Setiap
lafal mengandung arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami seseorang ketika
ia mendengar lafal itu diucapkan, atau ketika ia membaca lafal itu dalam
tulisan. Lafal dari segi penggunaannya Ulama ushul fiqh membagi suatu redaksi/ lafal ditinjau
dari segi penggunaannya kepada dua macam, yaitu : hakikat dan majas. Sedangkan
ditinjau dari segi kejelasan maknanya untuk menyampaikan tujuan penggunaannya,
masing-masing lafal hakikat dan majas dapat dibagi pula kepada sharih dan
kinayah. \
Adapun suatu
lafal tersebut tidak dapat dinilai
dan diberi predikat sebagai hakikat atau majas, sebelum digunakan untuk
menunjuk suatu pengertian terminologis oleh penggunanya. Dengan kata lain, jika
suatu komunitas menggunakan suatu lafal sesuai dengan makna terminologis
(istilah), maka lafal tersebut diberi predikat “hakikat”. Tetapi jika yang
mereka maksud bukan makna terminologisnya, maka lafal tersebut diberi predikat
“majas”. Dalam pada itu, pemberian sifat kepada suatu lafal sebagai hakikat
atau majas,tergantung pula kepada komunitas pengguna lafal tersebut.
Berdasarkan hal
tersebut menimbulkan perbedaan dalam memahami hakikat dan majas bagi ulama
terutama dalam mengistinbatkan hukum. Karena itu perlu kiranya dipahami kenapa
terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, dengan memahami apa yang
dimaksudkan dengan hakikat dan majas serta pembagiannya?, selanjutnya bagaimana
pendapat ulama mengenai hal tersebut?.
lihat juga: haqiqat dalam ushul fiqh
1.
MAJAS
a.
Pengertian Majas
Majas (al-majaz) secara bahasa berasal dari kata جواز yang berarti melampaui[1] , atau beralih dari suatu keadaan kepada keadaan yang
lain, dan disebut juga dengan makna kiasan. Majas
adalah segala lafal yang dipakai bukan dalam konteks yang sebenarnya.
Sedangkan secara istilah majas berarti lafal yang dipakai
bukan pada makna aslinya karena ada hubungan dan disertai tanda-tanda yang
mencegah penggunaan makna asli itu[2].
Adapun para ulama Ushul memberikan
defenisi yang beragam tentang majas. yaitu :
a) Wahbah Zuhaili
هُوَكُلُّ
لَفْظٍ مُسْتَعَاُرٌ لِشَيْءٍ غَيْرَ مَا وَضَعَ لَهُ لِمُنَاسَبَةٍ بَيْنَهُمَا او
لعلاقة مخصوصة
“Yaitu setiap lafal yang dipinjamkan
pada sesuatu selain apa yang ditujukan untuknya
agar ada kecocokan antara keduanya, atau mengaitkan sesuatu yang khusus”[3].
b) Al-Sarkhisi
اِسْمُ لِكُلِّ لَفْظُ هُوَمُسْتَعَارٌ لِشَيْءٍ غَيْرِ
مَاوُضعَ لَهُ
“Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi
maksud diluar apa yang ditentukan”.
c) Ibnu Qudamah
هُوَ
الَّفْظُ الْمُسْتَعْمَلُ فِى غَيْرِمَوْضُوْعِهِ عَلَى وَجْهٍ يَصِحُّ
“Lafaz yang
digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”.
d) Ibnu Subki
هُوَالَّفْظُ
الْمُسْتَعْمَلُ بِوَضْعٍ ثَانٍ لِعَلَا قَتٍ
“Lafaz yang digunakan
untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
Dari
pengertian diatas Amir Syarifuddin
merumuskan pengertian majas sebagai berikut :
a) Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti
sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa.
b) Lafaz dengan bukan menurut arti yang
sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang
dimaksud.
c) Antara sasaran dari arti lafaz yang
digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafal itu memang ada kaitannya[4].
Dari defenisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa
majas merupakan suatu lafal yang dipakai bukan menurut arti yang sebenarnya
melainkan menggunakan makna yang tersirat dari lafal itu sehingga mewakili
sifat yang terdapat dari lafal untuk mewakili makna yang ingin dituju yang
memiliki keterkaita
Contoh majas dalam al-Qur’an yaitu firman Allah SWT dalam
surah Yusuf ayat 82 berikut :
È@t«óur sptös)ø9$# ÓÉL©9$# $¨Zà2 $pkÏù uÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkÏù ( $¯RÎ)ur cqè%Ï»|Ás9 ÇÑËÈ
Artinya
:
“Dan tanyalah (penduduk) negeri
yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan
Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar".
Susunan
kalimat tersebut hanya terdiri atas dua kata, yaitu “tanyalah” dan “negeri”
(tempat). Secara logika , tidak mungkin seseorang bertanya pada suatu tempat.
Oleh karena itu, lafal “negeri” di sini dianggap sebagai majas dari warganya.
Oleh karena itulah, ulama tafsir dan ushul fiqh menyatakan bahwa makna
sebenarnya adalah “Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri[5]”.
Misalnya, penggunaan lafal “singa” untuk menunjuk
seseorang yang pemberani, penggunaan “sungai” untuk menunjukkan air yang ada di
dalamnya, dan penggunaan lafal “kampong” atau “desa” untuk menunjuk para warganya. Dari
contoh-contoh tersebut terlihat hubungan makna hakikat dan makna majas.
Misalnya,jika dikatakan “Singa berpidato di atas podium. Maka lafal “Singa” di
sini bermakna menunjukkan sifat pemberani yang dimiliki oleh orang yang berpidato. Ini adalah makna
majas. Sedangkan untuk makna hakikat lafal “singa” dalam kalimat tersebut
menunjukkan singa dalam arti yang sebenarnya yaitu seekor singa yang tengah
berpidato di atas podium. .
Jumhur
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
baik dalam bahasa Arab maupun dalam al-Qur’an terdapat lafal-lafal hakikat dan
majas. Namun Imam Abu Hamid al-Asfaraini
(344-405 H), tokoh ushul fiqh mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa dalam bahasa
Arab tidak ada majas. Abu Bakar Muhammad bin Dawud (225-297 H), tokoh fiqh
mazhab az-Zahiri, juga berpendapat bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada makna
majas. Akan tetapi , kedua ulama ushul fiqh ini tidak mengemukakan alasan yang
kuat untuk mendukung pendapatnya[6].
b.
Pembagian Majas
Majas
secara garis besar dibedakan kepada dua bentuk , yaitu :
a)
Majas Isti’arah
Yaitu suatu lafal majas yang memiliki hubungan saling
menyerupai antara kedua makna yang digunakan dengan makna aslinya.
Adapun majas ini dibedakan pula kepada
beberapa macam yaitu :
Isti’arah
Tashrihiyyah (majas yang di
dalamnya dijelaskan perkara yang diserupainya),contoh : engkau pemberani
bagaikan singa. Isti’arah Makniyyah (majas yang dibuang perkara yang
diserupainya kemudian ditandai dengan salah satu dari lazimnya), contoh : apabila
kematian telah menancapkan kuku-kukunya bagaikan binatang buas, maka aku
menemukan setiap jimat menjadi tidak bermanfaat. Isti’arah Takhyiliyyah
(majas yang menetapkan lazim musyabbah bihi pada musyabbah),
contoh : sesungguhnya kematian apabila telah terjadi dan menjalar pada
sendi-sendi korban, maka ketika itu tidak ada perkara yang bisa menghalanginya,
bagaikan tertancapnya kuku-kuku binatang buas pada korban, dan pengobatan
apapun tidak akan berguna.
Isti’arah
Tamtsiliyyah[7]. (majas yang lafaznya tersusun yang digunakan
pada perkara yang serupa dengan makna yang aslinya), contoh : aku melihatmu
memajukan salah satu kaki dan memundurkan salah satu yang lain
b) Majas Mursal
Yaitu lafal yang hubungan antara makna yang dipakai
dengan makna asal tidak saling menyerupai.
Majas Mursal melihat kepada hubungannya dibagi
lagi kepada beberapa macam, diantaranya adalah :
1)
Hubungan Juz’iyyah, yaitu menyebutkan suatu lafal dengan nama
bagiannya, seperti QS. Al-Muzzamil ayat 2, Bangunlah (untuk shalat) di malam
hari kaecuali sedikit (dari padanya). Maksudnya disebutkan kata bangun
(berdiri) di sini adalah penunjukan untuk shalat, karena berdiri merupakan
bagian dari pada shalat.
2)
Hubungan Kulliyah, yaitu disebutkan keseluruhan namun yang
dimaksudkan adalah sebagian, seperti QS al-Baqarah ayat 19, Mereka menyumbat
telinganya dengan anak jarinya. Jari tangan yang dimaksudkan merupakan
perwakilan dari salah satu ujung jari yang dimasukkan ke telinga, karena tidak
mungkin seluruh jari tangan dimasukkan ke dalam telingan.
3)
Hubungan Sababiyyah[8],
yaitu menyebutkan suatu perkara dengan nama sabab nya. Seperti QS.
Al-Baqarah ayat 194, Barangsiapa menyerang kamu maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu. Jadi terlihat alasan kenapa harus balas
menyerang dalam konteks ayat ini.
c.
Hubungan Antara Hakikat dan Majaz
Untuk mengetahui penggunaan
suatu lafal untuk makna majas, ulama
ushul fiqh menyatakan bahwa harus ada hubungan yang terkait antara makna
hakikat dan makna majasnya. Hubungan kedua makna
tersebut dapat diketahui melalui hal-hal berikut :
a) Terdapat sifat tertentu yang
menghubungkan makna hakikat dari lafal itu dengan makna majas yang digunakan.
Misalnya,
ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah pertama kali, penduduk Madinah
menyambut dengan ungkapan “ta’ala al-badr
‘alaina” (telah muncul bulan purnama di sekitar kita). Rasulullah SAW dan
bulan purnama memiliki kesamaan sifat,yaitu sama-sama berfungsi sebagai alat
penerang. Rasulullah adalah pembawa rislah yang membawa manusia dari keadaaan
kegelapan kepada keadaaan yang cerah dan cemerlang, sebagaimana bulan purnama
yang menerangi kegelapan malam.
b) Penyebutan sesuatu sesuai dengan sifat
yang sebelumnya.
Misalnya, firman
Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 2 berikut :
(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& (#ZÎ6x. ÇËÈ
Artinya
: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) hartamereka
Penyebutan yatim dalam ayat ini hanya
didasarkan atas keadaan atau status mereka sebelum dewasa. Oleh sebab itu Allah
SWT menyatakan bahwa setelah anak yatim
itu dewasa kepada mereka harus diserahkan harta miliknya. Jika ayat itu
diartikan sesuai dengan makna hakikatnya, maka hal ini bertentangan dengan
ketentuan syarak bahwa harta anak yatim harus dipelihara oleh walinya. Oleh
sebab itu , penyebutan “yatim” dalam ayat tersebut hanya melihat status mereka
sebelum mencapai usia balig.
c) Menyebutkan sesuatu yang di dalamnya ada
yang berpengaruh kepada sesuatu.
Misalnya,
ungkapan “racun mematikan”. Maksudnya adalah dalam racun itu ada daya yang
dapat mematikan. Ulama ushul fiqh tidak mengemukakan contoh ayat atau hadis.
d) Penyebutan tempat, tetapi yang dimaksud
adalah keadaan.
Seperti firman
Allah SWT dalam QS.Yusuf ayat 82. Yaitu penggunaan kata negeri untuk perwakilan
kata penduduk.
e) Penyebutan bagian tertentu dari sesuatu
, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya[9].
Misalnya, firman
Allah dalam surah al-Lahab ayat 1 :
ôM¬7s? !#yt Î1r& 5=ygs9 ¡=s?ur ÇÊÈ
Artinya: “Binasalah
kedua tangan Abu Lahab…”
Sekalipun
yang disebutkan adalah kedua tangan Abu Lahab, tetapi yang dituju sebenarnya
adalah diri dan jiwa Abu Lahab seluruhnya.
f)
Penyebutan sesuatu, tetapi yang
dimaksud adalah sebagiannya.
Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Baqarag
ayat 19:
tbqè=yèøgs ÷LàiyèÎ6»|¹r&
Artinya
: “Mereka menyumbat telinganya
dengan anak jarinya”.
penggunaan
lafal anak jari berarti seluruh anak jari, padahal untuk menyumbat telinga
cukup dengan satu anak jari saja.
g) Penyebutan sebab, tetapi yang dimaksud
adalah akibat.
Misalnya, seseorang
mengatakan “Fulan meminum darah saudaranya”. Yang dimaksudkan adalah Fulan
menghabiskan uang diat atas pembunuhan yang dilakukan kepada saudaranya. Yang
disebutkan disini adalah si Fulan mendapatkan uang diat, akibat pembunuhan atas
saudaranya.
Ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa apabila hubungan antara makna hakikat dan majas memiliki unsur
keserupaan dalam makna disebut dengan isti’arah (peminjaman), dan
apabila tidak ada unsur keserupaannya disebut dengan majas mursal.
d.
Memalingkan Hakikat kepada Majas
Untuk
memalingkan makna hakikat kepada makna majas diperlukan indikator yang mendukungnya
, yaitu :
1) Indikator yang bersifal kenyataan
aktual.
Seperti,
seseorang menyatakan, “Saya makan pohon ini”. Ungkapan ini dipahami dengan
makna majas, maksudnya adalah memakan buahnya. Pemahaman ini berdasarkan kepada
makna aktual yang sebenarnya, karena tidak mungkin seseorang memakan batang
pohon.
2) Indikator yang ditunjukkan oleh kondisi
atau situasi yang mengitari objek.
Misalnya,
suami mengatakan kepada istrinya : “Jika kamu keluar rumah, maka talak engkau
jatuh”. Ungkapan ini hanya diberlakukan ketika ungkapan itu dinyatakan suami,
karena maksud suami adalah melarang istrinya keluar rumah pada kondisi dan
situasi ketika itu.
3) Indikator yang didasarkan atas ketentuan syarak.
Misalnya,
firman Allah SWT yang menyatakan “Wahai orang-orang
yang beriman..”. Pernyataan ini harus dipahami bahwa yang diseur adalah
laki-laki dan wanita yang beriman, sekalipun lafalnya adalah untuk laki-laki
saja[10].
Adapun tentang kehujjahan lafal
majas ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila suatu lafal,
berdasarkan indikasi yang ada mengacu kepada makna majasnya, maka makna yang
digunakan dalam lafal tersebut adalah makna majasnya.
Contoh : Dalam surah an-Nisa’
ayat 43 Allah berfirman:
÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ...
Artinya : “…atau datang dari
tempat buang air …”
Yang dimaksud kalimat ini bukan
sekedar tempat buang air saja, melainkan setelah buang hajat (buang air kecil
atau besar). Oleh sebab itu, setelah membuang hajat, seseorang harus berwudu,
jika hendak melaksanakan shalat atau bertayamum manakala tidak ada air.
Lebih lanjut ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa penggunaan makna majas hanya dilakukan apabila tidak mungkin
menggunakan makna hakikatnya atau ada dalil (indikasi) yang menunjukkan bahwa
lafal itu harus digunakan dalam makna majasnya. Jika masih dimungkinkan untuk
menggunakannya dalam makna hakikat atau tidak ada indikasi yang memalingkkkan
makna lafal itu ke makna majas, maka makna yang digunakan adalah makna
hakikatnya.
e.
Ketentuan
Yang Berkenaan
Dengan Hakikat Dan Majas
a) Bila suatu lafal digunakan antara
hakikat atau majas, maka lafal itu ditetapkan sebagai hakikat, karena menurut
asalnya penggunaan suatu lafal atau kata adalah bentuk hakikatnya.[11]
Lafal itupun bukan mujmal kecuali bila ada dalil yang
menunjukkan bahwa makna yang dimaksudkan adalah majas. Dengan menjadikan setiap
lafal yang memungkinkan untuk dijadikan majas sebagai mujmal, maka akan
tercapai yang dimaksud, yaitu pemahaman.
b) Pada hakikat harus ada sasaran atau maudhu dari lafal yang digunakan, baik
dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula
pada majas, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafal yang lainnya,
baik dalam bentuk umum maupun khusus. Dan antara dua bentuk lafal itu tidak
terdapat pertentangan, karena majas itu adalah pengganti hakikat. Dalam hal ini
berlaku kaidah “Asal penggunaan lafal
adalah hakikat dan tidak beralih kepada majas kecuali ada hajat atau darurat”.
c) Hakikat dan majas itu tidak mungkin
berkumpul pada satu lafal dalam keadaan yang sama. Artinya, masing-masing harus
mengikuti tujuan sendiri-sendiri , karena hakikat adalah asalnya sedangkan
majas hanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu
lafal.
Bila
yang dimaksud suatu lafal adalah hakikat,maka majas tidak diperlukan.
Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafal adalah majas, maka hakikatnya tidak
diperlukan lagi.
lihat juga :Sharih dan Kinayah Dalam ushul fiqh
[2] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh,
(Jakarta : Amzah, 2009), cet-2, hlm. 266
[4]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…,
hlm.29
[5]
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum
Islam,…,hlm.501-502
[6]
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum
Islam,…,hlm.501
[7] ‘Atho’ bin Kholil, Tasiril Wushul Ilal Ushul, (Terjemahan
ashakimppa.blogspot.com), hlm. 206-207
loading...
No comments:
Write komentar