Friday, December 2, 2016

Mukhtalaful Hadis dan Tanawwu’ul Hadis



Mukhtalaful Hadis dan Tanawwu’ul Hadis
A. Pendahuluan
Sebagaimana kita tahu ilmu hadits dalam pembagiannya memiliki banyak sekali cabang –cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadits. Ilmu-ilmu tersebut sangat penting untuk diketahui apalagi bagi orang-orang yang menekuni bidang hadits, karena dapat membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan hadits. Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtalif al-hadits. Ilmu ini membahas tentang hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
 Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang yang menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadits berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di dalamnya membahas tentang metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan diantara hadits-hadits nabi tersebut.
Selanjutnya pemakalah juga memaparkan tentang permasalahan Tanawwu’ Ibâdah. Berisi tentang bagaimana menyikapi hadis hadis yang berbeda dalam satu perkara tentang persoalan ibadah. Serta menjelaskan apa manfaat dalam memahami Tanawwu’ Ibâdah.
Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini akan mencoba membahas tentang ilmu mkhtalif al-hadits dan Tanawwu’ Ibâdah ini.
B. Mukhtalaful Hadis dan Metode Pemahamannya
1. Pengertian
Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.[1]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[2]
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyîd) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathîf biasa disebut al-ahâdîts allatî mutadhâdan fî al-ma’nâ bi hasabi azh-zhâhiriy. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[3]. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadîts tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadîts.


2. Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
1.    Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
2.    Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
3.    Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
4.    Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.[4]
3. Syarat-syarat terjadinya hadis Mukhtalif
a. Hadis lebih dari satu
b. Sama-sama hadis maqbul
c. Konteks hadis dalam persoalan yang sama
d. Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
e. Dapat dikompromikan sehingga ke duanya dapat diamalkan.
4. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
a. Metode al-Jam’u wa at-Taufîq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjîh (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufîq (kompromi) ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufîq adalah pada masalah hadis zakat pertanian:
 وعن عبد الله بن عمر عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : " فيما سقت السماء والعيون أو كان عثريا العشر ، وما سقي بالنضح نصف العشر " . رواه البخاري
Artinya: Dari abdullah ibn umar dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Hasil pertanian yang diairi dengan air hujan dengan mata air atau genangan (sumber) air alami lainnya zakatnya sepuluh persen. Dan yang diairi (disirami) dengan menggunakan bantuan unta zakatnya lima persen.(HR. Bukhari)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَيْسَ فِيمَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ ، )... رواه البخاري(
Artinya: Dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “ Tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasq. (HR. Bukhari)
Penyelesaiannya adalah hadis pertama mengatakan wajib zakat hasil pertanian secara umum, baik hasilnya banyak maupun sedikit tanpa ada perbedaan atau batasan. Hal ini tampak bertentangan dengan hadis ke dua yang menyatakan tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang banyaknya tidak mencapai lima wasq. Penyelesaiannya adalah dengan mentakhsis-kan hadis pertama dengan hadis ke dua. Jadi umum hadis pertama diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang disebut hadis ke dua (lima wasq ke atas). Dengan demikian, hadis-hadis tersebut dapat ditemukan pengkompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang banyaknya mencapai lima wasq ke atas (berdasarkan hadis pertama). Dan tidak wajib zakat jika hasilnya tidak mencapai lima wasq (berdasarkan hadis ke dua).[5]
b. Metode Tarjîh
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurûdnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[6]
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad s.a.w. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
c. Metode Nâsikh-Mansûkh
Jika ternyata hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode nâsikh-mansûkh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadis yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadis yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang kemudian.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izâlah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh Syâri’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayân) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsîsh) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nâsikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad s.aw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syâri’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrâr al- hukm).
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nâsikh-mansûkh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadîts di atas terlihat saling bertantangan, hadîts pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh dan dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya.[7]
d. Metode Ta’wîl
Takwil berarti memalingkan lafal dari makna lahiriah kepada makna lain (yang lebih tepat) yang dikandung oleh lafal karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini berarti meninggalkan makna lahiriah suatu lafal karena dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujukannya, dengan mengambil makna lain yang lebih tepat di antara beberapa kemungkinan makna yang dapat dipahami dari lafal tersebut. Pemalingan makna ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendaki.
Contoh hadis:
رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ أَوْ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Artinya: Dari Rafi’ ibn Khadij bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Tunaikanlah shalat Subuh pada waktu Subuh sudah mulai terang ( sudah menyebarkan cahaya kuning-kuningan), karena melaksanakan pada waktu itu lebih besar pahalanya.
Dengan hadis:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
Artinya: Dari Aisyah dia berkata: “ mereka perempuan mukminat, biasanya melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorangpun yang dapat mengenali mereka karena suasana masih gelap.
          Pertentangan yang tampak di antara hadis-hadis di atas ternyata melahirkan perbedaan di kalangan ulama tentang kapan sebenarnya waktu yang afdhal untuk menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah waktu al- Isfar. Sedangkan Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan penghujung malam.
          Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’ dan berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya mempunyai nilai lebih dibanding hadis Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan hadis ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga didukung oleh riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadis Rafi’ ditakwilkan oleh Syafi’i kepada makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah sehingga ke duanya dapat dikompromikan.
          Dengan berupaya mencari makna lain dari hadis Rafi’ dengan jalan mentakwilkan, didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah dikerjakan diwaktu subuh
.[8]
C. Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah dan Metode Pemahamannya
1. Pengertian Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah
Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah adalah hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Rasulullah, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[9]
Keberagaman atau variasi ajaran tersebut ada kalanya dalam bentuk tata cara pelaksanaan (perbuatan) dan ada kalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan yang dibaca dalam ibadah tersebut.
Pada dasarnya, hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah merupakan bagian dari hadis-hadis mukhtalif, namun hadis ini hanya berkisar dalam masalah ibadah yang diajarkan Rasulullah dan memiliki pembahasan khusus jika dibandingkan dengan hadis-hadis mukhtalif pada umumnya.
Penyelesaian hadis-hadis mukhtalif yang menyangkut permasalahan di luar ibadah akan menghasilkan satu ketentuan ajaran (hukum). Hal ini dikarenakan hadis-hadis tersebut akan dikompromikan untuk mendapatkan satu kesimpulan, atau dilihat apakah dalam permasalahan tersebut ada nasakh atau tidak, atau salah satunya dipandang lebih kuat dari yang lain (tarjih).
Berbeda dengan hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah. Dalam persoalan ini, hadis-hadis ini memiliki kemungkinan adanya keberagaman ajaran yang dilaksanakan atau dicontohkan Rasulullah. Masing-masing ajaran tersebut tidak bisa dijadikan satu ajaran saja, akan tetapi, semua ajaran tersebut semuanya diambil sebagai sunnah Nabi yang dapat diamalkan dan dijadikan pegangan dalam beribadah.
2. Metode Penyelesaian Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah
Dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah, ada tiga langkah penyelesaian yang dapat ditempuh secara berurutan, yaitu:
a.       Memperhatikan kualitas dari masing-masing hadis.
Dalam hal ini, perlu dikaji terlebih dahulu apakah semua hadis-hadis tersebut berkualitas maqbul (shahih atau hasan), atau mungkin ada di antara hadis-hadis tersebut yang tidak maqbul.
Jika di antaranya didapati hadis yang tidak memenuhi kriteria ini, maka hadis tersebut dapat ditinggalkan serta terhadapnya tidak dilakukan pengkajian lebih lanjut.
b.      Jika hadis-hadis tersebut telah memenuhi persyaratan di atas, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji ajaran yang dibawa oleh mesing-masing hadis.
Di sini haruslah diketahui dan dipastikan tentang ajaran yang dibawa oleh masing-masing hadis, apakah perbedaan ajaran yang dibawa memiliki pertentangan (kontradiksi) yang tidak dapat dikompromikan atau tidak. Jika didapati pertentangan seperti ini, maka hadis-hadis tersebut perlu dikaji lagi untuk mengetahui adanya kemungkinan telah terjadi nasakh di antaranya.
c.    Jika sudah dapat dipastikan tidak adanya pertentangan dalam masing-masing ajaran tersebut, maka harus dipahami bahwa hadis tersebut mengandung kebervariasian ibadah yang diajarkan Nabi. Masing-masing umat Islam dibolehkan mengamalkan salah satu di antara ajaran tersebut yang dipilihnya. [10]
Dengan demikian, hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah merupakan hadis-hadis maqbul yang kebervariasian ajarannya tidak bertentangan secara mutlak.
3. Beramal dengan hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah
Setelah didapatkan sebuah kesimpulan bahwa semua ajaran yang berbeda itu dapat diamalkan, maka permasalahan selanjutnya adalah diantara kesemua ajaran tersebut, manakah yang lebih afdhal diamalkan.
Dalam menyelesaikan permasalah ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:[11]
a.  Memperhatikan manakah praktek yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah SAW atau yang lebih banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi. Hal ini dikarenakan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya selalu melaksanakan ibadah dalam bentuk yang utama, kecuali dalam keadaan tertentu saja.
b.    Memperhatikan ajaran yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut. Di antara ajaran-ajaran tersebut, manakah yang lebih lengkap dibandingkan dengan yang lainnya. Karena ada kalanya Rasulullah SAW mengajarkan pelaksanaan suatu ibadah disesuaikan dengan kondisi seseorang yang melaksanakannya, meskipun hal tersebut bukan dalam bentuk yang utama, atau Rasulullah memberikan keringanan untuk melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan kemampuan dan kondisi tertentu.
c.    Memperhatikan manakah di antara hadis-hadis tersebut yang lebih tinggi kualitas keshahihannya. Hal ini tentunya agar seseorang dapat melaksanakan suatu ibadah sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
Menetapkan pilihan untuk menentukan yang lebih afdhal harusnya menggunakan kriteria di atas secara berurutan. Jika kriteria yang pertama telah menunjukkan bahwa salah satu di antaranya lebih dari yang lain, maka tidak perlu lagi digunakan kriteria selanjutnya.
Perlu digarisbawahi, bahwa memilih mana di antara hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah yang lebih afdhal tidak berarti pilihan antara mana yang benar atau yang salah. Dengan arti kata, seseorang yang memilih satu ajaran yang menurutnya lebih utama, tidak berarti dia menganggap salah ajaran yang lainnya. Dia tidak berhak menghakimi bahwa hanya salah satu dari hadis-hadis tersebut yang boleh dan dapat dijadikan pegangan, sementara yang lainnya harus ditinggalkan.
Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah ini sangat banyak, sebagaimana yang banyak didapati dalam shalat, apakah keberagaman tersebut dalam bacaan shalat, maupun gerakan.
Di antara bentuk bacaan yang beragam adalah bacaan do’a Istiftah, bacaan ruku’, i’tidal, tasyahhud dan lain sebagainya. Dan di antara gerakan yang beragam adalah tata cara duduk antara dua sujud, ada dengan cara duduk iftirasy dan ada dengan cara duduk iq-a’.
Contoh lain adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah SAW. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً.[12]
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.[13]
Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dan dipahami sebagai hadis Tanawwu’ Ibâdah.

4. Faedah Tanawwu’ Ibâdah
Tanawwu’ Ibâdah merupakan nikmat Allah SWT kepada hamba-hambanya. Tanawwu’ Ibâdah memiliki beberapa faedah yang dapat dirasakan seorang hamba, di antaranya adalah:[14]
a. Seorang hamba akan dapat memahami dan menghadirkan hatinya ketika dia membaca bacaan yang bervariasi. Hal ini dikarenakan jika seseorang selalu membaca satu bacaan zikir, maka dia tidak akan mampu menghayati bacaan tersebut, kerena bacaan tersebut sudah menjadi rutinitasnya, sehingga hatinya lalai ketika menghayatinya.
b. Tanawwu’ Ibâdah merupakan keringanan bagi seorang hamba, yang mana pada saat dia mempunyai halangan, maka dia bisa memilih ibadah yang mudah untuk dikerjakannya.
c. Tanawwu’ Ibâdah merupakan wadah bagi seorang hamba untuk menambah ibadah dan pahala.
D. Penutup
1. Kesimpulan.
 a) Ilmu Mukhtalafat al-Hadits adalah ilmu yang membahas Hadits-Hadits yang tampak berlawanan dan untuk menghilangkannya maka kedua buah hadits tersebut dikompromikan.
b)    Sebab-sebab hadits mukhtalif ada empat, antara lain dari faktor internal, faktor eksternal, faktor metodologi, faktor  idiologi.
c)   Ada 2 macam Hadits Mukhtalif yaitu yang dapat dikumpulkan dan yang tidak dapat dikumpulkan dapat dikompromikan dengan cara mrenasikh-mansukh dan rajih-marjuh.
d)      Hadis-hadis Tanawwu’ al Ibâdah adalah hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Rasulullah, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
e)      Seseorang yang memilih satu ajaran yang menurutnya lebih utama, tidak berarti dia menganggap salah ajaran yang lainnya. Dia tidak berhak menghakimi bahwa hanya salah satu dari hadis-hadis tersebut yang boleh dan dapat dijadikan pegangan, sementara yang lainnya harus ditinggalkan.
f)     Tanawwu’ Ibâdah merupakan nikmat Allah SWT kepada hamba-hambanya, dan seorang hamba akan merasakan berbagai faedahnya.
2. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang penulis paparkan, semoga makalh ini member manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Dan penulis sadar pasti masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karenanya kritik serta saran dari para pembaca sangat diharapkan oleh penulis untuk memperbaiki makalah yang akan datang.

















[1]             http://insansejati.com/ilmu-hadits/19-mukhtaliful-hadits.html diakses pada tanggal 30 november 2015.
[2] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet. ke-1, Hal. 254
[3] Syaikh Manna’ al-Qaththan. Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005). hal.103.
[4] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[5] A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Y0gyakarta: Interpena, 2011), hal  240-241.
[6] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983), hal. 115.
[7] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/ diakses pada tanggal 30 november 2015.
[8] http://efrizalmalalak.blogspot.co.id/2010/05/hadis-mukhtalif.html diakses pada tanggal 21 desember 2015.
[9] A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Interpena, 2011), (dikutip dari kitab Imam Syafi’i karya Edi Safri, hal 84), (Jakarta: Penerbit Nuansa Madani, 2001), hal 252
[10] A. Rahman Ritonga, Studi…. hal 256
[11] https://mutiarasyauqy.wordpress.com/2013/11/19/memahami-hadis-hadis-afal-al-rasul-dan-tanawwu-al-ibadah/ diakses pada tanggal 11 desember 2015
[12] A. Rahman Ritonga, Studi…. hal 253
[13] A. Rahman Ritonga, Studi…. Hal 253..
[14] Syaikh Shalih al Utsaimin, Fatâwa Nur ‘ala al Darb, (Al Maktabah al Syâmilah), juz 2, hlm. 8

loading...
1 comment:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...