KAIDAH UMUM MU’AMALAH
Kaidah pertama,
Hukum Asal Jual Beli Adalah Mubah
Kaidah menyatakan,
الأصل في المعاملات الحل والإباحة
“Hukum asal dalam muamalah adalah halal
dan mubah”
Aktivitas manusia di dunia ini bisa kita
bagi menjadi 2:
[1] Aktivitas ibadah
[2] Aktivitas non Ibadah
Untuk aktivitas ibadah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi batasan, semua kegiatan ibadah harus ada dalilnya.
Tanpa dalil, kegiatan ibadah itu tidak diterima. Kita sepakat, semua manusia
buta akhirat. Bahkan mereka juga buta tentang cara untuk bisa mendapatkan kebahagiaan
akhirat. Sehingga Allah turunkan wahyu, yang disampaikan melalui manusia
pilihan-Nya yaitu para nabi. Sehingga tidak ada cara yang dibenarkan untuk
mendapatkan jalan akhirat, selain mengikuti petunjuk para nabi.
Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menegaskan, setiap kegiatan agama, tanpa panduan dari beliau, tidak akan
diterima. Beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
Siapa yang melakukan amalan ibadah yang
tidak ada ajarannya dari kami, maka amal itu tertolak. (HR. Muslim 4590).
Berbeda dengan aktivitas yang kedua,
aktivitas non ibadah, manusia diberi hak untuk berkreasi, melakukan kegiatan
apapun yang bisa memberikan kebaikan untuk dirinya, selama tidak melanggar
larangan.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegaskan, bahwa umatnya lebih tentang urusan dunia mereka.
Dalam hadis yang sangat terkenal, yang
menyatakan,
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia
kalian.”
Kaidah Kedua,
Akad Dinilai Sah dengan Cara Apapun yang
Menunjukkan Keridhaan
Kaidah menyatakan,
تنعقد المعاملة بما يدل عليها من قولٍ
أو فعلٍ
“Muamalah dinilai sah, dengan ucapan
maupun perbuatan apapun yang menunjukkan adanya transaksi”
Ungkapan lain untuk kaidah masalah akad,
العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا
بالألفاظ والمباني
“Inti akad berdasarkan maksud dan makna
akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat”
Penjelasan:
Salah satu diantara rukun jual beli adalah adanya shighat akad, yaitu ucapan atau tindakan atau isyarat dari
penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan transaksi
tanpa paksaan.
Jika Shighat ini disampaikan secara lisan,
para ulama menyebutnya dengan istilah: ijab qabul. Sementara shighat dalam jual beli disampaikan
dalam bentuk perbuatan atau isyarat, disebut Bai’ Mu’athah.
Shighat (bentuk) Pernyataan Saling Ridha
Saling ridha antara penjual dan pembeli
menjadi syarat penting dalam transaksi jual beli. Karena ini yang memastikan
bahwa dalam akad tersebut tidak ada unsur kedzaliman.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (an-Nisa:
29)
Dari Abu Said al-Khudri, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Jual beli harus dilakukan saling ridha.
(HR. Ibn Majah 2269, Ibn Hibban 4967 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kaidah Ketiga,
Semua Yang Halal Dimanfaatkan, Halal
Diperjual Belikan
Kaidah menyatakan,
كل ما صح نفعه صح بيعه إلا بدليل
Semua yang boleh dimanfaatkan, boleh
diperjual belikan, kecuali jika ada dalil
Keterangan:
Sebagaimana yang pernah dibahas di kaidah
yang pertama, bahwa Allah ciptakan bumi dan isinya untuk dimanfaatkan manusia.
Allah berfirman,
وَسَخَّرَ
لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dia telah menundukkan untukmu apa yang di
langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berfikir.. (QS. al-Jatsiyah: 13)
Hanya saja, banyak benda di alam ini yang
itu berada di bawah kekuasaan orang lain, menjadi hak milik orang lain.
Sehingga satu-satunya cara bagi kita untuk bisa mendapatkan barang itu adalah
dengan melakukan transaksi dengan pemiliknya. Baik transaksi komersial maupun
non komersial.
Dalam kaidah ini, benda yang boleh
diperjual-belikan adalah benda yang boleh dimanfaatkan. Ada 2 syarat agar benda
itu bisa disebut boleh dimanfaatkan:
[1] Benda ini ada manfaatnya.
Benda yang sama sekali tidak ada
manfaatnya, tidak boleh diperjual-belikan. Misalnya, serangga kecil, kutu, yang
sama sekali tidak ada manfaatnya.
[2] Manfaat benda ini hukumnya mubah.
Sehingga benda yang tidak bermanfaat
kecuali untuk sesuatu yang haram, tidak boleh diperjual-belikan. Seperti
patung, alat musik, rokok, dan benda-benda fasilitas maksiat lainnya.
Semua yang Najis, Tidak Boleh Diperjual
Belikan
Semua yang najis tidak boleh
di-jual-beli-kan.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah ketika Fathu Mekah,
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
الْخَمْرِ، وَالْمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَالْأَصْنَامِ
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala.
Para sahabat bertanya,
Ya Rasulullah, bagaimana dengan lemak
bangkai yang bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit hewan, dan
digunakan untuk bahan bakar lampu?
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا، هُوَ حَرَامٌ
“Tidak boleh, itu haram.” (HR. Muslim
1581, Ahmad 14472 dan yang lainnya).
Syaikh as-Syinqithi mengatakan,
قال جمهور العلماء : نظرنا فيها فوجدنا
العلة في الخمر والميتة والخنزير أنها نجسة ووجدنا الأصنام نجسة المعنى وإن لم تكن
نجسة الحس
Mayoritas ulama mengatakan, kami
perhatikan semua yang diharamkan itu. Kami simpulkan bahwa alasan khamr,
bangkai, dan babi dilarang, karena ini barang najis. Sementara berhala
dilarang, karena dia najis maknawi, meskipun bendanya tidak najis.
Kemudian beliau melanjutkan,
إذا ثبت أن تحريم البيع أن النبي- صلى
الله عليه وسلم حرم بيع هذه الاشياء من أجل نجاستها قالوا فكل نجس لا يجوز بيعه
Jika disimpulkan tentang haramnya jual
beli, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan jual beli barang
tertentu karena status najisnya, maka para ulama menetapkan kaidah, “Semua yang
najis tidak boleh diperjual belikan.”
Kaidah Keempat, kaidah berkaitan masalah
syarat dalam Jual Beli
Hukum asal mengajukan syarat adalah mubah
kecuali jika ada dalil yang melarang
Kaidah keempat menyatakan,
الأصل
في الشروط في المعاملات الحل والإباحة إلا بدليل
Hukum asal mengajukan syarat dalam
muamalah adalah halal dan mubah, kecuali jika ada dalil.
Keterangan:
Sebelumnya perlu dibedakan antara syarat
sah dalam muamalah dan mengajukan syarat dalam bermuamalah.
Untuk yang pertama, syarat sah dalam muamalah
adalah semua keadaan yang menyebabkan muamalah yang kita kerjakan bernilai sah.
Syarat sah ini yang menetapkan syariat, sehingga semuanya berdasarkan dalil.
Atau bagian dari konsekuensi akad.
Misalnya, diantara syarat sah jual beli,
harus dilakukan saling ridha (‘an taradhin), berdasarkan firman Allah,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa:
29)
Untuk yang kedua, mengajukan syarat dalam
bermuamalah, maksudnya adalah syarat yang diajukan oleh orang yang melakukan akad.
Artinya, murni atas inisiatif orang yang berakad. Misalnya, pembeli minta
syarat agar barang diantar ke rumahnya.
Dari keterangan di atas, ada perbedaan
syarat sah muamalah dengan mengajukan syarat dalam muamalah,
Syarat sah muamalah ditetapkan oleh syariat,
atau sebagai bagian dari konsekuensi akad. Sementara syarat dalam bermuamalah
ditetapkan berdasarkan kesepakatan aqidain (orang yang melakukan akad)
Jika salah satu syarat sah tidak terpenuhi
maka muamalahnya tidak sah. Jika salah satu syarat dalam bermuamalah tidak
dipenuhi, kembali kepada kerelaan pihak yang dirugikan.
Kaidah Kelima, kaidah terkait masalah
gharar dan jahalah dalam Jual Beli
Kaidah menyatakan,
كل
معاملة فيها غرر أو جهالة فيما يقصد فهي باطلة
Semua muamalah yang gharar atau jahalah
menjadi tujuan utama dalam transaksi, statusnya batal
Keterangan:
Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar
dari gharrara – yugharriru – Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang
memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi.
(al-Mishbah al-Munir, 2/445)
Para ulama menyebutkan, secara umum,
muamalah yang dilarang, karena di sana mengandung salah satu dari 3 unsur: [1] Dzalim, [2] Gharar, dan [3]
Riba.
Adanya unsur jahalah, membuat gharar mirip
dengan judi. Sementara judi termasuk tradisi setan. Allah berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (al-Maidah: 90)
Terdapat banyak dalil dari hadis yang
menunjukkan larangan gharar. Kita akan sebutkan beberapa hadis seputar gharar,
dengan harapan kita bisa memahami makna gharar secara lebih utuh,
[1]Hadis Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual beli gharar. (HR. Muslim 3881, Nasai 4535, dan yang lainnya).
[2] Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, beliau mengatakan,
نَهَى
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual beli sperma hewan pejantan. (HR. Ahmad 4732, Bukhari 2284).
Dari semua hadis di atas, jika kita
simpulkan, semua jual beli yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
muaranya kembali kepada satu kata, yaitu adanya ketidak jelasan. Modal dan uang
yang diberikan oleh penjual dan pembeli, digantikan dengan sesuatu yang tidak
jelas. Bisa jadi untung besar, atau bisa jadi sangat merugikan.
[1] Pada jual beli sperma hewan pejantan,
terjadi ketidak jelasan, apakah nanti sperma ini bisa membuahi ovum betina
ataukah tidak.
Artinya, petani yang beli sperma pejantan,
uang yang dia bayarkan digantikan dengan peluang kehamilan.
[2] Pada jual beli habalul habalah, unsur
ghararnya sangat jelas. Baik yang terkait waktunya atau bendanya. Baik penjual
maupun pembeli tidak akan pernah tahu masa depan bayi hewan yang ada di
kandungan.
Sehingga uang yang dibayarkan pembeli
digantikan dengan peluang masa depan janin.
[3] Pada jual beli mulamasah dan
munabadzah, unsur ketidak jelasannya sangat nampak. Jika kainnya bagus, dia
bisa dapat untung. Jika jelek, dia rugi. Sangat mirip dengan judi.
[4] Pada jual beli ijon, uang yang
dibayarkan dipertaruhkan. Karena bisa jadi pohon ini berbuah banyak, sehingga
dia untung besar. Atau sebaliknya, gagal panen, sehingga dia rugi besar.
Karena itu, sebagian ulama, diantaranya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, memberikan definisi tentang gharar dengan
pengertian,
الغرر
هو المجهول العاقبة
“Gharar adalah Jual beli yang tidak jelas
konsekuensinya” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)
Karena inti dari gharar adalah adanya
jahalah (ketidak jelasan), baik pada barang maupun harga barang, maka gharar
sangat mirip dengan judi. Sama-sama majhul alaqibah (tidak jelas konsekuensinya).
Bedanya, judi terjadi pada permainan. Sementara gharar terjadi dalam transaksi.
Meskipun bahaya judi lebih besar, karena
ini pemicu permusuhan dan saling membenci, serta menghalangi orang untuk
mengingat Allah. Sehingga diharamkan tanpa kecuali. Berbeda dengan gharar, di
sana masih ada bentuk yang ditoleransi syariat. Karena semua transaksi kita,
tidak ada yang 100% terbebas dari ketidak-jelasan.
Contoh bentuk gharar
Bentuk tidak jelas pada barang
(1)
Tidak tahu barang sama sekali
(2)
Tahu barangnya, buta kriteria
(3)
Jual beli barang yang belum dimiliki. Tidak jelas, apakah bisa
diserahkan atau tidak
(4)
Penjual tidak bisa dipastikan bisa menyerahkan barang. Seperti menjual
barang hilang
Bentuk tidak jelas pada harga
(1)
Tidak jelas harganya sama sekali. Misal: Kujual mobil ini, harganya
tentukan sendiri. Mereka pisah dan belum ditentukan harganya.
(2)
Dikasih pilihan 2 harga, dan ketika pisah, belum ada pilihan. Baik tidak
jelas di depan atau tidak jelas di belakang.
(3)
Tidak jelas masa pelunasannya.
Semua bentuk gharar di atas, menyebabkan
ketidak jelasan untung ruginya. Bisa salah satunya lebih diuntungkan, sementara
satunya dirugikan.
Syarat Gharar Terlarang
Hukum asal gharar dilarang. Hanya saja,
ada beberapa bentuk gharar yang diperbolehkan. Dan secara umum, batasan gharar
yang terlarang adalah sebagai berikut,
Pertama, berpengaruh kepada kelanjutan
jual beli dan memungkinkan dihindari.
Ini terjadi jika ghararnya besar dan tidak
bisa ditoleransi. Jika ghararnya kecil, tidak terlalu diperhitungkan dampaknya,
tidak pengaruh. Seperti, detail isi mesin untuk jual beli kendaraan bermotor,
atau detail pondasi rumah.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
والغرر
إذا كان يسيراً أو لا يمكن الاحتراز منه لم يكن مانعاً من صحة العقد، بخلاف الكثير
الذي يمكن الاحتراز منه
“Gharar jika hanya sedikit atau tidak
mungkin dihindari, tidak mempengaruhi keabsahan jual beli. beda dengan gharar
yang besar dan memungkinkan untuk dihindari.” (Zadul Maad, 5/820)
As-Salam
1.
Pengertian As-Salam
Secara bahasa as-salam atau as-salaf
berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya
dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu
(barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari
As-Salam merupakan prinsip bai (jual beli)
suatu barang tertententu antara pihak penjual dan pembeli sebesar harga pokok
ditambah nilai keuntungan yang disepakati, dimana penyerahan barang dilakukan
dikemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan dimuka
Dalam pengertian yang sederahana, salam
berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan dimuka, jadi sangat jelas bahwa salam adalah menjual sesuatu yang
tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat; barang itu ada dalam
pengakuan (tangguahan) si penjual.
2.
Dasar Hukum As-Salam
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a)
Al-Quran
يا
أيهاالذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282)
b)
Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah
saw. datang ke Madinah dimana semua penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu,
dua, dan tiga tahun. Beliau bersabda:
من
اسلف في شيء ففي كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل ممعلوم
“Barang siapa yang melakukan salaf (
salam), hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, dan timbangan yang
jelas pula, dengan waktu yang diketahui.”
B.
Rukun dan Syarat As-Salam
1.
Rukun As-Salam
Pelaksanaan As-Salam harus memenuhi rukun
sebagai berikut:
a) Muslam (pembeli)
b) Muslam Ilaih (penjual)
c) Modal atau uang
d) Muslam fiihi (barang)
e) Sighat (Ucapan atau lafaz akad)
2.
Syarat As-Salam
a)
Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad (pembayaran dilakukan lebih
dulu)
b)
Barang menjadi utang si penjual
c)
Barang diserahkan dikemudian hari (diberikan sesuai waktu yang
dijanjikan)
d)
Barang harus jelas, baik ukuran, timbangan ataupun bilangannya
e)
Harus diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya
f)
tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
Al-Istishna’
1.
Pengertian Al-Istishna’
Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang
artinya membuat, kemudian ditambah huruf alif, sin, dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang
berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan
antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan (
mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu
(mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Transaksi Al-Istishna’ merupakan kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain
untuk membeli atau membuat barang sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak telah setuju
atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui
cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang
Menurut jumhur fuqaha,Al-Istishna’
merupakan suatu jenis khusus dari dari akad As-Salam. Dengan demikian ketentuan
dari Al-Istishna’ mengikuti ketentuan
akad As-Salam
2.
Dasar Hukum Al-Istishna’
Secara umum landasan syariah yang berlaku
pada as-salam juga berlaku pada al-istishna’, karna Al-Istishna’ merupakan
lanjutan dari As-Salam. Menurut Hanafi, al-istishna’ termasuk akad yang
dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak
penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok
kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun Mazhab Hanafi menyutui
kontrak istishna’ atas dasar istishan
a)
Al-Qur’an
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba.”
(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini, para ulama'
menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih
b)
Al-hadits
عَنْ
أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى
الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ
خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى
بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak
menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa
raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun
memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan:
Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan
beliau." (HR. Muslim)
D.
Rukun dan Syarat Al-Istishna’
1.
Rukun Al-istishna’
a)
Penjual / penerima pesanan ( shani’)
b)
Pembeli / pemesan (mustashni’)
c)
Barang (Mashnu’)
d)
Harga (tsanan)
e)
Ijab qabul (sighat)
2.
Syarat Al-Istishna’
Pada prinsipnya al-istishna’ adalah sama
dengan as-salam. Maka rukun dan syarat istishna’ mengikuti rukun dan syarat as-salam. Hanya saja pada al-istishna’ pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan
tidak adanya penentuan waktu tertentu
penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya. Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa
dipastikan kapan bangunannya selesai.
Macam-macam Jual Beli dalam Islam
1)
Pembagian Jual Beli Ditinjau Dari Objeknya
a.
Bai’ Al-Mutlaq adalah tukar-menukar
suatu benda dengan mata uang .misal seperti dirham, rupiahn atau dollar.
b.
Bai’ Al-Salam atau salaf adalah
tukar menukar atau menjual barang yang penyerahannya ditunda dengan pembayaran
modal terlebih dahulu.
c.
Bai’al-sharf adalah tukar-menukar tsaman dengan tsaman lainnya. Misalnya
mata uang dengan mata uang, emas dengan emas atau perak dengan perak, bentuk
jual beli ini memiliki syarat diantaranya adalah
·
Saling serah terima sebelum berpisah badan Antara kedua belah pihak.
·
Sama jenisnya barang yang dipertukarkan.
·
Tidak terdapat khiyar syarat didalamnya.
·
Penyerahan barangnya tidak ditunda
d.
Bai’ al-muqayadhah(barter) adalah tukar menukar harta dengan harta
selain emas dan perak. Jual beli ini disyaratkan haus sama dalam jumlah dan
kadarnya. Missal tkar menukar kurma dan gandum.
2)
Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Subjeknya
a) Dengan lisan
b)
Dengan perantara yaitu penyampaian akad jual beli melalui
wakala(utusan), perantara, tulisan, atau surat menyurat sama halnya dengan
ucapan. Penjual dan pembeli tidakberhadapan dalam satu majelis akad.
c)
Dengan perbuatan(saling memberikan atau mu’athah) yaitu menganbil dan
memberikan barang tanpa ijab qabul secara lisan. Contoh saat kita membeli di
swalayan mengambil barang yang sudah dituliskan labelnya oleh penjual dan kita
membayar di kasir. Sebagian ulama syafi’iyah melarang adanya jual beli ini
karena tanpa ijab qabul, namun sebagian ulama syafi’iyah lainnya seperti imam
an-nawawi membolehkan jual beli ini dalam kehidupan sehari-hari.
3)
Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Hukumnya
a.
Bai’ al-Mun’aqid lawannya bai’ al-bathil, yaitu jual beli
disyariatkan(diperbolehkan oleh syara’)
b.
Bai’ al-shahih lawannya bai’ al-fasid, yaitu jual beli yang terpenuhi
syarat sahnya.
c.
Bai’ al-nafidz lawannya bai’ al-mauquf, yaitu jual beli shahihyang
dilakukan oleh orang yang cakap melaksanakannyaseperti baligh dan berakal.
d.
Bai’ al-lazim lawannya bai’ ghair al-lazim, yaitu jul beli shahih yang
sempurna dan tidak ada hak khiyar di dalamnya. Jual beli ini disebut juga
dengan bai’ al-jaiz.
No comments:
Write komentar