Sunday, August 22, 2021

Perkembangan Ushul Fiqh

 

 Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih

1. Ilmu Fiqih

Hukum-hukum fiqih tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan himpunan dari akidah, akhlak, dan hukum amaliyah. Hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah saw. Terbentuk dari hukumhukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an, dan berbagai hukum yang dibuat oleh Rasulullah saw. Sebagai fatwa terhadap suatu kasus, atau suatu putusan terhadap persengketaan, atau suatu jawaban dari pertanyaan. Kompilasi hukum-hukum fiqih pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, dan sumbernya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pada masa sahabat, mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya hal-hal baru yang tidak pernah dihadapi kaum muslimin sebelumnya, dan tidak pernah muncul pada masa Rasulullah saw. Maka para mujtahid, berijtihad dengan memberi putusan hukum, fatwa, dan menetapkan hukum syariat, dari sejumlah hukum yang mereka istimbathkan melalui ijtihad mereka, dengan berpedoman pada kompilasi hukum yang pertama. Maka pada periode kedua, kompilasi hukum fiqih terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan putusan mereka. Sedangkan sumber yang mereka gunakan adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad para sahabat.

Pada kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkodifikasikan dan belum ada penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif), akan tetapi penetapan hukum Islam hanya berkenaan dengan peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi saja. Hukum-hukum ini belum menjelma menjadi bentuk ilmiah, akan tetapi hanya sekedar penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa yang faktual. Kompilasi hukum ini belum dinamakan sebagai ilmu fiqih, dan tokoh-tokoh dari kalangan sahabat pada masa itu belum disebut sebagai fuqaha’.

Pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in serta para imam mujtahid, yaitu sekitar dua abad Hijriyah yang kedua dan ketiga, negara Islam meluas dan banyak orang non Arab yang memeluk agama Islam. Kaum muslimin dihadapkan pada berbagai kejadian dan kesulitan baru, bermacam-macam pengkajian, aneka ragam teori, dan gerakan pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa para mujtahid memperluas ijtihad dan membentuk hukum Islam pada banyak kasus serta terbukanya pintu penelitian dan analisis bagi mereka. Hal tersebut semakin memperluas medan pembentukan hukum fiqih, apalagi ditetapkan pula sejumlah hukum untuk kasus-kasus yang fiktif. Kemudian hukum-hukum yang ada, disandarkan pada dua kompilasi hukum yang terdahulu, maka himpunan hukum fiqih pada periode ketiga ini terbentuk dari hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa para sahabat dan putusan hukum mereka, serta fatwa para mujtahid dan istimbath mereka. Sedangkan sumber hukumnya adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijtihad para sahabat serta para imam mujtahid.

Pada masa ini dimulailah kodifikasi hukum-hukum tersebut bersamaan dengan dimulainya kodifikasi As-Sunnah. Hukum-hukum tersebut menjelma menjadi susunan ilmiah, karena ia telah dilengkapi dengan dalil-dalilnya, ‘illatnya, dan prinsip-prinsip umum yang berasal darinya. Tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya disebut fuqaha’, sedangkan ilmunya dinamakan ilmu fiqih.

Di antara hasil kodifikasi hukum yang pertama kali sampai kepada kita adalah kitab Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas. Dalam kitabnya, ia mengumpulkan As-Sunnah yang sahih, fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, atas dasar permintaan dari Khalifah Al-Manshur. Karyanya ini merupakan kitab hadis dan fiqih sekaligus, dan menjadi dasar ilmu fiqih golongan Hijaz. Selanjutnya, Imam Abu Yusuf yaitu pengikut Abu Hanifah mengkodifikasi sejumlah kitab fiqih yang menjadi landasan dari fiqih kelompok Irak. Berikutnya, Imam Muhammad bin Al-Hasan, juga pengikut Abu Hanifah mengkodifikasi beberapa kitab dengan mengikuti riwayat enam, yang dihimpun oleh Al-Hakim Asy-Syahid dalam kitabnya yaitu AlKafi, yang selanjutnya dijabarkan lagi oleh As-Sarkhasi dalam kitabnya: Al-Mabsuth, yang menjadi referensi fiqih mazhab Hanafi. Adapun kitab, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yaitu Al-Umm yang dibuat di Mesir, menjadi landasan fiqih mazhab Syafi’i.

2. Ilmu Ushul Fiqih

Adapun ilmu ushul fiqih tumbuh pada abad kedua Hijriyah, karena pada abad pertama, ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan, hal tersebut dikarenakan Rasulullah saw. Dalam memberikan fatwa dan keputusan hukum, yaitu berdasarkan wahyu yang diturunkan Tuhan kepadanya, yaitu Al-Qur’an, dan sunnah yang diilhamkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk beristimbath dan berijtihad. Sedangkan para sahabatnya memberikan fatwa dan menetapkan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka fahami, berdasarkan kemampuan bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai kaidah kebahasaan yang dapat membimbing mereka memahami nash. Mereka mengistímbathkan terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasar pada kemampuan mereka dalam pensyariatan hukum Islam yang tertanam di dalam jiwa mereka semenjak berinteraksi dengan Rasulullah. Disamping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an dan datangnya hadis- hadis, serta pemahaman mereka terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar pensyariatan hukum.

Akan tetapi, ketika kemenangan Islam semakin bertambah luas, dan bangsa Arab pun sudah bercampur dengan bangsabangsa lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan dalam bahasa Arab telah masuk sejumlah kata dan tata bahasa yang bukan bahasa Arab, maka kemampuan kebahasaan mereka sudah tidak bisa diandalkan. Ditambah lagi banyaknya keserupaan dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat mengganggu mereka dalam memahami nashnash agama. Maka mereka merasa perlu menetapkan berbagai ketentuan dan kaidah kebahasaan yang bisa digunakan untuk memahami nash, yang mana nash tersebut datang dengan bahasa mereka, sebagaimana kebutuhan membuat kaidah nahwu yang bisa dipergunakan untuk mengucapkan bahasa secara benar.

Demikian pula ketika pembentukan hukum Islam sudalsemakin sulit, dan perdebatan antara Ahli Hadis dan Ahli Ra’y semakin seru, serta sebagian orang yang mengedepankan hawa nafsu (Dzawul Ahwa’) sebagai hujjah terhadap sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan mengingkari sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Hal tersebutlah yang mendorong di susunnya berbagai ketentuan dan kajian terhadap dalil-dali syar’i, syarat-syarat beristidlal, dan cara menggunakan dalilnya Dari kompilasi pengkajian penggunaan dalil dan ketentuan-ke tentuan kebahasaan tersebut, maka terbentuklah ilmu ushul fiqih

Akan tetapi, pada mulanya ilmu ushul fiqih sebagai se suatu yang kecil, sebagaimana anak yang baru lahir didapat dalam keadaan kecil pada awal pertumbuhannya, kemudian sedikit demi sedikit meningkat pertumbuhannya, hingga pem jalanannya mencapai usia 200 tahun. Mulailah ilmu tersebu bertambah subur, tersebar dan terpancar di sela-sela hukur fiqih, karena setiap mujtahid dari imam empat dan lainnya.

Selalu menunjukkan dalil hukum dan segi istidlalnya. Setiap mujtahid yang berbeda dengan lainnya, maka ia menggunakan hujjah atas lawannya dengan berbagai hujjah. Seluruh bentuk penggunaan dalil dan hujjah itu mengandung berbagai ke tentuan ushuliyyah.

Orang yang pertama kali mengumpulkan kaidah-kaidah yang terpisah menjadi suatu himpunan yang berdiri sendiri dalam satu kitab secara cermat adalah Imam Abu Yusuf, teman Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu An-Nadim dalam kitab Al-Fihrasat. Akan tetapi, apa yang dia tulis itu, tidak pernah sampai kepada kita.

Adapun orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan kajian-kajian ilmu ini menjadi suatu kumpulan yang berdiri sendiri, sistematis, dan masing-masing kaidah diperkuat dengan dalil dan segi analisisnya adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, yang wafat pada tahun 204 H. Dalam kodifikasi tersebut, beliau menulis kitab Ar-Risalah yang berisi kajian ushul fiqih sebagaimana diriwayatkan oleh ArRabi’ Al-Muradi. Sepanjang yang kita ketahui kitab tersebut merupakan kodifikasi pertama dalam ilmu ushul yang sampai kepada kita. Oleh karena itu, Imam Asy-Syafi’i terkenal sebagai peletak ilmu ushul fiqih di kalangan para ulama. Oleh karena itu, yang terkenal sebagai peletak ilmu ushul fiqih dikalangan ulama adalah Imam Asy-Syafi’i.

Setelah itu, para ulama saling mengikuti menyusun kitab tentang ilmu tersebut, ada yang secara panjang lebar, dan ada pula yang ringkas. Ulama kalam menempuh suatu metode tertentu dalam menyusun karya dibidang ilmu ini. Begitu pula ulama Hanafiah, mereka menempuh metode yang berbeda dalam mengarang di bidang ini.

Adapun keistimewaan metode ulama kalam adalah pembuktian mereka dengan logika teoritis pada kaidah-kaidah ilmu tersebut dan bahasan-bahasannya. Mereka menetapkan kaidah yang didukung oleh argumen, tanpa harus menyesuaikan kaiJah-kaidah dan hukum-hukum yang telah diistimbathkan oleh para imam mujtahid, maupun kaidah-kaidah yang ada kaitannya dengan masalah-masalah furu”. Sesuatu yang didukung oleh akal dan ada argumentasinya, maka itulah sumber pokok Islam, baik itu sesuai dengan masalah-masalah furu’ dalam mazhab atau bertentangan dengannya. Di antara mereka itu, kebanyakan ahli ushul fiqih dari mazhab Syafi’iyyah dan mazhab Malikiyyah

Kitab-kitab ushul fiqih yang paling terkenal yang disusun berdasarkan metode ini, di antaranya: kitab Al-Mustashfa , karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 505 H., kitab Al-Ahkam, karya Abu Hasan Al-Amidi AsySyafi’i yang wafat pada tahun 631 H., dan kitab Al-Minhaj, karya Al-Baidhawi Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 685 H., sedang kitab terbaik yang menyarahinya adalah Syarh Al-Asnawi.

Adapun keistimewaan metode ulama Hanafiah, dalam menyusun ilmu ushul fiqih ialah mereka mampu membuat kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyyah yang mereka pandang bahwa para imam mereka mendasarkan ijtihad atas kaidah dan bahasan itu. Mereka tidaklah menetapkan kaidahkaidah amaliah yang bercabang dari hukum-hukum ijtihad imam mereka. Sedang yang mengarahkan mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah ini ialah berbagai hukum yang telah diistimbathkan oleh para imam mereka yang didasarkan atas kaidah-kaidah itu, bukan semata-mata dalil teoritis saja. Oleh karena, ketika mereka banyak dihadapkan pada masalah-masa lah furu’, maka mereka akan membuat kaidah-kaidah ushuliah yang sesuai dengan masalah-masalah furu’ tersebut. Jadi, orien tasinya adalah mengembangkan ushul fiqih imam-imam me reka dari furu’ hasil ijtihad mereka.

Di antara kitab-kitab ushul fiqih yang paling terkenal yang disusun berdasarkan metode ini ialah: kitab Ushul karya Abu Zaid Ad-Dabusi yang wafat tahun 430 H., kitab Ushul karya Fakhrul Islam Al-Bazdawi yang wafat tahun 430 H., kitab AlManar, karya Al-Hafizh An-Nasafi yang wafat pada tahun 790 H., sedangkan kitab ushul terbaik yang mengomentarinya adalah kitab Misykatul Anwar.

Sementara itu, sebagian ulama dalam menyusun ilmu tersebut ada yang menempuh metode sintesis, dengan cara menggabungkan kedua metode tersebut di atas, mereka memperhatikan pembuktian kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil terhadapnya, disamping itu juga memperhatikan aspek penerapan dan hubungannya dengan masalahmasalah furu’.

Di antara kitab-kitab ushul fiqih termasyhur yang disusun berdasarkan metode sintesis ini ialah kitab Badi’ul Nizham, yang menggabungkan antara karya Al-Bazdawi dan kitab Al-Ahkam, karya Muzhaffaruddin Al-Baghdadi Al-Hanafi yang wafat pada tahun 694 H., kitab At-Taudhih karya Shadrus Syari’ah, kitab At-Tahrir karya Al-Kamal bin Al-Hammam, dan kitab Jam’ul Jawami’ karya Ibnus Subki.

Di antara kitab-kitab ushul fiqih karya terbaru yang ringkas dan padat isinya ialah kitab Irsyadul Fuhul lla Tahqiqil Haqqi min Ilmil Ushul, karya Imam Asy-Syaukani, yang wafat pada tahun 1250 H., kitab Ushul Fiqih karya Almarhum Syeikh Muhammad Khudhari Bik yang wafat pada tahun 1927 M., dan kitab Tashilul Wusul Ila ‘Ilmil Ushul karya Almarhum Syeikh Muhammad ‘Abdul Rahman ‘Id Al-Mahlawi, yang wafat pada tahun 1920 M.

Kami memuji Allah yang telah memberikan pertolongan kepada kami untuk dapat menelaah sebagian besar dari kitabkitab ini, dan membimbing kami pada penulisan ringkasan yang lengkap, di mana di dalamnya kami jelaskan sumbersumber hukum Islam dengan sejelas-jelasnya, menyingkap fleksibelitasnya, kesuburannya, dan keluasannya. Dan kami menjelaskan dalam kitab-kitab ini pembahasan beberapa hukum.

Dengan penjelasan yang mudah dipahami dan menjelaskan hikmah Syari’ dalam membuat syariat. Di dalamnya kami juga menjelaskan berbagai kajian kebahasaan dan tasyri’iyyah dalam bentuk kaidah-kaidah untuk memudahkan pemahaman dan penerapannya. Dalam mengemukakan berbagai contoh aplikatif , kami mengusahakan contoh-contoh berupa nash-nash hukum syara’ dan undang-undang hukum positif, supaya dapat diketahui bagaimana mempergunakan ilmu ini secara praktis.

Di berbagai tempat, kami mengisyaratkan perbandingan antara pokok-pokok hukum syara’ dan pokok-pokok undangundang dari hukum positif, untuk menjelaskan bahwa sebenarnya tujuan kedua hukum itu sama, yaitu dapat memahami hukum dari teksnya dengan pemahaman yang benar, merealisir tujuan-tujuan pembuat hukum dari hukum yang diisyaratkan, dan menjaga teks undang-undang agar tidak dijadikan mainmain.

Yang penting untuk diperhatikan, bahwa pengkajian ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya bukanlah merupakan bahasan dan kaidah yang ta’abbudiyyah (bersifat ibadah), akan tetapi, ia hanyalah merupakan sejumlah alat dan sarana yang dipergunakan oleh pembuat hukum untuk memelihara kemaslahatan umum dan berdiri pada ketentuan Ilahi dalam penetapan syariatnya, dan dipergunakan oleh seorang hakim dalam mencari keadilan di dalam putusannya dan menerapkan undang-undang sebagaimana mestinya. Hal ini tidaklah menjadi kekhususan daripada nash-nash syara’ dan hukum-hukum syara’.

Catatan.

Definisi ilmu, objeknya, tujuannya, pertumbuhannya, hubungannya dengan ilmu-ilmu lain, pelopor ilmu, hukum syara’ mengenainya, dan permasalahannya, semua ini disebut Dasar-Dasar Ilmu.


Daftar Pustaka:

Khalaf. Abdul Wahaab, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. Ke-2, Semarang: Dina Utama Semarang, 2014.


loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...