Friday, April 22, 2016

Perdamaian Di Pengadilan Agama




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Persengketaan pada prinsipnya dan sebaiknya di selesaikan secara damai (kekeluargaan) antara pihak-pihak yang bersengketa. Akan tetapi jika perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa tidak tercapai, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase.[1]
Peranan hakim dalam usaha menyelesaikan perkara secara damai adalah sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan (justitiabelen). Penyelesaiannya cepat dan ongkosnya ringan, selain itu permusuhan antara kedua belah pihak yang berperkara menjadi berkurang. Hal ini jauh lebih baik dari pda perkara sampai diputus dengan suatu putusan biasa, dimana misalnya pihak tergugat dikalahkan dan pelaksanaan putusan harus dilaksanakan secara paksa.[2]
B.  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, maka pemakalah dapat merumuskan: “Bagaimana Penyelesaian Sengketa melalui Perdamaian?”










BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Menurut ketentuan BW yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara. Dimana persetujuan itu harus ditulis.[3]
Dalam suatu sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat diupayakan untuk perdamaian.[4] Jika para pihak sepakat untuk melakukan perdamaian,baik terjadi karena inisiatif para pihak sendiri maupun karena upaya hakim maka dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
1.         Perdamaian diluar persidangan
Dilakukan oleh para pihak, baik terjadi karena inisiatif para pihak sendiri maupun atas prakarsa hakim yang diterima oleh para pihak, konsekwensi dari perdamaian seperti ini adalah bahwa penggugat harus mencabut kembali gugatannya yang telah di daftarkan dipengadilan tersebut.[5]
2.         Perdamaian dalam persidangan
Perdamaian dalam bentuk ini dilakukan dalam proses persidangan dengan sebuah akta perdamaianyang merupakan akhir dari proses persidangan. Terhadap perdamaian seperti ini, mempunyai kekuatan yang sama dengan kekuatan hukum putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).[6] sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBG, Pasal ini mengatakan:
a.         Apabila pada hari sidang yang telah ditetukan kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.
b.         Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu, akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan yang biasa.
c.         Terhadap putusan yang demikian itu tidak dapat dimohonkan banding.[7]
Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, upaya perdamaian dipengadilan selalu dilakukan di tiap kali persidangan. Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Hakim sebelum memeriksa perkara lebih lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat.[8]
Sesuai dengan ketentuan pasal 130 HIR ayat 1, bahwa hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan tinggi.[9]

B.  Dasar Hukum
Sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama. Adapun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum Acara Peradilan Agama, antara lain sebagai berikut:
1. HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) Staatsblad 1941 No. 44.
2. RBg (Rechtsreglement voor de Buiten gewesten) Stb. 1927 – 227
3. Rv (Reglement of de Burgelijke Rechts vordering) Staatblad 52 Tahun 1847
4. KUH Perdata (BW / Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
5. UU No. 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan/Banding.
6. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8. UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
9. UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
10. UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
11. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama Atas UU No. 7 Th 1989.
12. UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Th 1989.
13. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
14. PP No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.
15. PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
16. Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam (KHI).
17. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
18. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
19. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 084/KMA/SK/V/2011 Tentang Ijin Sidang Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) Di Kantor Perwakilan Republik Indonesia.
20. Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Dan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor 04/TUADA-AG/II/2011 dan Nomor 020/SEK/SK/II/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010 Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Lampiran B.
21. Hasil Rakernas MARI.
22. Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama.[10]
C.  Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa
 Bentuk penyelesaian sengketa menurut hukum terdiri atas penyelesaian sengketa melalui pengadilan (Legitasi), dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-legitasi). Sedangkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dibagi atas dua bagian besar yaitu melalui arbitrase, dan melalui alternatif yang penyelesaian sengketa meliputi cara-cara: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan penilaian ahli.
Arbitrase, adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[11]
Konsultasi, menurut  M. Marwan dan Jimmy P adalah  “Permohonan nasihat atau pendapat untuk menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga”.
Negosiasi, menurut M. Marwan dan Jimmy P, adalah sebagai proses tawar-menawar dengan jalan berunding antara para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan bersama.
Munir Fuady menjelaskan tentang penyelesaian sengketa melalui mediasi, bahwa: “Yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak, yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak. Pihak ketiga yang netral tersebut disebut dengan mediator.”[12]
M. Marwan dan Jimmy P, mengartikan Konsiliasi sebagai usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak bersengketa agar mencapai kesepakatan guna menyelesaikan sengketa dengan kekeluargaan. Sedangkan menurut Munir Fuady, Konsiliasi mirip dengan mediasi, yakni merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Penilaian ahli, merupakan bentuk pendapat ahli yang dapat dipahami dan diterima oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Hukum Acara, dikenal sebagai saksi ahli, yakni suatu kesaksian berdasarkan keahlian dari seseorang atau lebih untuk menemukan solusi pada pokok persengketaan.
Penilaian ahli juga dinamakan sebagai keterangan ahli, yang dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dirumuskan bahwa “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan” (Pasal 1 Angka 28).[13]
D.  Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung dan  Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003).

E.  Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri penting dari mediator  adalah :
1. Netral
2. Membantu para pihak
3. Tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung kepada para pihak.
Tugas-tugas Mediator adalah:
1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan terpisah) selama proses mediasi berlangsung.
4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.[14]
F.   Persiapan dan Tahapan Mediasi
Adapun prsedur mediasi menurut PERMA No 1 Tahun 2008 dibagi dalam dua tahap yaitu : tahap pra mediasi dan tahap proses mediasi.
a. Tahap Pra Mediasi
Tahap pra mediasi adalah tahap dimana para pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan jalur mediasi dan para pihak menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan membantu menyelesaikan sengketa mereka.
Tahap pra mediasi diatur dalam bab II yang terdiri dari Pasal 7-12. tahap ini merupakan persiapan kearah proses mediasi, sebelum pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi pokok sengketa dinilai lebih dahulu, dipersiapkan prasarana yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian.
Hal ini sesuai dengan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg, bahwa sebelum perkara diperiksa oleh majelis hakim, maka terlebih dahulu di upayakan perdamaian diantara para pihak oleh majelis hakim. Hal ini sesuai dengan petunjuk PERMA No 1 Tahun 2008 dalam Pasal 2 Ayat (2,3). Oleh karena itu pada sidang pertama yang dihadiri para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi dan ketidak hadiran turut tergugat tidaklah menghalangi proses mediasi sebagaiman disebutkan dalam pasal 7 Ayat (1,2) yakni:
1). Pada sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh proses mediasi
2). Ketidak hadiran pihak Turut Tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi
Selanjutnya hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesepakatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Untuk jangka waktu penundaan ini biasanya dalam praktik selama ini sidang ditunda selama 30 hari atau 22 hari sejak pemilihan/penetapan penunjukan mediator, hal ini sesuai dengan PERMA No 2 Tahun 2003, namun dengan adanya PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (5) bahwa “Hakim wajib menunda proses persidanga perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi”. Sedangkan jangka waktu penundaan tersebut adalah 40 hari sejak terpilihnya mediator dan dapat diperpanjang denga 14 hari kerja, hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 13 Ayat (3,4) yakni:
3). Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (emat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (5) dan (6).
4). Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
Pada sidang pertama hakim juga diwajibkan untuk memberilakan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur mediasi, kemudian hakim mewajibkan pada hari itu juga paling lama 2 hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator yang dimiliki oleh pengadilan. Jika tidak dapat bersepakat tentang penggunaan mediator yang dikehendaki, Ketua Majelis Hakim segera menunjuk hakim baik memeriksa pokok perkara yang bersertifikat atau tidak bersertifikat untuk menjalankan fungsi mediator. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Ayat (1 s.d 6) yakni:
1). Setelah para pihak hadir pada sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
2). Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim.
3). Ketua Majelis Hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.
4). Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim
5). Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator
6). Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
b. Tahap Proses Mediasi
Tahap proses mediasi ini diatur dalam bab III yang terdiri dari Pasal 13-19. Dalam tahap ini mediasi dinyatakan bahwa dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak dapat menyerahkan resume kepada satu sama lain dan kepada mediator, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Ayat (1,2) yakni :
1). Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak sepakat atas mediator yang dikehendaki, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepda mediator.
2). Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ketidaksepakatan para pihak tentang mediator, masing-masing dapat menyerahkan resume kepada hakim mediator yang ditunjuk.
Resume perkara yang dimaksud adalah dokumen yang isinya mengenai penjelasan mengenai permasalahan yang terjadi diantara para pihak sehingga sengketa ini kemudian dibawa ke muka pengadilan, dan juga mengenai usulan dari masing-masing pihak mengenai penyelesaian permasalahan. Penyerahan resume kepada para pihak dan mediator akan memperlancar proses mediasi karena mereka dapat mempelajari duduk perkara, bagi para pihak diharapkan dapat memahami kepentingan pihak lawan, dengan demikian mereka tidak akan bertahan pada keinginannya yang pada akhirnya dapat menyebabkan mediasi gagal (dead lock).
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk proses penyelenggaraan mediasi, apabila dianggap perlu mediator dapat melakukan kaukus, mediator dapat mengundang seorang ahli atau lebih dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangannya yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak, kesemua tersebut di atas merupakan tugas mediator sesuai dengan ketentuan PERMA dalam Pasal 15 Ayat (1 s.d 4).
1). Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahasdan disepakati.
2). Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3). Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
4). Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, keputusan melakukan kaukus berada di tangan mediator, dan sebaliknya yang harus mendapat persetujuan para pihak.
Dalam hal mediasi mengasilkan kesepakatan, maka para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang ditandatangani oleh para pihak[15].

























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dalam suatu sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat diupayakan untuk perdamaian. Jika para pihak sepakat untuk melakukan perdamaian,baik terjadi karena inisiatif para pihak sendiri maupun karena upaya hakim maka dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: Perdamaian diluar Pengadilan dan Perdamaian didalam Pengadilan.

B.  Kritik dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini pemakalah  menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu, pemakalah memohon kepada pembaca dan pendengar untuk memberikan kritik dan saran. Atas kritik dan sarannya pemakalah ucapkan terima kasih.











[1] Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2009), hal. 193.
[2] Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkarta winata, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV.Mandar Maju, 2009), hal. 35-36.

[3] Victor M.Situmorang, Perdamaian dan perwasitan, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1993), hlm. 3
[4] Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,2004), hlm.61
[5] Miswardi, Hukum Acara Perdata, (Bukittinggi: STAIN SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI, 2012), hlm. 37
[6] Ibid, hlm. 38
[7] Loc. Cit., hlm. 61
[8] http://lawindonesia.wordpress.com/hukum-islam/upaya-perdamaian/ diakses pada tanggal 21 maret 2014
[9] Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkarta winata, Op. Cit., hal. 35.
[10] http://akbarmuzaqir.blogspot.com/2012/10/hukum-acara-peradilan-agama.html diakses pada tanggal 21 maret 2014S
[11] Riduan Syahrani, Op. Cit., hal. 195
[12] Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 314
[13]Idris thalib,  Bentuk putusan penyelesaian sengketa berdasarkan mediasi, PDF
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Mediasi diakses pada tanggal 21 maret 2014
[15] http://www.pa-rantauprapat.net/index.php/2013-06-14-01-22-11/ket-62/ket-63 diakses pada tanggal 8 april 014

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...