1.
Pendahuluan
Dalam tradisi hukum Islam kita mengenal adanya sumber-sumber
hukum; yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan
sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an
haruslah dikedepankan. Bila dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada
al-Sunah karena al-Sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di
dalam al-Sunah tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’
adalah nash-nash al-Qur’an dan al-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka
haruslah merujuk kepada Qiyas. Karena Qiyas merupakan suatu
perangkat untuk melakukan ijtihad. Dalam posisi ini, Qiyas menempati posisi keempat sebagai
sumber hukum Islam.
Namun,
yang menjadi permasalahan adalah eksistensi Qiyas itu sendiri sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam, Qiyas menjadi
salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang
pendapat diantara para ulama. Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti
yang menyatakan bahwa Qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Madzhab
Syi’ah Imamiyah dan madzhab Zahiriyah misalnya, mereka tidak mengakui
keberadaan Qiyas apalagi menerima atau menggunakannya sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Sedangkan di kalangan ulama–ulama lainnya seperti ulama
jumhur dan madzhab Syi’ah Zaidiyah menerima Qiyas sebagai sumber hukum Islam.
Dari
elaborasi singkat di atas ternyata eksistensi Qiyas masih
problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu dalam
penulisan makalah ini lebih ditekankan kepada perdebatan Qiyas sebagai
sumber hukum Islam.
2. Pembahasan
A. Pengertian
Qiyas
Qiyas berasal
dari kata قياس menurut bahasa
ialah ukuran, persamaan dan persesuaian.[1] Imam Syafi’i mendefinisikan Qiyas sebagai upaya
pencarian (ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu
yang pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadist.[2]
Abdul wahab khalaf mengatakan bahwa
para ahli ushul mendefenisikan
القياس فى اصطلاح
الأصوليين هو الحق واقعة لا نص على الحكمها بواقعة ورد نص بحكمها فى الحكم الذى
ورد به الناس لتساوى الواقعتين فى علة هذا الحكم
Artinya:Pengertian al Qiyas menurut istilah
ushul yaitu : menyusuli
peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya, karena kesaman illat hukum dalam keduanya.[3]
Dr wahbah zuhaili mendefenisikan:
حمل معلوم على معلوم
في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة.
Artinya;
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu
yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya”[4]
Meskipun ulama terlihat berbeda dalam mendefenisikan,
sejatinya masih menunjukkan pada satu makna yakni: “menyusuri atau meneliti peristiwa yang tidak terdapat
nash hukumnya, dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya, karena kesamaan lllat hukum dalam
keduanya.
B. Dalil Kehujjahan Qiyas
Imam
Syafi’i menyebutkan sejumlah dalil atas kehujjahan Qiyas, baik dalil naqliyah
maupun dalil aqliyah. Namun disini, penulis hanya akan mengupas sebagian
saja.
Pertama,
segala sesuatu yang telah terjadi atau
akan terjadi, sebenarnya terdapat hukum Allah terhadap hukum itu. Sebab syariat
Islam berlaku universal, tidak bersifat lokal atau temporal, yang hanya dapat
diterapkan pada tempat tertentu dan waktu tertentu saja. Hukum Allah itu
adakalanya tersurat secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis.
Dalam
kita Ar-Risalah Imam Syafi’i berkata, “Setiap persoalan yang dihadapi
oleh orang Islam, pasti ada ketetapan hukum yang mengikat atau ada indikasi
yang menunjukkan terhadap ketetapan hukum itu. Apabila ada ketetapan hukum yang
tesurat, maka ia wajib mengikutinya. Namun apabila ketetapan itu tersirat, maka
ia harus mencari kebenaran itu dengan berijtihad dan ijtihadnya itu menggunakan
metode Qiyas.[5]
Kedua
dalil yang berasal dari sabda
Rasulallah saw:
إِذَ
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَحَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَمَ
فَاجْتَحِدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ. (رواه البخاري)[6]
Artinya:
“Jika seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu
benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia berijtihad untuk memutuskan
perkara itu, dan ternyata ijtihadnya itu keliru, maka ia mendapatkan satu
pahala”(HR. Bukhari)
Berdasarkan hadis ini, mujtahid tidak dituntut untuk sampai kepada kebenaran
hakiki terhadap hal ijtihadnya, sebab kebenaran itu hanya diketahui oleh Allah.
Ia hanya diharuskan untuk mencapai
kebenaran lahiriah sesuai dengan kemampuannya.
Ketiga, kuhujjahan Qiyas
penulis juga bisa memberikan sebuah dalil yang menguatkan kehujjahan Qiyas.
Suatu ketika Muadz bin jabal ketika
hendak diutus Rasulallah ke yaman. Yaitu:
عَنْ
أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ
اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ
تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ:
فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ
رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ
رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ (رواه ابوداود)[7]
Artinya: “Diriwayatkan dari penduduk
homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk
mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus
hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan
berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya
berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
Dari beberapa dalil
yang sudah dikemukakan diatas, sudah jelas bahwa kehujjahan Qiyas itu
sudah tidak bisa dibantahkan lagi, karena bisa kita katakan bahwa tanpa Qiyas
kita tidak bisa memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum syara’
melihat problem-problem yang terus terjadi seiring bergulirnya waktu dan
bergantinya zaman.
C. Rukun dan
Syarat Qiyas
Para ahli Ushul
yang mempergunakan Qiyas sebagai dalil dalam menetapkan ketika Qiyas
itu telah memenuhi rukunnya. Rukun Qiyas ada empat:
a. Ashlun, yaitu merupakan hukum
pokok yang diambil persamaan atau sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat
ashl:
1) Hukum yang
hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok.Kalau sudah tidak ada
misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin terdapat
perpindahan hukum.
2) Hukum yang ada
dalam pokok harus hukum Syara’ bukan hukum akal atau hukum bahasa.
b. Far’un, yaitu merupakan hukum
cabang yang dipersamakan atau sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.
Syarat-syarat:
1) Hukum cabang tidak lebih dulu adanya
daripada hukum pokok.
2) Cabang tidak mempunyai kekuatan
sendiri.
3) Illat yang terdapat pada hukum
cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
4)
Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. Illat, yaitu sifat yang
menjadi dasar persamaan antara hukum cabang dengan hukum pokok.
Syarat-syaratnya:
1) Illat harus berupa sesuatu yang
terang dan tertentu,
2) Illat tidak berlawanan dengan nash,
apabila berlawanan nashlah yang didahulukan.
d.
Hukum, yaitu merupakan hasil dari Qiyas tersebut.
Lebih jelasnya biasa
dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal,
membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Segala minuman yang memabukkan
adalah far’un atau cabang artinya yang diqiyaskan.
2) Arak, adalah yang menjadi ukuran
atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskanhukum, artinya Ashal atau
pokok.
3) Mabuk merusak akal, adalah illat
penghubung atau sebab.
4) Hukum, segala yang memabukkan
hukumnya haram.[8]
D. Macam-macam Qiyas
Imam Syafi’i membagi Qiyas
menjadi tiga macem berdasarkan kejelasan ‘illat, kesamaran, dan prediksinya
terhadap persoalan yang tidak termaktub dalam nash. Qiyas tersebut
antara lain Qiyas aqwa, Qiyas musawi, dan Qiyas adh’af. Para ulama
ushul fiqh berikutnya mengikuti tiga klasifikasi ini.[9]
1. Qiyas
Aqwa
Qiyas aqwa adalah analogi yang ‘illat hukum cabangnya
(far’u) lebih kuat daripada ‘illat pada hukum dasarnya (ashl). Artinya, suatu
yang telah dijelaskan dalam nash al-Qur’an atau hadis tentang keharaman
melakukannya dalam jumlah sedikit, maka keharaman melakukannya dalam jumlah
banyak adalah lebih utama. Sedikit
ketaatan yang dipuji apabila dilakukan, maka melakukan ketaatan yang banyak
lebih patut dipuji. Sesuatu yang diperbolehkan (mubah) dilakukan dalam jumlah
yang banyak, maka lebih utama apabila dilakukan dalam jumlah sedikit.
Apabila Allah
mengharamkan berprasangka buruk kepada sesama mungkin dengan tepat bersikap
wajar kepadanya, maka prasangka-prasangka lainnya seperti menyebarkan isu tidak
benar tentangnya lebih diharamka lagi. Demikian pula dengan prasangka-prasangka
yang menyakitkan.
2. Qiyas Musawi
Qiyas Musawi adalah Qiyas yang kekuatan ‘illat pada hukum cabang
sama dengan hukum ashl. Qiyas ini disebut juga dengan istilah Qiyas
fi Ma’na al-Ashl (analogi terhadap makna hukum ashl), Qiyas jali (analogi
yang jelas), dan Qiyas bi nafyi al-fariq (analogi tanpa perbedaan ‘illat).
Imam Syafi’i tidak
menjelaskan Qiyas bagian kedua ini dengan jelas. Pembahasan mengenai Qiyas
ini hanya bersifat dalam pernyataan, “Ada ulama yang berpendapat seperti
pendapat ini, yaitu apa-apa yang bersetatus halal, maka ia menghalalkannya, dan
apa-apa yang berlabel haram, maka ia mengharamkannya”.
Maksud dari pernyataan
ini adalah Qiyas yang mempunyai kesamaan ‘illat pada hukum cabang dan
hukum ashl. Adanya kesamaan ‘illat tersebut bersifat jelas, sejelas nash itu
sendiri. Dari sinilah sebagian ulama meggolongkan dilalah nash tersebut dalam
kategore Qiyas. Qiyas kategori ini jelas berbeda dengan Qiyas
yang pertama, sebab ‘illat pada hukum cabang lebih kuat daripada hukum ashl.
Dari pernyataan Imam
al-Ghazali tanpaknya dia setuju mengategorikan kesimpulan ini dalam bahasan Qiyas.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustashfa’. “Tingkatan yang kedua
adalah kandungan makna pada nash yang tersirat ‘illat –nya sama dengan
yang tersurat, yakni tidak lebih kuat atau lebih rendah. Sehingga disebut juga sebagai
Qiyas fi Ma’na al-ashl. Namun para ulama masih berbeda pendapat seputar
pemahaman Qiyas ini.
3. Qiyas Adh’af
Qiyas adh’af adalah analogi yang illat pada hukum cabangnya (far’)
lebih lemah daripada ‘illat pada hukum dasarnya (ashl).
Dalam kitab ar-Risalah,
Imam Syafi’i berkata, “Sebagian ulama enggan menyebutkan sebagian Qiyas,
kecuali ada kemungkinan kemiripan yang dapat ditetapkan dari dua makna yang
berbeda. Lalu dianalogikan terhadap salah satu makna tersebut, bukan kepada
yang lainnya.”
Menurut imam ar-Razi,
Imam Syafi’i telah membagi Qiyas jenis kedua ini ke dalam dua bagian,
yakni Qiyas al-ma’na(analogi yang didasarkan sebab hukum) dan Qiyas
al-syabah(analogi yang didasarkan pada kemiripan).[10]
Dalam kitab Manaqib
asy-Syafi’i, ia menegaskan, adanya ‘illat pada hukum cabang lebih
lemah daripada ‘illat pada hukum ashl. Qiyas seperti ini terbagi kedalam
dua macam. Pertama, Qiyas al-ma’na, yaitu pencarian ‘illat hukum dalam
objek yang sama antara hukum cabang dan hukum ashl, lalu ‘illat pada hukum
cabang dijadikan pedoman untuk menemukan ketetapan hukumnya. Kedua, tidak perlu
adanya penggalian makna sama sekali, tetapi dengan cara penelitian pola hukum
dalam satu kejadian dengan menggunakannya pada dua kejadian yang berbeda, lalu dicari
satu precendent (contoh) yang paling banyak kemiripannya. Proses analogi
dengan mencari kemiripan untuk hukum inilah yang lazim disebut Qiyas
asy-syabah.
Selanjutnya Imam Syafi’i
menyebutkan berbagai contoh mengenai Qiyas bagian tiga ini. Saya hanya
akan mengutip dua contoh saja, satu contoh untuk menjelaskan Qiyas al-’Illah
dan satu contoh untuk menerangkan Qiyas asy-syabah. Berikut
contoh-contohnya: Allah SWT berfirman:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ
أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ )٢٣٣(
Artinya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(Q.S al-Baqarah: 233)
Rasulallah SAW pernah menyuruh Hindun binti ‘Utbah mengambil
harta Abu Sufyan (suaminya) untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya, meski tanpa
seizin suaminya.
Kitabullah dan Sunnah Rasulallah menunjukkan
bahwa ayah berkewajiban menanggung anaknya yang masih menyusui dan memberi nafkah
kepada anak-anaknya yang masih kecil. ‘Illaat hukum
pada ayat ini adalah adanya hubungan darah antara anak dan ayahnya. Sebaliknya,
apabila kondisi ayah sudah tidak sanggup lagi memberikan nafkah, sementara anaknya
sudah mapan, maka anak berkewajiban merawat ayah dan menafkahinya. Kewajiban
anak ini merupakan hukum yang diperoleh berdasarkan Qiyas. Kewajiban ini
tetap berlaku terhadap kedua orang tua, kakek, dan seterusnya, karena hubungan
darah bersifat permanen dan tidakdipisahkan, yang disebut sebagai hukum
kekerabatan." Contoh berikutnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ
ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ
عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (٩٥).
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil di antara kamu sebagai had-had yang dibawa sampai ke Ka'bahatau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan
makanan yang dikeluarkan itu,
supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa
yang telah lalu, dan
Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah
Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.(Q.S al-Maidah 95)
Dalam ayat ini, Allah
memerintahkan untuk membayar denda secara sepadan sesuai dengan keputusan dua
hakim yang adil. Karena memakan binatang buruan diharamkan secara umum, maka
denda untuk binatangbinatang buruan itu harus dengan binatang lain yang sepadan
ukurannya.
Keputusan seperti ini
diberlakukan juga oleh sebagian sahabat Rasulallah SAW. Misalnya, denda untuk hyena
(sejenis srigala) adalah seekor kambing jantan, kijang padanya seekor
kambing betina. Maksudnya denda yang sepadan adalah sepadan dalam ukurannya,
bukan dalam harganya.
E. Kedudukan Qiyas
Imam Syafi’i
menempatkan Qiyas di urutkan keempat dalam hirarki sumber-sumber hukum
syara’, yaitu setelah al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Karena
itu, bisa dikatakan bahwa ijma’ kadang ditetapkan berdasarkan Qiyas.
Ijma’ tidak dapat disandarkan pada Qiyas, karena kekuatan dalilnya lebih
kuat daripada Qiyas itu sendiri. Namun demikian, seandainya ijma’
ditetapkan berdasarkan Qiyas atau hadis ahad, maka kedudukan ijma’ tetap
bersifat pasti (qath’i), karena banyak dalil-dalil yang menunjukkan
kepastiannya.[11]
F. Penolakan Ulama Zhahiriyah
terhadap Qiyas
Ini merupakan perbedaan antara fiqih ahlu zhahir dengan jumhur fuqaha. Jumhur bersepakat bahwa
hukum yang ditetapkan Syari’ selalu memiliki alasan logis (‘illat). Setiap nash yang
di-syari’at-kan mempunyai tujuan atau maqashid yang dapat
mengatur semua urusan baik berkenaan dengan agama maupun dunia. Oleh sebab itu,
syari’at perlu diperluas sesuai dengan perkembangan manusia. Hal ini
dikarenakan nash jumlahnya terbatas, sedangkan permasalahan baru yang
muncul di dalam kehidupan manusia tidaklah terbatas. Maka illat dari
sebuah nash perlu dikeluarkan agar dapat meng-istinbath-kan hukum
dengan Qiyas.
Namun berbeda dengan pendapat jumhur, Ibn Hazm menolak
keberadaan ‘illat di dalam nash, karena menurutnya setiap nash
atau hukum hanya terkait dengan masalah tertentu saja tanpa ‘illat yang
bisa diterapkan kepada masalah yang lain. Ibn Hazm menyatakan, kami tidak
menolak apa yang di-nash-kan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang kami tolak
adalah ‘illat yang dikeluarkan dari akal, lalu dinyatakan dari Allah dan
Rasul-Nya. [12]
Dalam menguatkan pendapatnya bahwa nash-nash syar’i
tidak perlu dicari ‘illat-nya, Ibn Hazm berpegang pada firman Allah:
Ÿw ã@t«ó¡ç„ $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur šcqè=t«ó¡ç„ ÇËÌÈ
Artinya:
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan
ditanyai.” (Q.S. Al-Anbiya’: 23)
Apabila perbuatan Allah tidak bisa di-ta’lil,
maka tidak ada ‘illat di dalam syari’at. Jadi tidak perlu mencari
‘illat dari sebuah nash, karena mencari ‘illat dari sebuah
nash sama saja dengan mencari ‘illat dari perbuatan Allah.[13]
Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan antara
jumhur dengan Ibn Hazm atau zhahiriah. Jumhur melihat perlunya ta’lil
nushush sehingga dapat mengatur semua perkara dunia dan membangun fiqih ra’yi
terhadap permasalahan yang tidak tercakup di dalam nash. Sedangkan
kelompok zhahiri berpandangan tidak adanya ta’lil nushush, bahkan mereka
menggunakan sebuah nash tanpa berusaha mencari ‘illat-nya dan
juga tidak men-ta’diyah-kan hukum kepada selain yang ditetapkan oleh nash.
a.
Penolakannya
terhadap Qiyas
Ibn
Hazm adalah sangat menolak Qiyas. Menurutnya, tidak ada peran logika di
dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang Alquran
dan menemukan hanya tiga sumber hukum, yaitu: Alquran, Sunnah dan Ijma’.
Sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Hasan, Ibn Hazm berpendapat bahwa kaum
Muslimin tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika
seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga
yang dikehendaki Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-sewenang.[14]
Dalam
menolak Qiyas, Ibn Hazm juga menolak dalil yang dijadikan pegangan Qiyas
oleh jumhur ulama dan berusaha melemahkannya. Jumhur biasanya menggunakan dalil
“fa’tabiru ya uli al-abshar” (al-Hasyr: 2) dengan mengartikan “i’tabiru”
dengan “qisu”. Menurut Ibn Hazm “i’tabiru” tidak dapat diartikan
“qisu”, makna “i’tabiru” adalah “ta’ajjabu wa ta’adzu”
sebagaimana dalam surat al-Nahl: 66-67:
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأنْعَامِ لَعِبْرَةً
نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا
سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ (٦٦)وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ
تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ (٦٧)
Artinya: “Dan sungguh pada hewan
ternak itu benar-benar terdapat pelajaran (la’ibrah) bagi kamu, Kami memberimu
minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (66) Dan dari buah
kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik.
Sungguh pada demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang mengerti (67)”(Q.S al-Nahl: 66-67)
Ibn
Hazm mengartikan kata la ’ibrah pada ayat di atas dengan makna mau’idzah
(pelajaran).[15]
Sedangkan di dalam Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas, Ibn Hazm juga membantah
ayat yang menjadi dalil Qiyas oleh jumhur tersebut dengan menggunakan
ayat “laqad ka na fi qashashihim ‘ibrah” (Yusuf: 111). Kata ‘ibrah
pada ayat ini bermakna ‘ajab (takjub) bukan bermakna Qiyas.[16]
Pandangan Ibn Hazm ini berbeda dengan jumhur ulama yang
melihat nash sebagai sesuatu yang ma’qul al-ma’na, diturunkan
bagi manusia dengan tujuan mengatur kehidupan mereka di dunia dan akhirat (maqashid
syari’ah), sehingga dalam memahami nash ada yang ‘am, khas,
‘illat dan lain sebagainya. Sehingga jika Allah melarang mengkonsumsi khamar,
maka harus dipelajari maksud dan tujuan diharamkannya khamar, hingga
bisa dianalogikan dengan hal yang lain yang serupa, demi tercapainya tujuan
dari pengharaman khamar itu sendiri.
b. Cara Ibn Hazm
dalam Menggunakan dan Memahami Dalil
Secara umum, prinsip yang dipegang oleh Ibn Hazm adalah
berdasarkan pada konsistensi nash atau mengambil penjelasan yang zhahir
(zawahirun nushush) dari Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat ra. al-Dalil
Bagi Ibn Hazm, tidak boleh ada ra’yu dalam masalah agama, barang siapa
yang ber-ijtihad dengan ra’yu maka berarti ia telah membuat
kebohongan terhadap Allah swt. Dengan demikian, Ibn Hazm menutup sama sekali
pintu ijtihad bil ra’yi seperti Qiyas, istihsan, mAshalih
mursalah dan sadd al-zara-i’.[17]
Pandangannya
tersebut didasarkan terhadap beberapa dalil Alquran dan Hadis, namun yang
penulis kutip adalah dalil Alquran dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah swt.
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
(٥٩)
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”(Q.S al-Nisa’ ayat 59)
Dari ayat tersebut, Ibn Hazm
menyimpulkan bahwa sumber-sumber syari’at hanyalah Alquran, Sunnah dan
Ijma’ (sahabat), ketika terjadi perselisihan maka harus kembali kepada Alquran
dan Sunnah, tidak kepada selain keduanya.
Hal yang menarik di sini adalah Ibn
Hazm dengan tegas menolak ijtihad bil ra’yi, namun ia menawarkan konsep al-dalil
yang termasuk di dalamnya juga ada konsep istishab, ketika ber-ijtihad
untuk menggali hukum-hukum syari’at dari nash Alquran maupun
Hadis. Bagi Ibn Hazm, konsep al-dalil ini tidak keluar dari jalur nash,
namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq
(logika). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penalaran ra’yu tidak
bisa dilepaskan sama sekali dalam ber-ijtihad atau menetapkan hukum.
Sedangkan al-dalil yang diambil dari nash
terbagi menjadi tujuh[18],
yaitu:
1.
Dua
proposisi (muqaddimah) yang terdiri dari nash,
kemudian menghasilkan natijah yang tidak terdapat di dalam nash.
Seperti sabda Rasulullah saw: “kullu muskirin khamrun wa kullu khamrun haram”
dan natijah kullu muskirin haram adalah al-dalil menurut Ibn
Hazm.
2.
Syarat
yang tergantung dengan sifat tertentu, maka wajib untuk menetapkannya sesuai
dengan syarat tersebut. Contoh dalam Alquran surat al-Anfal
ayat 38: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang
dosa-dosa mereka yang sudah lalu…”, maka dengan ini benar bahwa setiap yang
berhenti (dari kekafiran) akan diampuni oleh Allah swt.
3.
Lafaz yang dipahami dengan makna
tertentu, kemudian lafaz tersebut diungkapkan dengan pernyataan lain
yang semakna (al-mutala’imat). Contoh firman Allah dalam surat at-Taubah
ayat 114: “…sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun.” Maka dapat dipahami secara dharuri bahwa ia (Ibrahim)
bukanlah orang yang safih (jahat, kasar). Begitu juga dengan lafaz الضيغم، الأسد، الليث، الضرغام، وعنبسة semuanya nama-nama tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu singa.
4.
Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya
adalah mubah. Menurut Abu Zahrah, al-dalil ini pada dasarnya adalah istishab,
yakni hukum asal segala sesuatu adalah mubah sebelum ada dalil nash yang
mengharamkannya atau mewajibkannya.[19]
5.
Qadhaya Mudarrajat yaitu
pemahaman bahwa derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain
di bawahnya. Ibn Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar
lebih utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Utsman, maka makna lainnya
adalah Abu Bakar lebih utama dari Utsman.
6.
‘Aks Qadhaya, di mana
bentuk proposisi kulliyat, dibalik ke dalam bentuk proposisi juz’iyyat,
seperti pernyataan; “setiap yang memabukkan adalah khamr” dibalik
menjadi “sebagian dari hal yang diharamkan adalah yang memabukkan”.
7.
Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai
makna yang dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga
memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya. Seperti ungkapan “Zaid
sedang menulis” dalam kalimat ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup,
mempunyai anggota badan yang dapat digunakan untuk menulis. Atau contoh lainnya
firman Allah: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” maka
dengan demikian, zaid, hindun, atau ‘umar pasti akan mati, walaupun nash
tidak menyebutkan namanya.[20]
G. Penolakan Ulama
Syi’ah terhadap Qiyas
Secara umum Syi’ah menolak penggunaan akal sebagai dalail
dalam menetapkan hukum. Menurut ulama syi’ah yang dapat dijadikan sebagi sumber
hukum adalah al-Quran, hadis yang diriwayat kan oleh ahli bait, ijma’ yang
disepakati oleh ulama syi’ah serta ad-dalil. Ad-Dalil ini adalah upaya ulama syi’ah
dalam mencari penyelasaian dalam masalah yang tidak terdapat dalam al-quran,
sunnah, ijma’.[21]
Sejauh pengamatan
penulis, ditemukan bahwa Kelompok Syi’ah Imamiyah sama sekali tidak menggunakan
Qiyas sebagai landasan hukum. Hal ini dikarenakan kewajiban mengamalkan Qiyas
adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.[22]
Dinukil dari kitab ushul fiqh karangan Syaikh Muhammar
Ridha al-Muzahffar, beliau mendefenisikan Qiyas sebagai “penetapan hukum
pada sesuatu hukum dengan ‘illat karena sesuai pada hukum yang lain
dengan ‘illat itu. Tempat pertama disebut dengan Maqis atau
dinamakan Furu’. Dan tempat kedua adalah Maqis‘alaih atau disebut
Ashal. Dan illat yang saling berkaitan disebut jami’an.[23]
Pada hakikatnya Qiyas
merupakan proses dari pembuat dalil (Qayis) untuk memberikan konklusi
hukum syar’i pada posisi yang tidak disebutkan nash dengan hukum syari’at,
sedangkan proses ini menghendaki keyakinan atau zhan dengan hukum syari’.
Dan proses pengQiyasan ini adalah metode pengambilan Furu’ atas Ashal
pada hukum yang telah tetap pada Ashal secara syariat, maka Qayis memberikan
kepada Furu’ hukum semisal hukum Ashal, apabila hukum nya wajib
maka Furu’ wajib. Jika haram maka Furu’ pun haram.
Dipahami bahwa
dengan penjelasan diatas jelas bahwa penetapan hukum (perbuatan Qayis
dan hukumnya terhada hukum syari’) pada hakikatnya adalah dalil, sedangkan Mustadil
alaih adalah hukum syari’ atas Furu’, hanya saja Qayis memperoleh
istidlal ini sesuai dengan hasil keyakinannya dengan hukum Syari’
dari proses pengqiyasan yang dicapainya.[24]
Rukun Qiyas menurut beliau ada empat:
a.
Ashal: Maqis‘Alaih
yang hukum syariatnya telah tetap
b.
Furu’: Maqis,
yang dituntut penetapan hukum syariat.
c. ‘Illah: yang mengaitkan antara Ashal dan Furu’yang
dinamakan dengan Jami’an.
d.
Hukum: jenis hukum yang dimiliki Ashal.[25]
Sedangkan kehujjahan dari Qiyas digantungkan dengan pengetahuan Qayis.
Maknanya, Qiyas baru dijadikan hujjah apabila memnuhi dua kondisi,
yakni:
1.
Bahwa penetapan Qayis harus sesuai dengan keilmuannya terhadap hukum
syar’i.
2.
Bahwa dalil menjadi terputus terhadap hujjahnya jika tidak sesuai dengan
keilmuan Qayis.[26]
3. Kesimpulan
Jumhur
ulama sepakat bahwa qiyas merupakan Hujjah Syar’iyyah dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaan Illat maka
berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’. Sementara itu Ibnu Hazm, dan Syi'ah secara umum tidak menggunakan qiyas sebagai dalil dalam penetapan Hukum.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi Abdussalam. 2008. Ensiklopedi Imam
Syafi’i. Jakarta Selatan: PT Mizan Publika.
al-Kafrawi
, As’ad ‘Abdil Ghani
al-Saydi. 2002. al-Istidlal
‘Indal Ushuliyyin. Cairo: Dar as-Salam.
Hazm ,Ibn. 1981. al-Nubadz fi Ushul
Fiqh, Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah
_______.1960. Mulakhkhash
Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil,
Damaskus: Jami’ah Dimasyq
http://apk67.blogspot.co.id/2015/08/ibnu-hazm.html
diakses pada tanggal 13 november 2015.
http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses tanggal 10
november 2015.
http://syakirman.blogspot.co.id/2010/11/perdebatan-qiyas-dalam-islam.html
diakses pada tanggal 13 november 2015
Khallaf, Abdul Wahab.
2002. Ilmu Ushul fiqh. Cairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progressif.
Muzaffar, Muhammad Ridha. 2007 Ushul Fiqh. Qum: Mnsyurat al-Aziz.
Zuhaili, Wahbah. 2005. Usul al-Fiqh al-Islâmi. juz.
II . Damsyiq: Dâr al-Fikr.
[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997) hal. 1178.
[2] Ahmad Nahrawi Abdussalam Al Indunisi, Ensiklopedi Imam
Syafi;i, Jakarta Selatan: PT Mizan Publika, 2008, hal. 342.
[6] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’u
ash-Shahih, (Kairo: Dar asy-Sya’bi, 1987) Juz ke-9, hal 133.
[12] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses
tanggal 10 november 2015.
[13] http://apk67.blogspot.co.id/2015/08/ibnu-hazm.html diakses pada
tanggal 13 november 2015.
[14] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses
tanggal 10 november 2015.
[16] Ibn Hazm, Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas
wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil, (Damaskus: Jami’ah
Dimasyq, 1960), hal. 28.
[17] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses
tanggal 10 november 2015.
[18] As’ad ‘Abdil Ghani al-Saydi al-Kafrawi, al-Istidlal ‘Indal
Ushuliyyin, (Cairo: Dar as-Salam, 2002), hal 91-93
[19] http://muklasihaha.blogspot.co.id/2015/02/ibnu-hazm_51.html diakses
tanggal 10 november 2015.
[21] Hasil diskusi di lokal HI-B 2015 tanggal 21 november 2015.
[22] http://syakirman.blogspot.co.id/2010/11/perdebatan-qiyas-dalam-islam.html diakses pada tanggal 13 november 2015.
loading...
No comments:
Write komentar