Friday, November 10, 2017

Qiyas

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam tradisi hukum Islam kita mengenal adanya sumber-sumber hukum; yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada al-Sunah karena al-Sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam al-Sunah tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan al-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas. Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk melakukan ijtihad. Dalam posisi ini, qiyas menempati rangkin keempat sebagai sumber hukum Islam.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah eksistensi qiyas itu sendiri sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam, qiyas menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat diantara para ulama. Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Zahiriyah misalnya, mereka tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi menerima atau menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sedangkan di kalangan ulama–ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah Zaidiyah menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam.
Dari elaborasi singkat di atas ternyata eksistensi qiyas  masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini lebih ditekankan kepada al qiyas sebagai dalil hukum islam al qiyas dalam teori jumhur ulama mazhab
B.  PENGERTIAN
Al Qiyas berasal dari kata “qayasa, (membandingkan), iqtasa(mengikuti), qiyas (ukuran) dan qiyasiyun (yang sesuai dengan/menurut aturan)[1] Sedangkan menurut terminologi adalah memberlakukan hukum ashal kepada hukum furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.[2]
Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya yaitu :[3]
1.    Al Ghazali dalam Mustashfa memberi definisi qiyas yaitu :menyamakan sesuatu yang tidak diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau meniadakan hukum Qadhi Abu Bakar menambahkan disebabkan ada hal yang sama antara keduanya
2.    Ibnu Subkhi dalam Jamul al Jawami’ mendefinisikan qiyas yaitu : Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang tidak diketahui karena kesamaan dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid)
3.    Abu Hasan al Bashri mendefinisikan qiyas adalah: Menghasilkan (menetapkan) hukum asal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid
4.    Al Baidhawi mendefinisikan qiyas adalah: Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu yang lain yang diketahui karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan
5.    Shaadru al Syari’ah mendefinisikan qiyas Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena adanya kesatuan ‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata.
6.    Al Amidi mendefinisikan qiyas Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat yang diistinbathkan dari hukum ashal.[4]
7.    Abu zahrah mendefinisikan qiyas adalahMenghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukum.
8.    Wahbah al Zuhaili mendefinisikan qiyas adalahMenyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya.[5]
Adapun qiyas menurut ulama ushul fiqh yaitu menetapkan hukum sesuatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan kepada sesuatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara keduanya kejadian atau peristiwa itu.[6]
Sedangkan menurut para tokoh ulama memberikan definisi yang berbeda tetapi pada intinya memiliki kesamaan, dari pendapat-pendapat yang ada, ulama syafi’iyah mendefiniskan qiyas menjadi dua golongan. Golongan pertama, menyatakan qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sedangkan golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syar’i yakni dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syar’i sebagai alat untuk mengatahui sesuatu hukum.
Dari pendapat di atas, dapat diambil secara umum qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan kepada sesuatu yang telah ada dasar hukumnya, dapat diartikan juga proses pemindahan hukum yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan ‘illat hukum.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[7]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah surat Al Hasyr ayat 2 :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[8] Sebagaimana firman Allah surat An Nisa” :59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[9]
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[10]
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[11]
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[12]
C.  RUKUN QIYAS
            Merujuk kepada pengertian qiyas yang dikemukakan para ulama, dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur:[13]
1.    Ashal, Yaitu sesuatu yang dinaskhkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/menqiyaskan. Ashal memiliki dua pengertian, sesuatu yang dibangun diatasnya dan sesuatu yang dapat diketahui dengan sendirinya tanpa butuh bantuan lain.[14]
            Bagi mutakallimun: Ashl nash yang menunjukkan keharaman khamar, karena nash merupakan sandaran atas keharamannya, sedangkan fuqaha berpendapat yang menjadi ashal adalah khamar yang haram itu. Dan menurut pendapat lain, ashal adalah hukum yang terdapat pada khamar.[15]
2.    Hukum Ashal
            Para fuqaha mendefinisikan al-Ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya al-Maqîs 'Alaihi (مقيس عليه) dan Musyabbah Bih  (مشبه به) yaitu tempat menyerupakan, juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash (al-Qur’an Hadits, Ijma’).
            Ahmad Hanafi sebagaimana yang dikutip Satria Efendi mengemukakan beberapa syarat al-Ashlu antara lain:
a)    Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (Ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (Mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b)    Hukum yang terdapat pada Ashal itu hendaklah hukum syara’
c)    Hukum Ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.
Adapun DR. Wahbah Zuhaily menambahkan beberapa syarat lainnya[16]
1.    Hukum Ashal tidak bersifat khusus
2.    Hukum ashal mendahulului far’u
3.    ‘Illat  atau  Illah
‘Illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum. [17]
Ulama Ushul Fiqh mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan ada dan tidak adanya ‘illat, Artinya ‘illat-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Abdul Wahhab Khallâf Maksudnya bahwa .تـد ور األحـكام و جـودا وعــد ما مع عللهـا لا مـع حــكـمـهـا" :menyebutkan hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi oleh ada dan tidak adanya ‘illat, bukan oleh hikmahnya[18] Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat. Dalam kajian Ushul Fiqh kata ‘illat diartikan dengan sesuatu yang menjadi pautan hukum. Artinya suatu ketetapan hukum dari Syâri‘ terpaut dengan ‘illat (alasan) yang melatarbelakanginya.[19]
Pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada ‘illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa ‘illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari ‘illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah. Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau ‘illat-nya oleh nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan ta‘abbudî, dan terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka  ulama ushul menyebutnya dengan sebab. Artinya antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas. Dari beberapa rumusan yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat disimpulkan bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (dhahir) yang dapat diukur dan mengandung relevansi (munasabah) sehingga kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya
Para Ulama ushul Fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat dijadikan sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:
a.    ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
b.     ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata (ظاهره) dan dapat ditangkap indera manusia. Karena ‘Illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘Illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
c.     ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya,‘Illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan ‘Illatyang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini bisa diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
d.   Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘Illat. Maksudnya, ‘Illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai dengan hukum yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi ‘Illat bolehnya seseorang membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘Illat, seperti mengantuk dijadikan ‘Illat bagi bolehnya berbuka puasa.
e.    ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
f.     ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum Ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada, baru datang ‘Illat-nya.[20]
     ‘Illat menempati posisi penting dalam permasalahan qiyas, karena sangat menentukan ada tidaknya qiyas. Berdasarkan hal tersebut, maka ulama begitu antusias untuk memperbincangkannya, terlebih dalam hal bagaimana suatu ‘Illat ditentukan. Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa illat suatu hukum dapat diketahui melalui:
a.    Melalui nash; baik ayat-ayat al-Quar’an maupun hadits baik secara tegas atau tidak tegas. Contoh ‘Illat yang disebut secara tegas dalam surat al-Hasyar: 7 dan contoh ‘Illat yang diketahui dengan dalil yang tidak tegas dalam surat al-Baqarah: 222.
b.    Mengetahui ‘Illat dengan cara Ijma’
c.    Mengetahui ‘Illat dengan cara Ijtihad, dan hasilnya dikenal dengan ‘Illat Mustanbathah (‘Illat yang dihasilkan dengan jalan ijtihad).[21]
D.  MACAM-MACAM QIYAS
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, yaitu :[22]
1.    Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’
a.    Qiyâs awlâwî : Qiyas yang berlaku pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’
Misalnya; mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”.
فلا تقل لهما اف
Artinya; “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (QS. Al-Isra: 23)
Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘Illat larangan ini adalah menyakiti orangtua. Keharaman memukul orangtua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah” karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat daripada ucapan “ah”.
b.    Qiyâs musâwî : suatu qiyas yang memiliki kekuatan ‘illah yang sama, yang terdapat pada ashl dan al-far’u[23] atau hukum pada Far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashal, karena kualitas ‘Illat pada keduanya juga sama
Misalnya; Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا.
Artinya; “ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu
Ayat di atas melarang makan harta anak yatim secara tidak wajar. Para ulama ushul fiqh mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zhalim.
c.    Qiyâs adnâ :
Qiyas yang ‘Illat hukumnya terdapat pada al-far’u lebih lemah dari pada ‘Illat yang terdapat pada ashal[24]. Artinya, ikatan‘Illat yang ada pada Far’u sangat lemah dibanding ikatan ‘Illat yang ada pada ashal.
Misalnya, sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan. Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.[25]
2.    Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat
a.    Qiyas Jali : yaitu; qiyas yang ‘Illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashal; atau nash tidak menetapkan ‘Illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashal dengan Far’u. Misalnya, ‘Illat yang ditetapkan nash bersamaan dengan hukum ashal adalah mengqiyaskan memukul orangtua kepada ucapan “ah” yang ‘Illat-nya sama-sama menyakiti orangtua.[26]
b.    Qiyas Khafi : Qiyas yang ‘Illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukum qishash, karena ‘Illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘Illat pada hukum ashal, yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih kuat daripada ‘Illat yang terdapat pada Far’u, yaitu pembunuhan dengan benda keras.[27]
3.    Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum
a.    Qiyas muatssir : Qiyas yang diibaratkan dengan dua definisi.
1)   Qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan nash yang sharih atau ijma’ Contohnya : Kewalian nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas harta dengan ‘illat “belum dewasa”nya ‘illat ini ditetapkan berdasarkan ijma’
2)   Qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh dengan ‘ Contohnya : Minuman keras selain yang dibuat dari anggur kepada khamar dengan ‘illat memabukkan, ‘illat tersbut yang menghubungkan dengan hukum haramnya hal yang dapat memabukkan.
b.    Qiyas mulaim : Qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk manasib mulaim. Contohnya : pembunuhan dengan benda berat dan pembunuhan dengan benda tajam yang ‘illatnya pada ashal dalam hubungannya dengan hukum pada ashal dalam bentuk manasib mulaim
4.    Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu
a.    Qiyas ma’na : Qiyas dalam bentuk ma’na ashal, maksudnya qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri. Contohnya : Membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut dengan ‘illatnya merusak harta anak yatim, dari kesamaan tersebut furu’ seolah-olah ashal itu sendiri.
b.    Qiyas i’llat : Qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Contohnya : Nazib kepada khamar dengan ‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’
c.    Qiyas dilalah : Qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Contohnya : Nabiz kepada khamar dengan menggunakan alasan “bau yang menyengat” dimana bau itu merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat mamabukkan.[28]
E.  AL QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM MENURUT JUMHUR ULAMA MAZHAB
 Jumhur ulama itu adalah para pakar hukum islam yang bisa di pertanggung jawabkan ke mujtahidannya dan merupakan ulama yang jujur dan tidak pernah berdusta. dan menguasai bidang hukum masing-masing, seperti ilmu fikih. ilmu tauhid dan bidang ilmu yang lainnya.
Jadi Jumhur artinya mayoritas. Ketika dalam suatu bahasan diungkapkan Syafi’iyyah berpendapat demikian..“, lalu diujung bahasan mengatakan Jumhur berpendapat …“, maka yang dimaksud jumhur di sini adalah para imam madzhab yang empat selain Syafi’iyyah. Begitu juga Jika diungkapkan Hanafiyyah berpendapat…“, lalu setelah itu diungkapkan Jumhur berpendapat …“, maka yang dimaksud jumhur di sini adalah para imam mazhab yang empat selain Hanafiyyah.
Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang beragam dikalangan ulama ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh sepakat akan kebolehan penggunaan dan kehujahan qiyas dalam masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam hal obat-obatan dan makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas yang dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka adalah dalam hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak ada nashnya secara jelas. Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh terpetakan menjadi lima golongan dalam menyikapi qiyas sebagai metode penetapan hukum;
1)   Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara’.[29] Bahkan mengamalkan qiyas adalah wajib. Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai landasan hukum, mereka menggunakan qiyas dalam suatu peristiwa yang tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an, as-Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. Qiyas menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah dengan pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi ‘Illat hukumnya, maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum yang sama, dan hukum itu merupakan hukumnya menurut syara’.[30]
2)   Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syaukani (ahli Ushul fiqh) berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya. Argumen ini mereka kemukakan  dalam menolak pendapat jumhur ulama yang mewajibkan pengmalan qiyâs.[31] Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum. Mazhab Zahiriyah tidak mengakui adalanya ‘Illatatas suatu hukum dan  menganggap tidak perlu sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘Illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.[32]
3)   Pendapat syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzham dari mu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
4)   Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘Illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagaian ayat al-Qur’an dan as-Sunnah.[33]
Setelah mengemukakan berbagai pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujahan qiyas, wahbah al-Zuhaili, menyimpulkan bahwa dari beberapa pendapat yang beragam itu dapat dipilah dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang diaut mayoritas ulama shul fiqh; dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum,:[34]
1)   Kelompok yang Menerima Qiyas sebagai Sumber Hukum
Salah satu nash al-Qur’an yang dikemukakan Jumhur ulama fiqh dalam melejitimasi qiyas sebagai sumber hukum ialah: Qur’an surat an-Nisa: 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kata فإن تنزعتم فى شئ فردوه إلله والرسول pada ayat diatas berarti perintah untuk mengikuti qiyas apabila terdapat perbedaan dalam penetapan hukum yang tidak terdapat dalam nash. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa,  jika ada perselisihan pendapat diantara ulama tentang hukum suatu maslah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah. Cara mengembalikannya yaitu dengan melakukan qiyas.[35]
Berdasarkan ayat di atas, manusia diperintahkan mencari hukum dari hukum Allah dan Rasul-Nya, baik yang tekstual maupun yang kontekstual. Sesuatu yang kontekstual atau implisit itu yang disebut qiyas. Oleh karena itu, secara tidak langsung, ketika manusia menghadapi suatu problema hukum yang tidak ditemukan nashnya secara jelas, diperintahkan untuk menggunakan jalan qiyas.[36] Berdasarkan ayat tersebut, aplikasi qiyas dalam istinbat hukum merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan diperintahkan.
Adapun salah satu dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi pengguna qiyas adalah hadits mengenai percakapan Nabi dengan Mu’ad ibn Jabal yang amat populer, Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog secara langsung dengan Mu’adz ibn Jabal, seraya berkata:
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَفَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"
Artinya:“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”.  Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.(HR: Thabrani)[37]
Hadits tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat menurut Jumhur Ulama, tentang landasan hukum dalam penetapan qiyas. Hadist di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah terhadap qiyas, karena praktek qiyas adalah satu macam atau perangkat dari kegiatan ijtihad yang mendapat pengakuan dari Rasulullah dalam dialog tersebut.[38] Menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas  termasuk salah satu ijtihad melalui akal.
2)   Kelompok yang Menolak Qiyas sebagai Sumber Hukum
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum menurut kelompok yang menolaknya yakni ulama-ulamasyi’ah, al-Nazzam, Zahiriyyah  dan ulama Mu’tazilah dari Irak.[39] Dikarenakan qiyas merupakan aktivitas akal, dalam aplikasinya qiyas menuai kontroversi dikalangan ulama.
Kelompok Zahriyah berpendapat bahwa ayat nash al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 di atas menurut kelompok Zahiriyah dan Syi’ah mengatakan bahwa perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah ketika terdapat beda pendapat yaitu kepada firman-Nya dalam al-Qur’an. Dan mengembalikan sesuatu kepada Nabi yaitu sabdanya dalam sunnah. Tidak ada perintah untuk mengembalikan sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’an dan sunnah tidak dapat dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas menurut Zahiriyah, bukan al-Qur’an atau sunnah; karenanya tidak suatu persoalan hukum ada yang dapat dikembalikan kepada qiyas.
Kemudian, kelompok Zuhairi menolak hadits Mu’ad ibn Jabal sebagai landasan penetapan qiyas kelompok tersebut berargumen bahwa dari segi matan (teks) dan sanad (periwayata) hadits tersebut dianggap gugur. Indikasi gugurnya hadits Mu’ad ibn Jabal tersebut adalah: Pertama,hadits tersebut diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak dijadikan hujah atas orang-orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak pernah mengemukakan hadits selain dari jalur ini.[40] Artinya dari segi periwayatan dan perawinya hadits tersebut masih diperselisihkan kebenarannya.
Kelompok ulama Zahiriyah juga menilai bahwa hadits tersebut adalah Maudhu’ (dibuat-buat) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurutnya permasalahan hukum apapun sudah dijelaskan dalam al-Qur’an.
Menurut pendapat Zahiriyah, hadits Muad ibn Jabal tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas. Dalam hadits itu hanya disebutkan penggunaan ra’yu, penggunaan ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu itu hanyalah menetapkan hukum dengan cara terbaik dan lebih hati-hati. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya.[41]
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa Qiyas adalah sumber hukum Islam yang keempat
Konsep qiyas terdiri dari empat elemen al-ashl yaitu hukum asli yang berasal dari teks, al-far, atau dari sebuah al-' illah. Sebuah qiyas tidak boleh melampaui teks dari sumber utama hukum Islam, karena diambil dari teks yang ada
Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan mengamalkan qiyas adalah wajib, Adapun Imam Hanafi ia lebih mendahulukan qiyas dari pada hadits ahad, sedangkan Imam Malik jarang mempergunakan qiyas, bahkan mendahulukan tradisi penduduk Madinah dari pada qiyas dan Imam Syafi’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah. Sementara ulama Zhahiriyyah berpendapat qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya, maka mereka tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum..
2.    Saran
Demikian makalah ini penulis buat, penulis mohon kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.




[1] K.H. Adib Bisri dan K.H. Munawwir A Fatah, Kamus Indonesia Arab, Arab Indonesia(Surabaya:Pustaka progressif,1999) h. 621
[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: AMZAH,2011) h. 62
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 1, Logos wacana ilmi Jakarta, 1997. h. 144-147
[4] Saifuddin Al-Amidi, Al Ihkam fi ushul al-ahkam,(Riyadh:Dar ash shami’iy,2003), Jilid II h.170
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damsyiq, Dar al-Fikri, 1406 H h. 601
[6] Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka setia:2008) h. 172
[7] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 53
[8] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, h. 592
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175
[10] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56
[11] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, h. 597
[12] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 58
[13] Djazuli, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) h. 136-137
[14] Al-Amidi, Al Ihkam fi ushul al-ahkam,(Riyadh:Dar ash shami’iy,2003), cet 1 juz 3 h. 237
[15] Al-Amidi, Al Ihkam fi ushul al-ahkam,Ibid. h. 238
[16] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul al fiqh, cet.1 (Raudhah, 1998) h. 187
[17] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh  h. 164
[18] Abdul Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî Mâ Lâ Nashkh Fîh (Kuwait: Dâr al-Qolam, 1972), hlm. 50
[19] Abdul Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî Mâ Lâ Nashkh Fîh h. 49
[20] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 175-176. Bandingkan dengan Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, hlm. 83-84
[21] Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, h. 137-140
[22] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997) h.95
[23] Ibid, h. 176
[24] Ibid. h. 176
[25] Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm. 141
[26] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 96
[27] Ibid., hlm, 97
[28] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Logos wacana ilmu, Jakarta:1997. H. 144-147
[29] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 63
[30] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,h. 53
[31] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 66
[32] Diposkan oleh Melestarikan Ilmu Kuno di 14.24 
[33] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 150
[34] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 66-67
[35] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Ibid. h. 154
[36] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles; Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, Yogyakarta: Safarina Insania Press, h. 55
[37] al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15, h. 96
[38] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 56
[39] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 67
[40] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I h. 155
[41] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, h. 156
gambar dari google

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...