Wednesday, November 8, 2017

HAQIQAH DAN MAJAZ DALAM USHUL FIQH



LAFAZ DITINJAU DARI SEGI PENGGUNAANYA
(HAQIQAH DAN MAJAZ)

A.      Pendahuluan
Secara garis besar metode penemuan hukum Islam itu terdiri atas dua macam, yakni metode yang menkhususkan kajiannya kepada faktor kebahasaan (lughawiyah) atau disebut juga metode lafzhiah. Yang kedua adalah yang memfokuskan kajiannya pada pada tujuan syariat dalam menetapkan hukum, atau biasa juga disebut dengan metode maqashid atau maknawiyah.
Metode lafzhiah atau lughawiyah tersebut didasarkan pada pandangan bahwa sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua sumber ini berbentuk teks atau nash yang berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an dan Hadits secara baik dan benar haruslah berpedoman kepada aturan-aturan bahasa Arab yang ada. Rasulullah sebagai penerima wahyu memberi pedoman kebahasaan yang bersifat khusus untuk memahami teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum syara’.
Pada dasarnya, bahasa Arab menggunakan berbagai bentuk, cara, cakupan, dan tingkatan kejelasan redaksi dalam menyampaikan pesan. Dalam konteks memahami teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum, redaksi/lafal bahasa Arab dapat dilihat  dari lima segi utama, yaitu segi bentuk-bentuk perintah dan larangan, segi tingkat kejelasan maknanya, segi cakupan maknanya, segi tunjukan maknanya, dan segi penggunaannya.
Didalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas lafal ditinjau dari segi penggunaannya, yaitu berupa haqiqah dan majaz. Dan juga yang sekaitan dengannya yaitu sharih dan kinayah, dan bagaimana pemikiran ulama mazhab dalam memahami lafaz dari segi penggunaannya tersebut.
B.       Pembahasan
Ulama ushul fiqih membagi suatu lafazh bila ditinjau dari segi penggunaan atau pemakaiannya menjadi dua macam yaitu hakikat dan majaz. Sedangkan ditinjau dari segi kejelasan maknanya untuk menyampaikan tujuan penggunaan maknanya maka masing-masing lafal hakikat dan majaz dapat dibagi pula kepada sharih dan kinayah.[1]
1.        Pengertian Hakikat.
Haikat dan majaz adalah dua kata dalam bentuk muthadayyifan atau relative term, dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk kedalam salah satu diantaranya.[2]
Ada beberapa rumusan yang dikemukakan ulama tentang pengertian hakikat itu, yakni:
a.         Menurut Ibnu Subki:
هو اللفظ المستعمل فيما وضع له ابتداء
“Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu di tentukan pada mulanya.[3]
b.         Menurut Ibnu Kudamah:
هو اللفظ المستعمل في موضوعه الا صلي
“ Lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula.”[4]
c.         Menurut Wahabah Zuhaili, makna hakikat itu adalah :
هي كل لفظ اريد به ماوضع له في الاصل اشيء معلوم
“Setiap lafaz yang digunakan untuk menunjukkan arti yang semestinya bagi sesuatu yang sudah maklum (lumrah) untuk dipahami.”[5]
d.        Menurut al-Sarkisi:
كل لفظ هو موضوع في الاصل لشيء معلوم
Setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.”[6]
e.         Menurut  al-Utsaimin:
اللفظ المستعمل فيما وضع له
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya.”[7]
Beberapa definisi diatas mengandung pengertian bahwasannya hakikat itu adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menurut asalnya untuk maksud tertentu. Maksudnya lafaz tersebut digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Seperti  kata “kursi”; menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata “kursi“ itu sering pula digunakan untuk pengertian kekuasaan, namun tujuan semula kata “kursi” itu bukan untuk itu, tetapi “tempat duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk sasaran (pengertian) lain dinamai “majaz”.[8] Laafaz itu tidak disifati bahwa ia haqiqah atau majaz kecuali setelah digunakan.[9]
Sebelum lebih jauh menjelaskan perincian lafaz hakikat dan majaz, perlu ditegaskan bahwa suatu lafal tidak dapat dinilai dan diberi predikat sebagai hakikat atau majaz, sebelum digunakan untuk menunjuk suatu pengertian secara terminologis oleh penggunanya. Dengan kata lain, jika suatu komunitas menggunakan suatu lafal sesuai dengan makna terminologis (istilah), maka lafal tersebut diberi predikat “hakikat”. Tetapi jika yang mereka maksud bukan makna terminologisnya, maka lafal tersebut diberi predikat “majaz”. Dalam pada itu, pemberian sifat kepada suatu lafal sebagai hakikat atau majaz, tergantung pula kepada komunitas pengguna lafal tersebut.[10]
2.        Macam-Macam Haqiqah.
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu kepada beberapa bentuk :
a.       Haqiqah Lughawiyyah ( الحقيقة اللغوية)
اللفظ المستعمل فيما وضع له في اللغة
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”[11]
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.
b.      Haqiqah Syar’iyah (  الحقيقة الشرعية) yang ditetapkan oleh syari’ (pembuat hukum) sendiri, yaitu :
هو اللفظ المستعمل في المعنى الموضوع له شرعا
Lafaz yang digunakan untuk makna yang di tentukan untuk itu oleh syara’
Umpamanya lafazh shalat untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang di mulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.[12] Makna shalat yang menurut asal bahasa adalah do’a.
c.       Haqiqah ‘Urfiyah Khashshah ((الحقيقة العرقية الخا صة, yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu :
هو اللفظ المستعمل في معنى عرفي خاص يصطلح عليه جماعة او طاءفة منه
“Lafazh yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.”[13]
d.      Haqiqah “urfiah “ammah(الحقيقة العرقية الخا ص)yang ditetapkan oleh kebiasan yang berlaku secara umum.[14]
هو اللفظ المستعمل في معنى عرفي عام
Lafazh yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum”
Apabila pemindahan makna tersebut disebabkan adanya urf, maka dinamai dengan haqiqah ‘urfiah. Misalnya kata ( دابة ) pada asalnya digunakan untuk menunjukkan arti setiap makhluk yang berjalan di bumi, mencakup manusia dan hewan. Akan tetapi kebiasaan ahli bahasa (‘urf) digunakan untuk hewan yag berkaki empat. Implikasinya makna yang pertama dijauhi.[15]

Adapun manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada hakikat lughowiyyah dan dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat syar’iyyah dan dalam penggunaan ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.[16]
Adapaun mengenai kehujjahan lafal haqiqah, maka ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa suatu lafal harus digunakan dalam makna hakikatnya, baik hakikat bahasa, syara’, maupun urf selama tidak ada indikasi yang mamalingkannya dari makna tersebut.[17]
3.        Pengertian Majaz.
Sedangkan mengenai pengertian Majaz, maka para ulama Ushul memberikan definisi yang beragam, secara bahasa kata majaz diambil dari kata(اجاز الموضوع) yang artinya meninggalkan atau menempuh suatu tempat.[18]  Sedangkan menurut istilah majaz adalam menggunakan suatu kata bukan pada makna asalnya, karena adanya qarinah (indikasi) yang mencegah penggunaan makna asal, disertai adanya hubungan antara kedua makna yang digunakan dan makna asal.[19]
Beberapa ulama ushul merumuskan pengertian majaz itu secara beragam, namun memiliki pengertian yang berdekatan dan saling melengkapi,yaitu[20] :
a.       Al-Sarkhisi memberikan definisi :
اسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غيرما وضع له
“Nama unbtuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan”.
b.      Menurut Ibnu Qudamah :
هو اللظ المستعمل في غير موضوعه على وجه يصح
“Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”.

c.       Definisi Majaz menurut Ibnu Subki :
هو اللظ المستعمل بوضع ثان لعلاقة
“Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
Dari beberapa contoh definisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut yaitu :
a.       Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa;
b.      Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud;
c.       Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu memang ada kaitannya.
Contohnya lafal Asad yang artinya singa, diartikan sebagai orang yang berani.[21]
Contoh lain, umpamanya kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz “kursi” menurut hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada kaitannya yaitu bahwa kekuasaaan itu dilaksanakan dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.[22] Bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal adalah makna majazinya dapat diketahui dengan adanya qarinah atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si pembicara bukan makna haqiqinya, tetapi adalah makna majazinya.[23]
Syekh Utsaimin merumuskan pengertian majaz itu adalah :
اللفظ المستعمل في غير ما وضع له
“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”
Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع له) “bukan pada asal peletakannya” : Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).[24]
Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/penyesuaian), dan ‘Alaqoh bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.[25]
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Diantara hal yang mendorong ke arah itu adalah sebagi berikut :
a.       Karena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqahnya. Oleh karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz (حنفقيق)dalam bahasa Arab yang berarti bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk di ucapkan seseorang, karenanya ia lebih senang untuk menggunakan kata-kata( موت )
b.      Karena buruknya kata haqiqahitu bila digunakan. Seperti kata حراءة dalam bahasa Arab yang menurut haqiqahnya berarti “tempat berak”. Karena buruk dan joroknya kata itu maka , maka digunakan kata lain, yaitu الغائط yang artinya : “tempat yang tenang di belakang rumah”. Dalam bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan pergi untuk “buang berak”, diganti dengan pergi “kebelakang” karena keduanya ada kaitan, yaitu sama-sama kebelakang.
c.       Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah. Umpamanya kata jima’ dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bersetubuh”.
d.      Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balghahnya) seperti menggunakan kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra ketimbang kata “pemberani”.[26]
4.        Macam-Macam Majaz.
Adapun macam-macam majaz, sebagaimana yang disebutkan oleh DR. Wahbah Zuhailiseperti halnya pada haqiqah adalah sebagai berikut :[27]
a.       Majazlughawi yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena adanya qarinah lughawi, atau tuntutan kebahasaan. Seperti menggunakan kata asad (yang artinya macan) digunakan untuk arti : “ laki-laki yang pemberani”
Menurut Utsaimin, Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (استعارة), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani.[28] Isti’arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafaz majaz.[29]
b.      Majaz Syar’i, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena ada qarinah syar’iyah. Seperti menggunakan lafaz shalat (yang arti aslinya adalah do’a) digunakan untuk arti “suatu ibadah yang tertentu”.
c.       Majaz ‘Urfi Khas, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya tuntutan kebiasaan yang tertentu.Seperti menggunakan lafaz الحال yang artinya “berubah” digunakan untuk menentukan keadaan seseorang yang baik ataupun yang buruk.
d.      Majaz ‘Urfi ‘Am, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya kecocokan dan tuntutan kebiasaan yang umum (menyeluruh). Seperti menggunakan lafaz الدابة yang artinya hewan, digunakan untuk arti “orang yang bodoh”.
Sedangkan Profesor Amir Syarifuddin di dalam bukunya menyebutkan bentuk-bentuk majaz itu sebagai berikut :[30]
a.       Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seperti tambahan kata ك yang terdapat dalam firman Allah dalam surat “al-Syura; 11( ليس كمثله شيء).
b.      Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata yang sebenarnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf ayat; 82
واسئل القرية(tanyalah penduduk kampung itu).
c.       Mendahulukan dan membelakangkan, atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah dalam surat dalam surat an-Nisa’ ayat; 11
d.      Meminjam kata lain atau Isti’arah. Yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan (meminjam) kata lain, seperti memberi nama si A yang “pemberani” dengan “singa”.
5.        Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz.
Asal penggunaan kata (menurut prinsipnya) adalah menurut hakikatnya dan tidak beralih kepada penggunaan majaz, kecuali dalam keadaan yang terpaksa. Suatu kata baru dapat diketahui keadaannya sebagai majaz bila ada qarinah (petunjuk) yang mengirinya. Karena itu perlu diketahui yang haqiqah dan majaz itu dan antara keduanya dapat dibedakan.
Adapun untuk mengetahui lafaz haqiqah adalah secara sima’i (سماعى ) yaitu dari pendengaran terhadap apa yang bisa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui analogi. Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat dikjetahui kecuali melalui nash syara’ itu sendiri.[31]

Cara menegtahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjam kata). Adapun cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik di dalam bentuk maupun dalam arti. Contoh keterkaitan dalam bentuk adalah menggunakan kata al-Ghaaith (الغائط ) yang berarti tempat yang tenang di belakang yang dijadikan majaz terhadap kata “buang air besar” karena buang air besar itu memang biasa dilakukan di tempat yang tenang di belakang.

Contoh keterkaitan dalam makna atau arti adalah penggunaan kata “singa” oleh orang Arab dalam bahasa Arab terhadap orang yang “pemberani” karena ada persamaan diantara dua kata itu dalam hal kekuatan dan keberanian.[32]
6.        Ketentuan yang berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz.
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah dan majaz adalah sebagai berikut:
a.       Bila suatu lafaz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafaz itu ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafaz atau kata adalah untuk haqiqahnya.
Lafaz itupun bukan mujmal ( مجمال) kecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah majaz. Dengan menjadikan setiap lafaz yang memugkinkan untuk dijadikan majaz sebagai mujmal, maka tercapai yang dimaksud , yaitu pemahaman.

b.      Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu’ dari lafaz yang digunakan, baik dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam bentuk umum ataupun khusus. Dan antara dua bentuk lafaz itu tidak terdapat pertentangan ; karena majaz itu adalah pengganti haqiqah. Dalam hal ini terdapat kaidah : “Asal penggunaan lafaz adalah haqiqah dan tidak beralih kepada majaz kecuali ada hajat atau dharurat.”
c.       Haqiqah dan majaz itu tidak mengkin berkumpul pada satu lafaz dalam keadaan yang sama. Artinya masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri; karena haqiqah adalah asalnya sedangkanmajazhanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafaz.
Bila yang dimaksud suatu lafaz adalah haqiqah, maka majaz tidak diperlukan. Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafaz adalah majaz , maka haqiqahnya tidak diperlukan lagi.[33]
Dikalangan ulama Hanafiah ada yang berpendapat bahwa antara haqiqah dan majaz, keduanya dapat bertemu dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majaz itu tidak makan sampai mendesak haqiqah.
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat; 23 Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
“Diaharamkan atas kamu ibu-ibumu dan anak-anakmu.”
Kata “ibu-ibu” ( امها تكم) dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan terhadap nenek, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majaz. Begitu pula kata “anak-anak” ( ابناء )dapat digunakan untuk “cucu” adalah dalam bentuk majaz, sedangkan haqiqahnya adalah untuk anak kandung.[34]

Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafaz pada majaznya: adanya kesatuan antra makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dengan ilmu bayan sebagai Álaqoh (hubungan/penyesuaian), dan “Alaqah bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.[35]
7.        Penyebab Tidak Berlakunya Majaz.
Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqahnya, dan tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan haqiqahnya,yaitu dalam keadaan sebagai berikut:[36]
a.       Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz.
Dalam hal haqiqah lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan atau dipegang adalah apa yang mudah dipahami dari lafaz tersebut.  Alasannya ialah karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah terbiasa orang menggunakan suatu lafaz untuk maksud tertentu maka penggunaan lafaz itu sudah menempati kedudukan haqiqah. Umpamanya lafaz “shalat” menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk “do’a”. Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah suatu bentuk tertentu dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti hakikatnya adalah do’a itu tidak lagi dunakan. Firman Allah dalam surat Thaha ayat: 20
وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Dalam firman Allah diatas, pengertian shalat bukan lagi berdo’a, tetapi bentu ibadat tertentu yang dinamakan shalat.
b.      Adanya petunjuk lafaz.
Dalam hal ini suatu lafaz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah, namun yang dimaksud bukan untuk itu.
Contohnya, bila seseorang berkata “Demi Allah saya tidak makan daging.” Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melamnggar sumpah; karena pengertian “daging” berlaku untuk segala macam daging secara hakikatnya. Namun pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi digunakan karena petujuk lafaz menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan belalang yang keduanya tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang digunakan, maka orang yang bersumpah itu melanggar sumpahnya.
c.       Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan tang ada walaupun berada di luar haqiqah. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat: 29
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا
Artinya: “Barangsiapa yang mau, berimanlah, dan barangsiapa yang mau, kafirlah. Sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yanng zhalim.”

Secara haqiqah ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk kafir, maka ayat ini tidak dipahami menurut haqiqahnya, tetapi dengan arti lain yaitu keharusan beriman dan dalam hal ini tidak ada pilihan.
d.      Adanya petunjuk dari sifat pembicara.
Meskipun sipembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini kama haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat : 64
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Artinya: “dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan ajakanmu.”

Meskipun pada ayat diatas, haqiqahnya mengandung “perintah”, namun setiap orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang menyangkal bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir.  Jelaslah yang dimaksud disini adalah memberi kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.
e.       Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafaz, lafaz itu harus dipahami menurut apa adanya; namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu menurut haqiqahnya. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fathir ayat : 19
وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ
Artinya: “Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat”.
Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut haqiqahnya secara umum berlaku dalam segala hal. Namun kalau kita memperhatikan arah pembicaraan ayat diatas, tentu hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti tidak untuk menurut tuntutan haqiqah lafaz.
8.        Keberadaan Majaz Dalam Ucapan.
Pembicaraan tentang haqiqah dan majaz berlaku dalam lafaz atau ucapan namun dalam hal apakah majaz itu ada ( terjadi ) dalam ucapan atau lafaz yang bersifat syar’i terdapat beda pendapat dikalangan ulama.[37]
1.      Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan baik,baik dalam ucapan syari’ (pembuat hukum) dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang di gunakannya.
Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits seperti mengunakan lapaz “Mulamasah” ( ملامسة ) yang berarti saling bersentuhan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa(4) :34 sebagai ganti dalam ucapan Jima’ atau bersetubuhyang berkaitan dengan batalnay wudhu.’

2.      Abu Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majaz.Apa yang selama ini diangap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah  karena ada petunjuk yang menjelaskanya. Umpanya ucapan “ saya melihat singa memanah” adanya kata” memanah“ menjadi petunjuk apa yang sebenarnya yang di maksud dengan “singa” itu.
3.      Golongan ulama Zhahiri menolaknya ada majaz dalam Al-Qur’an dan Hadits nabi, seandainya menemukan firman Allah SWT yang mengunakan bahasa untuk digunakan dalam artian Syar’i maka itu bukan berati mengunakan majaz tetapi konteks penggunaanya sudah secara syar’i .alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam Al-Qur’an dan hadits ialah bahwa penggunaan majaz bukan arti sebenarnya berarti dusta; sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.  
Pembagian kalam menjadi hakikat dan majaz adalah masyhur di kalangan sebagian besar muta’akhkhirin dalam Al-Qur’an dan yang selainnya. Dan berkata sebagian ahli ilmu : “Tidak ada majaz dalam Al-Qur’an” dan berkata sebagian yang lain : “Tidak ada majaz dalam Al-Qur’an dan yang selainnya”, dan ini merupakan pendapat Abu Ishaq Al-Isfaroyin dan dari kalangan muta’akhkhirin Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim telah menjelaskan bahwasanya istilah tersebut muncul setelah berlalunya tiga masa yang utama, dan beliau menguatkan pendapat ini dengan dalil-dalil yang kuat dan banyak, yang menjelaskan kepada orang yang menelitinya bahwa pendapat ini adalah pendapat yang benar.[38]
9.        Sharih dan kinayah (الصريح والكناية)
Secara arti kata sharih dari kata sharaha ( صرح ) berati terang ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin.
Dalam pengertian istilah hukum,s harih berati:
كل لفظ مكشوف المعنى والمراد حقيقة كان او مجازا
Artinya: “Setiap lafaz yang terbuka makna dan maksudnya baik dalam bentuk haqiqoah dan majaz.”[39]

Maksud yang di kehendaki oleh pembicara dapat di ketahui dari lafaz yang di gunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu seseorang ingin menceraikan isterinya,ia berkata pada isterinya “Engkau saya ceraikan “
Jadi lafaz sharih itu adalah suatu lafal yang maknanya jelas, dan maksud pembicaraannya tidak tersembunyi, terutama karena sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seseorang berkata: “Saya membeli barang ini dari si Umar”; “Saya nikahkan anak saya kepada si Hasan”. Kedua kalimat tersebut sifatnya jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan tambahan dari sipembicaranya. Selain itu, ditinjau dari segi hakikat dan majaz, kedua kata “membeli” dan “menikahkan” adalah lafal yang menunjukkan makna haqiqah.[40]
Kebalikan dari arti Sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Dalam pengertian istilah hukum, kinayah ialah:
(ما يكون المراد باللفظ مستورا الى ان يتبين بادليل)
Artinya: Apa yang di maksud dengan sautu lafaz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”[41]
.
Setiap lafaz yang pemahaman artinya melalui lafaz lain dan tidak dari lafaz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah karena masih memerlukan penjelasan.
Pengunaan nama seseorang dengan memakai kata- ganti -nama termasuk kinayah. Kalau dikatakan “si Ahmat sedang shalat dengan tekun “ akan mudah orang memahaminnya. Tetapi kalau dikatakan sedang shalat dengan tekun “Orang akan bertanya” siapa yang sedang shalat itu?”
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah .Umpamanya seseorang mengatakan pada isterinya “ Pulanglah kau ke rumah Ibumu.” Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berati cerai atau pulang sementara. Bila seseorang  mengunakan ucapan tersebut kepada isterinyadan yang di maksud dengan ucapanya itu untuk cerai ,berati ia mengunakan lafaz kinayahuntuk “cerai”.
Dari segi apa yang di ucapkan seseorang,kalau sesuatu lafaz bukan menunjukan pada arti yang sebenarnya,maka kinayah itu sama dengan majaz. Tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan ,yaitu:
Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang di maksud oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain ynag dipinjam untuk itu, umpamanya orang “pemberani” di sebut “singa” tetapi pada kinayah  dapat terjadi tanpa keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengan nya.Umpamanya menamai seseorang dengan mengunakan nama anak meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda dengan anaknya, ini termasuk  kepada  bentuk kinayah, kalau anak pemberani di namai dengansuja ( سجاع ) secara kinayah si ayah akan dinamai abu suja ( ابوسجاع  ) padahal ayah sendiri seoarang penakut. Jadidalam kinyah tersebut tidak ada keterkaitan antara lafaz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.[42]
Bila seseorang mendapat keberuntungan yang sangat besar secara kinyah di katakan kepadannya “makan tangan“ antara ”makan tangan” dengan “memperoleh keberuntungan” tidak ada kaitan apa-apa.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan ialah berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat dan tidak perlu pula mengunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan hubungan suami dan isteri. Dalam bentuk apapun jika lafaz itu diucapkan maka berlansunglah perceraian seperti “saya ceraikan engakau”, “hai, cerai”, kita bercerai” atau kata lain yang sejenis lafaz ( kata) tersebut.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah ialah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati; atau cara lain yang sama artinya dengan itu.
Sehubungan dengan keharusan adanya niat pada ucapan kinayah itu, maka ucapan kinayah itu hanya dapat digunakan dalam hal dan keadaan  yang tidak di perlukan kehadiran saksi seperti dalam kasus pemberian yang bersifat hibah. Dalam hal yang memerlukan kehadiran saksi seperti dalam “akad pernikahan” tidak boleh ucapan akad itu dengan kinayah. Alasannya ialah bahwa lafaz kinayah memerlukan niat, sedangkan niat itu berada dalam hati dan tidak ada orang lain seorang pun yang mengetahuinya.
Jika akad nikah dengan kinayah, tentu saksi itu tidak akan mengetahui apakah niat yang dipersyaratkan untuk akad itu telah terjadi atau belum.
Bila seoarang suami berkata pada isterinya”Pulanglah kamu kerumah orang tuamu” lafaz ini dapat di gunakan untuk cerai bila ia meniatkan untuk cerai . atau mengunakan cara lain untuk menunjukan bahwa si suami sudah berniat untuk bercerai. Umpamanya si suami di tanya seseorang sehubungan dengan ucapannya itu.“Apakah yang kamu maksud” dengan ucapanmu itu adalah cerai? Kemudian ia mengangguk maka terjadilah  perceraian itu dengan anggukannya itu.
Ucapan” haram” atau” putus” juga sering digunakan sebagai kinayah untuk cerai. Darisegi dua kata itu meskipun berarti keraguan,namun ada keterkaitan dengan perceraian lafaz ini pun menjadi majaz. Oleh karena itukinayah dalam bentuk ini dinamai “Majaz”.
Prinsip asal dari suatu ungkapan yang di ucapkan adalah sharih karena itulah yang dituju untuk memberikan pemahaman kepada orang yang mendengar. Ucapan sharih di sebut ucapan yang sempurna untuk maksud ini. Sedangkan ucapan kinyah tidak berlaku dalam hal yang menyangkut sanksi hukum atau had yang dapat gugur karena adanya syubhat, umpamanya seseorang mengatakan “Saya bergaul dengan si Ani sebagai kinyah dari ucapan “Saya berzina dengan si Ani”.Orang tersebut terbebas dari sanksi hukum atau had zina. Alasannya ialah bahwa sanksi had zina itu dapat ditiadakan bila mengandung unsur ketidakpastian sedangkan ucapan kinayah mengandung unsur ketidakpastian tersebut.[43]
10.    Ketentuan Hukum Lafal Sharih dan Kinayah.
Lafal sharih menjadi dasar dalam penetapan hukum, tanpa perlu mempertanyakan lebih jauh maksud orang yang mengucapkan lafal tersebut, baik maknanya berbentuk haqiqah maupun majaz. Adapun lafal kinayah, maka hukum tidak dapat ditetapkan secara langsung padanya kecuali terdapat penjelasan dari pembicaranya.[44]
Sedang menurut Ali Hasabalah, hukum sharih tergantung makna tanpa melihat keinginan atau tidak dari si pembicara, baik itu hakikat ataupun majaz. Karena sesungguhnya itu adalah asal kalimat. Kalau kinayah pada sesuatu yang tidak ada ringkasan dari susunan kalimat sharih tidak diwajibkan beramal dengannya kecuali dengan adanya niat atau adanya petunjuk dari keadaan. [45]
C.      Kesimpulan
Pengertian hakikat itu adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menurut asalnya untuk maksud tertentu. Maksudnya lafaz tersebut digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Seperti  kata “kursi”; menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata “kursi“ itu sering pula digunakan untuk pengertian kekuasaan, namun tujuan semula kata “kursi” itu bukan untuk itu, tetapi “tempat duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk sasaran (pengertian) lain dinamai “majaz”. Lafaz itu tidak disifati bahwa ia haqiqah atau majaz kecuali setelah digunakan. Hakikat ada beberapa macam yaitu :
-       HaqiqahLughawiyyah ( الحقيقة اللغوية) yaitu “Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”
-       Haqiqah Syar’iyah (  الحقيقة الشرعية) yaituLafaz yang digunakan untuk makna yang di tentukan untuk itu oleh syara’
-       Haqiqah ‘Urfiyah Khashshah ((الحقيقة العرقية الخا صة, yaitu“Lafazh yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.”
-       Haqiqah “urfiah “ammah (الحقيقة العرقية الخا ص)yang ditetapkan oleh kebiasan yang berlaku secara umum. Yaitu“Lafazh yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum”
Sedangkan Majaz adalah menggunakan lafal kepada selain pengertian aslinya karena ada hubungannya dengan makna aslinya itu serta ada qarinah yang menunjukkan untuk itu. Sama halnya dengan haqiqah, maka majaz juga memiliki beberapa macam yaitu;
-          Majazlughawi yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena adanya qarinah lughawi, atau tuntutan kebahasaan. Seperti menggunakan kata asad (yang artinya macan) digunakan untuk arti : “ laki-laki yang pemberani”.
-          Majaz Syar’i, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena ada qarinah syar’iyah. Seperti menggunakan lafaz shalat (yang arti aslinya adalah do’a) digunakan untuk arti “suatu ibadah yang tertentu”.
-          Majaz ‘Urfi Khas, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya tuntutan kebiasaan yang tertentu. Seperti menggunakan lafaz الحال yang artinya “berubah” digunakan untuk menentukan keadaan seseorang yang baik ataupun yang buruk.
-          Majaz ‘Urfi ‘Am, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya kecocokan dan tuntutan kebiasaan yang umum (menyeluruh). Seperti menggunakan lafazالدابة yang artinya hewan,
Sedangkan lafaz sharih itu adalah suatu lafal yang maknanya jelas, dan maksud pembicaraannya tidak tersembunyi, terutama karena sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kebalikan dari arti Sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Demikianlah makalah singkat ini penulis buat, dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan. Masukan dan saran penulis butuhkan dalam rangka penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan Alhamdilillahi Rabbil ‘Alamiin.




[1] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqih,( Jakarta; Amzah; 2014) cet. 3 h. 297
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, ; 1999), cet. 1 h. 25
[3] Amir Syarifuddin, Ushul ..., H. 25
[4] Amir Syarifuddin, Ushul..., h. 25
[5] Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Damsyiq, Darul Fikri; 1986), h. 292
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 25
[7] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul Min ‘Ilmin Ushul,( Iskandariyah, Darul Iman; 2001), h. 15
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 25
[9] Ali Hasabalah, Ushul Al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kairo, Daarul Ma’arif; 1971, cet. 4 h. 253
[10] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqih... h. 298
[11] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 15
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 26
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 26
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 26
[15] Atho’ bin Kholil, Taisiril Wushul Ilal Ushul, (ashakimppa.blogspot.com), h. 202
[16] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushu..., , h. 15-16
[17] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve; 2006), h.501
[18] Atho’ bin Kholil, Taisiril..., h. 205
[19] Atho’ bin Kholil, Taisiril..., h. 206
[20] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 27
[21] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus IlmuUshul Fikih, (Jakarta, Amzah;2009) h. 187
[22] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 27
[23] Satria Efendi, M.Zen, Ushul Fiqih, (Jakarta, Kencana; 2012), h.229
[24] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[25] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[26] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 28
[27] Wahbah Zuhaili, Ushul..., h. 293-294
[28] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[29] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 29
[30] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 28-29
[31] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 30
[32] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 30
[33] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 31
[34] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 32
[35] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[36] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 32-34
[37] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 34-35
[38] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 17
[39] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 35
[40] Abdul Rahman Dahlan, Ushul..., h. 302
[41] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 35
[42] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 36
[43] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 37-38
[44] Abdul Rahman Dahlan, Ushul..., h. 303
[45] Ali Hasabalah, Ushul Al-Tasyri’..., h. 258
gambar dari google

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...