LAFAZ
DITINJAU DARI SEGI PENGGUNAANYA
(HAQIQAH
DAN MAJAZ)
A.
Pendahuluan
Secara garis besar metode penemuan hukum Islam itu terdiri atas dua
macam, yakni metode yang menkhususkan kajiannya kepada faktor kebahasaan
(lughawiyah) atau disebut juga metode lafzhiah. Yang kedua adalah yang
memfokuskan kajiannya pada pada tujuan syariat dalam menetapkan hukum, atau
biasa juga disebut dengan metode maqashid atau maknawiyah.
Metode lafzhiah atau lughawiyah tersebut didasarkan pada pandangan
bahwa sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua sumber ini
berbentuk teks atau nash yang berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami
pesan-pesan al-Qur’an dan Hadits secara baik dan benar haruslah berpedoman
kepada aturan-aturan bahasa Arab yang ada. Rasulullah sebagai penerima wahyu
memberi pedoman kebahasaan yang bersifat khusus untuk memahami teks ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum syara’.
Pada dasarnya, bahasa Arab menggunakan berbagai bentuk, cara,
cakupan, dan tingkatan kejelasan redaksi dalam menyampaikan pesan. Dalam
konteks memahami teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum,
redaksi/lafal bahasa Arab dapat dilihat
dari lima segi utama, yaitu segi bentuk-bentuk perintah dan larangan,
segi tingkat kejelasan maknanya, segi cakupan maknanya, segi tunjukan maknanya,
dan segi penggunaannya.
Didalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas lafal ditinjau
dari segi penggunaannya, yaitu berupa haqiqah dan majaz. Dan juga yang sekaitan
dengannya yaitu sharih dan kinayah, dan bagaimana pemikiran ulama mazhab dalam
memahami lafaz dari segi penggunaannya tersebut.
B.
Pembahasan
Ulama ushul fiqih membagi suatu lafazh bila ditinjau dari segi
penggunaan atau pemakaiannya menjadi dua macam yaitu hakikat dan majaz.
Sedangkan ditinjau dari segi kejelasan maknanya untuk menyampaikan tujuan
penggunaan maknanya maka masing-masing lafal hakikat dan majaz dapat dibagi
pula kepada sharih dan kinayah.[1]
1.
Pengertian Hakikat.
Haikat dan majaz adalah dua kata dalam bentuk muthadayyifan atau
relative term, dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan
setiap kata akan masuk kedalam salah satu diantaranya.[2]
Ada beberapa rumusan yang dikemukakan ulama tentang pengertian hakikat
itu, yakni:
a.
Menurut
Ibnu Subki:
هو اللفظ المستعمل فيما وضع له ابتداء
“Lafaz yang
digunakan untuk apa lafaz itu di tentukan pada mulanya.[3]
b.
Menurut
Ibnu Kudamah:
هو اللفظ المستعمل في موضوعه الا صلي
“ Lafaz yang
digunakan untuk sasarannya semula.”[4]
c.
Menurut
Wahabah Zuhaili, makna hakikat itu adalah :
هي كل لفظ اريد به ماوضع له في الاصل اشيء معلوم
“Setiap lafaz
yang digunakan untuk menunjukkan arti yang semestinya bagi sesuatu yang sudah
maklum (lumrah) untuk dipahami.”[5]
d.
Menurut
al-Sarkisi:
كل لفظ هو موضوع في الاصل لشيء معلوم
“Setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya
untuk sesuatu yang tertentu.”[6]
e.
Menurut al-Utsaimin:
اللفظ
المستعمل فيما وضع له
“Lafadz yang digunakan pada
asal peletakannya.”[7]
Beberapa definisi diatas mengandung pengertian bahwasannya hakikat
itu adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menurut asalnya untuk maksud
tertentu. Maksudnya lafaz tersebut digunakan oleh perumus bahasa memang untuk
itu. Seperti kata “kursi”; menurut
asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki.
Meskipun kemudian kata “kursi“ itu sering pula digunakan untuk pengertian
kekuasaan, namun tujuan semula kata “kursi” itu bukan untuk itu, tetapi “tempat
duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk sasaran (pengertian) lain dinamai
“majaz”.[8]
Laafaz itu tidak disifati bahwa ia haqiqah atau majaz kecuali
setelah digunakan.[9]
Sebelum lebih jauh menjelaskan perincian lafaz hakikat dan majaz,
perlu ditegaskan bahwa suatu lafal tidak dapat dinilai dan diberi predikat
sebagai hakikat atau majaz, sebelum digunakan untuk menunjuk suatu pengertian
secara terminologis oleh penggunanya. Dengan kata lain, jika suatu komunitas
menggunakan suatu lafal sesuai dengan makna terminologis (istilah), maka lafal
tersebut diberi predikat “hakikat”. Tetapi jika yang mereka maksud bukan makna
terminologisnya, maka lafal tersebut diberi predikat “majaz”. Dalam pada itu,
pemberian sifat kepada suatu lafal sebagai hakikat atau majaz, tergantung pula
kepada komunitas pengguna lafal tersebut.[10]
2.
Macam-Macam Haqiqah.
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi
haqiqah itu kepada beberapa bentuk :
a.
Haqiqah Lughawiyyah ( الحقيقة
اللغوية)
اللفظ
المستعمل فيما وضع له في اللغة
“Lafadz yang digunakan pada asal
peletakannya secara bahasa.”[11]
Contohnya :
sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada
makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.
b.
Haqiqah
Syar’iyah ( الحقيقة الشرعية) yang ditetapkan oleh syari’ (pembuat hukum)
sendiri, yaitu :
هو اللفظ المستعمل في المعنى الموضوع له شرعا
Lafaz
yang digunakan untuk makna yang di tentukan untuk itu oleh syara’
Umpamanya lafazh shalat untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari
perbuatan dan ucapan yang di mulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.[12]
Makna shalat yang menurut asal bahasa adalah do’a.
c.
Haqiqah
‘Urfiyah Khashshah ((الحقيقة العرقية الخا صة, yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu
lingkungan tertentu, yaitu :
هو
اللفظ المستعمل في معنى عرفي خاص يصطلح عليه جماعة او طاءفة منه
“Lafazh yang digunakan untuk arti menurut
kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian
diantaranya.”[13]
d. Haqiqah “urfiah “ammah(الحقيقة
العرقية الخا ص)yang
ditetapkan oleh kebiasan yang berlaku secara umum.[14]
هو اللفظ المستعمل في معنى عرفي عام
“Lafazh yang digunakan dalam makna menurut
yang berlaku dalam kebiasaan umum”
Apabila pemindahan makna tersebut disebabkan adanya urf, maka
dinamai dengan haqiqah ‘urfiah. Misalnya kata ( دابة ) pada asalnya digunakan untuk menunjukkan
arti setiap makhluk yang berjalan di bumi, mencakup manusia dan hewan. Akan
tetapi kebiasaan ahli bahasa (‘urf) digunakan untuk hewan yag berkaki empat.
Implikasinya makna yang pertama dijauhi.[15]
Adapun
manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita
membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai
dengan penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada
hakikat lughowiyyah dan dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat
syar’iyyah dan dalam penggunaan ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.[16]
Adapaun
mengenai kehujjahan lafal haqiqah, maka ulama ushul fiqih sepakat
menyatakan bahwa suatu lafal harus digunakan dalam makna hakikatnya, baik
hakikat bahasa, syara’, maupun urf selama tidak ada indikasi yang
mamalingkannya dari makna tersebut.[17]
3.
Pengertian
Majaz.
Sedangkan mengenai pengertian Majaz, maka para ulama Ushul
memberikan definisi yang beragam, secara bahasa kata majaz diambil dari kata(اجاز
الموضوع)
yang artinya meninggalkan atau menempuh suatu tempat.[18] Sedangkan menurut istilah majaz adalam
menggunakan suatu kata bukan pada makna asalnya, karena adanya qarinah
(indikasi) yang mencegah penggunaan makna asal, disertai adanya hubungan antara
kedua makna yang digunakan dan makna asal.[19]
Beberapa ulama ushul merumuskan pengertian majaz itu secara
beragam, namun memiliki pengertian yang berdekatan dan saling melengkapi,yaitu[20] :
a.
Al-Sarkhisi
memberikan definisi :
اسم
لكل لفظ هو مستعار لشيء غيرما وضع له
“Nama unbtuk setiap lafaz yang dipinjam untuk
digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan”.
b.
Menurut
Ibnu Qudamah :
هو
اللظ المستعمل في غير موضوعه على وجه يصح
“Lafaz
yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”.
c.
Definisi
Majaz menurut Ibnu Subki :
هو اللظ المستعمل بوضع ثان لعلاقة
“Lafaz
yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
Dari beberapa contoh definisi diatas dapat dirumuskan pengertian
lafaz majaz tersebut yaitu :
a.
Lafaz
itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki
oleh suatu bahasa;
b.
Lafaz
dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi
arti kepada apa yang dimaksud;
c.
Antara
sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti
lafaz itu memang ada kaitannya.
Contohnya lafal
Asad yang artinya singa, diartikan sebagai orang yang berani.[21]
Contoh lain, umpamanya kata “kursi” dipinjam untuk arti
“kekuasaan”. Lafaz “kursi” menurut hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”.
Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan
“kekuasaan” itu memang ada kaitannya yaitu bahwa kekuasaaan itu dilaksanakan
dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.[22]
Bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal adalah makna majazinya dapat
diketahui dengan adanya qarinah atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud oleh si pembicara bukan makna haqiqinya, tetapi adalah
makna majazinya.[23]
Syekh Utsaimin merumuskan pengertian majaz itu adalah :
اللفظ
المستعمل في غير ما وضع له
“Lafadz yang digunakan bukan pada
asal peletakannya.”
Seperti :
singa untuk laki-laki yang pemberani. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan
hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما
وضع له) “bukan pada asal peletakannya”
: Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan
dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan
ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).[24]
Dan
disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara
makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya,
dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/penyesuaian),
dan ‘Alaqoh bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.[25]
Pada
dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut hakikatnya.
Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak menggunakan haqiqah
itu dengan menggunakan majaz. Diantara hal yang mendorong ke arah
itu adalah sebagi berikut :
a.
Karena berat mengucapkan suatu lafaz
menurut haqiqahnya. Oleh karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanya
lafaz (حنفقيق)dalam bahasa Arab yang berarti bahaya besar yang
menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk di ucapkan seseorang, karenanya ia
lebih senang untuk menggunakan kata-kata( موت )
b.
Karena buruknya kata haqiqahitu
bila digunakan. Seperti kata حراءة dalam bahasa Arab yang menurut haqiqahnya berarti
“tempat berak”. Karena buruk dan joroknya kata itu maka , maka digunakan kata
lain, yaitu الغائط yang artinya : “tempat yang tenang di belakang rumah”. Dalam
bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan pergi untuk “buang berak”, diganti dengan
pergi “kebelakang” karena keduanya ada kaitan, yaitu sama-sama kebelakang.
c.
Karena kata majaz lebih
dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah. Umpamanya kata jima’
dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang banyak, diganti dengan
kata lain yang lebih populer yaitu “bersetubuh”.
d.
Karena untuk mendapatkan rasa
keindahan bahasa (balghahnya) seperti menggunakan kata “singa” untuk
seorang pemberani lebih indah dari segi sastra ketimbang kata “pemberani”.[26]
4.
Macam-Macam Majaz.
Adapun macam-macam majaz, sebagaimana yang disebutkan oleh DR.
Wahbah Zuhailiseperti halnya pada haqiqah adalah sebagai berikut :[27]
a.
Majazlughawi yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena
adanya qarinah lughawi, atau tuntutan kebahasaan. Seperti menggunakan kata asad
(yang artinya macan) digunakan untuk arti : “ laki-laki yang pemberani”
Menurut Utsaimin, Maka jika
majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (استعارة), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang
pemberani.[28]
Isti’arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari
penggunaan lafaz majaz.[29]
b.
Majaz
Syar’i, yaitu menggunakan lafaz bukan
untuk arti yang sesungguhnya, karena ada qarinah syar’iyah. Seperti menggunakan
lafaz shalat (yang arti aslinya adalah do’a) digunakan untuk arti “suatu ibadah
yang tertentu”.
c.
Majaz
‘Urfi Khas, yaitu menggunakan lafaz bukan
untuk arti yang sesungguhnya karena adanya tuntutan kebiasaan yang tertentu.Seperti
menggunakan lafaz الحال yang artinya “berubah” digunakan untuk
menentukan keadaan seseorang yang baik ataupun yang buruk.
d.
Majaz
‘Urfi ‘Am, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk
arti yang sesungguhnya karena adanya kecocokan dan tuntutan kebiasaan yang umum
(menyeluruh). Seperti menggunakan lafaz الدابة yang artinya hewan, digunakan untuk arti “orang yang bodoh”.
Sedangkan Profesor Amir Syarifuddin di dalam bukunya menyebutkan
bentuk-bentuk majaz itu sebagai berikut :[30]
a.
Adanya
tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seperti tambahan kata
ك
yang terdapat dalam firman Allah dalam surat “al-Syura; 11( ليس كمثله شيء).
b.
Adanya
kekurangan dalam susunan suatu kata yang sebenarnya. Umpamanya firman Allah
dalam surat Yusuf ayat; 82
واسئل القرية(tanyalah penduduk kampung itu).
c.
Mendahulukan
dan membelakangkan, atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”.
Umpamanya firman Allah dalam surat dalam surat an-Nisa’ ayat; 11
d.
Meminjam
kata lain atau Isti’arah. Yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan (meminjam)
kata lain, seperti memberi nama si A yang “pemberani” dengan “singa”.
5.
Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz.
Asal penggunaan kata (menurut prinsipnya) adalah menurut hakikatnya
dan tidak beralih kepada penggunaan majaz, kecuali dalam keadaan yang terpaksa.
Suatu kata baru dapat diketahui keadaannya sebagai majaz bila ada qarinah
(petunjuk) yang mengirinya. Karena itu perlu diketahui yang haqiqah dan majaz
itu dan antara keduanya dapat dibedakan.
Adapun untuk mengetahui lafaz haqiqah adalah secara sima’i
(سماعى ) yaitu dari pendengaran terhadap apa yang
bisa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk
mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui analogi.
Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat dikjetahui kecuali melalui
nash syara’ itu sendiri.[31]
Cara menegtahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti
kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjam kata). Adapun
cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah
adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik di dalam bentuk maupun dalam
arti. Contoh keterkaitan dalam bentuk adalah menggunakan kata al-Ghaaith (الغائط ) yang berarti tempat yang tenang di belakang
yang dijadikan majaz terhadap kata “buang air besar” karena buang air
besar itu memang biasa dilakukan di tempat yang tenang di belakang.
Contoh keterkaitan dalam makna atau arti adalah penggunaan kata
“singa” oleh orang Arab dalam bahasa Arab terhadap orang yang “pemberani”
karena ada persamaan diantara dua kata itu dalam hal kekuatan dan keberanian.[32]
6.
Ketentuan yang berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz.
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah
dan majaz adalah sebagai berikut:
a.
Bila
suatu lafaz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafaz itu
ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu
lafaz atau kata adalah untuk haqiqahnya.
Lafaz
itupun bukan mujmal ( مجمال) kecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah majaz. Dengan menjadikan setiap lafaz yang memugkinkan untuk
dijadikan majaz sebagai mujmal, maka tercapai yang dimaksud ,
yaitu pemahaman.
b.
Pada
haqiqah harus ada sasaran atau maudhu’ dari lafaz yang digunakan, baik
dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula
pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya,
baik dalam bentuk umum ataupun khusus. Dan antara dua bentuk lafaz itu tidak
terdapat pertentangan ; karena majaz itu adalah pengganti haqiqah. Dalam
hal ini terdapat kaidah : “Asal penggunaan lafaz adalah haqiqah dan tidak
beralih kepada majaz kecuali ada hajat atau dharurat.”
c.
Haqiqah
dan majaz itu tidak mengkin berkumpul pada satu lafaz dalam
keadaan yang sama. Artinya masing-masing harus mengikuti tujuan
sendiri-sendiri; karena haqiqah adalah asalnya sedangkanmajazhanya
kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafaz.
Bila yang
dimaksud suatu lafaz adalah haqiqah, maka majaz tidak diperlukan.
Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafaz adalah majaz , maka haqiqahnya
tidak diperlukan lagi.[33]
Dikalangan ulama Hanafiah ada yang berpendapat bahwa antara haqiqah
dan majaz, keduanya dapat bertemu dalam dua tempat yang berbeda,
dengan syarat, majaz itu tidak makan sampai mendesak haqiqah.
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat; 23 Allah berfirman :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
“Diaharamkan atas kamu ibu-ibumu dan anak-anakmu.”
Kata “ibu-ibu” ( امها تكم) dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan terhadap
nenek, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majaz. Begitu
pula kata “anak-anak” ( ابناء )dapat digunakan untuk “cucu” adalah dalam
bentuk majaz, sedangkan haqiqahnya adalah untuk anak kandung.[34]
Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafaz pada majaznya: adanya
kesatuan antra makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya
pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dengan ilmu bayan sebagai Álaqoh
(hubungan/penyesuaian), dan “Alaqah bisa berupa penyerupaan atau yang
selainnya.[35]
7.
Penyebab Tidak Berlakunya Majaz.
Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqahnya,
dan tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun
dalam beberapa hal tidak digunakan haqiqahnya,yaitu dalam keadaan
sebagai berikut:[36]
a.
Adanya
petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz.
Dalam hal haqiqah
lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan atau dipegang adalah apa yang mudah
dipahami dari lafaz tersebut. Alasannya
ialah karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah
terbiasa orang menggunakan suatu lafaz untuk maksud tertentu maka penggunaan
lafaz itu sudah menempati kedudukan haqiqah. Umpamanya lafaz “shalat”
menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk “do’a”. Tetapi karena sudah
diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah suatu bentuk tertentu
dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti hakikatnya adalah do’a
itu tidak lagi dunakan. Firman Allah dalam surat Thaha ayat: 20
وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Dirikanlah
shalat untuk mengingat Aku.”
Dalam
firman Allah diatas, pengertian shalat bukan lagi berdo’a, tetapi bentu ibadat
tertentu yang dinamakan shalat.
b.
Adanya
petunjuk lafaz.
Dalam hal ini
suatu lafaz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah, namun yang
dimaksud bukan untuk itu.
Contohnya, bila
seseorang berkata “Demi Allah saya tidak makan daging.” Ternyata kemudian ia
makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melamnggar sumpah; karena
pengertian “daging” berlaku untuk segala macam daging secara hakikatnya. Namun
pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi digunakan karena petujuk lafaz
menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan belalang yang keduanya tidak
disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang digunakan, maka orang yang
bersumpah itu melanggar sumpahnya.
c.
Adanya
petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
Dalam mengucapkan
suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain
walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan tang ada
walaupun berada di luar haqiqah. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Kahfi
ayat: 29
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا
أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا
Artinya: “Barangsiapa
yang mau, berimanlah, dan barangsiapa yang mau, kafirlah. Sesungguhnya kami
menyediakan neraka bagi orang yanng zhalim.”
Secara haqiqah
ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk kafir, maka
ayat ini tidak dipahami menurut haqiqahnya, tetapi dengan arti lain
yaitu keharusan beriman dan dalam hal ini tidak ada pilihan.
d.
Adanya
petunjuk dari sifat pembicara.
Meskipun
sipembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti menuntut
apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa ia
tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini kama haqiqah
yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat : 64
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Artinya: “dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan ajakanmu.”
Meskipun pada
ayat diatas, haqiqahnya mengandung “perintah”, namun setiap orang
mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang menyangkal
bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir.
Jelaslah yang dimaksud disini adalah memberi kemungkinan dan kemampuan
untuk berbuat.
e.
Adanya
petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah
penggunaan lafaz, lafaz itu harus dipahami menurut apa adanya; namun ada
petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu menurut haqiqahnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fathir ayat : 19
وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ
Artinya:
“Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat”.
Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut haqiqahnya secara umum
berlaku dalam segala hal. Namun kalau kita memperhatikan arah pembicaraan ayat
diatas, tentu hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan
penglihatan. Hal ini berarti tidak untuk menurut tuntutan haqiqah lafaz.
8.
Keberadaan Majaz Dalam Ucapan.
Pembicaraan tentang haqiqah dan
majaz berlaku dalam lafaz atau ucapan namun dalam hal apakah majaz itu ada (
terjadi ) dalam ucapan atau lafaz yang bersifat syar’i terdapat beda
pendapat dikalangan ulama.[37]
1.
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan baik,baik dalam
ucapan syari’ (pembuat hukum) dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana terjadi
dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang di gunakannya.
Keberadaan
majaz itu terlihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits seperti mengunakan
lapaz “Mulamasah” ( ملامسة ) yang berarti saling bersentuhan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa(4)
:34 sebagai ganti dalam ucapan Jima’ atau bersetubuhyang berkaitan dengan
batalnay wudhu.’
2.
Abu
Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majaz.Apa
yang selama ini diangap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah karena ada petunjuk yang menjelaskanya.
Umpanya ucapan “ saya melihat singa memanah” adanya kata” memanah“ menjadi
petunjuk apa yang sebenarnya yang di maksud dengan “singa” itu.
3.
Golongan
ulama Zhahiri menolaknya ada majaz dalam Al-Qur’an dan Hadits nabi, seandainya
menemukan firman Allah SWT yang mengunakan bahasa untuk digunakan dalam artian Syar’i
maka itu bukan berati mengunakan majaz tetapi konteks penggunaanya sudah secara
syar’i .alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam Al-Qur’an
dan hadits ialah bahwa penggunaan majaz bukan arti sebenarnya berarti
dusta; sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.
Pembagian
kalam menjadi hakikat dan majaz adalah masyhur di kalangan sebagian besar
muta’akhkhirin dalam Al-Qur’an dan yang selainnya. Dan berkata sebagian ahli
ilmu : “Tidak ada majaz dalam Al-Qur’an” dan berkata sebagian yang lain :
“Tidak ada majaz dalam Al-Qur’an dan yang selainnya”, dan ini merupakan
pendapat Abu Ishaq Al-Isfaroyin dan dari kalangan muta’akhkhirin Muhammad
Al-Amin Asy-Syanqithi. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul
Qoyyim telah menjelaskan bahwasanya istilah tersebut muncul setelah berlalunya
tiga masa yang utama, dan beliau menguatkan pendapat ini dengan dalil-dalil
yang kuat dan banyak, yang menjelaskan kepada orang yang menelitinya bahwa
pendapat ini adalah pendapat yang benar.[38]
9.
Sharih dan kinayah (الصريح
والكناية)
Secara arti
kata sharih dari kata sharaha ( صرح ) berati terang ia menjelaskan apa yang
ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin.
Dalam
pengertian istilah hukum,s harih berati:
كل
لفظ مكشوف المعنى والمراد حقيقة كان او مجازا
Artinya: “Setiap
lafaz yang terbuka makna dan maksudnya baik dalam bentuk haqiqoah dan majaz.”[39]
Maksud yang di kehendaki oleh pembicara dapat di ketahui dari lafaz
yang di gunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu
seseorang ingin menceraikan isterinya,ia berkata pada isterinya “Engkau saya
ceraikan “
Jadi lafaz sharih itu adalah suatu lafal yang maknanya
jelas, dan maksud pembicaraannya tidak tersembunyi, terutama karena sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seseorang berkata: “Saya
membeli barang ini dari si Umar”; “Saya nikahkan anak saya kepada si Hasan”.
Kedua kalimat tersebut sifatnya jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan
tambahan dari sipembicaranya. Selain itu, ditinjau dari segi hakikat dan majaz,
kedua kata “membeli” dan “menikahkan” adalah lafal yang menunjukkan makna haqiqah.[40]
Kebalikan dari arti Sharih ialah kinayah yang secara
arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Dalam pengertian istilah hukum, kinayah ialah:
(ما يكون المراد باللفظ مستورا الى ان يتبين بادليل)
Artinya: ”Apa
yang di maksud dengan sautu lafaz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh
dalil”[41]
.
Setiap lafaz yang pemahaman artinya melalui lafaz lain dan tidak
dari lafaz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah karena
masih memerlukan penjelasan.
Pengunaan nama seseorang dengan memakai kata- ganti -nama termasuk kinayah.
Kalau dikatakan “si Ahmat sedang shalat dengan tekun “ akan mudah orang
memahaminnya. Tetapi kalau dikatakan sedang shalat dengan tekun “Orang akan
bertanya” siapa yang sedang shalat itu?”
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah
.Umpamanya seseorang mengatakan pada isterinya “ Pulanglah kau ke rumah Ibumu.”
Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berati cerai atau pulang
sementara. Bila seseorang mengunakan
ucapan tersebut kepada isterinyadan yang di maksud dengan ucapanya itu untuk
cerai ,berati ia mengunakan lafaz kinayahuntuk “cerai”.
Dari segi apa yang di ucapkan seseorang,kalau sesuatu lafaz bukan
menunjukan pada arti yang sebenarnya,maka kinayah itu sama dengan majaz.
Tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan ,yaitu:
Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang di maksud
oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain ynag dipinjam untuk itu, umpamanya
orang “pemberani” di sebut “singa” tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa keterkaitan, bahkan
mungkin berlawanan dengan nya.Umpamanya menamai seseorang dengan mengunakan
nama anak meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda dengan anaknya, ini
termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anak pemberani
di namai dengansuja ( سجاع ) secara kinayah si ayah akan dinamai abu suja ( ابوسجاع ) padahal ayah sendiri seoarang penakut. Jadidalam
kinyah tersebut tidak ada keterkaitan antara lafaz yang digunakan dengan
keadaan yang sebenarnya.[42]
Bila seseorang mendapat keberuntungan yang sangat besar secara kinyah
di katakan kepadannya “makan tangan“ antara ”makan tangan” dengan “memperoleh
keberuntungan” tidak ada kaitan apa-apa.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan
ialah berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya tanpa
memerlukan pertimbangan tertentu atau niat dan tidak perlu pula mengunakan
ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan
hubungan suami dan isteri. Dalam bentuk apapun jika lafaz itu diucapkan maka
berlansunglah perceraian seperti “saya ceraikan engakau”, “hai, cerai”, kita
bercerai” atau kata lain yang sejenis lafaz ( kata) tersebut.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah ialah bahwa
untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu diperlukan
adanya niat atau kesengajaan dalam hati; atau cara lain yang sama artinya
dengan itu.
Sehubungan dengan keharusan adanya niat pada ucapan kinayah
itu, maka ucapan kinayah itu hanya dapat digunakan dalam hal dan
keadaan yang tidak di perlukan kehadiran
saksi seperti dalam kasus pemberian yang bersifat hibah. Dalam hal yang
memerlukan kehadiran saksi seperti dalam “akad pernikahan” tidak boleh ucapan
akad itu dengan kinayah. Alasannya ialah bahwa lafaz kinayah
memerlukan niat, sedangkan niat itu berada dalam hati dan tidak ada orang lain
seorang pun yang mengetahuinya.
Jika akad nikah dengan kinayah, tentu saksi itu tidak akan
mengetahui apakah niat yang dipersyaratkan untuk akad itu telah terjadi atau
belum.
Bila seoarang suami berkata pada isterinya”Pulanglah kamu kerumah
orang tuamu” lafaz ini dapat di gunakan untuk cerai bila ia meniatkan untuk
cerai . atau mengunakan cara lain untuk menunjukan bahwa si suami sudah berniat
untuk bercerai. Umpamanya si suami di tanya seseorang sehubungan dengan
ucapannya itu.“Apakah yang kamu maksud” dengan ucapanmu itu adalah cerai?
Kemudian ia mengangguk maka terjadilah
perceraian itu dengan anggukannya itu.
Ucapan” haram” atau” putus” juga sering digunakan sebagai kinayah
untuk cerai. Darisegi dua kata itu meskipun berarti keraguan,namun ada keterkaitan
dengan perceraian lafaz ini pun menjadi majaz. Oleh karena itukinayah
dalam bentuk ini dinamai “Majaz”.
Prinsip asal dari suatu ungkapan yang di ucapkan adalah sharih
karena itulah yang dituju untuk memberikan pemahaman kepada orang yang
mendengar. Ucapan sharih di sebut ucapan yang sempurna untuk maksud ini.
Sedangkan ucapan kinyah tidak berlaku dalam hal yang menyangkut sanksi
hukum atau had yang dapat gugur karena adanya syubhat, umpamanya
seseorang mengatakan “Saya bergaul dengan si Ani sebagai kinyah dari
ucapan “Saya berzina dengan si Ani”.Orang tersebut terbebas dari sanksi hukum
atau had zina. Alasannya ialah bahwa sanksi had zina itu dapat
ditiadakan bila mengandung unsur ketidakpastian sedangkan ucapan kinayah
mengandung unsur ketidakpastian tersebut.[43]
10.
Ketentuan Hukum Lafal Sharih dan Kinayah.
Lafal sharih menjadi dasar dalam penetapan hukum, tanpa
perlu mempertanyakan lebih jauh maksud orang yang mengucapkan lafal tersebut,
baik maknanya berbentuk haqiqah maupun majaz. Adapun lafal kinayah,
maka hukum tidak dapat ditetapkan secara langsung padanya kecuali terdapat
penjelasan dari pembicaranya.[44]
Sedang menurut Ali Hasabalah, hukum sharih tergantung makna
tanpa melihat keinginan atau tidak dari si pembicara, baik itu hakikat ataupun
majaz. Karena sesungguhnya itu adalah asal kalimat. Kalau kinayah pada
sesuatu yang tidak ada ringkasan dari susunan kalimat sharih tidak
diwajibkan beramal dengannya kecuali dengan adanya niat atau adanya petunjuk
dari keadaan. [45]
C.
Kesimpulan
Pengertian hakikat itu adalah suatu lafaz yang digunakan untuk
menurut asalnya untuk maksud tertentu. Maksudnya lafaz tersebut digunakan oleh
perumus bahasa memang untuk itu. Seperti
kata “kursi”; menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang
memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata “kursi“ itu sering pula
digunakan untuk pengertian kekuasaan, namun tujuan semula kata “kursi” itu
bukan untuk itu, tetapi “tempat duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk
sasaran (pengertian) lain dinamai “majaz”. Lafaz itu tidak disifati bahwa ia haqiqah
atau majaz kecuali setelah digunakan. Hakikat ada beberapa macam
yaitu :
-
HaqiqahLughawiyyah ( الحقيقة
اللغوية) yaitu “Lafadz yang digunakan pada asal
peletakannya secara bahasa.”
- Haqiqah Syar’iyah ( الحقيقة
الشرعية) yaituLafaz
yang digunakan untuk makna yang di tentukan untuk itu oleh syara’
- Haqiqah ‘Urfiyah Khashshah ((الحقيقة
العرقية الخا صة,
yaitu“Lafazh yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa
digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.”
- Haqiqah “urfiah “ammah (الحقيقة
العرقية الخا ص)yang
ditetapkan oleh kebiasan yang berlaku secara umum. Yaitu“Lafazh yang
digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum”
Sedangkan Majaz adalah menggunakan lafal kepada selain pengertian
aslinya karena ada hubungannya dengan makna aslinya itu serta ada qarinah yang
menunjukkan untuk itu. Sama halnya dengan haqiqah, maka majaz juga memiliki
beberapa macam yaitu;
-
Majazlughawi yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena
adanya qarinah lughawi, atau tuntutan kebahasaan. Seperti menggunakan kata asad
(yang artinya macan) digunakan untuk arti : “ laki-laki yang pemberani”.
-
Majaz
Syar’i, yaitu menggunakan lafaz bukan
untuk arti yang sesungguhnya, karena ada qarinah syar’iyah. Seperti menggunakan
lafaz shalat (yang arti aslinya adalah do’a) digunakan untuk arti “suatu ibadah
yang tertentu”.
-
Majaz
‘Urfi Khas, yaitu menggunakan lafaz bukan
untuk arti yang sesungguhnya karena adanya tuntutan kebiasaan yang tertentu.
Seperti menggunakan lafaz الحال yang artinya “berubah” digunakan untuk
menentukan keadaan seseorang yang baik ataupun yang buruk.
-
Majaz
‘Urfi ‘Am, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk
arti yang sesungguhnya karena adanya kecocokan dan tuntutan kebiasaan yang umum
(menyeluruh). Seperti menggunakan lafazالدابة yang artinya hewan,
Sedangkan lafaz sharih itu adalah suatu lafal yang maknanya
jelas, dan maksud pembicaraannya tidak tersembunyi, terutama karena sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kebalikan dari arti Sharih ialah kinayah
yang secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Demikianlah makalah singkat ini penulis buat, dengan berbagai
kekurangan dan keterbatasan. Masukan dan saran penulis butuhkan dalam rangka
penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan
Alhamdilillahi Rabbil ‘Alamiin.
[1] Abdul Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih,( Jakarta; Amzah; 2014) cet. 3 h. 297
[2] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, ; 1999),
cet. 1 h. 25
[3] Amir
Syarifuddin, Ushul ..., H. 25
[4] Amir
Syarifuddin, Ushul..., h. 25
[5] Wahbah
Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Damsyiq, Darul Fikri; 1986),
h. 292
[6] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 25
[7] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul Min ‘Ilmin Ushul,( Iskandariyah, Darul
Iman; 2001), h. 15
[8] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 25
[9] Ali Hasabalah,
Ushul Al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kairo, Daarul Ma’arif; 1971, cet. 4 h. 253
[10] Abdul Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih... h. 298
[11] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 15
[12] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 26
[13] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 26
[14] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 26
[15] Atho’ bin
Kholil, Taisiril Wushul Ilal Ushul, (ashakimppa.blogspot.com), h. 202
[16] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushu..., , h. 15-16
[17] Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve;
2006), h.501
[18] Atho’ bin
Kholil, Taisiril..., h. 205
[19] Atho’ bin
Kholil, Taisiril..., h. 206
[20] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 27
[21] Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus IlmuUshul Fikih, (Jakarta,
Amzah;2009) h. 187
[22] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 27
[23] Satria Efendi,
M.Zen, Ushul Fiqih, (Jakarta, Kencana; 2012), h.229
[24] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[25] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[26] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 28
[27] Wahbah
Zuhaili, Ushul..., h. 293-294
[28] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[29] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 29
[30] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 28-29
[31] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 30
[32] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 30
[33] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 31
[34] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 32
[35] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 16
[36] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 32-34
[37] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 34-35
[38] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul..., h. 17
[39] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 35
[40] Abdul Rahman
Dahlan, Ushul..., h. 302
[41] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 35
[42] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 36
[43] Amir
Syarifuddin, Ushul Fikih..., h. 37-38
[44] Abdul Rahman
Dahlan, Ushul..., h. 303
loading...
No comments:
Write komentar