Bab I
PENDAHULUAN
Dalam
bidang mahdhah dan kekeluargaan islam aturan Al-Quran dan Al-Hadis lebih rinci
dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya. Akibatnya, di bidang fikih selain
ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat
luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Quran
dan Al-Hadis untuk bidang selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam hanya
menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil bersifat
umum, maqashid al-syari’ah, semangat ajaran dan kaidah-kaidah kulliyah. Hal ini
tampaknya, erat kaitannya dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba Allah
juga sebagai khalifah fi al-ardh.
Sebagai
hamba Allah, manusia harus diberi tuntutan langsung agar hidupnya tidak
menyimpang dan selalu diingatkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah
kepadan-Nya sebagaimana yang tertuang dalam QS Adz-Dzaariyaat 56.
Banyak
sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam
transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari 25 macam. Sudah barang
tentu sekarang dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan
masyarakat yang makin meningkat, melahirkan model-model transaksi baru yang
membutuhkan penyelesainnya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang di satu
sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang
nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah[1].
Kaidah-kaidah
fikih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum dan
kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifaha
Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam majalah al-Ahkam
al-adliyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi
jiwa dari1851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam
al-adliyah[2].
Dan
pada saat ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang kaidah fiqih dalam
muamalah dalam makalh ini. Yang akan dijelaskan secara detil dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qawaid (قواعد)adalah
jamak dari kata قاعدة)). Dan secara etimologi bermakna اساس)) atau
asas, pangkal, dasar, asas dari segala sesuatu[3].
Dan الفقه adalah
faham atau tahu. Menurut istilah yang digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang
diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dan menurut al-Zarqa’dai
dalam bukunya fiqih secara istilah adalah putusan-putusan umum yang biasanya
mencakup sebagian besar dari bagian-bagiannya[4].
Dan muamalah Secara bahasa berasal dari kata عامل - يعامل - معاملة yang artinya saling bertindak, saling berbuat dan saling
mengamalkan. Sedangkan menurut istilah Muamalah adalah tukar menukar barang
atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Bila dihubungkan
dengan lafaz fiqh, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara
seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia.[5]
B. Kaidah – Kaidah dalam fiqih muamalah
Dari beberapa literatur, kami menemukan beberapa
kaidah dalam qawaid fiqhiyyah. Yang mana kaidah tersebut adalah:
الأَصْلُ
فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ دَلِيْلٌ عَلىَ
تَحْرِيْمِهَا 1
Maksud
kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah
dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Dan pengecualian bagi yang
secara tegas diharamkan oleh nash seperti: tipuan, judi, dan riba.
2 الأَصْلُ فِي العَقْدِ
رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum
asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”[7]
Keridhaan
dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah
sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah
suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau
juga merasa tertipu. Hal ini bisa terjadi pada waktu akad sudah saling
meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang
keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan
yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ
فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar
dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
3 لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ
أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada
seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si
pemilik harta.”[8]
Atas
dasar kaidah ini, maka si pelaku tindakan hukum haruslah pemilik barang yang
menjadi objek tindakan hukum atau wakil dari pelaku tindakan hukum atau yang
yang diberi wasiat atau wakilnya.
4 البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ
الإِجَازَةَ
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi.
Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah
satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga
keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan
oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah
Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad
yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa
menggunakan sistem bunga.
5 الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ
كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin
yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan
lebih dahulu.” [10]
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada
dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain
tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang
bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta
mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap
sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
6 الأَجْرُ وَالضَّمَانُ
لاَ يَجْتَمِعَانِ
Yang
disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti
dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar
seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi
si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang
mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti
kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
7 الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Arti
asal al-kharaj adalah sesuatu yang di keluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti
pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman
adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si
penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab,
penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
8 الغَرْمُ بِالغَنْمِ
Maksudnya
adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya
notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk
ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka
dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya.
Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada
pemilik barang.
9 إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ
بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila
sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”[14]
Contonya,
penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan
hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus
mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
10 العَقْدُ عَلَى
الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
Objek
suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Maka, pengaruh hukum dari
akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti
rukun dan syaratnya sama.
11 كُلُّ مَايَصِحُّ
تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
“Setiap
akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara.”[16]
Akad
mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak
lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap
barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi
waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya
dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
12 الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ
فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
Maksud
kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap
milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka
hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada
bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah
tersebut adalah batal.
13 لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث
إِلاَّ بِالقَبْضِ
Akad
tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah
atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.
14 الجَوَازُ الشَّرْعِي
يَنَافِي الضَّمَانِ
Maksud
kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh
ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti
rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh
syariah.
15 لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ
يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu
benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan
hukum yang telah tetap.”[20]
Maksud
kaidah ini adalah bahwa barang yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dicabut
oleh pihak lain, kecuali atas ketentuan syar’i untuk mencabut barang orang
tersebut.
16 كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ
أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya
telah diterima.”
Berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad
jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain akad untuk menyebut qabiltu (saya
telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu,
seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab
dengan “saya terima”.
17 كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ
مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap
syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
Contonya
seperti dalam gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak
ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya.
Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18 كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ
بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap
yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19 مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ
رَهْنُهُ
“Apa
yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
20 كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama dengan riba.”[21]
Kadi
Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
Maksud
kaidah ini adalah setiap terjadi sebuah pinjaman diantara pelaku akad dan
memberikan manfaat bagi orang yang memberi hutang maka itu adalah riba.
Contohnya,
si A meminjam uang ke si B sebanyak Rp. 100.000,00 untuk kepentingan yang
mendesak. Dan si B menyerahkan pinjamannya kepada si A sesuai dengan kebutuhan
si A dengan disertai syarat bahwa si A harus memberikan kembalian uang tersebut
harus sebanyak Rp. 110.000,00 kepada si B. Maka si B mendapat kan
manfaat/keuntungan dari pinjaman yang ia berika terhadap si A. Dan perbuatan
melebihkan pinjaman tersebut yang sebanyak Rp.10.000,00 itu dinamakan dengan
riba.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa, dalam
bertingkah laku bermuamalah islam mengatur para pemeluknya dalam beertingkah
laku sebagai subjek dalam bermuamalah. Dan untuk mengatur tingkah laku subjek
tersebut, para ulama telah merangkum beberapa kaidah sebagai pedoman untuk
penerapan dari ketentuan-ketentuan yang islam ajarkan.
Di dalam makalah kami telah dijelaskan beberapa kaidah
tentang bermuamalah yangmana tidak tertutup kemungkinan akan munculnya
kaidah-kaidah lain yang juga akan mengatur hal-hal muamalah khususnya.
B. Saran
Pemakalah memahami bahwa karya ilmiah yang kami buat
ini masih jauh dari yang namanya kesempurnaan. Maka untuk mendapatkan
kesempurnaan tersebut diharapkan akan setiap komentar dan saran yang membangun
sehingga membuat pemakalah bisa tetap terus berkarya tulis.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
ad-da’asi, Azat ubaid. 1989, al-Qawaid
al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, cet. 3, Damaskus: dar at-Tarmizi
al-Zarqa’, Syaikh ahmad bin syaikh muhammad.
1989, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, , cet. 2 Damaskus:
dar al-Qalam
Djazuli, 2006, Kaidah-Kaidah Fiqih:
Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, Ed.1, cet. 3, Jakarta: Kencana
http://langkahsupian.blogspot.com/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html
diakses tanggal 09 april 2013
http://www.psycholovegy.com/2012/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fiqh.html
diakses tanggal 12april 2013
[2] Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.3. hal 129
[3] Azat ubaid
ad-da’asi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, (Damaskus:
dar at-Tarmizi. 1989) cet. 3, hal 7
[4] Syaikh ahmad bin
syaikh muhammad al-Zarqa’, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus:
dar al-Qalam 1989), cet. 2, hal 33
[5] http://www.psycholovegy.com/2012/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fiqh.html
diakses tanggal 12april 2013
[6] Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.3, hal 130
[10] http://langkahsupian.blogspot.com/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html
diakses tanggal 09 april 2013
[15] http://faizalhusen.blogspot.com/2012/03/kaidah-kaidah-fiqh-muamalah.html
diakses tanggal 09 april 2013
loading...
syukran atas ilmu nya.... semoga berkah ... boleh copy akhi
ReplyDelete