Sunday, May 13, 2018

MAFHUM MUKHALAFAH (Konsep Mafhum Mukhalafah dalam Pemikiran Ulama Syafi’iyah dan Landasan Hukum Ulama Hanafiyah untuk Menolak Berdalil dengan Mafhum Mukhalafah



MAFHUM MUKHALAFAH
A. PENDAHULUAN
Manusia diciptakan Allah SWT dengan dianugerahi akal, dimana dengan akal inilah manusia mampu berpikir dan memilih. Sehingga setiap tindakan dan perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan akalnya. Hanya saja manusia membutuhkan pedoman dan petunjuk  untuk menggunakan akalnya supaya manusia tidak secara liar berpikir dan memilih yang pada akhirnya akan mengantarkan dan menjerumuskan manusia itu ke jalan yang seharusnya tidak dia tempuh.
Al Qur`an yang  berdampingan dengan hadis merupakan petunjuk yang dipercaya oleh umat Islam sebagai pedoman hidup. Sebagian petunjuk al Qur`an maupun Hadis tersebut adalah mengenai hukum. Ulama dengan berbagai mazhabnya yang berbeda-beda sepakat bahwa manusia tidak terlepas dari hukum dalam kehidupannya sehari-hari, baik hukum yang mangatur hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) ataupun yang mengatur hubungan antar sesama manusia.
Redaksi al Qur`an dan hadis ada yang dapat dipahami dengan apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang. Namun ada kalanya harus masuk ke kedalaman kata atau kalimat yang terkandung di dalamnya sehingga lahir makna-makna baru yang tidak berhubungan langsung dengan apa yang tertulis.
Dalam pandangan ulama Syafi’iyah ada dua macam untuk memahami redaksi nash tersebut, yaitu mantuq dan mafhum yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang salah satu bentuk mafhum, yaitu mafhum mukhalafah dalam pemikiran ulama Syafi’iyah dan landasan hukum ulama Hanafiyah menolak untuk berdalil dengan mafhum mukhalafah ini.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mafhum Mukhalafah
Secara etimologi  ﻣﻔﻬﻮم  adalah isim maf’ul dari ﻓﻬﻢ yang berarti yang “mengerti atau paham”.  Jadi mafhum adalah sesuatu yang dimengerti dan dipahami.
Mafhum menurut istilah Ushul Fiqh adalah “penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan” atau secara lebih sederhana mafhum adalah “apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan”.
Dari pengertian mafhum tersebut di atas, mafhum terbagi atas dua macam, yaitu mafhum muwafaqah (mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz) dan mafhum mukhalafah.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan mafhum mukhalafah sebagai berikut :
ﻫﻮ ﺣﻴﺚ ﻳﻜﻮ ن اﻟﻤﺴﻜﻮت ﻋﻨﻪ ﻣﺧﺎﻟﻔﺎ ﻟﻠﻤﺬ ﻛﻮر اﻟﺤﻜﻢ إﺛﺒﺎﺗﺎ وﻧﻔﻴﺎ
“dimana (hukum) yang tidak disebut (yang dipaham dari lafaz nash) yang berbeda dengan (hukum) yang disebut lafaz nash, baik dalam itsbat maupun nafy.”
Atau bisa juga diartikan dengan “hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq.  Dengan bahasa lain mafhum mukhalafah adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.
Dengan demikian suatu nash bisa menunjukkan dua hukum, yaitu hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang dipahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada hukum halal dengan adaanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, bila qaydnya tidak ada. Seperti firman Allah SWT :
          •     
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa : 25)
Bunyi (manthuq) ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) : orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kemudian jika dipahami dengan kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka.
Mafhum mukhalafah disebut juga dalil al-khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab, karena dalil hukumnya diambil dari jenis khitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan atas hukum itu.




2. Bentuk-bentuk Mafhum Mukhalafah
Ulama Ushul Fiqh membagi mafhum mukhlafah kepada 5 (lima) bentuk. Di antaranya adalah :
a. Mafhum sifat ( اﻟﺼﻔﺔ ﻣﻔﻬﻮم )
Mafhum sifat ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.  Dengan bahasa lain mafhum sifat ialah suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat, maka berlaku hukum pada lafaz itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada, maka berlakulah hukum yang sebaliknya.
Contoh dalam firman Allah SWT :
          •     
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa : 25)
Manthuq ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kemudian jika dipahami dengan mafhum mukhalafah dari lafaznya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila hamba sahaya tersebut tidak mukmin.
Akan tetapi ulama Hanafiyah yang tidak mau mempergunakan mafhum mukhalafah tidak memperdulikan tentang beriman seorang hamba sahaya atau tidak. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin adalah sah,  berdasarkan firman Allah SWT :
            •  •  
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.  (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”. (QS. An Nisa : 24)



Contoh lain dalam hadis Rasulullah SAW :
ﻓﻲ ﺳﺎﺋﻤﺔ اﻟﻐﻨﻢ إذا ﻛﺎﻧﺖ أرﺑﻌﻴﻦ ﻓﻔﻴﻬﺎ ﺷﺎة )   رواﻩ ﻣﺎﻟﻚ وأﺑﻮ داود(
“Zakat binatang ternak, apabila telah mencapai 40 ekor kambing”. (HR. Malik dan Abu Dawud)
Hadis di atas menggunakan lafal  ﺳﺎﺋﻤﺔ  (yang diternak di padang rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya), jika dipahami secara mafhum mukhalafah dalam bentuk mafhum sifat, maka binatang ternak  اﻟﻤﻌﻠﻮﻓﺔ   (yang diambilkan makanannya), maka tidak ada kewajiban menzakatkan ternak kambing yang ma’lunah.

b. Mafhum syarat ( اﻟﺷﺮط ﻣﻔﻬﻮم )
Mafhum syarat adalah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi. Atau dalam definisi yanglebih sederhana : bila syarat terpenuhi, maka berlaku hukum, tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi, maka dapat ditetapkan hukum yang sebaliknya.
Sebagai contoh, firman Allah SWT :
          
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At Thalaq : 6)
Manthuq ayat ini mewajibkan mantan suami memberi nafkah kepada mantan isterinya dengan syarat wanita itu sedang hamil. Dengan demikian, maka berdasarkan mafhum syarat, mantan isteri yang telah dicerai dan tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya.
Namun ulama Hanafiyah mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah, kecuali isteri yang dicerai tersebut telah membebaskannya , berdasarkan firman Allah SWT :
              
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”. (QS. At Thalaq : 7)

c. Mafhum al-ghayah ( اﻟﻐﺎﻴﺔ ﻣﻔﻬﻮم ) / limit waktu
Mafhum al-ghayah ialah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu sudah berlalu. Atau dalam definisi yang lebih sederhana : sebelum limit waktu yang ditentukan habis, maka berlaku hukum, tetapi setelah limit waktu yang ditentukan habis, maka hukum tersebut tidak berlaku lagi.

Contohnya, firman Allah SWT :
          
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al Baqarah : 230)
Manthuq dari ayat tersebut tidak bolehnya menikahi istri yang telah ditalak tiga hingga ia mengawini laki-laki lain. Sedangkan mafhum ghayah dari ayat ini ialah bila bekas isteri yang ditalak tiga telah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, maka boleh mengawini bekas isterinya yang telah ditalak tiga itu.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menetapkan hukum syara’ dengan mafhum ghayah ini. Sementara itu ulama Hanafiyah dan sebagian ulama fuqaha lainnya tidak mau menggunakan mafhum ghayah ini. Berkenaan dengan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hukum asal adalah memperbolehkan menikahi isteri yang ditalak tiga demi kemaslahatan isteri tersebut. Sedang larangan tersebut dibatasi (qayd) dengan suatu batasan atau waktu yang berlangsung selama batas waktu tersebut masih ada. Jika batas waktu tersebut telah hilang maka kembali halal.

d. Mafhum al-‘adad ( اﻟﻌﺪﺩ ﻣﻔﻬﻮم ) / bilangan
Mafhum al-‘adad ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya hukum dengan jumlah bilangan tertentu, yang selanjutnya menafikan hukum tersebut pada jumlah bilangan selain yang dilafazkan dalam nash.
Misalnya firman Allah SWT :
• •  •     
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera” (QS. An Nur : 2)
Manthuq dari ayat di atas adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina laki-laki dan perempuan.
Mafhum al-‘adad dari ayat tersebut adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.


e. Mafhum al-laqab ( اﻟﻟﻗﺐ ﻣﻔﻬﻮم ) / gelar atau sebutan
Mafhum al-laqab ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain.
Sebagai contoh, firman Allah SWT :
      
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku…, (QS. Yusuf : 4)
Dalam manthuq ayat ini Yusuf melaaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa mimpinya. Jadi, hanya Yusuf sendiri yang disebutkan. Dengan demikian mafhum laqabnya ialah selain Yusuf tidak dapat disebutkan sebagai orang yang melaporkan kepada ayah Yusuf tentang peristiwa mimpinya.
Ulama ushul fiqh, selain al-Daqqaq sepakat bahwa mafhum laqab bukanlah hujjah. Sebab mafhum ini tidak mencerminkan suatu pembatasan hukum terhadapnya, bukan pula menegaskan pengkhususan terhadapnya, mapun pengecualian terhadap hal-hal lainnya.




3. Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang popular dalam pembahasan ushul fiqh. Namun tentang penetapan hukum melalui cara mafhum mukhalafah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum mukhalafah. Jumhur ulama menerimanya sebagai hujjah, kecuali mafhum laqab. Dan sebaliknya ulama Hanafiyah menolak kehujjahan dengan mafhum mukhalafah.
Semua ulama sepakat untuk tidak berhujjah dengan mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya; sebab dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya di luar nama itu.
Jumhur ulama sepakat tentang bolehnya berhujjah dengan mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah  dan mafhum al-‘adaddi luar lingkungan nash-nash syari’ah (teks hukum), umpamanya di dalam akad perjanjian dan ucapan-ucapan. Artinya pada perjanjian-perjanjian yang diadakan antara dua belah pihak dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Misalnya, seseorang yang akan berwakaf berkata, “Setelah aku meninggal, aku jadikan seperempat dari wakafku ini untuk karib kerabatku yang miskin”. Manthuq adalah harta wakaf itu tetap diberikan kepada karib kerabat, namun secara mafhum mukhalafah, wakaf itu ditiadakan bagi karib kerabatnya yang tidak miskin.
Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas suatu kejadian bila dikaitkan kepada suatu sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menerapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktunya sudah berlalu.
Di antara argumentasi jumhur ulama tersebut adalah :
a. Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut, juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam suatu keadaan. Maka berlaku mafhum mukhalafah.
b. Kaitan yang terdapat dalam nash hukum baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu untuk menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam hal ini memang tidak berlaku mafhum mukhalafah.
Berbeda dengan jumhur ulama di atas, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa keempat mafhum di atas tidak dapat dijadikan hujjah apabila berlawanan dengan manthuq. Untuk menetapkan hukum kebalikan dari nash-nash tersebut, menurutnya harus dikembalikan kepada :
اﻷﺻﻞ ﻓﻰ اﻟﻸﺷﻴﺎء اﻹﺑﺎﺣﺔ
“Asal segala sesuatu itu adalah mubah”.

4. Mafhum Mukhalafah dalam Pemikiran Ulama Syafi’iyah dan Jumhur Ulama
Ulama Syafi’iyah dan jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah.  Syarat tersebut adalah :
a. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan manthuq atau mafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal. Bila mafhum mukhalafah itu berlawanan dengan keduanya, maka mafhum mukhalafah tidak dapat diamalkan.
Umpamanya firman Allah :
        
“Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. An Nisa : 11)
Ayat ini berlawanan dengan manthuq hadis Nabi yang menyatakan kepada saudara Sa’ad ibnu Rabi :
اﻋﻂ اﺑﻨﺘﻲ ﺳﻌﺪ اﻟﺜﻠﺜﻴﻦ وزوﺟﺘﻪ اﻟﺜﻤﻦ وﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﻓﻬﻮ ﻟﻚ
“Berikan untuk dua orang perempuan Sa’ad dua pertiga, untuk isterinya seperdelapan dan selebihnya untukmu”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa di antara mafhum mukhalafah surat an-Nisa ayat 11, dengan manthuq hadis Nabi itu memang bertentangan. Namun bila terdapat pertentangan antara mafhum dan manthuq, maka didahulukan manthuq. Dengan demikian, hukum yang berlaku adalah berhaknya dua anak perempuan sebesar dua pertiga.

b. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekadar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Umpamanya dalam firman Allah SWT :
     
“Agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar“.(QS. An-Nahl : 16)
Kait yang berupa sifat “daging yang segar” dalam ayat suruhan makan itu tidaklah berarti tidak bolehnya memakan daging yang tidak empuk. Ayat ini hanyalah untuk merangsang dalam berusaha mendapatkannya, dan tidak mempunyai maksud apa-apa di balik itu.

c. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
Contohnya firman Allah SWT :
     
“janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran : 130)
Larangan riba dalam ayat ini muncul terhadap satu bentuk mu’amalah tertentu yang berlaku pada masa jahiliyah, yaitu pinjaman atau utang yang ditangguhkan dengan kewajiban bayaran berlipat ganda. Hal ini sudah biasa dilakukan di waktu itu. Itulah disebut “riba” dan mu’amalah tersebut dilarang. Adanya larangan dengan sifat tertentu itu tidaklah berarti bahwa riba yang tidak mengandung sifat berlipat ganda dibolehkan hukumnya. Dengan demikian, maka mafhum mukhalafah tidak berlaku dalam menghadapi ayat tersebut.

d. Dalil manthuqnya disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
Seperti firman Allah SWT :
       
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. (QS. Al Baqarah : 187)
Keadaan i’tikaf di masjid itu hanyalah sekedar rangkaian kelanjutan dari tidak bolehnya menggauli isteri dalam keadaan puasa. Dengan demikian, tidaklah berarti dibolehkan menggauli isteri dalam puasa yang dilakukan di luar masjid. Oleh karena itu, ucapan “i’tikaf di masjid” itu bukanlah suatu kait yang berlaku pada ucapan itu mafhum mukhalafah.

e. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthuq membicarakan hukum atas sesuatu yang menurut lazimnya berlaku, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
Contoh dalam hal ini umpamanya firman Allah SWT :
             
“Dan (diharamkan atasmu) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,” (QS. An-Nisa : 23)
Dalam ayat yang melarang mengawini anak tiri itu terdapat dua kait : pertama, anak tiri itu berada di bawah asuhan suami atau ayah tiri, dan kedua, ibu anak tiri yang dikawini itu telah digauli. Anak tiri itu berada di bawah pemeliharaan si ayah tiri merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Sedangkan suami menggauli isteri bukanlah suatu hal lazim karena ada saja suami yang tidak pernah menggauli isteri sebelum dicerai. Tentang persyaratan telah digauli, memang berlaku mafhum mukhalafah, maksudnya, bila si ibu belum digauli maka anak tiri tidak haram bagi ayah tirinya. Sedangkan persyaratan anak tiri itu berada dalam pemeliharaan ayah tiri tidak merupakan kait yang berlaku padanya mafhum mukhalafah. Hal ini berarti anak tiri yang ibunya sudah digauli haram dikawini oleh ayah tirinya, baik anak tiri itu berada di bawah pemeliharaan ayah tirinya atau tidak.

Beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh jumhur di atas merupakan pembatasan dalam penggunaan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Dan jumhur ulama tetap menemukan dalil yang memberi petunjuk baginya dalam menetapkan hukum selain dengan cara mafhum mukhalafah ini.



5. Landasan Hukum Ulama Hanafiyah Menolak Berdalil dengan Mafhum Mukhalafah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq (tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui hukumnya hanya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil yang lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhum mukhalafah.
Diantara argumentasi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah adalah :
a. Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa Arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum itu tidak berlaku bila kaitannya itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa Arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu tetapi tidak mengandung daya mafhum.
Umpamanya firman Allah SWT.
    
“Janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran : 130)
Larangan riba dalam ayat ini diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba tersebut tetap saja haram meskipun dilakukan tidak secara berlipat ganda.

b. Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan tersebut tidak ada. Shalat kalau takut akan mendapat serangan , sebagaimana firman Allah SWT :
                 
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (QS. An Nisa : 101)
Bila kita mengamalkan mafhum mukhalafah dari ayat tersebut, tentu tidak boleh mengqashar shalat di waktu tidak ada peperangan. Masih berlakunya qashar shalat meskipun tidak lagi dalam perang berarti mafhum mukhalafah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat tersebut.

Alasan Ulama Hanafiyah menolak mafhum mukhalafah untuk berhujjah adalah i
a. Menggunakan keempat macam mafhum (mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah, dan mafhum al-‘adad) tidak dapat dibenarkan, sebab tidak termasuk dalam cara-cara mengetahui dalalah al-alfaz yang empat : dalalah al-ibarah, isyarah, dalalah al-dalalah dan dalalah al-iqtida’ yang semuanya itu ditentukan oleh bahasa dengan menukil dari sumber-sumber yang mutawatir.
b. Menyebutkan nash yang mengandung hukum kebalikan sesudah nash mengandung hukum yang tetap tidak ada faedahnya,
c. Syari’ sendiri sering tidak menghiraukan mafhum mukhalafah dari suatu ibarat nash beserta adanya kemungkinan untuk diamalkan.
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fiqih menyebutkan bahwa menurut pandangan ulama Hanafiyah, mafhum mukhalafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori metodologi penafsiran nash al Qur`an dan hadis. Bahkan mereka tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai metodologi dalam memahami hukum-hukum Islam, karena faktor-faktor sebagai berikut  :
a. Nash-nash syara’ telah menunjukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunakannya mafhum mukhalafah. Maksudnya, dengan banyaknya nash-nash al Qur`an dan hadis bila dipahami dengan menggunakan mafhum mukhalafah, justru bertentangan dengan ketetapan-ketetapan syara’, maka hal tersebut menunjukkan bahwa uslub al Qur`an dan hadis tidak memberikan peluang bagi mafhum mukhalafah untuk memahami hukum-hukum syara’ dari kedua sumber tersebut. Dengan demikian mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan metode dalam menggali hukum-hukum syara’ dari al Qur`an dan hadis.
b. Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nash al Qur`an dan hadis bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib).
c. Menurut jumhur ulama, bahwa suatu hukum itu pada umumnya membunyai sebab (‘illat) dan ‘illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nash. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan (qayd) itu sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan terkadang hukum yang tidak disebutkan itu mempunyai ‘illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Demikianlah pandangan ulama Hanafiyah. Dari pandangan tersebut, dalam menetapkan hukum dari nash al Qur`an dan hadis mereka tidak mau menggunakan mafhum mukhalafah, tapi hanya menggunakan dilalah yang berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan dengannya.
Pandangan ulama Hanafiyah tersebut menandakan adanya sikap berhati-hati dalam menetapkan hukum yang bersumber dari nash al Qur`an dan hadis.

C. PENUTUP
Dari pembahasan singkat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan mafhum mukhalafah. Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Namun, diantara semua bentuk mafhum mukhalafah, ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ulama Hanafiyah menolak berhujjah dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Makalah ini tentu tidak cukup untuk mengungkap banyak tentang mafhum mukhalafah secara keseluruhan. Tetapi setidaknya bisa menjadi stimulan bagi pembaca untuk mengkaji lebih dalam materi ini. Dan penulis sangat berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta ; Amzah, 2014, Cet. 3
Djazuli, dkk, Ishul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000, Cet. 1
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2012, Cet. Ke-4
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Amzah, 2005, Cet. 1
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, Cet. 5
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013, Cet. 1
Munawwir, Achmad Warson, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif, 2007
Sanusi, Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta : Rajawali Press, Cet. Ke-1, 2015
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Setia, Cet. Ke-4, 2010
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta : Kencana, Cet. Ke-6, 2011
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet. Ke-17, 2013

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...