PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persengketaan pada prinsipnya dan
sebaiknya di selesaikan secara damai (kekeluargaan) antara pihak-pihak yang
bersengketa. Akan tetapi jika perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa
tidak tercapai, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase.[1]
Peranan hakim dalam usaha menyelesaikan
perkara secara damai adalah sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti
yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang
mencari keadilan (justitiabelen). Penyelesaiannya cepat dan ongkosnya ringan,
selain itu permusuhan antara kedua belah pihak yang berperkara menjadi
berkurang. Hal ini jauh lebih baik dari pda perkara sampai diputus dengan suatu
putusan biasa, dimana misalnya pihak tergugat dikalahkan dan pelaksanaan
putusan harus dilaksanakan secara paksa.[2]
B. Rumusan Masalah
Dalam
penulisan makalah ini, maka pemakalah dapat merumuskan: “Bagaimana Penyelesaian
Sengketa melalui Perdamaian?”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut
ketentuan BW yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan dengan
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara. Dimana persetujuan itu harus ditulis.[3]
Dalam
suatu sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat diupayakan
untuk perdamaian.[4] Jika
para pihak sepakat untuk melakukan perdamaian,baik terjadi karena inisiatif
para pihak sendiri maupun karena upaya hakim maka dapat dilakukan dengan dua
cara, yakni:
1.
Perdamaian
diluar persidangan
Dilakukan
oleh para pihak, baik terjadi karena inisiatif para pihak sendiri maupun atas
prakarsa hakim yang diterima oleh para pihak, konsekwensi dari perdamaian
seperti ini adalah bahwa penggugat harus mencabut kembali gugatannya yang telah
di daftarkan dipengadilan tersebut.[5]
2.
Perdamaian
dalam persidangan
Perdamaian
dalam bentuk ini dilakukan dalam proses persidangan dengan sebuah akta
perdamaianyang merupakan akhir dari proses persidangan. Terhadap perdamaian
seperti ini, mempunyai kekuatan yang sama dengan kekuatan hukum putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).[6] sebagaimana
diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBG, Pasal ini mengatakan:
a.
Apabila
pada hari sidang yang telah ditetukan kedua belah pihak hadir, maka pengadilan
dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.
b.
Jika
perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta perdamaian yang
mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu, akta
perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan yang
biasa.
c.
Terhadap
putusan yang demikian itu tidak dapat dimohonkan banding.[7]
Berdasarkan
Hukum Acara yang berlaku, upaya perdamaian dipengadilan selalu dilakukan di
tiap kali persidangan. Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir
secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Hakim sebelum memeriksa perkara lebih
lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat.[8]
Sesuai
dengan ketentuan pasal 130 HIR ayat 1, bahwa hakim sebelum memeriksa perkara
perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan
usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam
taraf banding oleh pengadilan tinggi.[9]
B. Dasar Hukum
Sumber
hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, diberlakukan juga untuk
lingkungan Peradilan Agama. Adapun peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan hukum Acara Peradilan Agama, antara lain sebagai berikut:
1.
HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang
diperbaharui) Staatsblad 1941 No. 44.
2.
RBg (Rechtsreglement voor de Buiten gewesten) Stb. 1927 – 227
3.
Rv (Reglement of de Burgelijke Rechts vordering) Staatblad 52 Tahun 1847
4.
KUH Perdata (BW / Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
5.
UU No. 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan/Banding.
6.
UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
7.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8.
UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
9.
UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung.
10.
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
11.
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama Atas UU No. 7 Th 1989.
12.
UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Th 1989.
13.
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
14.
PP No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.
15.
PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
16.
Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
17.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
Di Pengadilan.
18.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pemberian Bantuan Hukum.
19.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 084/KMA/SK/V/2011 Tentang Ijin Sidang
Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) Di Kantor Perwakilan Republik Indonesia.
20.
Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Dan Sekretaris Mahkamah
Agung RI Nomor 04/TUADA-AG/II/2011 dan Nomor 020/SEK/SK/II/2011 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010 Pedoman
Pemberian Bantuan Hukum Lampiran B.
21.
Hasil Rakernas MARI.
22.
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama.[10]
C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa
Bentuk penyelesaian
sengketa menurut hukum terdiri atas penyelesaian sengketa melalui pengadilan
(Legitasi), dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-legitasi).
Sedangkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dibagi atas dua bagian besar
yaitu melalui arbitrase, dan melalui alternatif yang penyelesaian sengketa
meliputi cara-cara: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan penilaian
ahli.
Arbitrase,
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.[11]
Konsultasi, menurut M.
Marwan dan Jimmy P adalah “Permohonan nasihat
atau pendapat untuk menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang
dilakukan oleh para pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga”.
Negosiasi, menurut M. Marwan dan Jimmy P, adalah sebagai proses
tawar-menawar dengan jalan berunding antara para pihak yang bersengketa untuk
mencapai kesepakatan bersama.
Munir Fuady menjelaskan tentang penyelesaian sengketa melalui
mediasi, bahwa: “Yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian
sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang
netral dan tidak memihak, yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara
memuaskan bagi kedua belah pihak. Pihak ketiga yang netral tersebut disebut
dengan mediator.”[12]
M. Marwan dan Jimmy P,
mengartikan Konsiliasi sebagai usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak
bersengketa agar mencapai kesepakatan guna menyelesaikan sengketa dengan
kekeluargaan. Sedangkan menurut Munir Fuady, Konsiliasi mirip dengan mediasi,
yakni merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk
memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak yang akan
bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam
menyelesaikan sengketa tersebut.
Penilaian ahli, merupakan bentuk pendapat ahli yang dapat dipahami
dan diterima oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Hukum Acara, dikenal
sebagai saksi ahli, yakni suatu kesaksian berdasarkan keahlian dari seseorang
atau lebih untuk menemukan solusi pada pokok persengketaan.
Penilaian ahli juga
dinamakan sebagai keterangan ahli, yang dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981
tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dirumuskan bahwa “Keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan” (Pasal 1 Angka 28).[13]
D. Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri
utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses
musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah
atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung dan Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan
dari para pihak.
Dasar
hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No.
1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi
dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003).
E. Mediator
Mediator
adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri
penting dari mediator adalah :
1.
Netral
2.
Membantu para pihak
3.
Tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Jadi,
peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau
memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses
mediasi berlangsung kepada para pihak.
Tugas-tugas
Mediator adalah:
1.
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk
dibahas dan disepakati.
2.
Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi.
3.
Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan terpisah) selama
proses mediasi berlangsung.
4.
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.[14]
F. Persiapan dan Tahapan Mediasi
Adapun prsedur mediasi menurut PERMA No 1 Tahun
2008 dibagi dalam dua tahap yaitu : tahap pra mediasi dan tahap proses
mediasi.
a. Tahap Pra
Mediasi
Tahap pra mediasi adalah tahap dimana para pihak
mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan jalur mediasi dan para pihak
menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan membantu menyelesaikan
sengketa mereka.
Tahap pra mediasi diatur dalam bab II yang terdiri
dari Pasal 7-12. tahap ini merupakan persiapan kearah proses mediasi, sebelum
pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi pokok sengketa
dinilai lebih dahulu, dipersiapkan prasarana yang dapat menunjang penyelesaian
sengketa melalui perdamaian.
Hal ini sesuai dengan Pasal 130 HIR dan Pasal 154
Rbg, bahwa sebelum perkara diperiksa oleh majelis hakim, maka terlebih
dahulu di upayakan perdamaian diantara para pihak oleh majelis hakim. Hal ini
sesuai dengan petunjuk PERMA No 1 Tahun 2008 dalam Pasal 2 Ayat (2,3).
Oleh karena itu pada sidang pertama yang dihadiri para pihak yang berperkara
agar lebih dahulu menempuh mediasi dan ketidak hadiran turut tergugat tidaklah
menghalangi proses mediasi sebagaiman disebutkan dalam pasal 7 Ayat (1,2)
yakni:
1). Pada sidang yang telah ditentukan yang dihadiri
kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh proses mediasi
2). Ketidak hadiran pihak Turut Tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi
Selanjutnya hakim menunda proses persidangan perkara
untuk memberikan kesepakatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Untuk
jangka waktu penundaan ini biasanya dalam praktik selama ini sidang ditunda
selama 30 hari atau 22 hari sejak pemilihan/penetapan penunjukan mediator, hal
ini sesuai dengan PERMA No 2 Tahun 2003, namun dengan adanya PERMA No
1 Tahun 2008 disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (5) bahwa “Hakim wajib menunda
proses persidanga perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menempuh proses mediasi”. Sedangkan jangka waktu penundaan tersebut adalah 40
hari sejak terpilihnya mediator dan dapat diperpanjang denga 14 hari kerja, hal
ini sebagaimana termuat dalam Pasal 13 Ayat (3,4) yakni:
3). Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (emat
puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh
Ketua Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (5) dan (6).
4). Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu
mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
Pada sidang pertama hakim juga diwajibkan untuk
memberilakan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur mediasi, kemudian
hakim mewajibkan pada hari itu juga paling lama 2 hari kerja berikutnya untuk
berunding guna memilih mediator yang dimiliki oleh pengadilan. Jika tidak dapat
bersepakat tentang penggunaan mediator yang dikehendaki, Ketua Majelis Hakim
segera menunjuk hakim baik memeriksa pokok perkara yang bersertifikat atau
tidak bersertifikat untuk menjalankan fungsi mediator. Hal ini sesuai dengan
Pasal 11 Ayat (1 s.d 6) yakni:
1). Setelah para pihak hadir pada sidang pertama,
hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari
kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang
mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
2). Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan
mereka kepada ketua majelis hakim.
3). Ketua Majelis Hakim segera memberitahu mediator
terpilih untuk melaksanakan tugas.
4). Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana
dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator
yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih
mediator kepada ketua majelis hakim
5). Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang
kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk
menjalankan fungsi mediator
6). Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat
hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok
perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim
wajib menjalankan fungsi mediator.
b. Tahap Proses
Mediasi
Tahap proses mediasi ini diatur dalam bab III yang
terdiri dari Pasal 13-19. Dalam tahap ini mediasi dinyatakan bahwa dalam waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator,
para pihak dapat menyerahkan resume kepada satu sama lain dan kepada mediator,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Ayat (1,2) yakni :
1). Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah para pihak sepakat atas mediator yang dikehendaki, masing-masing pihak
dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepda mediator.
2). Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah ketidaksepakatan para pihak tentang mediator, masing-masing dapat
menyerahkan resume kepada hakim mediator yang ditunjuk.
Resume perkara yang dimaksud adalah dokumen yang
isinya mengenai penjelasan mengenai permasalahan yang terjadi diantara para
pihak sehingga sengketa ini kemudian dibawa ke muka pengadilan, dan juga
mengenai usulan dari masing-masing pihak mengenai penyelesaian permasalahan.
Penyerahan resume kepada para pihak dan mediator akan memperlancar proses
mediasi karena mereka dapat mempelajari duduk perkara, bagi para pihak
diharapkan dapat memahami kepentingan pihak lawan, dengan demikian mereka tidak
akan bertahan pada keinginannya yang pada akhirnya dapat menyebabkan mediasi
gagal (dead lock).
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk
proses penyelenggaraan mediasi, apabila dianggap perlu mediator dapat melakukan
kaukus, mediator dapat mengundang seorang ahli atau lebih dalam bidang tertentu
untuk memberikan penjelasan atau pertimbangannya yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para
pihak dengan bantuan mediator merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai dan ditandatangani oleh para pihak, kesemua tersebut di atas merupakan
tugas mediator sesuai dengan ketentuan PERMA dalam Pasal 15 Ayat (1 s.d 4).
1). Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal
pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahasdan disepakati.
2). Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara
langsung berperan dalam proses mediasi.
3). Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus.
4). Mediator wajib mendorong para
pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai
pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, keputusan melakukan kaukus berada
di tangan mediator, dan sebaliknya yang harus mendapat persetujuan para pihak.
Dalam hal mediasi mengasilkan kesepakatan, maka para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
ditandatangani oleh para pihak[15].
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
suatu sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat diupayakan
untuk perdamaian. Jika para pihak sepakat untuk melakukan perdamaian,baik
terjadi karena inisiatif para pihak sendiri maupun karena upaya hakim maka
dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: Perdamaian diluar Pengadilan dan
Perdamaian didalam Pengadilan.
B. Kritik dan Saran
Dalam
pembuatan makalah ini pemakalah
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
oleh karena itu, pemakalah memohon kepada pembaca dan pendengar untuk
memberikan kritik dan saran. Atas kritik dan sarannya pemakalah ucapkan terima
kasih.
[1] Riduan
Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT CITRA
ADITYA BAKTI, 2009), hal. 193.
[2] Ny. Retnowulan
Sutantio dan Iskandar Oeripkarta winata, Hukum Acara Perdata, (Bandung:
CV.Mandar Maju, 2009), hal. 35-36.
[3] Victor
M.Situmorang, Perdamaian dan perwasitan, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
1993), hlm. 3
[4] Moh. Taufik
Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT RINEKA
CIPTA,2004), hlm.61
[5] Miswardi, Hukum
Acara Perdata, (Bukittinggi: STAIN SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI,
2012), hlm. 37
[6] Ibid, hlm.
38
[7] Loc. Cit., hlm.
61
[8] http://lawindonesia.wordpress.com/hukum-islam/upaya-perdamaian/
diakses pada tanggal 21 maret 2014
[9] Ny. Retnowulan
Sutantio dan Iskandar Oeripkarta winata, Op. Cit., hal. 35.
[10] http://akbarmuzaqir.blogspot.com/2012/10/hukum-acara-peradilan-agama.html
diakses pada tanggal 21 maret 2014S
[11] Riduan
Syahrani, Op. Cit., hal. 195
[12] Munir Fuady, Arbitrase
Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003), hlm. 314
[13]Idris thalib, Bentuk putusan penyelesaian sengketa
berdasarkan mediasi, PDF
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Mediasi
diakses pada tanggal 21 maret 2014
[15]
http://www.pa-rantauprapat.net/index.php/2013-06-14-01-22-11/ket-62/ket-63
diakses pada tanggal 8 april 014
loading...
No comments:
Write komentar