Monday, November 13, 2017

Sejarah Hukum Islam Fase Rasulullah

Sejarah Hukum Islam Fase Rasulullah
A.  Misi Kehadiran Rasulullah Bagi Umat Manusia
Sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat arab. Hal itu ditandai dengan banyaknya pembaharuan dabn perubahan yang muncul pada zaman beliau. Hal utama yang dihapus Rasulullah adalah bentuk keyakinan arab jahiliyah yang berkembang menyembah berhala. Dengan kurun waktu selama 22 tahun Nabi Muhammad berhasil mengubah kekafiran dan kemusyrikan bangsa arab menjadi bangsa religius.
 Selanjutnya dalam bidang ekonomi, Rasulullah mengapus sistem riba yang telah mengakar di masyarakat. Beliau mengembangkan prinsip-prinsip zakat dan sedekah sehingga distribusi kekayaan tidak berkisar pada pemilik modal saja, selain itu Rasulullah mendorong umatnya untuk menekuni suatu mata pencarian tertentu seperti berdagang atau bertani.
Dibidang sosial Rasulullah menghapus kasta sosial yang didasarkan ada harta kekayaan, jabatan, bahakan keturunan dan warna kulit. Dalam banyak kesempatan beliau menyatakan bahwa yang membedakan antara umat manusia adalah yang paling taat kepada Allah dan paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya.
Secara berangsur-angsur Nabi Muhammad menghapus sistem perbudakan serta menetapkan sejumlah peraturan yang meninggikan status mereka. Seringkali Nabi Muhammad membeli budak dan memerdekakannya, selain itu Nabi juga menyuruh umat Islam agar memperlakukan mereka dengan ramah dan adil.
Aspek lain yang sangat menonjol adalah berkenaan dengan kedudukan wanita. Ajaran Islam yang di bawa Nabi Muhammad menetapkan sejumlah hak dan keistimewaan terhadap wanita yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Nabi juga menghentikan tradisi pembunuhan terhadap anak perempuan sehingga wanita tidak lagi menderita atas kesewenangan laki-laki.
Selain hal tersebut Nabi juga berhasil menghapuskan praktek perjudian, dan pertumpahan darah di negeri arab. Bangsa arab sangat meyakini dengan menyembah roh-roh, hantu dan hal lainnya yang membentuk sistem kepercayaan terhadap tahayul. Nabi datang dengan menyebarkan kepercayaan tauhid yang benar. Tampaklah bahwa Nabi banyak membawa perubahan pada pranata sosial secara besar-besaran atas situasi dan kondisi bangsa arab.[1]
B.  Sumber Dan Metode Perumusan Hukum Islam
Perundang-undangan di masa Rasul mempunyai dua sumber yaitu al-Quran dan sunnah, yang tidak terlepas dari pengawasan Allah. Bahwa tiap-tiap hukum dalam al-Qur’an disyariatkan untuk sesuatu kejadian yang memerlukan penetapan hukumnya.
1.        Al-Quran adalah sumber hukum pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. al-Quran berasal dari kata qara-a (membaca) berubah menjadi kata benda qur’an berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai mukjizat bagi Muhammad, sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim dan sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya. Sayyid Husein Nasr berkata bahwa al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi manusia Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, termasuk ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak. Kedua, al-Qur’an berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dulu termasuk kejadian para Nabi, dan berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau akhirat. Ketiga, al-Qur’an berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa karena mengandung sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari secara rasional.[2]
2.         Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Menurut ulama ahli ushul, hadis adalah “segala perkataan, segala perbuatan, dan segala ketetapan Nabi Muhammad Saw, yang berkaitan dengan hukum”.[3] ketentuan hukum dalam hadis, dalam hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga macam. Pertama, hadis memuat hukum yang sesuai dengan hukum yang ada dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hadis memperkuat hukum yang ada dalam al-Qur’an atau mengulangi apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua sumber sekaligus. Kedua, hadis memuat hukum yang menjelaskan hukum dalam al-Qur’an. Penjelasan ini dapat berupa merinci yang umum (seperti perincian tata cara shalat) misalnya; al-Qur’an menyatakan perintah shalat :
وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَآتُوْا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 110)

                        Shalat dalam ayat ini masih bersifat umum, maka as-Sunnah merinci secara operasional, baik kaifiyatnya, (bacaanya dan gerakannya). Nabi bersabda: shalat kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.
Ketiga, hadis memuat hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
Pada masa Rasulullah, pengendali kekuasaan tasyri’ adalah Rasulullah sendiri. Tidak seorangpun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang mentasyri’kan hukum pada suatu kejadian, baik untuk dirinnya maupun untuk orang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh Rasulullah, dan tidak ada masyarakat yang berani melakukan ijtihad sendiri. Rasulullah memberi fatwa, menyelesaikan persengketaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an yang di wahyukan oleh Allah kepada beliau, dan tidak jarang pula dengan cara ijtihad Rasulullah yang bersandar kepada ilham dari Allah, atau berdasar kepada petunjuk akalnya. Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah kemudian menjadi tasyri’ bagi umat Islam dan merupakan undang-undang yang wajib diikuti, baik hal itu bersumber dari Allah maupun dari ijtihad Rasulullah sendiri.
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad Saw terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Allah. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, di antaranya Abu Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya.
Sebagian shahabat al-Syafi’I al-Qadli Abd al-Jabar, dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang hukum.
Menurut sebagian ulama, Nabi Saw tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah – sumber atau dalil hukum Islam kedua – juga berdasar firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ اْلهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْ حَى {4}
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm: 3-4)

Ijtihad Nabi Muhammad Saw telah diteliti secara khusus oleh Abd al-jalil ‘Isa dengan judul Ijtihad al-Rasul Shalallah ‘alaihi wa Sallam yang diterbitkan oleh Dar al-Bayan di Beirut. Dalam buku tersebut, Abd al-Jalil ‘Isa mengemukakan pendapat ulama yang membolehkan Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad.[4]
Al-Qadli ‘Iyadl, dalam kitab al-Syifa’, berpendapat bahwa Nabi Muhammad berijtihad tentang masalah duniawi. Salah satu contohnya adalah strategi perang yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Perang Khandaq. Strategi perang yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw ditolak oleh kalangan Anshar.
‘Abd al-Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, diantaranya sebagai berikut:
a.    Ketika ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak Musyrikin yang ikut dalam berperang, Nabi Muhammad Saw menjawab, ”Mereka diperlakukan seperti bapak-bapaknya.”
b.    Qiblat umat Islam sebelum ditetapkan oleh Allah SWT adalah Bait al-Maqdis. Umat Islam shalat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16 atau 17 bulan. Shalat ke Bait al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad Saw.
c.    ‘Abd Allah ibn Ubai (tokoh munafik) datang kepada Nabi Muhammad Saw dan meminta beliau agar beristigghfar (memohonkan ampunan kepada Allah) untuknya. Kemudian Nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar ‘Abd Allah ibn Ubai diampuni. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar Abd Allah ibn Ubai diberi petunjuk oleh Allah. Kemudian Allah berfirman;“kamu memmohonkan ampun bagi mereka (orang-orang munafik) atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja).” (QS. al-Taubah: 80)[5]
Meskipun demikian tetap saja ada beberapa sahabat yang melakukan ijtihad sendiri untuk memutuskan persengketaan pada sebagian peristiwa hukum, misalnya:
1.    Ali ibn Abi Thalib telah diutus oleh Rasulullah ke Yaman sebagai qadhi. Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menunjuki hatimu dan meneguhkan lisanmu. Jika di hadapanmu duduk dua orang yang bersengketa, janganlah engkau memberi keputusan hukum hingga engkau mendengar keterangan dari pihak kedua sebagimana engkau telah mendengar keterangan dari pihak pertama, karena hal itu lebih memelihara jelasnya keputusanmu.”
2.    Suatu ketika, ada dua orang sahabat sedang dalam perjalanan. Kemudian datang waktu shalat sedangkan keduanya tidak mendapatkan air. Yang seorang berijtihad dengan berwudlu dan mengulangi shalatnya, sedangkan temannya berijtihad bahwa shalat yang dilakukan itu sudah mencukupi dan tidak perlu mengulang shalat lagi.
3.    Suatu ketika Rasulullah bersabda kepada ‘Amr ibn Ash, “putuskanlah perkara ini.” ‘amr menjawab: “Apakah saya boleh berijtihad, sedangkan tuan ada di depanku?” Rasul menjawab, “Ya, jika betul maka engkau mendapat dua pahala, dan jika keliru maka engkau mendapat satu pahala.”
Contoh kasus diatas mempunyai pesan bahwa seseorang (sahabat) selain Rasulullah boleh melakukan ijtihad hanya dalam situasi yang sangat khusus dan mendesak saja. Keputusan para sahabat dalam kasus diatas hanya bersifat penerapan hukum, bukan berupa tasyri’ dan bukan pula undang-uundang yang ditetapkan untuk umat Islam, kecuali dengan ketetapan dari Rasulullah.
Periode Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh besar dan hasil yang gemilang, karena telah meninggalkan nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Periode ini meninggalkan sejumlah dasar tasyri’ yang menyeluruh, yaitu sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mengetahui sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.[6]
 Periode Rasul ini merupakan awal dari pembentukan hukum Islam yang dalam,sejarah dapat dibagi pada dua fase:
a.    Fase makkah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada proses penanaman tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.[7]
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat  al-quran yang turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
     Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-Rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
     Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan masalah Ibadah, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
     Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
a.   Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
b.  Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting. Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui Jeddah dan Afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.[8]
Karena adanya tekanan dari masyarakat yang benci terhadap Islam begitu kuat, akhirnya Rasulullah beserta pengikutnya memutuskan hijrah ke Madinah. Setelah hijrah, barulah fase Madinah dalam tasyri’ dimulai.
b.      Fase madinah
Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Pada fase ini Islam terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan, dan media-media dakwah telah berjalan lancar. Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[9] Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula hubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.[10]
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi hukum-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.[11]
Menurut penulis, alasan hijrahya rasulullah ke madinah dikarenakan dua alasan. Pertama, tekanan dari kaum kafir Quraisy dalam menghadang dakwah Rasulullah. Ketika rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan, maka ketika itu pula mulai datang ancaman bahkan siksaan kepada kaum muslimin waktu itu. Oleh karena itu, rasulullah berpikir untuk mencari perlindungan di luar makkah. Sehingga terjadilah hijrah rasulullah ke Thaif dan kemudian ke Madinah.
 Alasan kedua, karena indikasi politik. Hal ini ditandai dengan hijrah beliau ke thaif membawakan hasil yang tidak membawakan hasil, namun datang angin segar dari penduduk Madinah yang menghadap kepada rasulullah di bukit Aqaba sebayak 13 orang yang berikrar untuk memeluk islam, yang dikenal dengan Bai’at Aqaba. Selanjutnya datang lagi sebanyak 73 orang dari Madinah ke Mekah yang terdiri dari Suku Aus dan Suku Khazraj yang pada awalnya memang mereka datang untuk melakukan Ibadah Haji, akan tetapi kemudian menjumpai Rasulullah dan mengajak beliau agar behijrah ke Madinah. Mereka berjanji untuk membela dan mempertahankan Rasulullah dan pengikutnya serta melindungi keluarganya seperti mereka melindungi anak dan istri mereka sendiri. Peristiwa ini dinamakan Bai'at Aqabah II.
C.  Prinsip Dasar Dalam Penetapan Hukum Islam
Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara empat dasar (asas)[12]:
1. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam masa tasyri’ dan berlaku pula dalam macam-macam hukum yang disyariatkan. Hikmah dari berangsur-angsurnnya masa turunnya hukum ialah agar secara bertahap mudah diketahui isi undang-undangnya, materi demi materi, dan mudah dipahami hukum-hukumnya secara sempurna, dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi yang memerlukan penetapan hukum.   
Adapun tujuan hukum diturunkan dan disyariatkan secara berangsur-angsur adalah agar segenap umat pada masa pertama memeluk agama Islam tidak dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan maupun ingin ditinggalkan, sehingga segenap umat bersedia menerima dan taklif. 
Sebagaimana ketika Rasulullah ditanya masalah khamer dan judi, sedang keduanya termasuk adat-istiadat yang kokoh dikalangan mereka. maka beliau menjawab mereka dengan ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah: 219
 y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (  Qs. Al-Baqarah: 219)
ayat tersebut tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, tetapi disuruh untuk memahaminya terhadap perbuatan yang tidak banyak manfaatnya. kemudian Al-Qur’an menjelaskan kepada mereka tentang shalat dalam keadaan mabuk sehingga mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 43
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qçtø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”(Qs. an-Nisa: 43)

Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan dia menguatkannya. Kemudian Al-Qur’an menjelaskan larangan sebagai keputusan secara tegas kepada suatu hukum. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah: 90:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Qs. al-Maidah: 90)

2. Mengefisienkan pembuatan undang-undang.
Disini hukum-hukum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sekedar menurut kebutuhan-kebutuhan hukum yang diperlukan, serta merespon kejadian yang mengharuskan adanya hukum. Hikmah pembinaan dari tasyri’ ini adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mewujudkan kemaslahatan, maka sebaiknya pada tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan zamannya, sehingga orang-orang yang terdahulu, kini, dan yang akan datang, tidak menemukan kesulitan akibat peraturan-peraturan diluar kebutuhan dan kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan benda atau perjanjian atau transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah maka dengan mengefisienkan undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan menurut asal).
3. Memberi kemudahan dan keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
Dalam keadaan khusus dimana hukum ‘adzimah mendatangkan kesulitan, maka disyariatkanlah hukum rukhshah (keringanan). maka dibolehkanlah hal-hal yang terlarang ketika terjadi darurat, dan dibolehkan meninggalkan perbuatan wajib jika untuk menunaikannya terdapat kesulitan. Adanya paksaan, keadaan sakit, bepergian, khilaf, lupa, dan ketidaktahuan, merupakan alasan untuk keringanan hukum. 
Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185:
 ßƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î uŽô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs. al-Baqarah: 185)

4. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu adanya ‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan hukum. untuk ini Allah mensyariatkan sebagian hukum, kemudian membatalkan dan menghapusnya, Karena kemaslahatan mengharuskan perubahan yang demikian.
Salah satu contohnya, mula-mula Allah mewajibkan menghadap Baitul Maqdis ketika shalat, kemudian hukum ini dihapuskan dan diganti dengan perintah menghadap Ka’bah ketika shalat.  
Adanya penghapusan hukum, penggantian hukum, dan perubahan hukum, menjadi bukti bahwa perundang-undangan dalam Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat manusia. Untuk memeliharanya maka pembuat undang-undang memperhatikan ‘urf (adat kebiasaan masyarakat diwaktu peraturan berlaku) selama adat istiadat tersebut tidak merusak salah satu dasar dari pokok agama. Oleh karena itu syari’ (pembuat undang-undang) memperhatikan adanya kafa’ah (keseimbangan, kufu) dalam perkawinan, memperhatikan ‘ashabah dalam hukum pewarisan dan perwalian, serta mewajibkan pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka perlu diperhatikan adat kebiasaan serta hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat setempat (lokal), selama yang demikian itu tidak berlawanan dengan pokok-pokok agama serta tidak mendatangkan kemudharatan.
D.  Hakekat dan Fungsi Hukum Islam
Islam muncul dengan membawa rahmat bagi seluruh alam. Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Argumentasi tersebut dikemukakan sebagai berikut[13] :
1.       Untuk menunjukkan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari pengertian Islam itu sendiri. Kata Islam makna aslinya masuk dalam perdamaian, dan orang Muslim ialah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya dan damai dengan manusia bukan saja berarti menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada sesamanya, melainkan pula ia berbuat baik kepada sesamanya.
2.      Islam adalah agama perdamaian dan dua ajaran pokoknya, yaitu Keesaan Allah, dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia, menjadi bukti yang nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan mananya.
3.      Misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan Islam dalam menangani berbagai problematika agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Dari sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam senantiasa hadir memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas. Islam sebagaimana dikatakan H.A.R. Gibb bukan semata-mata ajaran tentang keyakinan saja, melainkan sebagia sebuah sistem kehidupan yang multi dimensial.[14]
Dari sejak kelahirannya Islam sudah memiliki komitmen dan respon yang tinggi untuk ikut terlibat dalam memecahkan berbagai masalah tersebut di atas. Islam bukan hanya mengurusi sosial ibadah dan seluk beluk yang terkait dengannya saja, melainkan juga ikut terlibat memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah tersebut dengan penuh bijaksana, adil, domokratis, manusiawi, dan seterusnya. Hal-hal yang demikian itu dapat dikemukakan sebagai berikut[15] :
a. Dalam bidang sosial, Islam memperkenalkan ajaranyang bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk Allah SWT. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
b. misi Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dari ajaran dalam bidan ekonomi yang bersandikan asas keseimbangan dan pemerataan. Dalam ajaran Islam seseorang diperbolehkan memiliki kekayaan tanpa batas, namun dalam jumlah tertentu dalam hartanya terdapat milik orang lain yagn harus dikeluarkan dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah.
c. Misi rahmatan lil alamin ajaran Islam dalam bidang hukum-hukum terlihat dari perintah Alquran surat An-Nisa’ ayat 58 sebagaimana tersebut di atas. Ayat tersebut memerintah seorang hakim agar berlaku adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara. Penegakan supremasi hukum sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.[16]
Islam sebagai agama memiliki hukum yang fungsi utamanya terhadap kemaslahatan umat. Adapun fungsi adanya hukum Islam adalah sebagai  berikut:
  1. Fungsi Ibadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka dengan dalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
  2. Fungsi amar makruf nahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum Islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
  3. Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum Islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
  4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi engineering sosial.[17]





[1] K. Ali, Sejarah Islam,(jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hal 81
[2]http://ridemakergalery.blogspot.co.id/2012/10/sumber-sumber-hukum-Islam.html diakses pada tanggal 2 oktober 2015
[3] Muhammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: RajaGrafindo,2009) Hal:97
[4] Noor achmad, istishlah sebagai metode formulasi hukum dan relevansinya dengan pembaruan hukum indonesia, (disertasi: 2006), hal.1.
[5] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2003), hal 30-33.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Marja 2005) Cet-1, hal: 11
[7] A.sirri, Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar,( Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal 22.  
[8] Abdul wahab khalaf. Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum islam, (Jakarta: raja Grafindo Persda, 2002) hal. 19.
12 http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.co.id/2012/10/tasyri-pada-zaman-rasulullah.html diakses pada tangggal 27 september 2015.
[10] Abdul wahab khalaf, Sejarah ...... hal. 20.
[11] http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.co.id/2012/10/tasyri-pada-zaman-Rasulullah.html diakses pada tanggal 2 oktober 2015
[12] Abdul wahab khalaf, Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, (Solo: CV.Ramadhani, 1974), hal 13.
[13] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2008), hal 97.
[14] Abudin Nata, Metodologi.... hal 100.
[15] Abudin Nata, Metodologi.... hal 103.
[16] Abudin Nata, Metodologi.... hal 109.
[17]  Ibrahim Hosen, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, UI Press: 1996), hal  90.

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...