Contoh bid’ah yang makruh adalah: (1) mendekorasi masjid; dan (2) memperindah mushhaf. Sedangkan melagukan al-Qur’an sampai pelafazannya keluar dari ketentuan bahasa Arab, menurut beliau tidak termasuk bid’ah yang makruh, melainkan bid’ah yang haram.
Dan contoh bid’ah yang mubah adalah: (1) berjabatan tangan setelah shalat shubuh dan ashar; (2) merasakan berbagai kenikmatan dalam makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.
           




[1] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lâm al-Muslimîn, al-Izz bin Abdis Salâm Sulthân al-Ulama’, (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), h 39-41.
[2] Ahmad Syaikhu, Biografi 60 Ulama Ahlussunnah, (terjemahan dari buku karya Syeikh Ahmad Farid dengan judul min A’lam as-Salaf,cet. 1, 1426 H), cet. 1, (Jakarta: Darul Haq, 2012), h.821-822.
[3] Ahmad Syaikhu, Biografi 60........ h. 821.
[4] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah , jil 8, cet. Ke-1, ( Kairo: t.tp, 1964) h. 212.
[5] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h.49.
[6] Zul Anwar Ajim Harahap, Konsep Maqasid al-Syari’ah Sebagai Dasar Penetapan Dan Penerapannya Dalam Hukum Islam Menurut ‘Izzuddin Bin ‘Abd Al-Salam, (Jurnal Tazkir Vol. 9  No. Juli-Desember  2014)
[7] Ahmad Syaikhu, Biografi 60........ h. 835-836
[8] Abdul Aziz dahlanEnsiklopedi Hukum Islam,  Jil. 6, (Jakarta: IchtiarBaru Van Hoeve, 2007), h. 789
[9]  Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ...... h. 209.
[10] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h.57
[11] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ...... h. 196
[12] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 58-59.
[13] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ...... h. 352.
[14] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 60.
[15] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ...... h. 209.
[16] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 61.
[17] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 61-62.
[18]  Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ....... h. 209-210.
[19] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 152.
[20] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ....... h. 312.
[21] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 157-158.
[22]  Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ....... h.247-248.
[23] Ahmad Syaikhu, Biografi 60........ h. 822
[24] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ....... h. 214
[25] Syamsuddin adz-Dzahabi, al-‘Ibar ‘Ala Man Ghabar, jil. 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 260.
[26] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ....... h. 209.
[27] Imaduddin Abul Fida`Ismail bin Umar bin Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, jil.13, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 325.
[28] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 198.
[29] Ahmad Syaikhu, Biografi 60........ h. 824
[30] Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah ....... h. 214
[31] Ahmad Syaikhu, Biografi 60........ h. 824
[32] Muhammad az-Zuhaili, Silsilah A’lam...... h. 196-197.
gambar dari wikipedia

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...