Friday, December 2, 2016

PENOLAKAN SYI’AH DAN ZHAHIRIYAH TERHADAP QIYAS




PENOLAKAN SYI’AH DAN ZHAHIRIYAH TERHADAP QIYAS
1.        Pendahuluan
Dalam tradisi hukum Islam kita mengenal adanya sumber-sumber hukum; yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada al-Sunah karena al-Sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam al-Sunah tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan al-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada Qiyas. Karena Qiyas merupakan suatu perangkat untuk melakukan ijtihad. Dalam posisi ini, Qiyas menempati posisi keempat sebagai sumber hukum Islam.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah eksistensi Qiyas itu sendiri sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam, Qiyas menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat diantara para ulama. Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa Qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Zahiriyah misalnya, mereka tidak mengakui keberadaan Qiyas apalagi menerima atau menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sedangkan di kalangan ulama–ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah Zaidiyah menerima Qiyas sebagai sumber hukum Islam.
Dari elaborasi singkat di atas ternyata eksistensi Qiyas  masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini lebih ditekankan kepada perdebatan Qiyas sebagai sumber hukum Islam.


2. Pembahasan
A. Pengertian Qiyas
Qiyas berasal dari kata قياس menurut bahasa ialah ukuran, persamaan dan persesuaian.[1] Imam Syafi’i mendefinisikan Qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadist.[2]
Abdul wahab khalaf mengatakan bahwa para ahli ushul mendefenisikan
القياس فى اصطلاح الأصوليين هو الحق واقعة لا نص على الحكمها بواقعة ورد نص بحكمها فى الحكم الذى ورد به الناس لتساوى الواقعتين فى علة هذا الحكم
Artinya:Pengertian al Qiyas menurut istilah ushul yaitu : menyusuli peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya, karena kesaman illat hukum dalam keduanya.[3]

Dr wahbah zuhaili mendefenisikan:
حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة.
Artinya; “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya”[4]

       Meskipun ulama terlihat berbeda dalam mendefenisikan, sejatinya masih menunjukkan pada satu makna yakni: “menyusuri atau meneliti peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya, dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya, karena kesamaan lllat hukum dalam keduanya.

B. Dalil Kehujjahan Qiyas
Imam Syafi’i menyebutkan sejumlah dalil atas kehujjahan Qiyas, baik dalil naqliyah maupun dalil aqliyah. Namun disini, penulis hanya akan mengupas sebagian saja.
Pertama, segala sesuatu yang telah terjadi atau akan terjadi, sebenarnya terdapat hukum Allah terhadap hukum itu. Sebab syariat Islam berlaku universal, tidak bersifat lokal atau temporal, yang hanya dapat diterapkan pada tempat tertentu dan waktu tertentu saja. Hukum Allah itu adakalanya tersurat secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis.
Dalam kita Ar-Risalah Imam Syafi’i berkata, “Setiap persoalan yang dihadapi oleh orang Islam, pasti ada ketetapan hukum yang mengikat atau ada indikasi yang menunjukkan terhadap ketetapan hukum itu. Apabila ada ketetapan hukum yang tesurat, maka ia wajib mengikutinya. Namun apabila ketetapan itu tersirat, maka ia harus mencari kebenaran itu dengan berijtihad dan ijtihadnya itu menggunakan metode Qiyas.[5]
Kedua dalil yang berasal dari sabda Rasulallah saw:
إِذَ حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَحَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَحِدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ. (رواه البخاري)[6]
 Artinya: “Jika seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia berijtihad untuk memutuskan perkara itu, dan ternyata ijtihadnya itu keliru, maka ia mendapatkan satu pahala”(HR. Bukhari)

Berdasarkan hadis ini, mujtahid tidak dituntut untuk sampai kepada kebenaran hakiki terhadap hal ijtihadnya, sebab kebenaran itu hanya diketahui oleh Allah. Ia hanya diharuskan untuk mencapai kebenaran lahiriah sesuai dengan kemampuannya.
Ketiga, kuhujjahan Qiyas penulis juga bisa memberikan sebuah dalil yang menguatkan kehujjahan Qiyas. Suatu ketika Muadz bin jabal ketika hendak diutus Rasulallah ke yaman. Yaitu:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ  (رواه ابوداود)[7]
Artinya: “Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)

Dari beberapa dalil yang sudah dikemukakan diatas, sudah jelas bahwa kehujjahan Qiyas itu sudah tidak bisa dibantahkan lagi, karena bisa kita katakan bahwa tanpa Qiyas kita tidak bisa memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum syara’ melihat problem-problem yang terus terjadi seiring bergulirnya waktu dan bergantinya zaman.
C. Rukun dan Syarat Qiyas
Para ahli Ushul yang mempergunakan Qiyas sebagai dalil dalam menetapkan ketika Qiyas itu telah memenuhi rukunnya. Rukun Qiyas ada empat:
a. Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat ashl:
1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok.Kalau sudah tidak ada misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin terdapat perpindahan hukum.
2) Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’ bukan hukum akal atau hukum bahasa.
b. Far’un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat:
1) Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada hukum pokok.
2) Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
3) Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
4) Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya:
1) Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu,
2) Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nashlah yang didahulukan.
d. Hukum, yaitu merupakan hasil dari Qiyas tersebut.
Lebih jelasnya biasa dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Segala minuman yang memabukkan adalah far’un atau cabang artinya yang diqiyaskan.
2) Arak, adalah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskanhukum, artinya Ashal atau pokok.
3) Mabuk merusak akal, adalah illat penghubung atau sebab.
4) Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.[8]
D. Macam-macam Qiyas
Imam Syafi’i membagi Qiyas menjadi tiga macem berdasarkan kejelasan ‘illat, kesamaran, dan prediksinya terhadap persoalan yang tidak termaktub dalam nash. Qiyas tersebut antara lain Qiyas aqwa, Qiyas musawi, dan Qiyas adh’af. Para ulama ushul fiqh berikutnya mengikuti tiga klasifikasi ini.[9]
1. Qiyas Aqwa
Qiyas aqwa adalah analogi yang ‘illat hukum cabangnya (far’u) lebih kuat daripada ‘illat pada hukum dasarnya (ashl). Artinya, suatu yang telah dijelaskan dalam nash al-Qur’an atau hadis tentang keharaman melakukannya dalam jumlah sedikit, maka keharaman melakukannya dalam jumlah banyak adalah lebih utama. Sedikit ketaatan yang dipuji apabila dilakukan, maka melakukan ketaatan yang banyak lebih patut dipuji. Sesuatu yang diperbolehkan (mubah) dilakukan dalam jumlah yang banyak, maka lebih utama apabila dilakukan dalam jumlah sedikit.
Apabila Allah mengharamkan berprasangka buruk kepada sesama mungkin dengan tepat bersikap wajar kepadanya, maka prasangka-prasangka lainnya seperti menyebarkan isu tidak benar tentangnya lebih diharamka lagi. Demikian pula dengan prasangka-prasangka yang menyakitkan.
2. Qiyas Musawi
Qiyas Musawi adalah Qiyas yang kekuatan ‘illat pada hukum cabang sama dengan hukum ashl. Qiyas ini disebut juga dengan istilah Qiyas fi Ma’na al-Ashl (analogi terhadap makna hukum ashl), Qiyas jali (analogi yang jelas), dan Qiyas bi nafyi al-fariq (analogi tanpa perbedaan ‘illat).
Imam Syafi’i tidak menjelaskan Qiyas bagian kedua ini dengan jelas. Pembahasan mengenai Qiyas ini hanya bersifat dalam pernyataan, “Ada ulama yang berpendapat seperti pendapat ini, yaitu apa-apa yang bersetatus halal, maka ia menghalalkannya, dan apa-apa yang berlabel haram, maka ia mengharamkannya”.
Maksud dari pernyataan ini adalah Qiyas yang mempunyai kesamaan ‘illat pada hukum cabang dan hukum ashl. Adanya kesamaan ‘illat tersebut bersifat jelas, sejelas nash itu sendiri. Dari sinilah sebagian ulama meggolongkan dilalah nash tersebut dalam kategore Qiyas. Qiyas kategori ini jelas berbeda dengan Qiyas yang pertama, sebab ‘illat pada hukum cabang lebih kuat daripada hukum ashl.
Dari pernyataan Imam al-Ghazali tanpaknya dia setuju mengategorikan kesimpulan ini dalam bahasan Qiyas. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustashfa’. “Tingkatan yang kedua adalah kandungan makna pada nash yang tersirat ‘illat –nya sama dengan yang tersurat, yakni tidak lebih kuat atau lebih rendah. Sehingga disebut juga sebagai Qiyas fi Ma’na al-ashl. Namun para ulama masih berbeda pendapat seputar pemahaman Qiyas ini.
3. Qiyas Adh’af
Qiyas adh’af adalah analogi yang illat pada hukum cabangnya (far’) lebih lemah daripada ‘illat pada hukum dasarnya (ashl).
Dalam kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata, “Sebagian ulama enggan menyebutkan sebagian Qiyas, kecuali ada kemungkinan kemiripan yang dapat ditetapkan dari dua makna yang berbeda. Lalu dianalogikan terhadap salah satu makna tersebut, bukan kepada yang lainnya.”
Menurut imam ar-Razi, Imam Syafi’i telah membagi Qiyas jenis kedua ini ke dalam dua bagian, yakni Qiyas al-ma’na(analogi yang didasarkan sebab hukum) dan Qiyas al-syabah(analogi yang didasarkan pada kemiripan).[10]
Dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i, ia menegaskan, adanya ‘illat pada hukum cabang lebih lemah daripada ‘illat pada hukum ashl. Qiyas seperti ini terbagi kedalam dua macam. Pertama, Qiyas al-ma’na, yaitu pencarian ‘illat hukum dalam objek yang sama antara hukum cabang dan hukum ashl, lalu ‘illat pada hukum cabang dijadikan pedoman untuk menemukan ketetapan hukumnya. Kedua, tidak perlu adanya penggalian makna sama sekali, tetapi dengan cara penelitian pola hukum dalam satu kejadian dengan menggunakannya pada dua kejadian yang berbeda, lalu dicari satu precendent (contoh) yang paling banyak kemiripannya. Proses analogi dengan mencari kemiripan untuk hukum inilah yang lazim disebut Qiyas asy-syabah.
Selanjutnya Imam Syafi’i menyebutkan berbagai contoh mengenai Qiyas bagian tiga ini. Saya hanya akan mengutip dua contoh saja, satu contoh untuk menjelaskan Qiyas al-’Illah dan satu contoh untuk menerangkan Qiyas asy-syabah. Berikut contoh-contohnya: Allah SWT berfirman:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ )٢٣٣(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(Q.S al-Baqarah: 233)

Rasulallah SAW pernah menyuruh Hindun binti ‘Utbah mengambil harta Abu Sufyan (suaminya) untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya, meski tanpa seizin suaminya.
 Kitabullah dan Sunnah Rasulallah menunjukkan bahwa ayah berkewajiban menanggung anaknya yang masih menyusui dan memberi nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil. ‘Illaat hukum pada ayat ini adalah adanya hubungan darah antara anak dan ayahnya. Sebaliknya, apabila kondisi ayah sudah tidak sanggup lagi memberikan nafkah, sementara anaknya sudah mapan, maka anak berkewajiban merawat ayah dan menafkahinya. Kewajiban anak ini merupakan hukum yang diperoleh berdasarkan Qiyas. Kewajiban ini tetap berlaku terhadap kedua orang tua, kakek, dan seterusnya, karena hubungan darah bersifat permanen dan tidakdipisahkan, yang disebut sebagai hukum kekerabatan." Contoh berikutnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (٩٥).
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-had  yang dibawa sampai ke Ka'bahatau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu, dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.(Q.S al-Maidah 95)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk membayar denda secara sepadan sesuai dengan keputusan dua hakim yang adil. Karena memakan binatang buruan diharamkan secara umum, maka denda untuk binatangbinatang buruan itu harus dengan binatang lain yang sepadan ukurannya.
Keputusan seperti ini diberlakukan juga oleh sebagian sahabat Rasulallah SAW. Misalnya, denda untuk hyena (sejenis srigala) adalah seekor kambing jantan, kijang padanya seekor kambing betina. Maksudnya denda yang sepadan adalah sepadan dalam ukurannya, bukan dalam harganya.

E. Kedudukan Qiyas
Imam Syafi’i menempatkan Qiyas di urutkan keempat dalam hirarki sumber-sumber hukum syara’, yaitu setelah al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Karena itu, bisa dikatakan bahwa ijma’ kadang ditetapkan berdasarkan Qiyas. Ijma’ tidak dapat disandarkan pada Qiyas, karena kekuatan dalilnya lebih kuat daripada Qiyas itu sendiri. Namun demikian, seandainya ijma’ ditetapkan berdasarkan Qiyas atau hadis ahad, maka kedudukan ijma’ tetap bersifat pasti (qath’i), karena banyak dalil-dalil yang menunjukkan kepastiannya.[11]
F. Penolakan Ulama Zhahiriyah terhadap Qiyas
Ini merupakan perbedaan antara fiqih ahlu zhahir dengan jumhur fuqaha. Jumhur bersepakat bahwa hukum yang ditetapkan Syari’ selalu memiliki alasan logis (‘illat). Setiap nash yang di-syari’at-kan mempunyai tujuan atau maqashid yang dapat mengatur semua urusan baik berkenaan dengan agama maupun dunia. Oleh sebab itu, syari’at perlu diperluas sesuai dengan perkembangan manusia. Hal ini dikarenakan nash jumlahnya terbatas, sedangkan permasalahan baru yang muncul di dalam kehidupan manusia tidaklah terbatas. Maka illat dari sebuah nash perlu dikeluarkan agar dapat meng-istinbath-kan hukum dengan Qiyas.
Namun berbeda dengan pendapat jumhur, Ibn Hazm menolak keberadaan ‘illat di dalam nash, karena menurutnya setiap nash atau hukum hanya terkait dengan masalah tertentu saja tanpa ‘illat yang bisa diterapkan kepada masalah yang lain. Ibn Hazm menyatakan, kami tidak menolak apa yang di-nash-kan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang kami tolak adalah ‘illat yang dikeluarkan dari akal, lalu dinyatakan dari Allah dan Rasul-Nya. [12]
Dalam menguatkan pendapatnya bahwa nash-nash syar’i tidak perlu dicari ‘illat-nya, Ibn Hazm berpegang  pada firman Allah:
Ÿw ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur šcqè=t«ó¡ç ÇËÌÈ  
Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (Q.S. Al-Anbiya’: 23)
Apabila perbuatan Allah tidak bisa di-ta’lil, maka tidak ada ‘illat di dalam syari’at. Jadi tidak perlu mencari ‘illat dari sebuah nash, karena mencari ‘illat dari sebuah nash sama saja dengan mencari ‘illat dari perbuatan Allah.[13]
Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan antara jumhur dengan Ibn Hazm atau zhahiriah. Jumhur melihat perlunya ta’lil nushush sehingga dapat mengatur semua perkara dunia dan membangun fiqih ra’yi terhadap permasalahan yang tidak tercakup di dalam nash. Sedangkan kelompok zhahiri berpandangan tidak adanya ta’lil nushush, bahkan mereka menggunakan sebuah nash tanpa berusaha mencari ‘illat-nya dan juga tidak men-ta’diyah-kan hukum kepada selain yang ditetapkan oleh nash.
a.    Penolakannya terhadap Qiyas
Ibn Hazm adalah sangat menolak Qiyas. Menurutnya, tidak ada peran logika di dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang Alquran dan menemukan hanya tiga sumber hukum, yaitu: Alquran, Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Hasan, Ibn Hazm berpendapat bahwa kaum Muslimin tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-sewenang.[14]
Dalam menolak Qiyas, Ibn Hazm juga menolak dalil yang dijadikan pegangan Qiyas oleh jumhur ulama dan berusaha melemahkannya. Jumhur biasanya menggunakan dalil “fa’tabiru ya uli al-abshar” (al-Hasyr: 2) dengan mengartikan “i’tabiru” dengan “qisu”. Menurut Ibn Hazm “i’tabiru” tidak dapat diartikan “qisu”, makna “i’tabiru” adalah “ta’ajjabu wa ta’adzu” sebagaimana dalam surat al-Nahl: 66-67:
 وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ (٦٦)وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٦٧)
Artinya: “Dan sungguh pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran (la’ibrah) bagi kamu, Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (66) Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh pada demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti (67)”(Q.S al-Nahl: 66-67)

Ibn Hazm mengartikan kata la ’ibrah pada ayat di atas dengan makna mau’idzah (pelajaran).[15] Sedangkan di dalam Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas, Ibn Hazm juga membantah ayat yang menjadi dalil Qiyas oleh jumhur tersebut dengan menggunakan ayat “laqad ka na fi qashashihim ‘ibrah” (Yusuf: 111). Kata ‘ibrah pada ayat ini bermakna ‘ajab (takjub) bukan bermakna Qiyas.[16]
Pandangan Ibn Hazm ini berbeda dengan jumhur ulama yang melihat nash sebagai sesuatu yang ma’qul al-ma’na, diturunkan bagi manusia dengan tujuan mengatur kehidupan mereka di dunia dan akhirat (maqashid syari’ah), sehingga dalam memahami nash ada yang ‘am, khas, ‘illat dan lain sebagainya. Sehingga jika Allah melarang mengkonsumsi khamar, maka harus dipelajari maksud dan tujuan diharamkannya khamar, hingga bisa dianalogikan dengan hal yang lain yang serupa, demi tercapainya tujuan dari pengharaman khamar itu sendiri.
     b.    Cara Ibn Hazm dalam Menggunakan dan Memahami Dalil
Secara umum, prinsip yang dipegang oleh Ibn Hazm adalah berdasarkan pada konsistensi nash atau mengambil penjelasan yang zhahir (zawahirun nushush) dari Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat ra. al-Dalil Bagi Ibn Hazm, tidak boleh ada ra’yu dalam masalah agama, barang siapa yang ber-ijtihad dengan ra’yu maka berarti ia telah membuat kebohongan terhadap Allah swt. Dengan demikian, Ibn Hazm menutup sama sekali pintu ijtihad bil ra’yi seperti Qiyas, istihsan, mAshalih mursalah dan sadd al-zara-i’.[17]
       Pandangannya tersebut didasarkan terhadap beberapa dalil Alquran dan Hadis, namun yang penulis kutip adalah dalil Alquran dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)  
          Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Q.S al-Nisa’ ayat 59)

Dari ayat tersebut, Ibn Hazm menyimpulkan bahwa sumber-sumber syari’at hanyalah Alquran, Sunnah dan Ijma’ (sahabat), ketika terjadi perselisihan maka harus kembali kepada Alquran dan Sunnah, tidak kepada selain keduanya.
Hal yang menarik di sini adalah Ibn Hazm dengan tegas menolak ijtihad bil ra’yi, namun ia menawarkan konsep al-dalil yang termasuk di dalamnya juga ada konsep istishab, ketika ber-ijtihad untuk menggali hukum-hukum syari’at dari nash Alquran maupun Hadis. Bagi Ibn Hazm, konsep al-dalil ini tidak keluar dari jalur nash, namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq (logika). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penalaran ra’yu tidak bisa dilepaskan sama sekali dalam ber-ijtihad atau menetapkan hukum.
Sedangkan al-dalil yang diambil dari nash terbagi menjadi tujuh[18], yaitu:
1.      Dua proposisi (muqaddimah) yang terdiri dari nash, kemudian menghasilkan natijah yang tidak terdapat di dalam nash. Seperti sabda Rasulullah saw: “kullu muskirin khamrun wa kullu khamrun haram” dan natijah kullu muskirin haram adalah al-dalil menurut Ibn Hazm.
2.      Syarat yang tergantung dengan sifat tertentu, maka wajib untuk menetapkannya sesuai dengan syarat tersebut. Contoh dalam Alquran surat al-Anfal ayat 38: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu…”, maka dengan ini benar bahwa setiap yang berhenti (dari kekafiran) akan diampuni oleh Allah swt.
3.      Lafaz yang dipahami dengan makna tertentu, kemudian lafaz tersebut diungkapkan dengan pernyataan lain yang semakna (al-mutala’imat). Contoh firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 114: “…sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” Maka dapat dipahami secara dharuri bahwa ia (Ibrahim) bukanlah orang yang safih (jahat, kasar). Begitu juga dengan lafaz الضيغم، الأسد، الليث، الضرغام، وعنبسة semuanya nama-nama tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu singa.
4.      Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya adalah mubah. Menurut Abu Zahrah, al-dalil ini pada dasarnya adalah istishab, yakni hukum asal segala sesuatu adalah mubah sebelum ada dalil nash yang mengharamkannya atau mewajibkannya.[19]
5.      Qadhaya Mudarrajat yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain di bawahnya. Ibn Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar lebih utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Utsman, maka makna lainnya adalah Abu Bakar lebih utama dari Utsman.
6.      ‘Aks Qadhaya, di mana bentuk proposisi kulliyat, dibalik ke dalam bentuk proposisi juz’iyyat, seperti pernyataan; “setiap yang memabukkan adalah khamr” dibalik menjadi “sebagian dari hal yang diharamkan adalah yang memabukkan”.
7.      Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna yang dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya. Seperti ungkapan “Zaid sedang menulis” dalam kalimat ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup, mempunyai anggota badan yang dapat digunakan untuk menulis. Atau contoh lainnya firman Allah: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” maka dengan demikian, zaid, hindun, atau ‘umar pasti akan mati, walaupun nash tidak menyebutkan namanya.[20]

G. Penolakan Ulama Syi’ah terhadap Qiyas
       Secara umum Syi’ah menolak penggunaan akal sebagai dalail dalam menetapkan hukum. Menurut ulama syi’ah yang dapat dijadikan sebagi sumber hukum adalah al-Quran, hadis yang diriwayat kan oleh ahli bait, ijma’ yang disepakati oleh ulama syi’ah serta ad-dalil. Ad-Dalil ini adalah upaya ulama syi’ah dalam mencari penyelasaian dalam masalah yang tidak terdapat dalam al-quran, sunnah, ijma’.[21]
Sejauh pengamatan penulis, ditemukan bahwa Kelompok Syi’ah Imamiyah sama sekali tidak menggunakan Qiyas sebagai landasan hukum. Hal ini dikarenakan kewajiban mengamalkan Qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.[22]
       Dinukil dari kitab ushul fiqh karangan Syaikh Muhammar Ridha al-Muzahffar, beliau mendefenisikan Qiyas sebagai “penetapan hukum pada sesuatu hukum dengan ‘illat karena sesuai pada hukum yang lain dengan ‘illat itu. Tempat pertama disebut dengan Maqis atau dinamakan Furu’. Dan tempat kedua adalah Maqis‘alaih atau disebut Ashal. Dan illat yang saling berkaitan disebut jami’an.[23]
Pada hakikatnya Qiyas merupakan proses dari pembuat dalil (Qayis) untuk memberikan konklusi hukum syar’i pada posisi yang tidak disebutkan nash dengan hukum syari’at, sedangkan proses ini menghendaki keyakinan atau zhan dengan hukum syari’. Dan proses pengQiyasan ini adalah metode pengambilan Furu’ atas Ashal pada hukum yang telah tetap pada Ashal secara syariat, maka Qayis memberikan kepada Furu’ hukum semisal hukum Ashal, apabila hukum nya wajib maka Furu’ wajib. Jika haram maka Furu’ pun haram.
Dipahami bahwa dengan penjelasan diatas jelas bahwa penetapan hukum (perbuatan Qayis dan hukumnya terhada hukum syari’) pada hakikatnya adalah dalil, sedangkan Mustadil alaih adalah hukum syari’ atas Furu’, hanya saja Qayis memperoleh istidlal ini sesuai dengan hasil keyakinannya dengan hukum Syari’ dari proses pengqiyasan yang dicapainya.[24]
Rukun Qiyas menurut beliau ada empat:
a.    Ashal: MaqisAlaih yang hukum syariatnya telah tetap
b.    Furu’: Maqis, yang dituntut penetapan hukum syariat.
c.    ‘Illah: yang mengaitkan antara Ashal dan Furu’yang dinamakan dengan Jami’an.
d.   Hukum: jenis hukum yang dimiliki Ashal.[25]
Sedangkan kehujjahan dari Qiyas digantungkan dengan pengetahuan Qayis. Maknanya, Qiyas baru dijadikan hujjah apabila memnuhi dua kondisi, yakni:
1.      Bahwa penetapan Qayis harus sesuai dengan keilmuannya terhadap hukum syar’i.
2.      Bahwa dalil menjadi terputus terhadap hujjahnya jika tidak sesuai dengan keilmuan Qayis.[26]
3. Kesimpulan
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan Hujjah Syar’iyyah dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaan Illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’. Sementara itu Ibnu Hazm, dan Syi'ah secara umum tidak menggunakan qiyas sebagai dalil dalam penetapan Hukum.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi Abdussalam. 2008. Ensiklopedi Imam Syafi’i. Jakarta Selatan: PT Mizan Publika.
al-Kafrawi , As’ad ‘Abdil Ghani al-Saydi. 2002. al-Istidlal ‘Indal Ushuliyyin. Cairo: Dar as-Salam.
Hazm ,Ibn. 1981. al-Nubadz fi Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah
_______.1960. Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil, Damaskus: Jami’ah Dimasyq
http://apk67.blogspot.co.id/2015/08/ibnu-hazm.html diakses pada tanggal 13 november 2015.
http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses tanggal 10 november 2015.
http://syakirman.blogspot.co.id/2010/11/perdebatan-qiyas-dalam-islam.html diakses pada tanggal 13 november 2015
Khallaf, Abdul Wahab. 2002.  Ilmu Ushul fiqh. Cairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif.
Muzaffar, Muhammad Ridha. 2007 Ushul Fiqh. Qum: Mnsyurat al-Aziz.
Zuhaili, Wahbah. 2005. Usul al-Fiqh al-Islâmi. juz. II . Damsyiq: Dâr al-Fikr.


[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal. 1178.
[2] Ahmad Nahrawi Abdussalam Al Indunisi, Ensiklopedi Imam Syafi;i, Jakarta Selatan: PT Mizan Publika, 2008, hal. 342.
[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Cairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, 2002) hal 52
[4] Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, (Damsyiq: Dâr al-Fikr,  2005),  juz. II, hal 574
[5] Ahmad Nahrawi Abdussalam Al Indunisi, Ensiklopedi……hal. 347.
[6]  Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’u ash-Shahih, (Kairo: Dar asy-Sya’bi, 1987) Juz ke-9, hal 133.
[7] Abu Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), juz ke-3, hal 330.
[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh,...... hal 60.
[9] Ahmad Nahrawi Abdussalam Al Indunisi, Ensiklopedi...... hal.354.
[10] Ahmad Nahrawi Abdussalam Al Indunisi, Ensiklopedi..... hal.354.
[11] Ahmad Nahrawi Abdussalam Al Indunisi, Ensiklopedi ..... hal.342.
[12] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses tanggal 10 november 2015.
[13] http://apk67.blogspot.co.id/2015/08/ibnu-hazm.html diakses pada tanggal 13 november 2015.
[14] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses tanggal 10 november 2015.
[15]Ibn Hazm, al-Nubadz fi Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1981), hal. 67.
[16] Ibn Hazm, Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil, (Damaskus: Jami’ah Dimasyq, 1960), hal. 28.
[17] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses tanggal 10 november 2015.
[18] As’ad ‘Abdil Ghani al-Saydi al-Kafrawi, al-Istidlal ‘Indal Ushuliyyin, (Cairo: Dar as-Salam, 2002), hal 91-93
[19] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses tanggal 10 november 2015.
[20] As’ad ‘Abdil Ghani al-Saydi al-Kafrawi, al-Istidlal ‘Indal .......hal 93.
[21] Hasil diskusi di lokal HI-B 2015 tanggal 21 november 2015.
[22] http://syakirman.blogspot.co.id/2010/11/perdebatan-qiyas-dalam-islam.html diakses pada tanggal 13 november 2015.
[23] Muhammad Ridha Muzaffar, Ushul Fiqh, (Qum: Mnsyurat al-Aziz, 2007,) hal 402.
[24] Muhammad Ridha Muzaffar, Ushul Fiqh.........hal 403
[25] Muhammad Ridha Muzaffar, Ushul Fiqh.........hal 403
[26] Muhammad Ridha Muzaffar, Ushul Fiqh.........hal 404
gambar dari google

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...