Amar dan Nahi
1.Pengertian Amr
Amr secara bahasa terambil dari masdar أمر- یأمر- أمرا yang artinya perintah
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Ibn Subki amr adalah
tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah)
atau yang sejenisnya, tapi ada yang mengatakan menyuruh melakukan tanpa paksaan.
Tetapi definisi yang sering dipakai oleh para ulama adalah طلب الفعل علي وجھ الإستعلاء
yaitu permintaan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya
lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah.
Adapun syarat dengan lafadz " علي وجھ الإستعلاء " (dari sisi orang yang
kedudukannya lebih tinggi) persyaratan ini diperselisihkan, karena apakah memang
harus yang memerintah itu lebih tinggi dari yang disuruh? Padahal ada sebagian ulama yang mengkategorikan menjadi amr dua yaitu untuk doa (permohonan) dan iltimas
(ajakan), yang pertama bisa dibilang perintah dari orang yang kedudukanya lebih rendah
kepada yang lebih atas, sedangkan yang kedua dari oang sejajar, jadi tidak ada tuntutan
bahwa yang memerintah harus lebih tinggi kedudukanya.
2. Shighat Amr
Dalam Al Qur’an banyak dijumpai sighat amr yang berbeda-beda, hal inilah
yang menjadi perbincangan para ulama. Ulama sepekat bahwa fi’il amr-lah yang bisa
dijadikan sebagai sighat amr dan dijadikan acuan hokum sebagai sesuatu yang wajib
tanpa memerlukan petunjuk. Tetapi ada bentuk lain dari selain fi’il amr yang bisa
dipahami sebagai sighat amr yaitu fi’il mudhari’ yang disertai lam ‘am فمن شھدمنكم
الشھر فلیصمھ dan ada juga sighat amr itu dijumpai dalam bentu jumlah khabariyah yang
dimaksud didalamnya bukan hanya sekedar memberi khabar tetapi adalah perintah
untuk melakukan والوالدات یرضعن اولادھن حولین كاملین لمن اراد أن یتم الرضا عھ maksud ayat ini
bukan hanya sekedar ikhtibar (memberi khabar) tentang penyusuan atas anak adalah
satu tahun dan yang kalau ingin sempurna maka dianjurkn dua tahun, tetapi maksudnya
adalah perintah untuk menyusui selama dua tahun.
3. Macam-macam Penggunaan Amr
Penggunaan kata amr bisa dikategorikan menjadi dua yaitu secara hakiki yang
mengandung makna perintah dan majazi yaitu mengandung makna lain selain perintah
dan keluar dari makna asalnya الأصل فى الأمر للوجوب yaitu asal dari amr adalah untuk
mewajibkan seperti أقیمو االصلاة dalam ayat ini ada kewajiban untuk mendirikan shalat.
Adapun makna amr (perintah) yang hakiki itupun ada yang mengartikan musytarak
karena didalamnya terkandung makna wajib, sunnah, atau bahkan mubah. Terlepas
dari pendapat itu bahwa ketika ada amr maka itu bisa menunjukkan beberapa
kemungkinan makna karena adanya petunjuk-petunjuk atau penjelasan, diantaranya
adalah:
1. Untuk hokum Nadb atau sunnah, artinya amr yang ada bukan untuk wajib.
Umpanya firman Allah surat al-nur (24); فكا تبوھم إن علمتم فیھم خیرا 33 Lafadz katabah
كتابھ yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat
tersebut menimbulkan hokum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu
maka tidak ada ancaman
2. Untuk suruhan bersifat mendidik (irsyad), seperti dalam surat al-Baqarah (2): 282,
tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung hutang piutang واستشھدوا شھیدین Ayat ini mendidik umat untuk mendatangkan dua saksi pada
saat berlangsung transaksi hutang piutang untuk kemaslahatan mereka.
3. Untuk hokum ibahah atau boleh, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):
كلوا واشربوا من رزق لله . 60 Suruhan dalam ayat ini tidak mengandung tuntutan apaapa
terhadapa orang yang menerima amr tetapi meliankan hanya suatu kebolehan.
4. Untuk tahdid atau guna untuk menakut-nakuti, contoh dalam surat Ibrahim (14):
تمتعوا فإن لله مصیركم الى لله . 30 Meskipun dalam ayat ini digunakan kata amr, namun
tidak mengandung tuntutan apa-apa, bedanya dengan ibahah diatas, adalah dalam
bentuk tahdid itu disebutkan janji yang tidak enak
5. Untuk imtinan atau merangsang keinginan untuk melakukan, seperti dalam surat al-
An’am (6): كلوا مما رزقكم لله . 142 Meskipun imtinan ini sama dengan ibahah dari segi
tidak ada hukuman, namun diantara keduanya ada perbedaan , pada ibahah hanya
semata izin untuk berbuat sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa kebutuhan
kita kepadanya dan ketidakmampuan kita untuk mengajaknya.
6. Untuk Ikram atau memuliakan yang disuruh, seperti terdapat dalam surat al-Hijr
(15): ادخلوا بسلام امنین 46
7. Untuk taskhir yaitu menghinakan,contoh yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2):
كنوا قردة خاسئین , 65 dalam ayat ini tidak terkandung perintah, karena tidak mungkin
Allah menyuruh menjadi kera.
8. Untuk ta’jiz yaitu melemahkan yang berarti menyatakan ketidakmampuan
seseorang. Umpanya dalam surat al-Baqarah (2): وإن كنتم فى ریب مما نزلنا على عبدنا . 23
فأتوا بسورة من مثلھ Sebenarnya Allah mengetahui bahwa orang yang disuruh dalam
ayat ini tidak akan mungkin mampu membuat satu ayatpun yang semisal dengan
ayat al-Quran, tetapi Allah menyuruhnya juga untuk berbuat demikian. Suruhan ini
bukan dalam arti yang sebenarnya tetapi hanya sekedar menyatakan
ketidakmampuan manusia.
9. Untuk Ihanah artinya mengejek dalam sikap merendahkan, seperti dalam surat al-
Dukhan (4): ذق إنك انت العزیز الكریم 49 dalam ayat ini Allah berkata pada aorang kafir
bukan bermaksud untuk menyuruh melainkan mengejek.
10. Untuk Taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau tidak
berbuat,umpanya dalam surat al-Thur (52): فا صبروا اولا تصبروا سواء علیكم 16
11. Untuk doa, seperti dalam surat Ibrahim (14): اللھم اغفو لي ولوالدي 41
12. Untuk tamanni yang berati mengangankan suatu yang tidak akan terjadi seperti kata
penyair ألا أیھا اللیل الطویل ألا أنجلي بصبح وما الإصبا ح منك بامثل suruhan ini tidak akan
terwujud juga karena malam tidak dapat dijadikan sasaran perintah
13. Untuk ihtiqar artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh, seperti dlam surat
al-Syua’ra (26): القوا ما انتم ملقون 43 dalam ayat ini Musa menganggap enteng para ahli
sihir itu, bukan menyuruh
14. Untuk takwin dalam arti penciptaan, seperti yang terdapat dalam surat yasin (36):82
إذا ارد شیئا ان یقول لھ كن فیكون
15. Untuk takhyir artinya memberi pilihan seperti hadis Nabi إذا لم تستح فا صنع ما شئت
4. Kaidah-Kaidah Amr
Dalam uraian tentang kaidah ini ada sebagian pembahasan yang telah disebut
didepan tetapi tidak menyeluruh, yaitu bahwa asal dari amr adalah untuk wajib.
Pembahasan mengenai kaidah amr ini penulis banyak mengambil dari Qawaid at-Tafsir jam’an wa dirasatan karena pembahasanya yang sudah menyangkut keseluruhan,
walaupun ada penguatan dari buku-buku yang lain, adapun kaidah-kaidah itu adalah:
Pertama, Amr menunjukkan wajib kecuali ada hal atau petunjuk yang
membatalkanya.Menurut pendapat jumhur apabila amr tidak disertai dengan petunjuk atau
penjelasan yang memeberinya makna kekhususan maka itu berfaidah wajib. Contoh asal
amr adalah wajib surat an-Nur: و أقیموا الصلاةوأتوا الزكاة . 56 Adapaun contoh amr yang
tidak menunjukkan wajib karena ada petunjuk yang memberikan makna khusus surat
an-Nur: فكا تبوھم إن علمتم فیھم خیرا 33 menujukkan nadb.
Kedua, Adanya amr atas sesuatu mengharuskan larangan atas kebalikanya.
Hal ini karena tidak mungkin menjalankan perintah dengan sempurna kecuali
dengan meninggalkan lawannya. Ulama sepakat perintah untuk melakukan sesuatu
memang menyatakan larangan untuk melakukan yang sebaliknya, seperti ketika Allah
memrintahkan untuk meng-Esakan-Nya, shalat, zakat, puasa, haji dan yang lain , maka
Allah secara otomatis melarang adanya syirik, meninggalkan shalat, tidak zakat dan
lain-lain. Tetapi perlu dipertimbangkan apakah perbuatan sebaliknya yang dilarang itu
terdiri dari satu perbuatan atau bermacam-macam perbuatan, seperti ketika orang
diperintah bergerak, maka dia itu dilarang untuk diam atau diperintah untuk berdiri? Hal
ini dipersoalkan bagi mereka (kelompok muktazilah seperti juwayni dan Ibnu Hajib)
yang tidak sependapat dengan adanya kaidah bahwa perintah tidak menyatakan larangan
atas kebalikannya.
Ketiga, Amr mengharuskan dikerjakan segera kecuali ada petunjuk.
Setiap lafadz amr yang datang dari syari’ maka diharuskan menyegerakan
pelaksanaannya. Dalam hal ini sekelompok ulama membaginya menjadi dua yaitu
perintah yang dikaitkan dengan waktu, maka boleh kapan saja asal dilaksanakan dan
yang kedua perintah yang tidak terkait dengan waktu, yaitu waktunya ditentukan oleh
Allah. Contoh yang dibatasi waktu menunaikan seperti shalat fardhu, maka
pelaksanaanya bisa diundur sampai batas waktu akhir yang ditentukan tetapi hilang
kewajiban itu setelah waktunya habis. Adapun contoh yang tidak menetapkan waktu
adalah seperti perintah untuk melaksanakan denda (kaffarat) maka pelaksaanya bisa
diundur tanpa batas waktu, tetapi dianjurkan untuk dilaksanakan segera.
Keempat, Tuntutan amr yang dihubungkan dengan syarat atau sifat yang
mengandung arti secara berulang.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal ini hanya dapat ditentukan menurut
kerangka indikasi-indikasi yang memang menentukan bahwa diulang-ulangnya
pelaksanaan perintah itu adalah wajib. Namun demikian, apabila tidak terdapat indikasi
seperti itu maka syarat minimal perintah itu dipenuhinya sekali. Adapun indikasi yang
menuntut pengulangan adalah suatu perintah dimunculkan dengan menggunakan ungkapan kondisional (adat syarat). Contoh bahwa adanya amr harus dilaksanakan
dengan berulang-ulang adalah ayat 6 surat al-Maidah. وإن كنتم جنبا فالطھروا Ayat ini
menjelaskan bahwa setiap kali orang melakukan jimak maka setiap kali itu pula orang
itu harus mandi janabah. Demikian juga apabila amr dikaitkan dengan suatu sebab atau
sifat, misalnya dalam surat bani Israil : أقم الصلاة لدلوك الشمس الي غسق اللیل ....... 18 Ayat ini
menuntut dilaksankanya perintah berulang-ulang apabila sebab untuknya ada, yaitu
apabila waktu salat yang ditentukan tiba
Kelima, Amr yang datang setelah adanya larangan hukumnya seperti semula.
Dalam beberapa ayat Al Qur’an terdapat lafal amr yang terletak sesudah adanya
larangan (amr ba’da nahy) yang berarti disuruh melakukan perbuatan yang sebelumnya
dilarang melakukannya, tapi kemudian hal ini sering menimbulkan perbedaan apakah
berarti wajib atau mubah?
Didalam ulum Al Qur’an dijelaskan bahwa perintah setelah larangan hukumnya
seperti sebelum adanya larangan, jika itu mubah maka menjadi mubah, jika wajib maka
jadi wajib dan seterusnya. Tetapi menurut mazhab Hanbali, imam Malik dan Syafi’I,
perintah setelah larangan mengandung maksud pembolehan bukan wajib dan inilah
yang disepakati oleh para ulama. Seperti contoh kebolehan untuk berburu setelah
diharamkan selama haji, surat al-Maidah: غیر محل الصید و أنتم حرم 1 suruhan berburu itu
datang setelah dilarang dalam surat al-maidah ayat وإذا حللتم فاصطدوا . 2 Seperti juga
kebolehan untuk berdagang setelah diharamkan pada waktu shalat jumat Surat al-
Jumuah ayat فا سعو الي ذكر لله وذرا البیع 10
Keenam, Amr yang terdapat pada pertanyaan (yang boleh) maka hukumnya
boleh.
Pembahasan ini pada bahasan ushul fiqh di bahasakan الأمر بعد الإستعذا ن yaitu
perintah setelah mintak izin dan pada dasarnya sama seperti kaidah perintah setelah
larangan, yaitu tidak menghendaki hokum wajib, karena mintak izin dan larangan
keduanya adalah merupakan qarinah untuk berpaling dari printah wajib kepada makna
yang lain18 seperti dalam surat al-Maidah: یسألونك ماذا أحل لھم قل أحل لكم الطیبا ت وما علمتم من 4
الجوارح مكلبین تعلمونھن مما علمكم لله فكلوا مما أمسكن علیكم Amr disini adalah hasil permintaan
izin dan konsekwensi hukumnya adalah mubah
Ketuju,Perintah itu tergantung pada nama apakah hal itu adalah menuntut pada
peringkasan.
Makna dari kaidah ini adalah sesungguhnya jika hokum disandarkan pada pada
kully, maka keseluruhan dan bagian-bagian itu sepadan (sama), baik dalam tinggi
rendahnya ataupun banyak sedikitnya. Seperti contoh surat an-Nisa’: ( فتحریر رقبھ ). 92
Ayat ini memakai bentuk peringkasan tidak dijelaskan siapa-siapa yang kena taklif
maka terkandung didalamnya hokum umum, yaitu dihukumnya baik perempuan
maupun orang yang masih kecil, hal itu bisa berubah kalau ada pengecualian.
Kedelapan, Amr dengan bentuk yang berbeda, maka boleh memilih
Pada dasarnya lafadz amr menuntut suatu perbuatan tertentu untuk
dilaksanakan,, namun ada pula lafdz amr yang menuntut untuk melakukan salah satu
diantara beberapa alternatif perbuatan yang disebutkan dalam nash yang dimaksud, amr seperti itu disebut mukhayyar (dalam bentuk pilihan)19 seperti yang terdapat dalam
surat al-Maidah ayat فكفا رتھ إطعا م عشرة مسا كین من أوسط ما تطعمون اھلیكم او كسوتھم او تحریر 89
رقبھ Amr dalam ayat ini menuntut melaksnakan satu diantara tiga pilihan yaitu memberi
makna sepuluh orang fakir miskin, memberi pakaian terhadap sepuluh orang miskin
atau memerdekakan hamba sahaya, tetapi kemudian persoalanya apakah yang dimaksud
adalah melaksanakan semua yang disebutkan atau hanya salah satu darinya?.
Menurut ulama ushul fiqh mengatakan bahwa kewajiban dalam amr itu berlaku
terhadap semua pilihan, tetapi menurut ulama yang lain mengatakan bahwa bila salah
satu diantara pilihan itu diilaksanakan, maka tuntutan amr telah terpenuhi dan
memadahi, yang terakhir ini yang disepakati
Kesembilan, Adanya Amr untuk umum maka mengharuskan dilakukan setiap
individu kecuali ada qarinah.
Amr yang ditujukan pada umum adakalanya dengan lafadz umum yang
ditujukan pada setiap individu yang mungkin kena taklif (terbebani hokum) seperti و
أقیموا الصلاة وأتو الزكاة amr di sini menggunakan lafadz umum tetapi setiap orang Islam
wajib menjalankanya, dan ada pula yang amr yang ditujukan pada umum tapi tidak
dengan lafadz umum seperti والتكن منكم امة یدعو ن الي الخیر ویأ مرون با لمعروف
Sepuluh, Amr yang ada dalam Al Qur’an bisa diarahkan kepada orang yang
tidak masuk didalamnya, tetapi yang lain terkenai hokum amr itu, dan ada juga yang
diarahkan kepada orang yang masuk didalamnya dan merupakan amr untuk orang
tersebut juga.
Contoh yang pertama surat an-Nisa’: یا أیھا الذین أوتوا الكتاب أمنوا بما نزلنا ) 47 ) Dalam
ayat ini dimaksudkan fa’ilnya dalah ahli kitab untuk beriman kepada kitab yang telah
diturunkan Allah, tetapi amr yang ada tidak hanya untuk ahli kitab saja, tetapi orang
yang sudah beriman terkena amr itu yaitu agar beriman kepada kitab yang telah
ditunkan Allah.
Adapun contoh yang kedua surat an-Nisa’: یا أیھا الذین أمنوا أمنوا ) 136 ) Amr disini
ditujukan kepada orang mukmin, sehingga semua orang mukmin terkena amr ini karena
hal itu berguna untuk menambahkan keimanan seseorang, memperbaiki dan
menyempurnakan yang masih kurang bukan berarti perintah Allah tidak ada kegunaan
dan manfaat didalamnya.
B. Nahy
1. Pengertian Nahy
Nahy secara bahasa kebalikan dari amr, nahy bentuk masdar dari - نھي- ینھي
نھیا yang artinya mencegah atau melarang ز Sedangkan menurut istilah nahy adalah
ungkapan yang meminta agar suatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang
kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya lebih rendah tetapi dalam
ulum Al Qur’an disebutkan lebih sederhana yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau mencegah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dari pengertian
tersebut dapat diambil benang merah, bahwa nahy harus mengandung criteria:
1. Nahy harus berupa tuntutan
2. Tuntutan tersebut harus berupa meninggalkan
3. Tuntutan untuk meninggalkan harus ditujukan oleh sighat nahy
2. Sighat Nahy
Seperti halnya amr, nahy dalam menyatakan suatu laranganpun memiliki
beberapa sighat, seperti:
1. Bentuk tipikal dari larangan (nahy) dalam bahasa arab adalah dengan menggunakan
fi’il mudhari’ yang didahuluui dengan lam nahy, seperti dengan wazan لا تفعل yang
menunujukkan pelarangan26. Seperti dalam surat al-Isra’: ولا تقربوا الزنا إنھ كن فا حشة 32
وساء سبیلا , tetapi ada yang membahasakanya dalam bentuk nakirah, apabila ada kata
nakirah yang mengandung nahy (larangan) melakukan yang ditunjukkanya, maka
larangan itu menunjukkan pada pengertian yang bersifat umum, contoh dalam surat
al-Nisa’: وعبدوا لله ولا تشركوا بھ شیئا 36 dalam ayat ini ditegaskan, adanya larangan
mempersekutukan Allah dengan cara dan bentuk apapun, karena itu termasuk dosa
besar.
2. Dengan sighat fi’il amr yang menunjukkan larangan, seperti terdapat dalam surat al-
Jumuah: ( وذرا البیع 100
3. Dengan lafadz nahy, contoh surat al-Nahl: وینھي عن القحشاء والمنكر 90
4. Larangan kadang dikemukakan dalam bentuk pernyataan atau jumlah khabariyah,
contoh surat al-Baqarah: حرمت علیكم أمھا تكم وبنا تكم …… 221
3. Makna Nahy
Larangan seperti halnya perintah membawa berbagai variasi makna, meskipun
makna pokok dari nahy adalah menunjukkan suatu yang haram ( ,(الأ صل في النھي التحریم
tetapi kadangkala keluar dari makna asal karena ada petunjuk yang menunjukkan tidak
hanya mneunjukkan keharaman, tetapi juga beberapa makna, seperti:
a. Untuk makruh ( كراھة )atau ketercelaan seperti ayat Al Qur’an yang meminta orangorang
beriman untuk tidak mengharamkan makanan-makanan yang dihalalkan Allah
kepadamu, surat al-Maidah (5): لا تحرموا طیبات ما أحل لله لكم ولا تعتدوا 87
b. Untuk mendidik atau tunutunan ( إرشاد )seperti dalam ayat Al Qur’an yang meminta
orang beriman agar tidak menanyakan masalah-masalah apabila dijelaskan maka
akan menimbulkan kesulitan, surat al-Maidah (5): لا تسألوا عن أشیاء إن تبدلكم تسؤ كم 101
c. Untuk permohonan ( دعاء ) seperti dalam surat Ali Imran (3): ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ 8
ھدیتنا
d. Untuk merendahkan ( تحقیر ), seperti dalam surat al-Hijr (15): لا تمدن عینیك إلي ما 88
متعنا بھ أزواجا منھم
e. Untuk penjelasan akibat ( بیا ن العا قبة ), seperti terdapat dalam surat Ibrahim (14): 42
ولا تحسبن لله غا فلا عما یعمل الطا لمون
f. Untuk keputua-asaan ( الیأس ), seperti terdapat dalam surat al-Tahrim (66): یا أ یھا 7
الذین أمنوا لا تعتذروا الیوم
Oleh karenan nahy dapat membawa berbagai makna, maka para ulama berbeda
pendapat tentang manakah diantara makna-makna itu yang merupakan makna hakiki,
ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa makna hakiki dari nahy adalah karahah
(ketercelaan), menurut pendapat jumhur mengatkan bahwa makna hakiki dari nahy
adalah untuk tahrim, tetapi maknanya bisa berubah kalau ada indikasi-indikasi yang
menunjukkan demikian.
4. Kaidah-Kaidah Nahy
Seperti halnya amr, dalam memahami nahy yang sering dijumpai dalam nash Al
Qur’an dibutuhkan juga adanya kaidah-kaidah atau rambu-rambu didalam
memahaminya, dintara kaidah-kaidah itu adalah:
Pertama, Nahy menuntut adanya Tahrim, Disegerakan dan Terus-menerus
(Selamanya). Dalam kaidah ini terdapat tiga hal: pertama; Pada hakikatnya asal nahy
adalah untuk menunjukkan hokum haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila
ada dalil/qarinah yang menunjukkan. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa ketika Allah
menunjukkan/menampilkan dengan bentuk larangan maka itu pasti ada manfaat bagi
yang kena taklif dan ada kerusakanya atau madharat didalamnya. Kedua; Adanya
larangan itu menunjukkan atas kesegerahan untuk dipatuhi, dengan kata lain apa yang
dilarang wajib dijauhi secepat mungkin. Ketiga, Tuntutan lafadz nahy berlaku untuk
selamanya. Perintah Allah atas apa yang dilarang tidak bisa berubah kecuali ada dalil
yang dapat menghilangkan dan memberikan pembatasan waktu. Contoh dalam kaidah
ini dapat diambil dari surat al-An’am (6): ولا تأ كلوا الربا أضعا فا مضا عفھ ولا تمش في الأ . 151
رض مرحا Dalam ayat ini menunjukkan bahwa haram memakan riba, harus dijauhi
dengan segera dan berlaku selamanya sampai kapanpun (dawam)
Kedua, Nahy atas sesuatu yang tidak dapat dihindari mengandung dilalah atas
nahy yang diharuskan (menjahui) dalam proses awal. Maksud dari kaidah ini adalah
ketika Allah memakai kalimat dalam Al Qur’an yang menunjukkan larangan tidak
tegas, maka hal itu menunjukkan hal yang sangat haram, seperti dalam surat al-Isra: 32.
ولا تقربوا الزني Dalam ayat ini memakai larangan-Nya dengan kata-kata ولا تقربوا (jangan
mendekati), hal ini mengandung pengertian yang sangat penting dan dalam yaitu
larangan atas zina, karena mendekati saja Allah sudah melarangnya apalagi
melakukanya. Contoh lain dalam surat al-An’am : ولا تقربوا الفواحش ما طھر منھا وما بطن 151
Ketiga, Jika Syari’ mencegah atas sesuatu (secara umum), maka berlaku atas
sebagianya, begitu juga dengan amr, jika syari’ memerintahkan atas seuatu maka
berlaku atas keseluruhanya juga. Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika
syari’ memerintahkan untuk melakukan sesuatu maka pasti ada manfaatnya dan dalam
hal kebagusan, oleh karena itu diharuskan untuk melakukan semuanya. Berbeda dengan nahy, ketika syari’ melarang melakukan maka hal itu mengharuskan untuk dihilangkan
karena ada madharatnya atau karena kotor (khabts) dan adanya larangan itu berlaku
umum yaitu semua bagian-bagiannya-pun haram kecuali ada pengecualian, seperti
larangan Allah atas anjing maka semua bagian dari anjing itu haram, seperti juga khamr.
Contoh larangan syari’ seperti dalam surat al-Maidah: حرمت علیكم المیتة و الدم 3
ولحم الخنزیر وما اھل لغیر لله...... Dalam ayat ini dijelaskan hal-hal yang diharamkan secara
mutlak itu berlaku atas semua bagian-bagianya, baik sebagian itu sedikit atau banyak,
diharamkan bangkai maka haram juga kain kafanya, lemaknya, dagingnya dan bagian
yang lain kecuali ada dalil yang mengecualikannya seperti mengulitinya.
Sedangkan contoh amr yang berlaku atas keseluruhanya seperti dalam surat al-
Baqarah: حتي تنكح زوجا غیره 23 Dalam ayat ini diharuskan menyempurnakan akad dan
dukhul bersamaan.
Keempat, Hadirnya Nahy atas insya’ dengan bentuk khabar itu lebih
mendalam dari pada dengan bentuk insya’ itu sendiri.
Maksudnya ketika ada pernyataan yang mengandung insya tapi dengan bentuk
khabar maka syari’ menginginkan agar segera dilakukan, baik itu mengenai perintah
atau larangan. Hal ini seprti kaidah: 1) datangnya nahy dengan bentuk khabar (seperti
nafi tapi yang dimaksudkan nahy) dan yang ke 2) datangnya amr dengan bentuk khabar.
Contoh Nahy yang menggunakan bentuk khabar, al-Baqarah: فلا رفث ولا 197
فسوق ولا جدال في الحج sedangakan amr yang menggunakan bentuk khabar adalah surat al-
Baqarah: والمطلقا ت یتربصن بأ نفسھن ثلا ثة قروء 22
Kelima, Nahy itu menunjukkan kerusakan (fasad )
Setiap larangan atau nahy menghendaki ditinggalkanya perbutan yang dilarang
itu, bila perbuatan itu dilakukanya berati itu melakukan pelanggaran terhadap yang
melarang dan karenanya ia patut mendapat dosa atau celaan. Oleh karena itu Secara
jelas dikatakan bahwa adanya keputusan adanya nahy itu karena adanya fasad baik
dalam hal ibadah, muamalah, aqad ataupun yang lain, dan secara tegas Allah
mengharamkan hal yang sudah dilarang-Nya, karena Allah sendiri tidak menyukai akan
kerusakan, tetapi jika syari’ telah melarang tetapi masih dilakukan maka tidak akan
mendapat ridha dari syari’, seperti meminang pinangan orang lain, hal ini dilarang
kalau dilakukan maka tidak akan mendapat ridha dari Allah.
Akibat dari larangan itu bisa berubah kalau ada qarinah yang membatalkannya,
tetapi pada dasarnya dalam nahy itu ada dua macam yaitu, pertama; nahy yang dengan
jelas dan langsung mengandung kerusakan seperti larangan Allah dalam surat an-Nisa’:
لاتقربوا الصلاة وأنتم سكا ري . 43 ) kedua; larangan Allah yang tidak mengandung kerusakan
secara langsung seperti larangan melaksanakan shalat di daerah ghasaban, atau
memakai emas dan perak bagi laki-laki
Adapun yang dimaksudkan dengan fasid adalah tuntutan terhadap tidak sahny
perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat tentang fasid
atau tidaknya perbauatan yang dilanggar. Tetapi secara tegas jumhur ulama berpendapat
bahwa suatu larangan bila berlaku dalam hal ibadah maka ibadah yang dilakukan batal,
bila larangan itu berupa muamalah dalam arti umum seperti jual beli diwaktu yang
terlarang maka perbuatan itu tidak jadi fasid, tetapi apabila muamalah itu melanggar
yang khusus seperti jual beli binatang yang masih diperut maka perbuatan itu menjadi
fasid