Friday, April 24, 2020

kaidah fikih dalam muamalah



Bab I
PENDAHULUAN
 Dalam bidang mahdhah dan kekeluargaan islam aturan Al-Quran dan Al-Hadis lebih rinci dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya. Akibatnya, di bidang fikih selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Quran dan Al-Hadis untuk bidang selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam hanya menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil bersifat umum, maqashid al-syari’ah, semangat ajaran dan kaidah-kaidah kulliyah. Hal ini tampaknya, erat kaitannya dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah fi al-ardh.
Sebagai hamba Allah, manusia harus diberi tuntutan langsung agar hidupnya tidak menyimpang dan selalu diingatkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepadan-Nya sebagaimana yang tertuang dalam QS Adz-Dzaariyaat 56.
Banyak sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari 25 macam. Sudah barang tentu sekarang dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang makin meningkat, melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesainnya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah[1].
Kaidah-kaidah fikih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifaha Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam majalah al-Ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari1851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah[2].
Dan pada saat ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang kaidah fiqih dalam muamalah dalam makalh ini. Yang akan dijelaskan secara detil dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian
Qawaid   (قواعد)adalah jamak dari kata قاعدة)). Dan secara etimologi bermakna اساس)) atau asas, pangkal, dasar, asas dari segala sesuatu[3].
Dan الفقه adalah faham atau tahu. Menurut istilah yang digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dan menurut al-Zarqa’dai dalam bukunya fiqih secara istilah adalah putusan-putusan umum yang biasanya mencakup sebagian besar dari bagian-bagiannya[4].
Dan muamalah Secara bahasa berasal dari kata عامل - يعامل - معاملة yang artinya saling bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Bila dihubungkan dengan lafaz fiqh, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia.[5]
B.   Kaidah – Kaidah dalam fiqih muamalah
Dari beberapa literatur, kami menemukan beberapa kaidah dalam qawaid fiqhiyyah. Yang mana kaidah tersebut adalah:
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا  1
“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”[6]
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Dan pengecualian bagi yang secara tegas diharamkan oleh nash seperti: tipuan, judi, dan riba.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”[7]
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Hal ini bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”[8]
Atas dasar kaidah ini, maka si pelaku tindakan hukum haruslah pemilik barang yang menjadi objek tindakan hukum atau wakil dari pelaku tindakan hukum atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya.
البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”[9]
  Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.” [10]
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.”[11]
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
            Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”[12]
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di keluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
            Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
الغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Resiko itu menyertai Manfaat.”[13]
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.
9  إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”[14]
Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
10 العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”[15]
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11 كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
“Setiap akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”[16]
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
12  الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”[17]
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13 لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”[18]
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.


14 الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”[19]
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.
15 لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”[20]
Maksud kaidah ini adalah bahwa barang yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dicabut oleh pihak lain, kecuali atas ketentuan syar’i untuk mencabut barang orang tersebut.
16 كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
17 كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalam gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18 كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19  مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
20  كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama dengan riba.”[21]
Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
 كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
Maksud kaidah ini adalah setiap terjadi sebuah pinjaman diantara pelaku akad dan memberikan manfaat bagi orang yang memberi hutang maka itu adalah riba.
Contohnya, si A meminjam uang ke si B sebanyak Rp. 100.000,00 untuk kepentingan yang mendesak. Dan si B menyerahkan pinjamannya kepada si A sesuai dengan kebutuhan si A dengan disertai syarat bahwa si A harus memberikan kembalian uang tersebut harus sebanyak Rp. 110.000,00 kepada si B. Maka si B mendapat kan manfaat/keuntungan dari pinjaman yang ia berika terhadap si A. Dan perbuatan melebihkan pinjaman tersebut yang sebanyak Rp.10.000,00 itu dinamakan dengan riba.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa, dalam bertingkah laku bermuamalah islam mengatur para pemeluknya dalam beertingkah laku sebagai subjek dalam bermuamalah. Dan untuk mengatur tingkah laku subjek tersebut, para ulama telah merangkum beberapa kaidah sebagai pedoman untuk penerapan dari ketentuan-ketentuan yang islam ajarkan.
Di dalam makalah kami telah dijelaskan beberapa kaidah tentang bermuamalah yangmana tidak tertutup kemungkinan akan munculnya kaidah-kaidah lain yang juga akan mengatur hal-hal muamalah khususnya.
B.     Saran
Pemakalah memahami bahwa karya ilmiah yang kami buat ini masih jauh dari yang namanya kesempurnaan. Maka untuk mendapatkan kesempurnaan tersebut diharapkan akan setiap komentar dan saran yang membangun sehingga membuat pemakalah bisa tetap terus berkarya tulis.



DAFTAR KEPUSTAKAAN
ad-da’asi, Azat ubaid. 1989, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, cet. 3, Damaskus: dar at-Tarmizi
al-Zarqa’, Syaikh ahmad bin syaikh muhammad. 1989, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, , cet. 2 Damaskus: dar al-Qalam
Djazuli, 2006, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Ed.1, cet. 3, Jakarta: Kencana
http://langkahsupian.blogspot.com/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html diakses tanggal 09 april 2013
http://www.psycholovegy.com/2012/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fiqh.html diakses tanggal 12april 2013





[1] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al  Islami fi Tsaubihi al-Jadid, (Beirut: Dar al-Fikr. 1965)
[2] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.3. hal 129
[3] Azat ubaid ad-da’asi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, (Damaskus: dar at-Tarmizi. 1989) cet. 3, hal 7
[4] Syaikh ahmad bin syaikh muhammad al-Zarqa’, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: dar al-Qalam 1989), cet. 2, hal 33
[5] http://www.psycholovegy.com/2012/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fiqh.html diakses tanggal 12april 2013
[6] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.3, hal 130
[7] ibid
[8] Ibid, hal 131
[9] Ibid
[10] http://langkahsupian.blogspot.com/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html diakses tanggal 09 april 2013
[11] Azat ubaid ad-Adda’asi, op cit hal 95
[12] Ibid, hal 96
[13] Syaikh ahmad bin syaikh muhammad al-Zarqa’, op cit, hal 437
[14] Djazuli, op cit, hal 134
[15] http://faizalhusen.blogspot.com/2012/03/kaidah-kaidah-fiqh-muamalah.html diakses tanggal 09 april 2013
[16] Dzajuli, opcit, hal 134-138
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid


loading...
1 comment:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...