A. Pendahuluan
Sebagaimana kita tahu ilmu hadits dalam pembagiannya memiliki banyak sekali
cabang –cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadits.
Ilmu-ilmu tersebut sangat penting untuk diketahui apalagi bagi orang-orang yang
menekuni bidang hadits, karena dapat membantu dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan hadits. Salah satu dari ilmu-ilmu
tersebut adalah ilmu mukhtalif al-hadits. Ilmu ini membahas tentang
hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan antara satu dengan yang
lain.
Pertentangan tersebut terkadang
membuat orang-orang yang menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang
sebenarnya dimaksudkan dalam hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah
para tokoh hadits berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Akhirnya ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di
dalamnya membahas tentang metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah
pertentangan diantara hadits-hadits nabi tersebut.
Selanjutnya
pemakalah juga memaparkan tentang permasalahan Tanawwu’ Ibâdah.
Berisi tentang bagaimana menyikapi hadis hadis yang berbeda dalam satu perkara
tentang persoalan ibadah. Serta menjelaskan apa manfaat dalam memahami Tanawwu’
Ibâdah.
Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini akan mencoba membahas tentang ilmu
mkhtalif al-hadits dan Tanawwu’ Ibâdah ini.
B. Mukhtalaful Hadis dan Metode Pemahamannya
1. Pengertian
Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah
ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk
menghilangkan perlawanan itu atau mengompromikan keduanya sebagaimana halnya
membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk
menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.[1]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf
al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى
اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ
يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ
فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling
bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di
samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[2]
Sasaran ilmu ini
mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan
kandungannya dengan jalan membatasi (taqyîd) kemutlakannya dan
seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathîf biasa disebut al-ahâdîts
allatî mutadhâdan fî al-ma’nâ bi hasabi azh-zhâhiriy. Ilmu ini tidak akan
muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[3].
Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori
munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya
besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif
al-hadîts tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan
khusus tentang mukhtalif al-hadîts.
2. Sebab–sebab yang
Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
1.
Faktor Internal.
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat
‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits
tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak
ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
2.
Faktor Eksternal.
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana
menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi
menyampaikan haditsnya.
3.
Faktor Metodologi.
Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits
tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum
secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki
oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
4. Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau
manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.[4]
3. Syarat-syarat
terjadinya hadis Mukhtalif
a. Hadis lebih dari satu
b. Sama-sama hadis maqbul
c. Konteks hadis dalam persoalan yang sama
d. Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
e. Dapat dikompromikan sehingga ke duanya dapat diamalkan.
a. Hadis lebih dari satu
b. Sama-sama hadis maqbul
c. Konteks hadis dalam persoalan yang sama
d. Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
e. Dapat dikompromikan sehingga ke duanya dapat diamalkan.
4. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
a. Metode al-Jam’u wa at-Taufîq
Metode ini dinilai lebih baik
daripada melakukan tarjîh (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang
tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufîq (kompromi) ini tidak
berlaku bagi hadis–hadis dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan
hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u
wa at-taufîq adalah pada masalah hadis zakat
pertanian:
وعن عبد الله
بن عمر عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : " فيما
سقت السماء والعيون أو كان عثريا العشر ، وما سقي بالنضح نصف العشر " . رواه
البخاري
Artinya: Dari abdullah ibn umar dari
Nabi SAW, Beliau bersabda, “Hasil pertanian yang diairi dengan air hujan dengan
mata air atau genangan (sumber) air alami lainnya zakatnya sepuluh persen. Dan
yang diairi (disirami) dengan menggunakan bantuan unta zakatnya lima
persen.(HR. Bukhari)
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ : لَيْسَ فِيمَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ ، )... رواه
البخاري(
Artinya: Dari Nabi SAW, Beliau
bersabda, “ Tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima
wasq. (HR. Bukhari)
Penyelesaiannya adalah hadis pertama
mengatakan wajib zakat hasil pertanian secara umum, baik hasilnya banyak maupun
sedikit tanpa ada perbedaan atau batasan. Hal ini tampak bertentangan dengan
hadis ke dua yang menyatakan tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang
banyaknya tidak mencapai lima wasq. Penyelesaiannya adalah dengan
mentakhsis-kan hadis pertama dengan hadis ke dua. Jadi umum hadis pertama
diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang disebut hadis
ke dua (lima wasq ke atas). Dengan demikian, hadis-hadis tersebut dapat
ditemukan pengkompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa hasil
pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang banyaknya mencapai lima
wasq ke atas (berdasarkan hadis pertama). Dan tidak wajib zakat jika hasilnya
tidak mencapai lima wasq (berdasarkan hadis ke dua).[5]
b. Metode Tarjîh
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak
memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana
di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik.
Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang
saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan
al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ
وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
“Perempuan yang mengubur bayi
hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam
Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut
(Sabab Wurûdnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama
saudaranya menghadap Rasulullah s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul
sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung
silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.
Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami
berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman
Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab:
orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya
berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu
Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-
Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[6]
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan
mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
وَإِذَا
الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke
neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa
itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu,
hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya
pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-
Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi
Muhammad s.a.w. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga,
anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga
akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
c. Metode Nâsikh-Mansûkh
Jika ternyata hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka
para ulama menempuh metode nâsikh-mansûkh (pembatalan). Maka akan dicari
makna hadis yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadis yang datang
kemudian. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang
kemudian.
Secara bahasa naskh bisa berarti
menghilangkan (al–izâlah), bisa pula berarti al-naql
(memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang
dilakukan oleh Syâri’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah
s.a.w.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan
dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa
hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayân) dari
hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus
(takhsîsh) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan
sebagai hadits nâsikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh
dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad s.aw. masih hidup. Sebab
yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syâri’,
yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan
syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan
hukum yang tetap (ba’da istiqrâr al- hukm).
Salah satu contoh dua hadits yang
saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nâsikh-mansûkh
adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ
قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى
بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ
بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ
عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ
قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ
الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadîts di atas
terlihat saling bertantangan, hadîts pertama berisi tentang larangan
makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan
kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh dan dihilangkan
dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadîts
pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada
hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya.[7]
d. Metode Ta’wîl
Takwil berarti memalingkan lafal dari
makna lahiriah kepada makna lain (yang lebih tepat) yang dikandung oleh lafal
karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini berarti meninggalkan makna
lahiriah suatu lafal karena dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang
ditujukannya, dengan mengambil makna lain yang lebih tepat di antara beberapa
kemungkinan makna yang dapat dipahami dari lafal tersebut. Pemalingan makna ini
dilakukan karena adanya dalil yang menghendaki.
Contoh hadis:
Contoh hadis:
رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبِحُوا
بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ أَوْ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Artinya: Dari Rafi’ ibn Khadij
bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Tunaikanlah shalat Subuh pada waktu
Subuh sudah mulai terang ( sudah menyebarkan cahaya kuning-kuningan), karena
melaksanakan pada waktu itu lebih besar pahalanya.
Dengan hadis:
كُنَّا
نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى
بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ
الْغَلَسِ
Artinya: Dari Aisyah dia berkata: “
mereka perempuan mukminat, biasanya melaksanakan shalat subuh bersama
Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil menyelimuti diri
dengan kain yang mereka pakai. Tak seorangpun yang dapat mengenali mereka
karena suasana masih gelap.
Pertentangan yang tampak di antara hadis-hadis di atas ternyata melahirkan perbedaan di kalangan ulama tentang kapan sebenarnya waktu yang afdhal untuk menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah waktu al- Isfar. Sedangkan Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan penghujung malam.
Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’ dan berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya mempunyai nilai lebih dibanding hadis Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan hadis ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga didukung oleh riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadis Rafi’ ditakwilkan oleh Syafi’i kepada makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah sehingga ke duanya dapat dikompromikan.
Dengan berupaya mencari makna lain dari hadis Rafi’ dengan jalan mentakwilkan, didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah dikerjakan diwaktu subuh.[8]
Pertentangan yang tampak di antara hadis-hadis di atas ternyata melahirkan perbedaan di kalangan ulama tentang kapan sebenarnya waktu yang afdhal untuk menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah waktu al- Isfar. Sedangkan Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan penghujung malam.
Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’ dan berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya mempunyai nilai lebih dibanding hadis Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan hadis ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga didukung oleh riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadis Rafi’ ditakwilkan oleh Syafi’i kepada makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah sehingga ke duanya dapat dikompromikan.
Dengan berupaya mencari makna lain dari hadis Rafi’ dengan jalan mentakwilkan, didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah dikerjakan diwaktu subuh.[8]
C.
Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah dan Metode Pemahamannya
1. Pengertian Hadis-hadis Tanawwu’
al Ibâdah
Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah adalah hadis-hadis
yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan
Rasulullah, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan
sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah
tersebut.[9]
Keberagaman atau variasi ajaran tersebut ada kalanya dalam
bentuk tata cara pelaksanaan (perbuatan) dan ada kalanya dalam bentuk ucapan
atau bacaan-bacaan yang dibaca dalam ibadah tersebut.
Pada dasarnya, hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah
merupakan bagian dari hadis-hadis mukhtalif, namun hadis ini hanya berkisar
dalam masalah ibadah yang diajarkan Rasulullah dan memiliki pembahasan khusus
jika dibandingkan dengan hadis-hadis mukhtalif pada umumnya.
Penyelesaian hadis-hadis mukhtalif yang menyangkut
permasalahan di luar ibadah akan menghasilkan satu ketentuan ajaran (hukum).
Hal ini dikarenakan hadis-hadis tersebut akan dikompromikan untuk mendapatkan
satu kesimpulan, atau dilihat apakah dalam permasalahan tersebut ada nasakh
atau tidak, atau salah satunya dipandang lebih kuat dari yang lain (tarjih).
Berbeda dengan hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah. Dalam
persoalan ini, hadis-hadis ini memiliki kemungkinan adanya keberagaman ajaran
yang dilaksanakan atau dicontohkan Rasulullah. Masing-masing ajaran tersebut
tidak bisa dijadikan satu ajaran saja, akan tetapi, semua ajaran tersebut
semuanya diambil sebagai sunnah Nabi yang dapat diamalkan dan dijadikan
pegangan dalam beribadah.
2. Metode Penyelesaian Hadis-hadis
Tanawwu’ al Ibâdah
Dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada pada hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah,
ada tiga langkah penyelesaian yang dapat ditempuh secara berurutan, yaitu:
a.
Memperhatikan kualitas dari
masing-masing hadis.
Dalam
hal ini, perlu dikaji terlebih dahulu apakah semua hadis-hadis tersebut
berkualitas maqbul (shahih atau hasan), atau mungkin ada di antara hadis-hadis
tersebut yang tidak maqbul.
Jika
di antaranya didapati hadis yang tidak memenuhi kriteria ini, maka hadis
tersebut dapat ditinggalkan serta terhadapnya tidak dilakukan pengkajian lebih
lanjut.
b.
Jika hadis-hadis tersebut telah
memenuhi persyaratan di atas, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji ajaran
yang dibawa oleh mesing-masing hadis.
Di
sini haruslah diketahui dan dipastikan tentang ajaran yang dibawa oleh masing-masing
hadis, apakah perbedaan ajaran yang dibawa memiliki pertentangan (kontradiksi)
yang tidak dapat dikompromikan atau tidak. Jika didapati pertentangan seperti
ini, maka hadis-hadis tersebut perlu dikaji lagi untuk mengetahui adanya
kemungkinan telah terjadi nasakh di antaranya.
c.
Jika sudah dapat dipastikan tidak
adanya pertentangan dalam masing-masing ajaran tersebut, maka harus dipahami
bahwa hadis tersebut mengandung kebervariasian ibadah yang diajarkan Nabi.
Masing-masing umat Islam dibolehkan mengamalkan salah satu di antara ajaran
tersebut yang dipilihnya. [10]
Dengan
demikian, hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah merupakan hadis-hadis maqbul
yang kebervariasian ajarannya tidak bertentangan secara mutlak.
3. Beramal dengan hadis-hadis Tanawwu’
al Ibâdah
Setelah
didapatkan sebuah kesimpulan bahwa semua ajaran yang berbeda itu dapat
diamalkan, maka permasalahan selanjutnya adalah diantara kesemua ajaran
tersebut, manakah yang lebih afdhal diamalkan.
Dalam
menyelesaikan permasalah ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:[11]
a.
Memperhatikan manakah praktek yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah
SAW atau yang lebih banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi. Hal ini
dikarenakan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya selalu melaksanakan ibadah dalam
bentuk yang utama, kecuali dalam keadaan tertentu saja.
b. Memperhatikan
ajaran yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut. Di antara ajaran-ajaran
tersebut, manakah yang lebih lengkap dibandingkan dengan yang lainnya. Karena
ada kalanya Rasulullah SAW mengajarkan pelaksanaan suatu ibadah disesuaikan
dengan kondisi seseorang yang melaksanakannya, meskipun hal tersebut bukan
dalam bentuk yang utama, atau Rasulullah memberikan keringanan untuk
melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan kemampuan dan kondisi tertentu.
c. Memperhatikan
manakah di antara hadis-hadis tersebut yang lebih tinggi kualitas
keshahihannya. Hal ini tentunya agar seseorang dapat melaksanakan suatu ibadah
sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
Menetapkan
pilihan untuk menentukan yang lebih afdhal harusnya menggunakan kriteria di
atas secara berurutan. Jika kriteria yang pertama telah menunjukkan bahwa salah
satu di antaranya lebih dari yang lain, maka tidak perlu lagi digunakan
kriteria selanjutnya.
Perlu
digarisbawahi, bahwa memilih mana di antara hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah
yang lebih afdhal tidak berarti pilihan antara mana yang benar atau yang salah.
Dengan arti kata, seseorang yang memilih satu ajaran yang menurutnya lebih
utama, tidak berarti dia menganggap salah ajaran yang lainnya. Dia tidak berhak
menghakimi bahwa hanya salah satu dari hadis-hadis tersebut yang boleh dan
dapat dijadikan pegangan, sementara yang lainnya harus ditinggalkan.
Hadis-hadis
Tanawwu’ al Ibâdah ini sangat banyak, sebagaimana yang banyak didapati
dalam shalat, apakah keberagaman tersebut dalam bacaan shalat, maupun gerakan.
Di
antara bentuk bacaan yang beragam adalah bacaan do’a Istiftah, bacaan ruku’, i’tidal,
tasyahhud dan lain sebagainya. Dan di antara gerakan yang beragam adalah
tata cara duduk antara dua sujud, ada dengan cara duduk iftirasy dan ada
dengan cara duduk iq-a’.
Contoh
lain adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah SAW. Hadits pertama
menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua
tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits
berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ،
قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ،
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ
مَرَّةً مَرَّةً.[12]
Sementara
dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah
dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam
hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ، قَالَ :
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.[13]
Kedua
riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan
akhirnya diselesaikan dan dipahami sebagai hadis Tanawwu’ Ibâdah.
4.
Faedah Tanawwu’ Ibâdah
Tanawwu’ Ibâdah merupakan nikmat Allah SWT kepada hamba-hambanya. Tanawwu’
Ibâdah memiliki beberapa faedah yang dapat dirasakan seorang hamba, di
antaranya adalah:[14]
a. Seorang hamba akan dapat memahami dan menghadirkan
hatinya ketika dia membaca bacaan yang bervariasi. Hal ini dikarenakan jika
seseorang selalu membaca satu bacaan zikir, maka dia tidak akan mampu
menghayati bacaan tersebut, kerena bacaan tersebut sudah menjadi rutinitasnya,
sehingga hatinya lalai ketika menghayatinya.
b. Tanawwu’ Ibâdah merupakan keringanan bagi seorang
hamba, yang mana pada saat dia mempunyai halangan, maka dia bisa memilih ibadah
yang mudah untuk dikerjakannya.
c. Tanawwu’ Ibâdah merupakan wadah bagi seorang hamba
untuk menambah ibadah dan pahala.
D. Penutup
1. Kesimpulan.
a)
Ilmu Mukhtalafat al-Hadits adalah ilmu
yang membahas Hadits-Hadits yang tampak berlawanan dan untuk menghilangkannya
maka kedua buah hadits tersebut dikompromikan.
b) Sebab-sebab
hadits mukhtalif ada empat, antara lain dari faktor internal, faktor eksternal,
faktor metodologi, faktor idiologi.
c) Ada 2
macam Hadits Mukhtalif yaitu yang dapat dikumpulkan dan yang tidak dapat
dikumpulkan dapat dikompromikan dengan cara mrenasikh-mansukh dan rajih-marjuh.
d) Hadis-hadis Tanawwu’ al
Ibâdah adalah hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang
dilakukan atau diajarkan Rasulullah, akan tetapi antara satu dengan yang
lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran
dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
e) Seseorang yang memilih satu
ajaran yang menurutnya lebih utama, tidak berarti dia menganggap salah ajaran
yang lainnya. Dia tidak berhak menghakimi bahwa hanya salah satu dari
hadis-hadis tersebut yang boleh dan dapat dijadikan pegangan, sementara yang
lainnya harus ditinggalkan.
f) Tanawwu’ Ibâdah merupakan
nikmat Allah SWT kepada hamba-hambanya, dan seorang hamba akan merasakan
berbagai faedahnya.
2. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang penulis paparkan, semoga
makalh ini member manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Dan penulis sadar
pasti masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karenanya kritik serta
saran dari para pembaca sangat diharapkan oleh penulis untuk memperbaiki
makalah yang akan datang.
[1] http://insansejati.com/ilmu-hadits/19-mukhtaliful-hadits.html
diakses pada tanggal 30 november 2015.
[2] Muhammad ‘Ajjaj
al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh
M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998) Cet. ke-1, Hal. 254
[5] A.
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Y0gyakarta: Interpena, 2011),
hal 240-241.
[6] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan
‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983),
hal. 115.
[7] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
diakses pada tanggal 30 november 2015.
[8] http://efrizalmalalak.blogspot.co.id/2010/05/hadis-mukhtalif.html
diakses pada tanggal 21 desember 2015.
[9] A.
Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Interpena, 2011), (dikutip dari kitab Imam Syafi’i karya Edi Safri, hal 84), (Jakarta: Penerbit Nuansa Madani, 2001), hal 252
[10] A. Rahman Ritonga, Studi…. hal 256
[11] https://mutiarasyauqy.wordpress.com/2013/11/19/memahami-hadis-hadis-afal-al-rasul-dan-tanawwu-al-ibadah/
diakses pada tanggal 11 desember 2015
[12] A. Rahman Ritonga, Studi…. hal 253
[13] A. Rahman Ritonga, Studi…. Hal 253..
loading...
kapan ilmu tanawwu' ibadah ditemukan?
ReplyDelete