A. Latar Belakang
Dalam tradisi hukum
Islam kita mengenal adanya sumber-sumber hukum; yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
dan qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam
perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila dalam
al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada al-Sunah karena al-Sunah adalah
penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam al-Sunah tidak ditemukan
maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan
al-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.
Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk melakukan ijtihad. Dalam posisi
ini, qiyas menempati rangkin keempat sebagai sumber hukum Islam.
Namun, yang menjadi
permasalahan adalah eksistensi qiyas itu sendiri sebagai salah satu sumber
hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam, qiyas menjadi salah satu sebab dari
berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat diantara para
ulama. Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa
qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab
Zahiriyah misalnya, mereka tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi
menerima atau menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sedangkan di
kalangan ulama–ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah Zaidiyah
menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam.
Dari elaborasi singkat di atas ternyata eksistensi qiyas masih
problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu dalam
penulisan makalah ini lebih ditekankan kepada al qiyas sebagai dalil hukum islam al qiyas dalam teori
jumhur ulama mazhab
B. PENGERTIAN
Al Qiyas berasal dari kata “qayasa, (membandingkan), iqtasa(mengikuti),
qiyas (ukuran) dan qiyasiyun (yang sesuai dengan/menurut aturan)[1]
Sedangkan menurut terminologi adalah memberlakukan hukum ashal kepada hukum
furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan
bahasa saja.[2]
Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya
yaitu :[3]
1. Al Ghazali dalam Mustashfa memberi definisi
qiyas yaitu :menyamakan sesuatu yang tidak diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau
meniadakan hukum Qadhi Abu Bakar menambahkan disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya
2. Ibnu Subkhi dalam Jamul al Jawami’
mendefinisikan qiyas yaitu : Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang tidak diketahui karena kesamaan dalam ‘illat hukumnya menurut
pihak yang menghubungkan (mujtahid)
3. Abu Hasan al Bashri mendefinisikan qiyas
adalah: Menghasilkan (menetapkan) hukum asal pada furu’ karena keduanya sama
dalam ‘illat hukum menurut mujtahid
4. Al Baidhawi mendefinisikan qiyas adalah: Menetapkan
semisal hukum yang diketahui pada sesuatu yang lain yang diketahui karena
keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan
5. Shaadru al Syari’ah mendefinisikan qiyas
Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena adanya kesatuan
‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata.
6. Al Amidi mendefinisikan qiyas Ibarat dari
kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat yang diistinbathkan dari hukum
ashal.[4]
7. Abu zahrah mendefinisikan qiyas adalahMenghubungkan
sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang
ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukum.
8. Wahbah al Zuhaili mendefinisikan qiyas adalahMenyatukan
sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang
disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara
keduanya.[5]
Adapun qiyas menurut ulama ushul fiqh yaitu menetapkan hukum sesuatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan
kepada sesuatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara keduanya kejadian atau
peristiwa itu.[6]
Sedangkan menurut para tokoh ulama memberikan definisi yang berbeda tetapi
pada intinya memiliki kesamaan, dari pendapat-pendapat yang ada, ulama
syafi’iyah mendefiniskan qiyas menjadi dua golongan. Golongan pertama,
menyatakan qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sedangkan
golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syar’i yakni dalil hukum yang berdiri
sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syar’i sebagai alat untuk
mengatahui sesuatu hukum.
Dari pendapat di atas, dapat diambil secara umum qiyas adalah menetapkan
hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan kepada sesuatu yang
telah ada dasar hukumnya, dapat diartikan juga proses pemindahan hukum yang
tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam
nash karena adanya kesamaan ‘illat hukum.
Jumhur ulama kaum
muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum
yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam
suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[7]
Diantara ayat Al Qur’an
yang dijadikan dalil dasar hukum
qiyas adalah firman Allah
surat Al Hasyr ayat 2 :
هُوَ
الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ
لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ
مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ
يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ
بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang
kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran
yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Dari
ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti
qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum)
yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata
tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[8] Sebagaimana firman Allah surat An Nisa” :59:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Ayat
di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada
Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh
dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[9]
Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,
yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas
merupakan salah satu macam ijtihad.[10]
Sedangkan dalil yang
ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering
kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun
yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan
bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan
Umpamanya,
bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata:
“Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya)
benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun
anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya
pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[11]
Dalil yang keempat
adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak
lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud
dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits
jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.[12]
C. RUKUN QIYAS
Merujuk kepada pengertian
qiyas yang dikemukakan para ulama, dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun)
qiyas terdiri atas empat unsur:[13]
1. Ashal, Yaitu sesuatu yang dinaskhkan hukumnya
yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/menqiyaskan. Ashal memiliki dua
pengertian, sesuatu yang dibangun diatasnya dan sesuatu yang dapat diketahui
dengan sendirinya tanpa butuh bantuan lain.[14]
Bagi mutakallimun: Ashl
nash yang menunjukkan keharaman khamar, karena nash merupakan sandaran atas
keharamannya, sedangkan fuqaha berpendapat yang menjadi ashal adalah khamar
yang haram itu. Dan menurut pendapat lain, ashal adalah hukum yang terdapat
pada khamar.[15]
2. Hukum Ashal
Para
fuqaha mendefinisikan al-Ashlu sebagai objek qiyas, dimana
suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya al-Maqîs 'Alaihi (مقيس عليه)
dan Musyabbah Bih (مشبه به) yaitu tempat menyerupakan, juga diartikan sebagai pokok, yaitu
suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash (al-Qur’an Hadits,
Ijma’).
Ahmad Hanafi sebagaimana yang dikutip Satria Efendi mengemukakan beberapa
syarat al-Ashlu antara lain:
a) Hukum
yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (Ashal).
Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (Mansukh) di masa
Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b) Hukum
yang terdapat pada Ashal itu hendaklah hukum syara’
c) Hukum Ashl bukan
merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun
makan dan minum.
Adapun DR. Wahbah Zuhaily menambahkan beberapa syarat lainnya[16]
1. Hukum Ashal tidak bersifat khusus
2. Hukum ashal mendahulului far’u
3. ‘Illat atau Illah
‘Illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa
terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum. [17]
Ulama Ushul Fiqh
mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum
akan terpaut dengan ada dan tidak adanya ‘illat, Artinya ‘illat-lah yang
menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Abdul Wahhab Khallâf Maksudnya bahwa .” تـد ور األحـكام
و
جـودا وعــد ما مع عللهـا لا مـع حــكـمـهـا" :menyebutkan hukum-hukum
syara‘ itu dilatarbelakangi oleh ada dan tidak adanya ‘illat, bukan oleh
hikmahnya[18] Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas
eksistensi, posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan
atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat. Dalam kajian Ushul Fiqh
kata ‘illat diartikan dengan sesuatu yang menjadi pautan hukum. Artinya suatu
ketetapan hukum dari Syâri‘ terpaut dengan ‘illat (alasan) yang
melatarbelakanginya.[19]
Pada
prinsipnya setiap ketentuan hukum ada ‘illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan
larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan
logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain
diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan
terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama
Ushul menyatakan bahwa ‘illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari
‘illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga
sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah.
Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau ‘illat-nya oleh
nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan ta‘abbudî,
dan terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka ulama ushul menyebutnya dengan sebab. Artinya
antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya
tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas. Dari beberapa rumusan
yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat disimpulkan bahwa illat adalah suatu
keadaan atau sifat yang jelas (dhahir) yang dapat diukur dan mengandung
relevansi (munasabah) sehingga kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan
suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya
Para Ulama ushul Fiqh
mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat dijadikan
sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:
a. ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi
hukum. Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari tujuan
disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
b. ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata (ظاهره)
dan dapat ditangkap indera manusia. Karena ‘Illat merupakan
pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar dan
minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan dan dapat
dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘Illat itu
dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
c. ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya,‘Illat itu
memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan.
Misalnya, pembunuhan merupakan ‘Illatyang menghalangi seseorang
mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini
bisa diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
d. Harus ada hubungan
keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘Illat.
Maksudnya, ‘Illat yang ditentukan berdasarkan analisis
mujtahid sesuai dengan hukum yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi ‘Illat bolehnya
seseorang membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan
hukum tidak dapat dijadikan ‘Illat, seperti mengantuk
dijadikan ‘Illat bagi bolehnya berbuka puasa.
e. ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
f. ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum Ashl. Maksudnya, hukumnya
telah ada, baru datang ‘Illat-nya.[20]
‘Illat menempati posisi
penting dalam permasalahan qiyas, karena sangat menentukan ada tidaknya qiyas.
Berdasarkan hal tersebut, maka ulama begitu antusias untuk memperbincangkannya,
terlebih dalam hal bagaimana suatu ‘Illat ditentukan. Para
ulama ushul fiqh menetapkan bahwa illat suatu hukum dapat diketahui melalui:
a. Melalui nash; baik
ayat-ayat al-Quar’an maupun hadits baik secara tegas atau tidak tegas.
Contoh ‘Illat yang disebut secara tegas dalam surat al-Hasyar:
7 dan contoh ‘Illat yang diketahui dengan dalil yang tidak
tegas dalam surat al-Baqarah: 222.
b. Mengetahui ‘Illat dengan
cara Ijma’
c. Mengetahui ‘Illat dengan
cara Ijtihad, dan hasilnya dikenal dengan ‘Illat Mustanbathah (‘Illat yang
dihasilkan dengan jalan ijtihad).[21]
D. MACAM-MACAM
QIYAS
Para
ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi,
yaitu :[22]
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang
terdapat pada furu’
a. Qiyâs awlâwî : Qiyas yang berlaku pada furu’
lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’
Misalnya; mengqiyaskan
memukul kepada ucapan “ah”.
فلا تقل لهما اف
Artinya; “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” (QS. Al-Isra: 23)
Para ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa ‘Illat larangan ini adalah menyakiti
orangtua. Keharaman memukul orangtua lebih kuat daripada sekedar mengatakan
“ah” karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat daripada ucapan “ah”.
b. Qiyâs musâwî : suatu qiyas yang memiliki kekuatan ‘illah yang sama, yang
terdapat pada ashl dan al-far’u[23] atau hukum
pada Far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashal,
karena kualitas ‘Illat pada keduanya juga sama
Misalnya; Allah
berfirman dalam surat an-Nisa: 2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا.
Artinya; “ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu”
Ayat di atas melarang
makan harta anak yatim secara tidak wajar. Para ulama ushul fiqh mengqiyaskan
membakar harta anak yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, karena kedua
sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zhalim.
c. Qiyâs adnâ :
Qiyas yang ‘Illat hukumnya
terdapat pada
al-far’u lebih lemah dari pada ‘Illat yang
terdapat pada ashal[24].
Artinya, ikatan‘Illat yang ada pada Far’u sangat
lemah dibanding ikatan ‘Illat yang ada pada ashal.
Misalnya, sifat
memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari
sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan.
Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga
dapat diberlakukan qiyas.[25]
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat
a. Qiyas Jali : yaitu;
qiyas yang ‘Illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum
ashal; atau nash tidak menetapkan ‘Illat-nya, tetapi dipastikan
bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashal dengan Far’u.
Misalnya, ‘Illat yang ditetapkan nash bersamaan dengan hukum
ashal adalah mengqiyaskan memukul orangtua kepada ucapan “ah” yang ‘Illat-nya
sama-sama menyakiti orangtua.[26]
b. Qiyas Khafi : Qiyas yang ‘Illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Misalnya,
mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam
dalam memberlakukan hukum qishash, karena ‘Illat-nya sama-sama
pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘Illat pada
hukum ashal, yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih kuat daripada ‘Illat yang
terdapat pada Far’u, yaitu pembunuhan dengan benda keras.[27]
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya
dengan hukum
a. Qiyas muatssir : Qiyas yang diibaratkan dengan
dua definisi.
1) Qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan
furu’ ditetapkan nash yang sharih atau ijma’ Contohnya : Kewalian nikah anak di
bawah umur kepada kewalian atas harta dengan ‘illat “belum dewasa”nya ‘illat
ini ditetapkan berdasarkan ijma’
2) Qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang
menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh dengan ‘ Contohnya : Minuman
keras selain yang dibuat dari anggur kepada khamar dengan ‘illat memabukkan,
‘illat tersbut yang menghubungkan dengan hukum haramnya hal yang dapat
memabukkan.
b. Qiyas mulaim : Qiyas yang ‘illat hukum ashal
dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk manasib mulaim.
Contohnya : pembunuhan dengan benda berat dan pembunuhan dengan benda tajam
yang ‘illatnya pada ashal dalam hubungannya dengan hukum pada ashal dalam
bentuk manasib mulaim
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau
tidaknya ‘illat pada qiyas itu
a. Qiyas ma’na : Qiyas dalam bentuk ma’na ashal,
maksudnya qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun
antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah
ashal itu sendiri. Contohnya : Membakar harta anak yatim kepada memakannya
secara tidak patut dengan ‘illatnya merusak harta anak yatim, dari kesamaan
tersebut furu’ seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas i’llat : Qiyas yang ‘illatnya dijelaskan
dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Contohnya
: Nazib kepada khamar dengan ‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat
dalam ashal dan furu’
c. Qiyas dilalah : Qiyas yang ‘illatnya bukan
pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan
(kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Contohnya :
Nabiz kepada khamar dengan menggunakan alasan “bau yang menyengat” dimana bau
itu merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat mamabukkan.[28]
E. AL QIYAS
SEBAGAI DALIL HUKUM MENURUT JUMHUR ULAMA MAZHAB
Jumhur ulama itu adalah para
pakar hukum islam yang bisa di pertanggung jawabkan ke mujtahidannya dan
merupakan ulama yang jujur dan tidak pernah berdusta. dan menguasai bidang
hukum masing-masing, seperti ilmu fikih. ilmu tauhid dan bidang ilmu yang lainnya.
Jadi
Jumhur artinya mayoritas. Ketika dalam suatu bahasan diungkapkan “Syafi’iyyah
berpendapat demikian..“, lalu diujung bahasan mengatakan “Jumhur
berpendapat …“, maka yang dimaksud jumhur di sini adalah para
imam madzhab yang empat selain Syafi’iyyah. Begitu juga Jika diungkapkan “Hanafiyyah
berpendapat…“, lalu setelah itu diungkapkan “Jumhur
berpendapat …“, maka yang dimaksud jumhur di sini adalah para
imam mazhab yang empat selain
Hanafiyyah.
Kedudukan
qiyas sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang beragam dikalangan ulama
ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh sepakat akan kebolehan penggunaan
dan kehujahan qiyas dalam masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam hal
obat-obatan dan makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas
yang dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka adalah dalam
hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak ada nashnya secara
jelas. Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh terpetakan menjadi lima
golongan dalam menyikapi qiyas sebagai metode penetapan hukum;
1)
Pendapat
jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode
atau sarana mengistinbatkan hukum syara’.[29] Bahkan
mengamalkan qiyas adalah wajib. Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai
landasan hukum, mereka menggunakan qiyas dalam suatu peristiwa yang tidak
terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an, as-Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat.
Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas
kewajaran. Qiyas menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah dengan
pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash
al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai
suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi ‘Illat hukumnya,
maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum yang sama,
dan hukum itu merupakan hukumnya menurut syara’.[30]
2) Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syaukani
(ahli Ushul fiqh) berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh, tetapi
tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya.
Argumen ini mereka kemukakan dalam
menolak pendapat jumhur ulama yang mewajibkan pengmalan qiyâs.[31] Kelompok
ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas
sebagai landasan hukum. Mazhab Zahiriyah tidak mengakui adalanya ‘Illatatas
suatu hukum dan menganggap tidak perlu sasaran dan tujuan nash
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang
sesuai dengan ‘Illat. Sebaliknya, mereka
menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.[32]
3)
Pendapat
syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzham dari mu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak
bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban
mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
4) Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan ‘Illat diantara keduanya,
kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas
itu dapat membatasi keumuman sebagaian ayat al-Qur’an dan as-Sunnah.[33]
Setelah mengemukakan
berbagai pendapat ulama ushul fiqh
tentang kehujahan qiyas, wahbah al-Zuhaili, menyimpulkan bahwa dari beberapa
pendapat yang beragam itu dapat dipilah dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil
hukum yang diaut mayoritas ulama shul fiqh; dan kelompok yang menolak qiyas
sebagai dalil hukum,:[34]
1)
Kelompok yang Menerima Qiyas sebagai Sumber Hukum
Salah satu nash
al-Qur’an yang dikemukakan Jumhur ulama fiqh dalam melejitimasi qiyas sebagai
sumber hukum ialah: Qur’an surat an-Nisa: 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kata فإن تنزعتم فى شئ فردوه إلله والرسول pada ayat diatas berarti perintah
untuk mengikuti qiyas apabila terdapat perbedaan dalam penetapan
hukum yang tidak terdapat dalam nash. Ayat di atas juga
menunjukkan bahwa, jika ada perselisihan pendapat diantara ulama
tentang hukum suatu maslah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada
al-Qur’an dan Sunnah. Cara mengembalikannya yaitu dengan melakukan qiyas.[35]
Berdasarkan ayat di
atas, manusia diperintahkan mencari hukum dari hukum Allah dan Rasul-Nya, baik
yang tekstual maupun yang kontekstual. Sesuatu yang kontekstual atau implisit
itu yang disebut qiyas. Oleh karena itu, secara tidak langsung, ketika manusia
menghadapi suatu problema hukum yang tidak ditemukan nashnya secara jelas,
diperintahkan untuk menggunakan jalan qiyas.[36] Berdasarkan ayat tersebut, aplikasi
qiyas dalam istinbat hukum merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan
diperintahkan.
Adapun salah satu dalil
sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi pengguna qiyas
adalah hadits mengenai percakapan Nabi dengan Mu’ad ibn Jabal yang amat
populer, Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi
qadli. Rasulullah melakukan dialog secara langsung dengan Mu’adz ibn
Jabal, seraya berkata:
عَنْ مُعَاذِ
بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ
إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "قَالَ:
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"
Artinya:“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi
bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya
berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab
Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi
berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan
berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka
Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.(HR: Thabrani)[37]
Hadits tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat menurut Jumhur Ulama,
tentang landasan hukum dalam penetapan qiyas. Hadist di atas menurut mayoritas
ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah terhadap qiyas, karena praktek
qiyas adalah satu macam atau perangkat dari kegiatan ijtihad yang mendapat
pengakuan dari Rasulullah dalam dialog tersebut.[38] Menurut
jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat
akal, dan qiyas termasuk salah satu ijtihad melalui akal.
2)
Kelompok yang Menolak Qiyas sebagai Sumber Hukum
Alasan penolakan qiyas sebagai
dalil dalam menetapkan hukum menurut kelompok yang menolaknya yakni ulama-ulamasyi’ah,
al-Nazzam, Zahiriyyah dan ulama Mu’tazilah dari Irak.[39] Dikarenakan
qiyas merupakan aktivitas akal, dalam aplikasinya qiyas menuai kontroversi
dikalangan ulama.
Kelompok Zahriyah berpendapat
bahwa ayat nash al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 di atas menurut kelompok
Zahiriyah dan Syi’ah mengatakan bahwa perintah Allah untuk mengembalikan
sesuatu kepada Allah ketika terdapat beda pendapat yaitu kepada firman-Nya
dalam al-Qur’an. Dan mengembalikan
sesuatu kepada Nabi yaitu sabdanya dalam sunnah. Tidak ada perintah untuk
mengembalikan sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’an dan sunnah
tidak dapat dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas menurut
Zahiriyah, bukan al-Qur’an atau sunnah; karenanya tidak suatu persoalan hukum
ada yang dapat dikembalikan kepada qiyas.
Kemudian, kelompok
Zuhairi menolak hadits Mu’ad ibn Jabal sebagai landasan penetapan qiyas
kelompok tersebut berargumen bahwa dari segi matan (teks) dan sanad
(periwayata) hadits tersebut dianggap gugur. Indikasi gugurnya hadits Mu’ad ibn
Jabal tersebut adalah: Pertama,hadits tersebut diriwayatkan dari
suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak dijadikan hujah atas
orang-orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam
urutan perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak pernah mengemukakan
hadits selain dari jalur ini.[40] Artinya
dari segi periwayatan dan perawinya hadits tersebut masih diperselisihkan
kebenarannya.
Kelompok ulama
Zahiriyah juga menilai bahwa hadits tersebut adalah Maudhu’ (dibuat-buat)
dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam
al-Qur’an. Menurutnya permasalahan hukum apapun sudah dijelaskan dalam
al-Qur’an.
Menurut pendapat
Zahiriyah, hadits Muad ibn Jabal tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas. Dalam
hadits itu hanya disebutkan penggunaan ra’yu, penggunaan ra’yu tidaklah berarti
qiyas. Ra’yu itu hanyalah menetapkan hukum dengan cara terbaik dan lebih
hati-hati. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya.[41]
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa Qiyas adalah
sumber hukum Islam yang keempat
Konsep qiyas
terdiri dari empat elemen al-ashl yaitu hukum asli yang berasal dari teks,
al-far, atau dari sebuah al-' illah. Sebuah qiyas tidak boleh melampaui teks
dari sumber utama hukum Islam, karena diambil dari teks yang ada
Pendapat
jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode
atau sarana mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan mengamalkan qiyas adalah
wajib, Adapun Imam Hanafi ia lebih mendahulukan qiyas dari pada hadits ahad,
sedangkan Imam Malik
jarang mempergunakan qiyas, bahkan mendahulukan tradisi penduduk Madinah dari
pada qiyas dan Imam Syafi’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah. Sementara ulama Zhahiriyyah berpendapat qiyas
memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang
menyatakan wajib melaksanakannya, maka mereka tidak menggunakan qiyas sebagai
landasan hukum..
2. Saran
Demikian makalah ini penulis buat, penulis mohon kritikan dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
[1] K.H. Adib Bisri dan K.H. Munawwir A Fatah, Kamus Indonesia Arab, Arab
Indonesia(Surabaya:Pustaka progressif,1999) h. 621
[17] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh h.
164
[18] Abdul Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî Mâ Lâ Nashkh Fîh
(Kuwait: Dâr al-Qolam, 1972), hlm. 50
[19] Abdul Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî Mâ Lâ Nashkh Fîh h.
49
[20] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, hlm. 175-176. Bandingkan dengan Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,
hlm. 83-84
[36] Muhammad Roy, Ushul
Fiqh Mazhab Aristoteles; Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih,
Yogyakarta: Safarina Insania Press, h. 55
loading...
No comments:
Write komentar