Monday, August 23, 2021

Pengertian Ushul Fiqh dan Objeknya

 



Pengertian Ushul Fiqh dan Objeknya

 Pembahasan yang ada pada pendahuluan ini adalah perbandingan umum antara ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih ditinjau dari aspek: definisi, objek, tujuan, pertumbuhan dan perkembangannya.

 A.      Definisi

 Sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, meskipun mereka berlainan mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, mu´amalah, pidana, perdata atau berbagai macam perjanjian, atau pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi syariat telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, di mana dengan perantaraan dalil dan tanda tersebut seorang mujtahid mampu mencapai suatu hukum dan menjelaskannya.

Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan perbuatan manusia, baik yang diambil dari nash, maupun yang diistimbathkan dari berbagai dalil syar’i lainnya, maka terbentuklah fiqih.

Jadi, ilmu fiqih menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci , atau dengan kata lain, ilmu fiqih adalah kompilasi hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Berdasarkan penelitian, maka diperoleh ketetapan dikalangan ulama, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hukumhukum syar’iyyah mengenai perbuatan manusia merujuk pada empat sumber, yaitu; Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan asas dalil-dalil ini dan sumber syariat Islam yang pertama adalah Al-Qur’an, kemudian As-Sunnah yang menafsirkan terhadap kemujmalan Al-Qur’an, mengkhususkan keumumannya, dan membatasi kemutlakannya. Adapun AsSunnah merupakan penjelas dan penyempurna terhadap AlQur’an.

Oleh sebab inilah, para ulama membahas masing-masing dalil dan argumen yang dianggap sebagai hujjah bagi manusia dan sumber syariat yang harus diikuti segala ketetapannya, terhadap syarat-syarat beristidlal (mempergunakan dalil), macam-macamnya yang bersifat umum, dan dalalah yang ditunjuk oleh masing-masing dalil berupa hukum syara’ yang bersifat umum.

Mereka juga membahas hukum-hukum syar’iyyah yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dalil tersebut, membahas hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami hukum-hukum nashnya, dan untuk mengistimbathkannya selain nash, baik be rupa kaidah-kaidah kebahasaan maupun kaidah tasyri’iyyah. Mereka juga membahas tentang mujtahid yang mampu mengambil hukum dari dalilnya, menjelaskan tentang ijtihad dan syarat-syaratnya, serta taklid dan hukumnya.

Dari kumpulan kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang berhubungan dengan dalil-dalil Syar’iyyah dari segi dalalahnya terhadap suatu hukum, dan hukum-hukum yang diambil dari dalilnya, serta hal-hal yang berhubungan dengan kedua bahasan tersebut, berupa susulan dan penyempurnaan, maka terbentuklah ilmu ushul fiqih.

Jadi, definisi ushul fiqih menurut istilah syara’ adalah pe. Ngetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan, yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai per. Buatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul fiqih adalah himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.

B.              Objek

Objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf” ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya. Untuk mengetahui hukum syara’ yang dilakukan oleh seorang mukallaf, maka seorang yang ahli di bidang fiqih hendaknya meneliti jual belinya, sewa menyewa, pegadaian, perwakilan, shalat, puasa, haji, pembunuhan, tuduhan zina, pencurian, ikrar, dan wakaf yang dilakukannya.

Adapun objek pembahasan ilmu ushul fiqih adalah dalil syar’i yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Jadi, seorang pakar ilmu ushul membahas tentang qiyas dan hujjahnya, dalil yang bersifat umum (‘amm) dan yang membatasinya, dan tentang perintah (amar) dan dalalahnya, demikian seterusnya. Untuk menjelaskan hal tersebut, saya akan membuat beberapa contoh seperti berikut:

Al-Qur’an adalah dalil syar’i yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nash yang dibuat suatu hukum tidaklah datang dalam satu bentuk saja, akan tetapi di antaranya ada yang berbentuk amar (perintah), nahi (larangan), bentuk umum atau mutlak. Bentuk-bentuk tersebut merupakan beberapa contoh dalil syar’i yang bersifat umum, yaitu; Al-Qur’an. Jadi, untuk mencapai suatu hukum secara keseluruhan, maka seorang yang ahli ilmu ushul harus meneliti setiap hukum-hukum di atas dari segi tata bahasa Arab dan pemakaian hukum syara’.

Kemudian apabila melalui pembahasan itu, ahli ilmu ushul sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk perintah menunjukkan pengertian kewajiban, shighat larangan menunjukkan pengertian pengharaman, shighat umum menunjukkan pengertian tercakupnya semua satuan-satuan dalil secara pasti , dan bentuk mutlak menunjukkan tetapnya hukum secara mutlak, maka ia dapat menetapkan kaidah-kaidah sebagai berikut:

- Perintah menunjukkan pada kewajiban.

-Larangan menunjukkan pada pengharaman

-Sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti.

-sesuatu yang mutlak menun yang mutlak menunjukkan suatu satuan secara merata tanpa adanya batasan.

 

Kaidah-kaidah umum yang telah dicapai oleh ahli ilmu ushul fiqih melalui pembahasan hingga penetapannya, kemudian dapat dijadikan oleh ahli fiqih sebagai kaidah yang dapat diterima dan diterapkan pada bagian-bagian dalil umum. Dari itu, ia dapat menetapkan hukum syara’ secara terperinci, kemudian terbentuklah kaidah: “Perintah menunjukkan suatu kewajiban” sebagaimana firman Allah swt:

 

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah/5: 1)

 

Kemudian ia dapat menetapkan suatu hukum, bahwa memenuhi akad (janji) adalah wajib. Ahli fiqih juga dapat menerapkan kaidah bahwa “Larangan menunjukkan pengharaman”. Sebagaimana firman Allah swt.:

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolokolok kaum yang lain.” (QS. Al-Hujurāt/49: 11)

 

Dari dalil di atas, maka dapat diambil suatu ketetapan bahwa mengolok-olok suatu kaum hukumnya adalah haram.

Ahli fiqih juga dapat menerapkan kaidah:

 

“Sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-satuiannya secara pasti.”

 

Sebagaimana firman Allah swt.:

 

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’/4:23)

 

Selanjutnya ahli fiqih dapat menetapkan suatu hukum bahwa semua ibu haram untuk dinikahi.

 

Dan ahli fiqih juga menerapkan kaidah:

 

“Sesuatu yang mutlak menunjukkan terhadap satuan mana pun.”

Sebagaimana firman Allah swt. Tentang kafarat zhihar:

 

“... maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak ...” (QS. Al-Mujādalah/58:3)

 

Kemudian ahli fiqih dapat menetapkan hukum bahwa kafarat zhihar») cukup dengan memerdekakan seorang budak, baik muslim atau non muslim.

 

Dari uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan antara dalil kulli  (umum) dan dalil juz’i  (detail), begitu pula perbedaan antara hukum kulli  dan hukum juz’i .

 

Jadi, dalil kulli  adalah suatu bentuk umum dari berbagai dalil yang di dalamnya terkandung sejumlah dalil juz’i  (detail), seperti: amar, nahi, ‘amm, mutlak, ijma’ sharih (yang nyata), Ijma’ sukuti (tidak nyata), qiyas yang ‘illatnya tercantum dalam nash, dan qiyas yang ‘illatnya diistimbathkan. Amar merupakan dalil kulli  yang di dalamnya terkandung seluruh bentuk amar. Jadi, amar kulli  adalah semua bentuk dalil yang menunjukkan makna perintah, sedangkan nahi kulli  adalah semua bentuk dalil yang menunjukkan makna larangan, demikian seterusnya. Sedangkan nahi merupakan dalil kulli  yang di dalamnya terkandung seluruh bentuk nahi, demikian seterusnya. Amar merupakan dalil kulli , dan nash yang datang dalam bentuk amar merupakan dalil juz’i . Nahi merupakan dalil kulli , sedangkan nash yang datang dalam bentuk larangan adalah dalil juz’i .

 

Adapun hukum kulli  adalah suatu bentuk hukum yang masih umum yang di dalamnya terkandung sejumlah dalil juz’i  seperti ijab (kewajiban), tahrim (pengharaman), shihhah (sah), dan buthlan (batal). Ijab merupakan hukum kulli  yang di dalamnya terkandung kewajiban memenuhi berbagai perjanjian, kewajiban adanya beberapa saksi dalam pernikahan, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Tahrim (pengharaman) juga merupakan hukum kulli  yang di dalamnya terkandung pengharaman zina, pencurian, dan apa saja yang diharamkan. Begitu pula sah dan batal. Dengan demikian, ijab merupakan hukum kulli , dan kewajiban melakukan perbuatan tertentu merupakan hukum juz’i .

 

Ahli ilmu ushul fiqih tidak membahas mengenai dalil-dalil dan hukum-hukum juz’i yyah, akan tetapi ia hanya membahas dalil dan hukum kulli . Hal tersebut dimaksudkan, supaya ia dapat membuat kaidah-kaidah umum untuk berbagai dalil, agar diterapkan oleh seorang faqih pada dalil-dalil juz’i yyah untuk menghasilkan hukum yang rinci. Begitu juga seorang faqih tidak membahas mengenai dalil maupun hukum kulli , akan tetapi ia hanya membahas mengenai dalil dan hukum juz’i  saja.

 C.              Tujuan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

 Tujuan dari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih merupakan rujukan seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatannya. Hal tersebut merupakan inti dari setiap undang-undang pada umat mana pun, karena sesungguhnya undang-undang itu hanya dimaksudkan agar materi-materi dan hukum-hukumnya diterapkan pada perbuatan dan ucapan manusia, dan memberitahukan kepada setiap mukallaf terhadap hal-hal yang wajib dan haram atas dirinya.

 

Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi, berdasarkan kaidah-kaidah dan bahasan-bahasannya, makanashnash syara’ dapat dipahami, hukum yang menjadi dalalahnya dapat diketahui, dan sesuatu yang dapat menghilangkan ke samaran lafal yang samar dapat diketahui, serta dalil-dalil yang unggul ketika terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya juga dapat diketahui berdasar pada kaidah-kaidah dan bahasan-bahasannya. Dapat pula hukum diistimbathkan dengan qiyas, istihsan, istishhab, atau lainnya pada kasus yang tidak terdapat nash mengenai hukumnya. Juga dengan kaidahkaidah dan bahasan-bahasannya ini pula, apa yang telah diistimbathkan oleh para imam mujtahid dapat dipahami secara sempurna. Di samping dapat juga diadakan perbandingan antara mazhab yang berlainan mengenai hukum suatu kasus . Karena sesungguhnya memahami hukum secara apa adanya dan membandingkan antara dua hukum yang berbeda tidak akan terjadi, kecuali dengan melihat dalil hukumnya dan cara pengambilan hukum dari dalilnya itu. Dan hal ini tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui ilmu ushul fiqih, yang merupakan landasan dari fiqih perbandingan (muqarin).

 

 

 

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...