Amar Dan Nahi - Mari Berbagi

Monday, August 9, 2021

Amar Dan Nahi



 Amar dan Nahi

1.Pengertian Amr

Amr secara bahasa terambil dari masdar أمر- یأمر- أمرا yang artinya perintah

Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Ibn Subki amr adalah

tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah)

atau yang sejenisnya, tapi ada yang mengatakan menyuruh melakukan tanpa paksaan.

Tetapi definisi yang sering dipakai oleh para ulama adalah طلب الفعل علي وجھ الإستعلاء

yaitu permintaan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya

lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah.

Adapun syarat dengan lafadz " علي وجھ الإستعلاء " (dari sisi orang yang

kedudukannya lebih tinggi) persyaratan ini diperselisihkan, karena apakah memang

harus yang memerintah itu lebih tinggi dari yang disuruh? Padahal ada sebagian ulama yang mengkategorikan menjadi amr dua yaitu untuk doa (permohonan) dan iltimas

(ajakan), yang pertama bisa dibilang perintah dari orang yang kedudukanya lebih rendah

kepada yang lebih atas, sedangkan yang kedua dari oang sejajar, jadi tidak ada tuntutan

bahwa yang memerintah harus lebih tinggi kedudukanya.

 

2. Shighat Amr

Dalam Al Qur’an banyak dijumpai sighat amr yang berbeda-beda, hal inilah

yang menjadi perbincangan para ulama. Ulama sepekat bahwa fi’il amr-lah yang bisa

dijadikan sebagai sighat amr dan dijadikan acuan hokum sebagai sesuatu yang wajib

tanpa memerlukan petunjuk. Tetapi ada bentuk lain dari selain fi’il amr yang bisa

dipahami sebagai sighat amr yaitu fi’il mudhari’ yang disertai lam ‘am فمن شھدمنكم

الشھر فلیصمھ dan ada juga sighat amr itu dijumpai dalam bentu jumlah khabariyah yang

dimaksud didalamnya bukan hanya sekedar memberi khabar tetapi adalah perintah

untuk melakukan والوالدات یرضعن اولادھن حولین كاملین لمن اراد أن یتم الرضا عھ maksud ayat ini

bukan hanya sekedar ikhtibar (memberi khabar) tentang penyusuan atas anak adalah

satu tahun dan yang kalau ingin sempurna maka dianjurkn dua tahun, tetapi maksudnya

adalah perintah untuk menyusui selama dua tahun.

 

3. Macam-macam Penggunaan Amr

Penggunaan kata amr bisa dikategorikan menjadi dua yaitu secara hakiki yang

mengandung makna perintah dan majazi yaitu mengandung makna lain selain perintah

dan keluar dari makna asalnya الأصل فى الأمر للوجوب yaitu asal dari amr adalah untuk

mewajibkan seperti أقیمو االصلاة dalam ayat ini ada kewajiban untuk mendirikan shalat.

Adapun makna amr (perintah) yang hakiki itupun ada yang mengartikan musytarak

karena didalamnya terkandung makna wajib, sunnah, atau bahkan mubah. Terlepas

dari pendapat itu bahwa ketika ada amr maka itu bisa menunjukkan beberapa

kemungkinan makna karena adanya petunjuk-petunjuk atau penjelasan, diantaranya

adalah:

1. Untuk hokum Nadb atau sunnah, artinya amr yang ada bukan untuk wajib.

Umpanya firman Allah surat al-nur (24); فكا تبوھم إن علمتم فیھم خیرا 33 Lafadz katabah

كتابھ yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat

tersebut menimbulkan hokum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu

maka tidak ada ancaman

2. Untuk suruhan bersifat mendidik (irsyad), seperti dalam surat al-Baqarah (2): 282,

tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung hutang piutang واستشھدوا شھیدین Ayat ini mendidik umat untuk mendatangkan dua saksi pada

saat berlangsung transaksi hutang piutang untuk kemaslahatan mereka.

3. Untuk hokum ibahah atau boleh, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):

كلوا واشربوا من رزق لله . 60 Suruhan dalam ayat ini tidak mengandung tuntutan apaapa

terhadapa orang yang menerima amr tetapi meliankan hanya suatu kebolehan.

4. Untuk tahdid atau guna untuk menakut-nakuti, contoh dalam surat Ibrahim (14):

تمتعوا فإن لله مصیركم الى لله . 30 Meskipun dalam ayat ini digunakan kata amr, namun

tidak mengandung tuntutan apa-apa, bedanya dengan ibahah diatas, adalah dalam

bentuk tahdid itu disebutkan janji yang tidak enak

5. Untuk imtinan atau merangsang keinginan untuk melakukan, seperti dalam surat al-

An’am (6): كلوا مما رزقكم لله . 142 Meskipun imtinan ini sama dengan ibahah dari segi

tidak ada hukuman, namun diantara keduanya ada perbedaan , pada ibahah hanya

semata izin untuk berbuat sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa kebutuhan

kita kepadanya dan ketidakmampuan kita untuk mengajaknya.

6. Untuk Ikram atau memuliakan yang disuruh, seperti terdapat dalam surat al-Hijr

(15): ادخلوا بسلام امنین 46

7. Untuk taskhir yaitu menghinakan,contoh yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2):

كنوا قردة خاسئین , 65 dalam ayat ini tidak terkandung perintah, karena tidak mungkin

Allah menyuruh menjadi kera.

8. Untuk ta’jiz yaitu melemahkan yang berarti menyatakan ketidakmampuan

seseorang. Umpanya dalam surat al-Baqarah (2): وإن كنتم فى ریب مما نزلنا على عبدنا . 23

فأتوا بسورة من مثلھ Sebenarnya Allah mengetahui bahwa orang yang disuruh dalam

ayat ini tidak akan mungkin mampu membuat satu ayatpun yang semisal dengan

ayat al-Quran, tetapi Allah menyuruhnya juga untuk berbuat demikian. Suruhan ini

bukan dalam arti yang sebenarnya tetapi hanya sekedar menyatakan

ketidakmampuan manusia.

9. Untuk Ihanah artinya mengejek dalam sikap merendahkan, seperti dalam surat al-

Dukhan (4): ذق إنك انت العزیز الكریم 49 dalam ayat ini Allah berkata pada aorang kafir

bukan bermaksud untuk menyuruh melainkan mengejek.

10. Untuk Taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau tidak

berbuat,umpanya dalam surat al-Thur (52): فا صبروا اولا تصبروا سواء علیكم 16

11. Untuk doa, seperti dalam surat Ibrahim (14): اللھم اغفو لي ولوالدي 41

12. Untuk tamanni yang berati mengangankan suatu yang tidak akan terjadi seperti kata

penyair ألا أیھا اللیل الطویل ألا أنجلي بصبح وما الإصبا ح منك بامثل suruhan ini tidak akan

terwujud juga karena malam tidak dapat dijadikan sasaran perintah

13. Untuk ihtiqar artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh, seperti dlam surat

al-Syua’ra (26): القوا ما انتم ملقون 43 dalam ayat ini Musa menganggap enteng para ahli

sihir itu, bukan menyuruh

14. Untuk takwin dalam arti penciptaan, seperti yang terdapat dalam surat yasin (36):82

إذا ارد شیئا ان یقول لھ كن فیكون

15. Untuk takhyir artinya memberi pilihan seperti hadis Nabi إذا لم تستح فا صنع ما شئت

 

4. Kaidah-Kaidah Amr

Dalam uraian tentang kaidah ini ada sebagian pembahasan yang telah disebut

didepan tetapi tidak menyeluruh, yaitu bahwa asal dari amr adalah untuk wajib.

Pembahasan mengenai kaidah amr ini penulis banyak mengambil dari Qawaid at-Tafsir jam’an wa dirasatan karena pembahasanya yang sudah menyangkut keseluruhan,

walaupun ada penguatan dari buku-buku yang lain, adapun kaidah-kaidah itu adalah:

Pertama, Amr menunjukkan wajib kecuali ada hal atau petunjuk yang

membatalkanya.Menurut pendapat jumhur apabila amr tidak disertai dengan petunjuk atau

penjelasan yang memeberinya makna kekhususan maka itu berfaidah wajib. Contoh asal

amr adalah wajib surat an-Nur: و أقیموا الصلاةوأتوا الزكاة . 56 Adapaun contoh amr yang

tidak menunjukkan wajib karena ada petunjuk yang memberikan makna khusus surat

an-Nur: فكا تبوھم إن علمتم فیھم خیرا 33 menujukkan nadb.

Kedua, Adanya amr atas sesuatu mengharuskan larangan atas kebalikanya.

Hal ini karena tidak mungkin menjalankan perintah dengan sempurna kecuali

dengan meninggalkan lawannya. Ulama sepakat perintah untuk melakukan sesuatu

memang menyatakan larangan untuk melakukan yang sebaliknya, seperti ketika Allah

memrintahkan untuk meng-Esakan-Nya, shalat, zakat, puasa, haji dan yang lain , maka

Allah secara otomatis melarang adanya syirik, meninggalkan shalat, tidak zakat dan

lain-lain. Tetapi perlu dipertimbangkan apakah perbuatan sebaliknya yang dilarang itu

terdiri dari satu perbuatan atau bermacam-macam perbuatan, seperti ketika orang

diperintah bergerak, maka dia itu dilarang untuk diam atau diperintah untuk berdiri? Hal

ini dipersoalkan bagi mereka (kelompok muktazilah seperti juwayni dan Ibnu Hajib)

yang tidak sependapat dengan adanya kaidah bahwa perintah tidak menyatakan larangan

atas kebalikannya.

Ketiga, Amr mengharuskan dikerjakan segera kecuali ada petunjuk.

Setiap lafadz amr yang datang dari syari’ maka diharuskan menyegerakan

pelaksanaannya. Dalam hal ini sekelompok ulama membaginya menjadi dua yaitu

perintah yang dikaitkan dengan waktu, maka boleh kapan saja asal dilaksanakan dan

yang kedua perintah yang tidak terkait dengan waktu, yaitu waktunya ditentukan oleh

Allah. Contoh yang dibatasi waktu menunaikan seperti shalat fardhu, maka

pelaksanaanya bisa diundur sampai batas waktu akhir yang ditentukan tetapi hilang

kewajiban itu setelah waktunya habis. Adapun contoh yang tidak menetapkan waktu

adalah seperti perintah untuk melaksanakan denda (kaffarat) maka pelaksaanya bisa

diundur tanpa batas waktu, tetapi dianjurkan untuk dilaksanakan segera.

Keempat, Tuntutan amr yang dihubungkan dengan syarat atau sifat yang

mengandung arti secara berulang.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hal ini hanya dapat ditentukan menurut

kerangka indikasi-indikasi yang memang menentukan bahwa diulang-ulangnya

pelaksanaan perintah itu adalah wajib. Namun demikian, apabila tidak terdapat indikasi

seperti itu maka syarat minimal perintah itu dipenuhinya sekali. Adapun indikasi yang

menuntut pengulangan adalah suatu perintah dimunculkan dengan menggunakan ungkapan kondisional (adat syarat). Contoh bahwa adanya amr harus dilaksanakan

dengan berulang-ulang adalah ayat 6 surat al-Maidah. وإن كنتم جنبا فالطھروا Ayat ini

menjelaskan bahwa setiap kali orang melakukan jimak maka setiap kali itu pula orang

itu harus mandi janabah. Demikian juga apabila amr dikaitkan dengan suatu sebab atau

sifat, misalnya dalam surat bani Israil : أقم الصلاة لدلوك الشمس الي غسق اللیل ....... 18 Ayat ini

menuntut dilaksankanya perintah berulang-ulang apabila sebab untuknya ada, yaitu

apabila waktu salat yang ditentukan tiba

Kelima, Amr yang datang setelah adanya larangan hukumnya seperti semula.

Dalam beberapa ayat Al Qur’an terdapat lafal amr yang terletak sesudah adanya

larangan (amr ba’da nahy) yang berarti disuruh melakukan perbuatan yang sebelumnya

dilarang melakukannya, tapi kemudian hal ini sering menimbulkan perbedaan apakah

berarti wajib atau mubah?

Didalam ulum Al Qur’an dijelaskan bahwa perintah setelah larangan hukumnya

seperti sebelum adanya larangan, jika itu mubah maka menjadi mubah, jika wajib maka

jadi wajib dan seterusnya. Tetapi menurut mazhab Hanbali, imam Malik dan Syafi’I,

perintah setelah larangan mengandung maksud pembolehan bukan wajib dan inilah

yang disepakati oleh para ulama. Seperti contoh kebolehan untuk berburu setelah

diharamkan selama haji, surat al-Maidah: غیر محل الصید و أنتم حرم 1 suruhan berburu itu

datang setelah dilarang dalam surat al-maidah ayat وإذا حللتم فاصطدوا . 2 Seperti juga

kebolehan untuk berdagang setelah diharamkan pada waktu shalat jumat Surat al-

Jumuah ayat فا سعو الي ذكر لله وذرا البیع 10

Keenam, Amr yang terdapat pada pertanyaan (yang boleh) maka hukumnya

boleh.

Pembahasan ini pada bahasan ushul fiqh di bahasakan الأمر بعد الإستعذا ن yaitu

perintah setelah mintak izin dan pada dasarnya sama seperti kaidah perintah setelah

larangan, yaitu tidak menghendaki hokum wajib, karena mintak izin dan larangan

keduanya adalah merupakan qarinah untuk berpaling dari printah wajib kepada makna

yang lain18 seperti dalam surat al-Maidah: یسألونك ماذا أحل لھم قل أحل لكم الطیبا ت وما علمتم من 4

الجوارح مكلبین تعلمونھن مما علمكم لله فكلوا مما أمسكن علیكم Amr disini adalah hasil permintaan

izin dan konsekwensi hukumnya adalah mubah

Ketuju,Perintah itu tergantung pada nama apakah hal itu adalah menuntut pada

peringkasan.

Makna dari kaidah ini adalah sesungguhnya jika hokum disandarkan pada pada

kully, maka keseluruhan dan bagian-bagian itu sepadan (sama), baik dalam tinggi

rendahnya ataupun banyak sedikitnya. Seperti contoh surat an-Nisa’: ( فتحریر رقبھ ). 92

Ayat ini memakai bentuk peringkasan tidak dijelaskan siapa-siapa yang kena taklif

maka terkandung didalamnya hokum umum, yaitu dihukumnya baik perempuan

maupun orang yang masih kecil, hal itu bisa berubah kalau ada pengecualian.

Kedelapan, Amr dengan bentuk yang berbeda, maka boleh memilih

Pada dasarnya lafadz amr menuntut suatu perbuatan tertentu untuk

dilaksanakan,, namun ada pula lafdz amr yang menuntut untuk melakukan salah satu

diantara beberapa alternatif perbuatan yang disebutkan dalam nash yang dimaksud, amr seperti itu disebut mukhayyar (dalam bentuk pilihan)19 seperti yang terdapat dalam

surat al-Maidah ayat فكفا رتھ إطعا م عشرة مسا كین من أوسط ما تطعمون اھلیكم او كسوتھم او تحریر 89

رقبھ Amr dalam ayat ini menuntut melaksnakan satu diantara tiga pilihan yaitu memberi

makna sepuluh orang fakir miskin, memberi pakaian terhadap sepuluh orang miskin

atau memerdekakan hamba sahaya, tetapi kemudian persoalanya apakah yang dimaksud

adalah melaksanakan semua yang disebutkan atau hanya salah satu darinya?.

Menurut ulama ushul fiqh mengatakan bahwa kewajiban dalam amr itu berlaku

terhadap semua pilihan, tetapi menurut ulama yang lain mengatakan bahwa bila salah

satu diantara pilihan itu diilaksanakan, maka tuntutan amr telah terpenuhi dan

memadahi, yang terakhir ini yang disepakati

Kesembilan, Adanya Amr untuk umum maka mengharuskan dilakukan setiap

individu kecuali ada qarinah.

Amr yang ditujukan pada umum adakalanya dengan lafadz umum yang

ditujukan pada setiap individu yang mungkin kena taklif (terbebani hokum) seperti و

أقیموا الصلاة وأتو الزكاة amr di sini menggunakan lafadz umum tetapi setiap orang Islam

wajib menjalankanya, dan ada pula yang amr yang ditujukan pada umum tapi tidak

dengan lafadz umum seperti والتكن منكم امة یدعو ن الي الخیر ویأ مرون با لمعروف

Sepuluh, Amr yang ada dalam Al Qur’an bisa diarahkan kepada orang yang

tidak masuk didalamnya, tetapi yang lain terkenai hokum amr itu, dan ada juga yang

diarahkan kepada orang yang masuk didalamnya dan merupakan amr untuk orang

tersebut juga.

Contoh yang pertama surat an-Nisa’: یا أیھا الذین أوتوا الكتاب أمنوا بما نزلنا ) 47 ) Dalam

ayat ini dimaksudkan fa’ilnya dalah ahli kitab untuk beriman kepada kitab yang telah

diturunkan Allah, tetapi amr yang ada tidak hanya untuk ahli kitab saja, tetapi orang

yang sudah beriman terkena amr itu yaitu agar beriman kepada kitab yang telah

ditunkan Allah.

Adapun contoh yang kedua surat an-Nisa’: یا أیھا الذین أمنوا أمنوا ) 136 ) Amr disini

ditujukan kepada orang mukmin, sehingga semua orang mukmin terkena amr ini karena

hal itu berguna untuk menambahkan keimanan seseorang, memperbaiki dan

menyempurnakan yang masih kurang bukan berarti perintah Allah tidak ada kegunaan

dan manfaat didalamnya.

 

 

 

B. Nahy

 

1. Pengertian Nahy

Nahy secara bahasa kebalikan dari amr, nahy bentuk masdar dari - نھي- ینھي

نھیا yang artinya mencegah atau melarang ز  Sedangkan menurut istilah nahy adalah

ungkapan yang meminta agar suatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang

kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya lebih rendah tetapi dalam

ulum Al Qur’an disebutkan lebih sederhana yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau mencegah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dari pengertian

tersebut dapat diambil benang merah, bahwa nahy harus mengandung criteria:

1. Nahy harus berupa tuntutan

2. Tuntutan tersebut harus berupa meninggalkan

3. Tuntutan untuk meninggalkan harus ditujukan oleh sighat nahy

2. Sighat Nahy

Seperti halnya amr, nahy dalam menyatakan suatu laranganpun memiliki

beberapa sighat, seperti:

1. Bentuk tipikal dari larangan (nahy) dalam bahasa arab adalah dengan menggunakan

fi’il mudhari’ yang didahuluui dengan lam nahy, seperti dengan wazan لا تفعل yang

menunujukkan pelarangan26. Seperti dalam surat al-Isra’: ولا تقربوا الزنا إنھ كن فا حشة 32

وساء سبیلا , tetapi ada yang membahasakanya dalam bentuk nakirah, apabila ada kata

nakirah yang mengandung nahy (larangan) melakukan yang ditunjukkanya, maka

larangan itu menunjukkan pada pengertian yang bersifat umum, contoh dalam surat

al-Nisa’: وعبدوا لله ولا تشركوا بھ شیئا 36 dalam ayat ini ditegaskan, adanya larangan

mempersekutukan Allah dengan cara dan bentuk apapun, karena itu termasuk dosa

besar.

2. Dengan sighat fi’il amr yang menunjukkan larangan, seperti terdapat dalam surat al-

Jumuah: ( وذرا البیع 100

3. Dengan lafadz nahy, contoh surat al-Nahl: وینھي عن القحشاء والمنكر 90

4. Larangan kadang dikemukakan dalam bentuk pernyataan atau jumlah khabariyah,

contoh surat al-Baqarah: حرمت علیكم أمھا تكم وبنا تكم …… 221

 

3. Makna Nahy

Larangan seperti halnya perintah membawa berbagai variasi makna, meskipun

makna pokok dari nahy adalah menunjukkan suatu yang haram ( ,(الأ صل في النھي التحریم

tetapi kadangkala keluar dari makna asal karena ada petunjuk yang menunjukkan tidak

hanya mneunjukkan keharaman, tetapi juga beberapa makna, seperti:

a. Untuk makruh ( كراھة )atau ketercelaan seperti ayat Al Qur’an yang meminta orangorang

beriman untuk tidak mengharamkan makanan-makanan yang dihalalkan Allah

kepadamu, surat al-Maidah (5): لا تحرموا طیبات ما أحل لله لكم ولا تعتدوا 87

b. Untuk mendidik atau tunutunan ( إرشاد )seperti dalam ayat Al Qur’an yang meminta

orang beriman agar tidak menanyakan masalah-masalah apabila dijelaskan maka

akan menimbulkan kesulitan, surat al-Maidah (5): لا تسألوا عن أشیاء إن تبدلكم تسؤ كم 101

c. Untuk permohonan ( دعاء ) seperti dalam surat Ali Imran (3): ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ 8

ھدیتنا

d. Untuk merendahkan ( تحقیر ), seperti dalam surat al-Hijr (15): لا تمدن عینیك إلي ما 88

متعنا بھ أزواجا منھم

e. Untuk penjelasan akibat ( بیا ن العا قبة ), seperti terdapat dalam surat Ibrahim (14): 42

ولا تحسبن لله غا فلا عما یعمل الطا لمون

f. Untuk keputua-asaan ( الیأس ), seperti terdapat dalam surat al-Tahrim (66): یا أ یھا 7

الذین أمنوا لا تعتذروا الیوم

Oleh karenan nahy dapat membawa berbagai makna, maka para ulama berbeda

pendapat tentang manakah diantara makna-makna itu yang merupakan makna hakiki,

ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa makna hakiki dari nahy adalah karahah

(ketercelaan), menurut pendapat jumhur mengatkan bahwa makna hakiki dari nahy

adalah untuk tahrim, tetapi maknanya bisa berubah kalau ada indikasi-indikasi yang

menunjukkan demikian.

 

4. Kaidah-Kaidah Nahy

Seperti halnya amr, dalam memahami nahy yang sering dijumpai dalam nash Al

Qur’an dibutuhkan juga adanya kaidah-kaidah atau rambu-rambu didalam

memahaminya, dintara kaidah-kaidah itu adalah:

Pertama, Nahy menuntut adanya Tahrim, Disegerakan dan Terus-menerus

(Selamanya). Dalam kaidah ini terdapat tiga hal: pertama; Pada hakikatnya asal nahy

adalah untuk menunjukkan hokum haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila

ada dalil/qarinah yang menunjukkan. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa ketika Allah

menunjukkan/menampilkan dengan bentuk larangan maka itu pasti ada manfaat bagi

yang kena taklif dan ada kerusakanya atau madharat didalamnya. Kedua; Adanya

larangan itu menunjukkan atas kesegerahan untuk dipatuhi, dengan kata lain apa yang

dilarang wajib dijauhi secepat mungkin. Ketiga, Tuntutan lafadz nahy berlaku untuk

selamanya. Perintah Allah atas apa yang dilarang tidak bisa berubah kecuali ada dalil

yang dapat menghilangkan dan memberikan pembatasan waktu. Contoh dalam kaidah

ini dapat diambil dari surat al-An’am (6): ولا تأ كلوا الربا أضعا فا مضا عفھ ولا تمش في الأ . 151

رض مرحا Dalam ayat ini menunjukkan bahwa haram memakan riba, harus dijauhi

dengan segera dan berlaku selamanya sampai kapanpun (dawam)

Kedua, Nahy atas sesuatu yang tidak dapat dihindari mengandung dilalah atas

nahy yang diharuskan (menjahui) dalam proses awal. Maksud dari kaidah ini adalah

ketika Allah memakai kalimat dalam Al Qur’an yang menunjukkan larangan tidak

tegas, maka hal itu menunjukkan hal yang sangat haram, seperti dalam surat al-Isra: 32.

ولا تقربوا الزني Dalam ayat ini memakai larangan-Nya dengan kata-kata ولا تقربوا (jangan

mendekati), hal ini mengandung pengertian yang sangat penting dan dalam yaitu

larangan atas zina, karena mendekati saja Allah sudah melarangnya apalagi

melakukanya. Contoh lain dalam surat al-An’am : ولا تقربوا الفواحش ما طھر منھا وما بطن 151

Ketiga, Jika Syari’ mencegah atas sesuatu (secara umum), maka berlaku atas

sebagianya, begitu juga dengan amr, jika syari’ memerintahkan atas seuatu maka

berlaku atas keseluruhanya juga. Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika

syari’ memerintahkan untuk melakukan sesuatu maka pasti ada manfaatnya dan dalam

hal kebagusan, oleh karena itu diharuskan untuk melakukan semuanya. Berbeda dengan nahy, ketika syari’ melarang melakukan maka hal itu mengharuskan untuk dihilangkan

karena ada madharatnya atau karena kotor (khabts) dan adanya larangan itu berlaku

umum yaitu semua bagian-bagiannya-pun haram kecuali ada pengecualian, seperti

larangan Allah atas anjing maka semua bagian dari anjing itu haram, seperti juga khamr.

Contoh larangan syari’ seperti dalam surat al-Maidah: حرمت علیكم المیتة و الدم 3

ولحم الخنزیر وما اھل لغیر لله...... Dalam ayat ini dijelaskan hal-hal yang diharamkan secara

mutlak itu berlaku atas semua bagian-bagianya, baik sebagian itu sedikit atau banyak,

diharamkan bangkai maka haram juga kain kafanya, lemaknya, dagingnya dan bagian

yang lain kecuali ada dalil yang mengecualikannya seperti mengulitinya.

Sedangkan contoh amr yang berlaku atas keseluruhanya seperti dalam surat al-

Baqarah: حتي تنكح زوجا غیره 23 Dalam ayat ini diharuskan menyempurnakan akad dan

dukhul bersamaan.

Keempat, Hadirnya Nahy atas insya’ dengan bentuk khabar itu lebih

mendalam dari pada dengan bentuk insya’ itu sendiri.

Maksudnya ketika ada pernyataan yang mengandung insya tapi dengan bentuk

khabar maka syari’ menginginkan agar segera dilakukan, baik itu mengenai perintah

atau larangan. Hal ini seprti kaidah: 1) datangnya nahy dengan bentuk khabar (seperti

nafi tapi yang dimaksudkan nahy) dan yang ke 2) datangnya amr dengan bentuk khabar.

Contoh Nahy yang menggunakan bentuk khabar, al-Baqarah: فلا رفث ولا 197

فسوق ولا جدال في الحج sedangakan amr yang menggunakan bentuk khabar adalah surat al-

Baqarah: والمطلقا ت یتربصن بأ نفسھن ثلا ثة قروء 22

Kelima, Nahy itu menunjukkan kerusakan (fasad )

Setiap larangan atau nahy menghendaki ditinggalkanya perbutan yang dilarang

itu, bila perbuatan itu dilakukanya berati itu melakukan pelanggaran terhadap yang

melarang dan karenanya ia patut mendapat dosa atau celaan. Oleh karena itu Secara

jelas dikatakan bahwa adanya keputusan adanya nahy itu karena adanya fasad baik

dalam hal ibadah, muamalah, aqad ataupun yang lain, dan secara tegas Allah

mengharamkan hal yang sudah dilarang-Nya, karena Allah sendiri tidak menyukai akan

kerusakan, tetapi jika syari’ telah melarang tetapi masih dilakukan maka tidak akan

mendapat ridha dari syari’, seperti meminang pinangan orang lain, hal ini dilarang

kalau dilakukan maka tidak akan mendapat ridha dari Allah.

Akibat dari larangan itu bisa berubah kalau ada qarinah yang membatalkannya,

tetapi pada dasarnya dalam nahy itu ada dua macam yaitu, pertama; nahy yang dengan

jelas dan langsung mengandung kerusakan seperti larangan Allah dalam surat an-Nisa’:

لاتقربوا الصلاة وأنتم سكا ري . 43 ) kedua; larangan Allah yang tidak mengandung kerusakan

secara langsung seperti larangan melaksanakan shalat di daerah ghasaban, atau

memakai emas dan perak bagi laki-laki

Adapun yang dimaksudkan dengan fasid adalah tuntutan terhadap tidak sahny

perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat tentang fasid

atau tidaknya perbauatan yang dilanggar. Tetapi secara tegas jumhur ulama berpendapat

bahwa suatu larangan bila berlaku dalam hal ibadah maka ibadah yang dilakukan batal,

bila larangan itu berupa muamalah dalam arti umum seperti jual beli diwaktu yang

terlarang maka perbuatan itu tidak jadi fasid, tetapi apabila muamalah itu melanggar

yang khusus seperti jual beli binatang yang masih diperut maka perbuatan itu menjadi

fasid

Comments