PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Indonesia memiliki
landasan filosofis sebagai dasar dalam praktik penyelenggaraan negara yaitu
Pancasila. Para pendiri bangsa meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
sila pertama yang menjiwai sila-sila dibawahnya. Hal ini merupakan bukti bahwa
bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan.
Indonesia mengakui 6
agama yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sekitar 87%
penduduk Indonesia beragama Islam. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar
diberlakukannya hukum Islam.di Indonesia.
Islam masuk Indonesia
dikuti masukya kerajaan-karajaan Islam.Sejak agama Islam mulai dianut oleh
penduduk Indonesia, maka dengan itu hukum Islam pun mulai berlaku dalam tata
kehidupan bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebaagai pedoman kehidupan
setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi
sosial. Inilah hukum Islam mulai mangakar menjadi sistem hukum Islam dalam
masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berlansung secara
bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan. Selain itu Masyarakat pada umunya
sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri,sehingga ketika Islam datang
terjadilah akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat. Perkembangan hukum
Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai perkembangan serta problem hukum Islam dari masa kerajaan Islam hingga
masa reformasi.
B.Pembahasan
1. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Islam di
Nusantara
Hukum Islam di
Indonesia sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri,
hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam.
Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya
kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang
masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu,
Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa dan
penyiar agama Islam.
Akar sejarah
hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai
pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi.
Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau
Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang
muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat
Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di
wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar
abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh
utara.[1]
Dengan
berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan
berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari
Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan
demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada
kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.[2]
Hukum islam
pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum islam di Indonesia.
Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti
untuk pertama kalinya hukum islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif.
Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih
yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an.[3]
Zaman para penguasa ketika itu memposisikan hukum islam sebagi hukum Negara.
Hukum Islam di
berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk
menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan
bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam
dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat
di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hokum
Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan
penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan
perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian
(peradilan) di selesaikan di manjid.
Secara yuridis
raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam
konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan
dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak
bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan
kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya
kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi,
Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem
hokum islam terus berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia
hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negar barat di
Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh
Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantarahukum Islam dipraktekkan
oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul),
mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan
warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum
mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan
jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi
hukum yang positif di nusantara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat
karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi
penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan
mengikuti ajaran-ajaran islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan
itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa
misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenis.[4]
Karakteristik
keberlakukan hukum Islam pada era zaman kerajaan tersebut, antara lain :
1.
Agama
Islam dijadikan agama negara sejak rajanya masuk maupun didirikannya kerajaan
tersebut bersendikan Islam.
2.
Hukum
Islam diberlakukan secara positif sebagai hukum kerajaan, sekali pun pada
beberapa Kerajaan dan Kesultanan Nusantara ada yang melaksanakan dengan tidak
ketat. A.C. Milner mengatakan bahwa Kerajaan Aceh dan Kesultanan Banten yang
melaksanakannya secara ketat, baik dalam masalah perdata dan pidana.[5]Kerajaan
Mataram Islam di Jawa dipandang paling longgar dalam melaksanakan hukum Islam,
khususnya dalam masalah hukum pidana dan hukum yang berkenaan dengan raja yang
masih mengikuti tradisi pra-Islam. Namun dalam masalah hukum keluarga, seperti
nikah, talak, dan rujuk dilaksanakan secara merata di seluruh kerajaan dan
kesultanan Islam di Nusantara. Perbedaan pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan
dan kesultanan Islam di Nusantara hanya terlihat dalam konteks pelaksanaan
hukum pidana. Pada kerajaan atau kesultanan tertentu, hukum-hukum pidana ada
yang masih mengikuti hukum adat atau hukum adat dipadukan dengan hukum Islam,
terutama kasus-kasus yang tidak secara jelas diatur oleh hukum Islam.[6]
3.
Telah
dibentuk lembaga peradilan Islam yang menjalankan hukum Islam, baik perdata
maupun pidana, misalnya, Wizar Al-hukkām yang dipimpin oleh Wazir al-Hukkām di
Kerajaan Perlak, Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Qadi di Kerajaan Samudra
Pasai, Balai Majlis Mahkamah yang dipimpin oleh Sri Panglima Wazir Mizan serta
Balai Kadhi Malikul Adil pada Kesultanan Aceh Darussalam,[7]
Pengadilan Pradata yang berubah menjadi Pengadilan Surambi di Kerajaan Mataram
Islam, dan sebagainya.
4.
Telah
dilakukan kodifikasi hukum Islam yang diundang-undangkan oleh negara. Kesultanan
Malaka memiliki kodifikasi hukum Risalah Hukum Kanun yang disusun pada masa
pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1446-1456) yang memuat tentang banyak hal
untuk mengatur kehidupan masyarakat. Risalah Hukum Kanun dari Kesultanan Malaka
ini diduga secara luas diduga diterapkan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan
Islam Melayu karena beberapa salinannya ditemukan di Riau, Pahang, Pontianak,
dan Brunai; Kesultanan Aceh Darussalam memiliki kodifikasi hukum Islam yang
dinamakan Kitab Adat Mahkota Alam yang diduga disusun pada masa Sultan Iskandar
Muda (1607-1636); Kerajaan Mataram Islam memiliki Hukum Kisas yang disusun pada
masa Sultan Agung; Kesultanan Cirebon memiliki undang-undang yang disebut
pepakem; sedangkan Kesultanan Banten sebagaimana laporan seorang pengamat
Belanda memiliki kitab hukum Islam sendiri yang diundangkan oleh Kesultanan
Banten yang tidak diketahui nama kitab tersebut.[8]
Adapun pada masa ini hukum Islam
memiliki eksistensi dalam masa kerajaan ini. Ditandai dengan beberapa
karakteristik diatas, dan tidak memiliki problem yang berarti di beberapa
wilayah seperti di Aceh pada kerajaan Samudera Pasai yang menjadikan hukum
Islam sebagai hukum Negara baik perkara pidana maupun perdata. Namun dibeberapa
kerajaan hanya menerapkan hukum Islam pada bidang perdata saja.[9]
2. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda
terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan
Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai
sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu
disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda
dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan
hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum
yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk
menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[10]
Kaitannya dengan hukum Islam,
dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh
VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama
Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain,
seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil
kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar).
Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer,
dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[11]
Pengakuan terhadap hukum Islam
ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini.
Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang
penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep
dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan
ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan
agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam
hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[12]
Bila ingin disimpulkan, maka
upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[13]
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[13]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud
Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di
antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan
yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah
subordinasi dari hukum Belanda.[14]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [15]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [15]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134
ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78
Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum
adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[16]
Problema
hukum Islam pada masa penjajahan belanda ini adalah dengan terjadinya beberapa
teori-teori yang memberikan efek pelemahan dalam penerapan dimasyarakat. Bahkan
dengan teori-teori tersebut terjadi perpecahan antara hukum Islam dan hukum
adat yang menyebabkn perpecahan dalam masyarakat. Hal ini menandakan kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap hukum Islam secara memyeluruh sehingga mudah dipecah
dengan teori-teori yang dikemukakan oleh belanda yang menyebabkan terhentinya
proses legislasi hukum Islam pada menjelang akhir pemerintahan belanda. Maka
solusi yang diperlukan adalah pentingnya pemahaman Islam secara mendalam dan
menyeluruh dari setiap individu pada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat
Islam untuk menguatkan eksistensi hukum Islam yang pada akhirnya akan
memunculkan penerapan-penerapan hukum Islam.
3. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan
menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada
tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan.
Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan
bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang
oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi
terakhirnya di masa pendudukan Belanda.[17]
Meskipun demikian, Pemerintah
Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
–
Janji
Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk pulau Jawa.
–
Mendirikan
Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia
sendiri.
–
Mengizinkan
berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
–
Menyetujui
berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
–
Menyetujui
berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
–
Berupaya
memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan
Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944
untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga
Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak
memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.[18]
Pemerintahan
jepang yang menjajah tidak begitu lama sehingga tidak memberikan efek yang
terlalu signifikan dalam pelemahan hukum Islam, bahkan pada masa jepang ini
mulai munculnya ormas-ormas bernuansa Islam walaupun pada hakikatnya bertujuan
untuk dimanfaatkan kemudinnya, tapi tetap saja ini merupakan dampak positif
dari penjajahan masa jepang.
4. Hukum Islam pada Masa
Kemerdekaan (1945)
Meskipun
Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam
Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah
strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar
jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya.
Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis
Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok
nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika
beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis.
Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11
diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[19]
Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang
dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad
Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga
dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan
panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa
yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling
penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai
negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[20]
Dengan rumusan
semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya
pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para
pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal
ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah
kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir
angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol
Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat
itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan
mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari
Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang
BPUPKI.[21]
Pada akhirnya,
permasalahan yang diterima Islam khususnya legislasi hukum islamdi periode ini,
status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, Kejadian
mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan
sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia suatu politik pengepungan kepada
cita-cita umat Islam.
Solusi nya
menurut pemakalah adalah Islam khususnya hukum Islam menuntut adanya pihak yang
sangat berwenang dalam legislasinya yang mana pihak tersebut juga benar-benar
bertujuan untuk mengeakkan hukum Islam secara menyeluruh.
5. Hukum Islam pada Masa
Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir
lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa
revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,
Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,
Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian
mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik
Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga
akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan
Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya
Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi
Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik
Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk
dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah
Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam
sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan
batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di
Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.[22]
Namun saat negara
bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara
Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam,
Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral
Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya,
pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi
RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[23]
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[23]
Perjuangan
mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk
memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang
terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10
November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis
ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli
1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah
konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai
UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini
tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan
–menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[24]
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah
penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya
sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat
dan meyakinkan.
Hal lain yang
patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya
“bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan
DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo
sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus
1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945.
6. Hukum Islam di Era Orde
Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak
terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan
komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam
memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat
Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno-
bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang
berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan
2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.[25]
Meskipun hukum
Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan
atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam
sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu
membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[26]
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[26]
Meskipun
kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu
tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus
dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama
dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan
Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal,
upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang
mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian
membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970,
yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk
pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum
Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan
terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989
tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha
intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya
ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden
menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada
Menteri Agama.[27]
Menurut penulis
problema yang dihadapi hukum Islam pada fase ini adalah kekalahan dalam faktor
politik, yang mana politik-politik yang muncul pada era ini tidak mengusung
Islam melainkan mengusung nasionalisme sehingga mengesampingkan legislasi Islam
yang menyeluruh. Olehkarena itu solusi yang diharapkan muncul adalah adanya
politik yang berupaya memprioritaskan penegakan hukum Islam yang menyeluruh.
7. Hukum Islam Pada Masa Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde
baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat.
Perkembangan hukum islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum
islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya
menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi
masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya
undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia
pada mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian
diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan
Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya
sendiri termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum islam
adalah banyak daerah menerapkan hukum islam. Secara garis besar, pemberlakuan
hukum islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok,
yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum islam sepenuhnya
dapat dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model ini
bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga
menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan
adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan
Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk Lembaga
Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar
hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
a. Penerapan syari’at islam diseluruh
aspek kehidupan beragama,
b. Penggunaan kurikulum pendidikan
berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum.
c. Pemasukan unsur adat dalam sistem
pemerintah desa, dan
d. Pengakuan peran ulama dalam penetapan
kebijakan daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas
adalah ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam.
Fenomena
pelaksanaan hukum islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun
polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah
perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II.
Daerah-daerah tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang
pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik,
Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi perda syaria’at Islam tidak
bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika
dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at,
maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah,
Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras,
pelarangan pelacuran, dan sebagainya.[28]
Problem yang dihadapi oleh hukum Islam
adalah kurangnya pro pemerintah atau bentuk sokongan pemerintah terhadap
peraturan-peraturan yang di upayakan oleh pemerintah daerah, bahkan pemerintah
pusat berupaya untuk menghapus perda syari’ah tersebut karena dianggap menjadi
pemicu terjedinya perpecahan dimasyarakat tanpa mengetahui problem yang terjadi
dimasyarakat secara seutuhnya. Hal ini membuat sorotan publik menjadi miring
terhadap legislasi hukum Islam di Indonesia.
Solusi yang pemakalah berikan adalah
upaya dari pemerintah untuk menyokong kepala daerah dalam menetapka perda-perda
syariah,. Yang perda-perda syariah tersebut bertujuan untuk menjadikan
masyarakat Indonesia yang khususnya beragama Islam menjadi masyarakat muslim
yang kokoh agamanya. Dengan kokohnya agama masyarakat muslim di Indonesia
merupakan sesuatu kekuatan tersendiri bagi pemerintah itu sendiri.
Berbicara
tentang sejarah dan dinamika hukum Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari wacana pergumulan soial-politik dan budaya yang ada di indonesiasejak era
prakemerdekaan hingga era kemerdekaan. Oleh karena itu akan dijelaskan
toeri-toeri yang berlaku dalam perkembangan Islam di Indonesia Sekurang-kurangnya, ada
lima teori
tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu[29]:
1. Teori Kredo atau
Syahadat[30]
Teori kredo atau syahadat ialah teori yang mengharuskan
pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat
sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya.
Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum
Islam. Prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yang menyatakan dirinya
beriman kepada ke-Maha Esaan Allah swt., maka ia harus tunduk kepada apa yang
diperintahkan Allah swt. Dalam hal ini taat kepada perintah Allah swt. dan
sekaligus taat kepada Rasulullah saw. dan sunnahnya.
Teori Kredo ini sama
dengan teori otoritas hukum yang dijelaskan oleh H.A.R. Gibb (The Modern Trends
in Islam, The University of Chicago Press, Chicago, Illionis, 1950). Gibb
menyatakan bahwa orang Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti
ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya.
Teori Gibb ini sama dengan apa yang telah diungkapkan oleh imam madzhab seperti
Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah ketika mereka menjelaskan teori mereka
tentang Politik Hukum Internasional Islam (Fiqh Siyasah Dauliyyah) dan Hukum
Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Mereka mengenal teori teritorialitas dan non
teritorialitas. Teori teritorialitas dari Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa
seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada di
wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan. Sementara teori non
teritorialitas dari Imam Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya
terikat untuk melaksanakan hukum Islam di mana pun ia berada, baik di wilayah
hukum di mana hukum Islam diberlakukan, maupun di wilayah hukum di mana hukum
Islam tidak diberlakukan.
Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut
madzhab Syafi’i sehingga berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan
lagi. Teori Kredo atau Syahadat ini berlaku di Indonesia sejak kedatangannya
hingga kemudian lahir Teori Receptio in Complexu di zaman Belanda.
2. Teori Receptio in
Complexu[31]
Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya
terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori
ini diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg. Teori
Receptio in Complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti
dengan dibuatnya pelbagai kimpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam
menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah
kekuasaan VOC yang kemudian dikenal senagai Nederlandsch Indie.
3. Teori Receptie[32]
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat
pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat
pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai
hukum adat. Teori Receptie dikemukakan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye
dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini
dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai
kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam.
Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan
hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan
mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan
oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.
Teori Receptie ini amat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia
serta berkaitan erat dengan pemenggalan wilayah Indonesia ke dalam sembilan
belas wilayah hukum adat. Teori Receptie berlaku hingga tiba di zaman
kemerdekaan Indonesia.
4. Teori Receptie Exit[33]
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof.
Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD
’45. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias keluar dari tata
hukum Indonesia merdeka.
Teori Receptie bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD ’45
menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Demikiandinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2).
5. Teori Receptie A Contrario[34]
Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh
Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teori
Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti
lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam
kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Dengan demikian, dalam Teori Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku
kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Kalau
Teori Receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum Islam, maka
Teori Receptie A Contrario sebaliknya. Dalam Teori Receptie, hukum Islam tidak
dapat diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat. Teori Receptie A
Contrario mendahulukan berlakunya hukum Islam daripada hukum adat, karena hukum
adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.
C.Kesimpulan
Perkembangan hukum Islam di
Indonesia dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, seperti penguasa dan masyarakat pada era itu sendiri. Pada masa
kerajaan Islam, hukum Islam diterapkan dalam berbagai hal tata negara dan
hubungan bermasyarakat. Pada masa penjajahan hukum Islam berlaku lebih
dikhususkan untuk orang Islam saja, dan seiring perkembangan Belanda bahkan
berusaha menghapus sedikit demi sedikit hukum Islam. Pada masa setelah
kemerdekaan (orde lama, orde baru dan reformasi) Hukum Islam mulai diterapkan
kembali, meskipun secara tidak langsung. Pemerintah dalam membuat kebijakan dan
peraturan tidak boleh yang bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini juga
dipengaruhi bahwa keadaan bangsa Indonesia yang 87% penduduknya beragama Islam.
Meskipun begitu tetap dengan mayoritasnya umat Islam di Indonesia tetapi tidak
memiliki kekuasaan untuk mengubah landasan Negara berdasarkan Islam secara
keseluruhan
[1] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-
konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005), hal. 61
[2]
http://www.ajiersa.com/2015/11/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html doakses pada tanggal 19 mei 2016.
[4]
http://mohamsholihulwafi.blogspot.co.id/2013/01/Perkembangan-hukum-islam-Indonesia-versi-makalah.html
diakses pada tanggal 19 mei 2016
[5]A.C. Milner, “Islam dan Negara Muslim,”
dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam Asia Tenggara (Cet. I;
Jakarta: Yayasan Obor, 1989), h. 149.
[6]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban
Islam Indonesia (Ed. I; Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h.
135-136.
[7]A. Rani Usman, Sejarah Peradaban
Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik (Ed. I; Cet. I;
Jakarta: Yayasan Obor, 2003), h. 58.
[17]
https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/
diakses pada tanggal 19 mei 2016
[18]
https://saripedia.wordpress.com/tag/hukum-islam-pada-masa-penjajahan-belanda/
diakses pada tanggal 19 mei 2016.
[19] Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998). Hal 84.
[26] Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara; Transformasi…… hal. 111-112.
[28]http://mohamsholihulwafi.blogspot.co.id/2013/01/Perkembangan-hukum-islam-Indonesia-versi-makalah.html daikses pada tanggal 19 mei 2016.
[29]
http://master-masday.blogspot.co.id/2011/05/teori-tentang-berlakunya-hukum-islam-di.html
diakses pada tanggal 19 mei 2016
[30]Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia
Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), hal 67.
[31] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi……hal. 70.
[32] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi……hal. 75.
[33] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi……hal. 79.
[34] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi……hal. 84.
loading...
No comments:
Write komentar