A. Misi Kehadiran Rasulullah Bagi Umat Manusia
Sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad membawa perubahan yang sangat besar
dalam kehidupan masyarakat arab. Hal itu ditandai dengan banyaknya pembaharuan
dabn perubahan yang muncul pada zaman beliau. Hal utama yang dihapus Rasulullah
adalah bentuk keyakinan arab jahiliyah yang berkembang menyembah berhala.
Dengan kurun waktu selama 22 tahun Nabi Muhammad berhasil mengubah kekafiran
dan kemusyrikan bangsa arab menjadi bangsa religius.
Selanjutnya dalam bidang ekonomi, Rasulullah
mengapus sistem riba yang telah mengakar di masyarakat. Beliau mengembangkan
prinsip-prinsip zakat dan sedekah sehingga distribusi kekayaan tidak berkisar
pada pemilik modal saja, selain itu Rasulullah mendorong umatnya untuk menekuni
suatu mata pencarian tertentu seperti berdagang atau bertani.
Dibidang sosial Rasulullah menghapus kasta sosial yang didasarkan ada harta
kekayaan, jabatan, bahakan keturunan dan warna kulit. Dalam banyak kesempatan
beliau menyatakan bahwa yang membedakan antara umat manusia adalah yang paling
taat kepada Allah dan paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya.
Secara berangsur-angsur Nabi Muhammad menghapus sistem perbudakan serta
menetapkan sejumlah peraturan yang meninggikan status mereka. Seringkali Nabi Muhammad
membeli budak dan memerdekakannya, selain itu Nabi juga menyuruh umat Islam
agar memperlakukan mereka dengan ramah dan adil.
Aspek lain yang sangat menonjol adalah berkenaan dengan kedudukan wanita.
Ajaran Islam yang di bawa Nabi Muhammad menetapkan sejumlah hak dan
keistimewaan terhadap wanita yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Nabi
juga menghentikan tradisi pembunuhan terhadap anak perempuan sehingga wanita
tidak lagi menderita atas kesewenangan laki-laki.
Selain hal tersebut Nabi juga berhasil menghapuskan praktek perjudian, dan
pertumpahan darah di negeri arab. Bangsa arab sangat meyakini dengan menyembah
roh-roh, hantu dan hal lainnya yang membentuk sistem kepercayaan terhadap
tahayul. Nabi datang dengan menyebarkan kepercayaan tauhid yang benar.
Tampaklah bahwa Nabi banyak membawa perubahan pada pranata sosial secara
besar-besaran atas situasi dan kondisi bangsa arab.[1]
B. Sumber Dan Metode Perumusan Hukum Islam
Perundang-undangan di masa Rasul mempunyai dua sumber yaitu al-Quran dan sunnah, yang tidak
terlepas dari pengawasan Allah. Bahwa tiap-tiap hukum dalam
al-Qur’an disyariatkan untuk sesuatu kejadian yang memerlukan penetapan
hukumnya.
1.
Al-Quran
adalah sumber hukum pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum
fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih
lanjut. al-Quran berasal dari kata qara-a (membaca) berubah menjadi kata benda
qur’an berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Al-Qur’an
adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai mukjizat bagi Muhammad, sebagai pedoman
hidup bagi setiap muslim dan sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah
sebelumnya. Sayyid Husein Nasr berkata bahwa al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi
manusia Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal
baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, termasuk ajaran tentang
keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak. Kedua,
al-Qur’an berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dulu termasuk kejadian
para Nabi, dan berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau akhirat.
Ketiga, al-Qur’an berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa
karena mengandung sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari secara
rasional.[2]
2.
Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Menurut
ulama ahli ushul, hadis adalah “segala perkataan, segala perbuatan, dan segala
ketetapan Nabi Muhammad Saw, yang berkaitan dengan hukum”.[3]
ketentuan hukum dalam hadis, dalam hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga macam.
Pertama, hadis memuat hukum yang sesuai dengan hukum yang ada dalam
al-Qur’an. Dalam hal ini hadis memperkuat hukum yang ada dalam al-Qur’an atau
mengulangi apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan
mempunyai dua sumber sekaligus. Kedua, hadis memuat hukum yang menjelaskan
hukum dalam al-Qur’an. Penjelasan ini dapat berupa merinci yang umum (seperti perincian tata cara
shalat) misalnya; al-Qur’an menyatakan perintah shalat :
وَأَقِيْمُوْا
الصَّلاَةَ وَآتُوْا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ
تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
Dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu,
tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah:
110)
Shalat dalam
ayat ini masih bersifat umum, maka as-Sunnah merinci secara operasional, baik
kaifiyatnya, (bacaanya dan gerakannya). Nabi bersabda: shalat kamu sebagaimana
kamu melihat aku shalat.
Ketiga, hadis memuat hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an
secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun
sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu
pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an
atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
Pada
masa Rasulullah, pengendali kekuasaan tasyri’ adalah Rasulullah sendiri. Tidak
seorangpun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang mentasyri’kan hukum pada
suatu kejadian, baik untuk dirinnya maupun untuk orang lain. Segala sesuatu
yang berkaitan dengan hukum Islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus
oleh Rasulullah, dan tidak ada masyarakat yang berani melakukan ijtihad
sendiri. Rasulullah memberi fatwa, menyelesaikan persengketaan, menjawab
pertanyaan-pertanyaan berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an yang di wahyukan oleh
Allah kepada beliau, dan tidak jarang pula dengan cara ijtihad Rasulullah yang
bersandar kepada ilham dari Allah, atau berdasar kepada petunjuk akalnya.
Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah kemudian menjadi tasyri’ bagi umat
Islam dan merupakan undang-undang yang wajib diikuti, baik hal itu bersumber
dari Allah maupun dari ijtihad Rasulullah sendiri.
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi
Muhammad Saw terhadap sesuatu yang tidak ada
ketentuan nash dari Allah. Sebagian ulama Asy’ariyah dan
kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw tidak boleh melakukan
ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan
amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, di antaranya Abu
Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya.
Sebagian shahabat al-Syafi’I al-Qadli Abd al-Jabar, dan Abu
Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad dalam
berperang, bukan dalam bidang hukum.
Menurut sebagian ulama, Nabi Saw tidak berijtihad sebab
perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah – sumber
atau dalil hukum Islam kedua – juga berdasar firman Allah:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ اْلهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْ حَى {4}
“Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm: 3-4)
Ijtihad Nabi Muhammad Saw telah
diteliti secara khusus oleh Abd al-jalil ‘Isa dengan judul Ijtihad al-Rasul Shalallah ‘alaihi wa Sallam yang diterbitkan oleh Dar al-Bayan di Beirut. Dalam buku tersebut, Abd al-Jalil ‘Isa
mengemukakan pendapat ulama yang membolehkan Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad.[4]
Al-Qadli ‘Iyadl, dalam kitab al-Syifa’, berpendapat
bahwa Nabi Muhammad berijtihad tentang masalah
duniawi. Salah satu contohnya adalah strategi perang yang dikemukakan oleh Nabi
Muhammad Saw dalam Perang Khandaq. Strategi
perang yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw ditolak oleh kalangan
Anshar.
‘Abd al-Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad
yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, diantaranya sebagai
berikut:
a.
Ketika ditanya tentang cara
memperlakukan anak-anak Musyrikin yang ikut dalam berperang, Nabi
Muhammad Saw menjawab, ”Mereka diperlakukan
seperti bapak-bapaknya.”
b.
Qiblat umat Islam sebelum ditetapkan
oleh Allah SWT adalah Bait al-Maqdis. Umat Islam
shalat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16 atau 17 bulan. Shalat ke Bait
al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad Saw.
c.
‘Abd Allah ibn Ubai (tokoh munafik) datang
kepada Nabi Muhammad Saw dan meminta beliau agar
beristigghfar (memohonkan ampunan kepada Allah)
untuknya.
Kemudian Nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah
agar ‘Abd Allah ibn Ubai diampuni. Di samping itu, Nabi
Muhammad Saw memohon kepada Allah
agar Abd Allah ibn Ubai diberi petunjuk oleh Allah.
Kemudian Allah berfirman;“kamu memmohonkan ampun
bagi mereka (orang-orang munafik) atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka
(adalah sama saja).” (QS. al-Taubah: 80)[5]
Meskipun demikian tetap saja ada beberapa sahabat yang melakukan ijtihad
sendiri untuk memutuskan persengketaan pada sebagian peristiwa hukum, misalnya:
1.
Ali ibn
Abi Thalib telah diutus oleh Rasulullah ke Yaman sebagai qadhi. Rasulullah
bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menunjuki hatimu dan meneguhkan
lisanmu. Jika di hadapanmu duduk dua orang yang bersengketa, janganlah engkau
memberi keputusan hukum hingga engkau mendengar keterangan dari pihak kedua
sebagimana engkau telah mendengar keterangan dari pihak pertama, karena hal itu
lebih memelihara jelasnya keputusanmu.”
2.
Suatu
ketika, ada dua orang sahabat sedang dalam perjalanan. Kemudian datang waktu
shalat sedangkan keduanya tidak mendapatkan air. Yang seorang berijtihad dengan
berwudlu dan mengulangi shalatnya, sedangkan temannya berijtihad bahwa shalat
yang dilakukan itu sudah mencukupi dan tidak perlu mengulang shalat lagi.
3.
Suatu
ketika Rasulullah bersabda kepada ‘Amr ibn Ash, “putuskanlah perkara ini.” ‘amr menjawab: “Apakah saya boleh berijtihad, sedangkan tuan ada di depanku?” Rasul
menjawab, “Ya, jika betul maka engkau
mendapat dua pahala, dan jika keliru maka engkau mendapat satu pahala.”
Contoh
kasus diatas mempunyai pesan bahwa seseorang (sahabat) selain Rasulullah boleh
melakukan ijtihad hanya dalam situasi yang sangat khusus dan mendesak saja.
Keputusan para sahabat dalam kasus diatas hanya bersifat penerapan hukum, bukan
berupa tasyri’ dan bukan pula undang-uundang yang ditetapkan untuk umat Islam,
kecuali dengan ketetapan dari Rasulullah.
Periode Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu
tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh
besar dan hasil yang gemilang, karena telah meninggalkan nash-nash
hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Periode ini meninggalkan sejumlah dasar
tasyri’ yang menyeluruh, yaitu sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mengetahui
sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya.[6]
Periode
Rasul ini merupakan awal dari pembentukan hukum Islam yang dalam,sejarah dapat
dibagi pada dua fase:
a.
Fase makkah
Selama 13
tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum.
Periode ini lebih terfokus pada proses
penanaman tata nilai tauhid, seperti
iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia
seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak
seperti zina, pembunuhan dan penipuan.[7]
Pada awalnya
Islam berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah selesai tujuan yang
pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan
(tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat
al-quran yang turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap
syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran
risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil
pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang
taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan
yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak
perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu
meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka
dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat
petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka
agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti
apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-Rasul
mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
Pada masa ini al-quran hanya sedikit
memaparkan masalah Ibadah, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum
disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah
erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah
dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah
merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang
menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh
dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan
ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam
aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
a. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan
praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang
ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala).
Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
b. Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi
masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan
fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa
Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting. Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia
selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui Jeddah dan Afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat
perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan
dakwah Nabi.[8]
Karena adanya tekanan dari masyarakat yang benci terhadap Islam begitu
kuat, akhirnya Rasulullah beserta pengikutnya memutuskan hijrah ke Madinah. Setelah hijrah, barulah fase Madinah dalam tasyri’ dimulai.
b.
Fase madinah
Yakni selama kira-kira 10 tahun
berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Pada fase ini Islam terbina
menjadi umat, membentuk pemerintahan, dan media-media dakwah telah berjalan
lancar. Pada fase atau periode ini Islam
sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah
banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[9] Keadaan
inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang
untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa
lainnya, dan untuk mengatur pula hubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam
baik di waktu damai maupun perang.
Adapun
periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat
sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena itu di periode madinah inilah
ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam)
turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Meskipun pada periode
ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat
legalitas sudah ada sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah
diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang
tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral
dan etik.
Pada periode
ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan
bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang
berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada
setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat,
perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu
fiqih.[10]
Proses
pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa,
menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi
hukum-hukum,
sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada
masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila
menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung
bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa
kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah
kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum
dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi
SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.[11]
Menurut
penulis, alasan hijrahya rasulullah ke madinah dikarenakan dua alasan. Pertama,
tekanan dari kaum kafir Quraisy dalam menghadang dakwah Rasulullah. Ketika
rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan, maka ketika itu pula mulai
datang ancaman bahkan siksaan kepada kaum muslimin waktu itu. Oleh karena itu,
rasulullah berpikir untuk mencari perlindungan di luar makkah. Sehingga
terjadilah hijrah rasulullah ke Thaif dan kemudian ke Madinah.
Alasan kedua, karena indikasi politik. Hal ini
ditandai dengan hijrah beliau ke thaif membawakan hasil yang tidak membawakan
hasil, namun datang angin segar dari penduduk Madinah yang menghadap kepada
rasulullah di bukit Aqaba sebayak 13 orang yang berikrar untuk memeluk islam,
yang dikenal dengan Bai’at Aqaba. Selanjutnya datang lagi sebanyak 73 orang dari Madinah ke
Mekah yang terdiri dari Suku Aus dan Suku Khazraj yang pada awalnya memang
mereka datang untuk melakukan Ibadah Haji, akan tetapi kemudian menjumpai
Rasulullah dan mengajak beliau agar behijrah ke Madinah. Mereka berjanji untuk membela dan mempertahankan Rasulullah dan
pengikutnya serta melindungi keluarganya seperti mereka melindungi anak dan
istri mereka sendiri. Peristiwa ini dinamakan Bai'at Aqabah II.
C. Prinsip Dasar Dalam Penetapan Hukum Islam
Dalam pembinaan hukum Islam telah
dipelihara empat dasar (asas)[12]:
1.
Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam
masa tasyri’ dan berlaku pula dalam macam-macam hukum yang disyariatkan. Hikmah
dari berangsur-angsurnnya masa turunnya hukum ialah agar secara bertahap mudah
diketahui isi undang-undangnya, materi demi materi, dan mudah dipahami
hukum-hukumnya secara sempurna, dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi
yang memerlukan penetapan hukum.
Adapun tujuan hukum diturunkan dan
disyariatkan secara berangsur-angsur adalah agar segenap umat pada masa pertama
memeluk agama Islam tidak dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin
dikerjakan maupun ingin ditinggalkan, sehingga segenap umat bersedia menerima
dan taklif.
Sebagaimana ketika Rasulullah
ditanya masalah khamer dan judi, sedang keduanya termasuk adat-istiadat yang
kokoh dikalangan mereka. maka beliau menjawab mereka dengan ayat Al-Qur’an
surat al-Baqarah: 219
y7tRqè=t«ó¡o„ ÇÆtã ÌôJy‚ø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". ( Qs. Al-Baqarah: 219)
ayat tersebut tidak menjelaskan
tuntutan untuk meninggalkannya, tetapi disuruh untuk memahaminya terhadap
perbuatan yang tidak banyak manfaatnya. kemudian Al-Qur’an menjelaskan kepada
mereka tentang shalat dalam keadaan mabuk sehingga mereka tidak mengetahui apa
yang mereka katakan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 43
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qçtø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ß™ 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan.”(Qs. an-Nisa: 43)
Larangan ini tidaklah membatalkan
kepada yang pertama bahkan dia menguatkannya. Kemudian Al-Qur’an menjelaskan
larangan sebagai keputusan secara tegas kepada suatu hukum. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Maidah: 90:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Qs. al-Maidah: 90)
2. Mengefisienkan pembuatan undang-undang.
Disini hukum-hukum disyariatkan oleh
Allah dan Rasul-Nya sekedar menurut kebutuhan-kebutuhan hukum yang diperlukan,
serta merespon kejadian yang mengharuskan adanya hukum. Hikmah pembinaan dari
tasyri’ ini adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mewujudkan
kemaslahatan, maka sebaiknya pada tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai
dengan kebutuhan dan kemaslahatan zamannya, sehingga orang-orang yang
terdahulu, kini, dan yang akan datang, tidak menemukan kesulitan akibat
peraturan-peraturan diluar kebutuhan dan kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah
dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan benda atau perjanjian atau transaksi yang
tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah
maka dengan mengefisienkan undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan.
Permasalahan apapun yang tidak ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya
boleh berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan
menurut asal).
3. Memberi
kemudahan dan keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam
perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya
adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
Dalam keadaan khusus dimana hukum
‘adzimah mendatangkan kesulitan, maka disyariatkanlah hukum rukhshah
(keringanan). maka dibolehkanlah hal-hal yang terlarang ketika terjadi darurat,
dan dibolehkan meninggalkan perbuatan wajib jika untuk menunaikannya terdapat
kesulitan. Adanya paksaan, keadaan sakit, bepergian, khilaf, lupa, dan
ketidaktahuan, merupakan alasan untuk keringanan hukum.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah:
185:
߉ƒÌムª!$# ãNà6Î tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌムãNà6Î uŽô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs. al-Baqarah: 185)
4. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini adalah
bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak memberikan ta’lil hukum dengan
kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum
yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu adanya
‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan hukum. untuk ini
Allah mensyariatkan sebagian hukum, kemudian membatalkan dan menghapusnya,
Karena kemaslahatan mengharuskan perubahan yang demikian.
Salah satu contohnya, mula-mula Allah
mewajibkan menghadap Baitul Maqdis ketika shalat, kemudian hukum ini dihapuskan
dan diganti dengan perintah menghadap Ka’bah ketika shalat.
Adanya penghapusan hukum,
penggantian hukum, dan perubahan hukum, menjadi bukti bahwa perundang-undangan
dalam Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat manusia. Untuk memeliharanya
maka pembuat undang-undang memperhatikan ‘urf (adat kebiasaan masyarakat
diwaktu peraturan berlaku) selama adat istiadat tersebut tidak merusak salah
satu dasar dari pokok agama. Oleh karena itu syari’ (pembuat undang-undang)
memperhatikan adanya kafa’ah (keseimbangan, kufu) dalam perkawinan,
memperhatikan ‘ashabah dalam hukum pewarisan dan perwalian, serta mewajibkan
pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka
perlu diperhatikan adat kebiasaan serta hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat
setempat (lokal), selama yang demikian itu tidak berlawanan dengan pokok-pokok
agama serta tidak mendatangkan kemudharatan.
D. Hakekat dan Fungsi Hukum Islam
Islam
muncul dengan membawa rahmat bagi seluruh alam. Terdapat
sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa misi ajaran Islam
sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Argumentasi tersebut dikemukakan
sebagai berikut[13]
:
1.
Untuk menunjukkan
bahwa Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari pengertian Islam itu
sendiri. Kata Islam makna aslinya masuk dalam perdamaian, dan orang Muslim ialah orang yang damai dengan Allah
dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya
kepada kehendak-Nya dan damai dengan manusia bukan saja berarti menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada
sesamanya, melainkan pula ia berbuat baik kepada sesamanya.
2.
Islam adalah
agama perdamaian dan dua ajaran pokoknya, yaitu Keesaan Allah, dan kesatuan
atau persaudaraan umat manusia, menjadi bukti yang nyata bahwa agama Islam
selaras benar dengan mananya.
3.
Misi ajaran
Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan Islam
dalam menangani berbagai problematika agama, sosial, ekonomi, politik, hukum,
pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Dari sejak kelahirannya lima belas abad
yang lalu Islam senantiasa hadir memberikan jawaban terhadap permasalahan di
atas. Islam sebagaimana dikatakan H.A.R. Gibb bukan semata-mata ajaran tentang
keyakinan saja, melainkan sebagia sebuah sistem kehidupan yang multi dimensial.[14]
Dari sejak kelahirannya Islam sudah
memiliki komitmen dan respon yang tinggi untuk ikut terlibat dalam memecahkan
berbagai masalah tersebut di atas. Islam bukan hanya mengurusi sosial ibadah
dan seluk beluk yang terkait dengannya saja, melainkan juga ikut terlibat
memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah tersebut
dengan penuh bijaksana, adil, domokratis, manusiawi, dan seterusnya. Hal-hal
yang demikian itu dapat dikemukakan sebagai berikut[15]
:
a. Dalam bidang sosial, Islam memperkenalkan ajaranyang
bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan
manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk Allah SWT. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
b.
misi Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dari
ajaran dalam bidan ekonomi yang bersandikan asas keseimbangan dan pemerataan.
Dalam ajaran Islam seseorang diperbolehkan memiliki kekayaan tanpa batas, namun
dalam jumlah tertentu dalam hartanya terdapat milik orang lain yagn harus
dikeluarkan dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah.
c. Misi rahmatan lil alamin ajaran Islam dalam
bidang hukum-hukum terlihat dari perintah Alquran surat An-Nisa’ ayat 58
sebagaimana tersebut di atas. Ayat tersebut memerintah seorang hakim agar
berlaku adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara. Penegakan supremasi hukum
sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.[16]
Islam
sebagai agama memiliki hukum yang fungsi utamanya terhadap kemaslahatan umat.
Adapun fungsi adanya hukum Islam adalah sebagai berikut:
- Fungsi Ibadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman:
“Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah
kepadaKu’. Maka dengan dalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol
dibandingkan dengan fungsi lainnya.
- Fungsi amar makruf nahi munkar (perintah kebaikan dan
peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum Islam bahkan ritual dan
spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi
teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
- Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum Islam
yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa
akhirat dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut melakukan
kejahatan.
- Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan
rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar
sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan
tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh
baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi
engineering sosial.[17]
[1] K. Ali, Sejarah
Islam,(jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hal 81
[2]http://ridemakergalery.blogspot.co.id/2012/10/sumber-sumber-hukum-Islam.html
diakses pada tanggal 2 oktober 2015
[3] Muhammad Daud
Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
(Jakarta: RajaGrafindo,2009) Hal:97
[4] Noor achmad, istishlah
sebagai metode formulasi hukum dan relevansinya dengan pembaruan hukum
indonesia, (disertasi: 2006), hal.1.
[5] Jaih
Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2003), hal 30-33.
[8] Abdul wahab
khalaf. Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum islam, (Jakarta: raja
Grafindo Persda, 2002) hal. 19.
[11] http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.co.id/2012/10/tasyri-pada-zaman-Rasulullah.html
diakses pada tanggal 2 oktober 2015
[12] Abdul wahab khalaf, Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, (Solo: CV.Ramadhani, 1974), hal 13.
[13] Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2008), hal 97.
[14] Abudin Nata, Metodologi....
hal 100.
[15] Abudin Nata, Metodologi....
hal 103.
[16] Abudin Nata, Metodologi....
hal 109.
loading...
No comments:
Write komentar