Monday, September 13, 2021

KAIDAH UMUM MU’AMALAH




KAIDAH UMUM MU’AMALAH

Kaidah pertama,

Hukum Asal Jual Beli Adalah Mubah

Kaidah menyatakan,

الأصل في المعاملات الحل والإباحة

“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”

Aktivitas manusia di dunia ini bisa kita bagi menjadi 2:

[1] Aktivitas ibadah

[2] Aktivitas non Ibadah

Untuk aktivitas ibadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi batasan, semua kegiatan ibadah harus ada dalilnya. Tanpa dalil, kegiatan ibadah itu tidak diterima. Kita sepakat, semua manusia buta akhirat. Bahkan mereka juga buta tentang cara untuk bisa mendapatkan kebahagiaan akhirat. Sehingga Allah turunkan wahyu, yang disampaikan melalui manusia pilihan-Nya yaitu para nabi. Sehingga tidak ada cara yang dibenarkan untuk mendapatkan jalan akhirat, selain mengikuti petunjuk para nabi.

Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, setiap kegiatan agama, tanpa panduan dari beliau, tidak akan diterima. Beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ

Siapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak ada ajarannya dari kami, maka amal itu tertolak. (HR. Muslim 4590).

Berbeda dengan aktivitas yang kedua, aktivitas non ibadah, manusia diberi hak untuk berkreasi, melakukan kegiatan apapun yang bisa memberikan kebaikan untuk dirinya, selama tidak melanggar larangan.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, bahwa umatnya lebih tentang urusan dunia mereka.

Dalam hadis yang sangat terkenal, yang menyatakan,

أنتم أعلم بأمور دنياكم

“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

Kaidah Kedua,

Akad Dinilai Sah dengan Cara Apapun yang Menunjukkan Keridhaan

Kaidah menyatakan,

تنعقد المعاملة بما يدل عليها من قولٍ أو فعلٍ

“Muamalah dinilai sah, dengan ucapan maupun perbuatan apapun yang menunjukkan adanya transaksi”

Ungkapan lain untuk kaidah masalah akad,

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

“Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat”

Penjelasan:

Salah satu diantara rukun jual beli  adalah adanya shighat akad, yaitu  ucapan atau tindakan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan transaksi tanpa paksaan.

Jika Shighat ini disampaikan secara lisan, para ulama menyebutnya dengan istilah: ijab qabul.  Sementara shighat dalam jual beli disampaikan dalam bentuk perbuatan atau isyarat, disebut Bai’ Mu’athah.

Shighat (bentuk) Pernyataan Saling Ridha

Saling ridha antara penjual dan pembeli menjadi syarat penting dalam transaksi jual beli. Karena ini yang memastikan bahwa dalam akad tersebut tidak ada unsur kedzaliman.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (an-Nisa: 29)

Dari Abu Said al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Jual beli harus dilakukan saling ridha. (HR. Ibn Majah 2269, Ibn Hibban 4967 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Kaidah Ketiga,

Semua Yang Halal Dimanfaatkan, Halal Diperjual Belikan

Kaidah menyatakan,

كل ما صح نفعه صح بيعه إلا بدليل

Semua yang boleh dimanfaatkan, boleh diperjual belikan, kecuali jika ada dalil

Keterangan:

Sebagaimana yang pernah dibahas di kaidah yang pertama, bahwa Allah ciptakan bumi dan isinya untuk dimanfaatkan manusia. Allah berfirman,

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.. (QS. al-Jatsiyah: 13)

Hanya saja, banyak benda di alam ini yang itu berada di bawah kekuasaan orang lain, menjadi hak milik orang lain. Sehingga satu-satunya cara bagi kita untuk bisa mendapatkan barang itu adalah dengan melakukan transaksi dengan pemiliknya. Baik transaksi komersial maupun non komersial.

Dalam kaidah ini, benda yang boleh diperjual-belikan adalah benda yang boleh dimanfaatkan. Ada 2 syarat agar benda itu bisa disebut boleh dimanfaatkan:

[1] Benda ini ada manfaatnya.

Benda yang sama sekali tidak ada manfaatnya, tidak boleh diperjual-belikan. Misalnya, serangga kecil, kutu, yang sama sekali tidak ada manfaatnya.

[2] Manfaat benda ini hukumnya mubah.

Sehingga benda yang tidak bermanfaat kecuali untuk sesuatu yang haram, tidak boleh diperjual-belikan. Seperti patung, alat musik, rokok, dan benda-benda fasilitas maksiat lainnya.

Semua yang Najis, Tidak Boleh Diperjual Belikan

Semua yang najis tidak boleh di-jual-beli-kan.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah ketika Fathu Mekah,

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ، وَالْمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَالْأَصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala.

Para sahabat bertanya,

Ya Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit hewan, dan digunakan untuk bahan bakar lampu?

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا، هُوَ حَرَامٌ

“Tidak boleh, itu haram.” (HR. Muslim 1581, Ahmad 14472 dan yang lainnya).

Syaikh as-Syinqithi mengatakan,

قال جمهور العلماء : نظرنا فيها فوجدنا العلة في الخمر والميتة والخنزير أنها نجسة ووجدنا الأصنام نجسة المعنى وإن لم تكن نجسة الحس

Mayoritas ulama mengatakan, kami perhatikan semua yang diharamkan itu. Kami simpulkan bahwa alasan khamr, bangkai, dan babi dilarang, karena ini barang najis. Sementara berhala dilarang, karena dia najis maknawi, meskipun bendanya tidak najis.

Kemudian beliau melanjutkan,

إذا ثبت أن تحريم البيع أن النبي- صلى الله عليه وسلم حرم بيع هذه الاشياء من أجل نجاستها قالوا فكل نجس لا يجوز بيعه

Jika disimpulkan tentang haramnya jual beli, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan jual beli barang tertentu karena status najisnya, maka para ulama menetapkan kaidah, “Semua yang najis tidak boleh diperjual belikan.”

Kaidah Keempat, kaidah berkaitan masalah syarat dalam Jual Beli

Hukum asal mengajukan syarat adalah mubah kecuali jika ada dalil yang melarang

Kaidah keempat menyatakan,

الأصل في الشروط في المعاملات الحل والإباحة إلا بدليل

Hukum asal mengajukan syarat dalam muamalah adalah halal dan mubah, kecuali jika ada dalil.

Keterangan:

Sebelumnya perlu dibedakan antara syarat sah dalam muamalah dan mengajukan syarat dalam bermuamalah.

Untuk yang pertama, syarat sah dalam muamalah adalah semua keadaan yang menyebabkan muamalah yang kita kerjakan bernilai sah. Syarat sah ini yang menetapkan syariat, sehingga semuanya berdasarkan dalil. Atau bagian dari konsekuensi akad.

Misalnya, diantara syarat sah jual beli, harus dilakukan saling ridha (‘an taradhin), berdasarkan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa: 29)

Untuk yang kedua, mengajukan syarat dalam bermuamalah, maksudnya adalah syarat yang diajukan oleh orang yang melakukan akad. Artinya, murni atas inisiatif orang yang berakad. Misalnya, pembeli minta syarat agar barang diantar ke rumahnya.

Dari keterangan di atas, ada perbedaan syarat sah muamalah dengan mengajukan syarat dalam muamalah,

Syarat sah muamalah ditetapkan oleh syariat, atau sebagai bagian dari konsekuensi akad. Sementara syarat dalam bermuamalah ditetapkan berdasarkan kesepakatan aqidain (orang yang melakukan akad)

Jika salah satu syarat sah tidak terpenuhi maka muamalahnya tidak sah. Jika salah satu syarat dalam bermuamalah tidak dipenuhi, kembali kepada kerelaan pihak yang dirugikan.

Kaidah Kelima, kaidah terkait masalah gharar dan jahalah dalam Jual Beli

Kaidah menyatakan,

كل معاملة فيها غرر أو جهالة فيما يقصد فهي باطلة

Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi, statusnya batal

Keterangan:

Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari gharrara – yugharriru – Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi. (al-Mishbah al-Munir, 2/445)

Para ulama menyebutkan, secara umum, muamalah yang dilarang, karena di sana mengandung salah satu dari  3 unsur: [1] Dzalim, [2] Gharar, dan [3] Riba.

Adanya unsur jahalah, membuat gharar mirip dengan judi. Sementara judi termasuk tradisi setan. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (al-Maidah: 90)

Terdapat banyak dalil dari hadis yang menunjukkan larangan gharar. Kita akan sebutkan beberapa hadis seputar gharar, dengan harapan kita bisa memahami makna gharar secara lebih utuh,

[1]Hadis Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar. (HR. Muslim 3881, Nasai 4535, dan yang lainnya).

[2] Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sperma hewan pejantan. (HR. Ahmad 4732, Bukhari 2284).

Dari semua hadis di atas, jika kita simpulkan, semua jual beli yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muaranya kembali kepada satu kata, yaitu adanya ketidak jelasan. Modal dan uang yang diberikan oleh penjual dan pembeli, digantikan dengan sesuatu yang tidak jelas. Bisa jadi untung besar, atau bisa jadi sangat merugikan.

[1] Pada jual beli sperma hewan pejantan, terjadi ketidak jelasan, apakah nanti sperma ini bisa membuahi ovum betina ataukah tidak.

Artinya, petani yang beli sperma pejantan, uang yang dia bayarkan digantikan dengan peluang kehamilan.

[2] Pada jual beli habalul habalah, unsur ghararnya sangat jelas. Baik yang terkait waktunya atau bendanya. Baik penjual maupun pembeli tidak akan pernah tahu masa depan bayi hewan yang ada di kandungan.

Sehingga uang yang dibayarkan pembeli digantikan dengan peluang masa depan janin.

[3] Pada jual beli mulamasah dan munabadzah, unsur ketidak jelasannya sangat nampak. Jika kainnya bagus, dia bisa dapat untung. Jika jelek, dia rugi. Sangat mirip dengan judi.

[4] Pada jual beli ijon, uang yang dibayarkan dipertaruhkan. Karena bisa jadi pohon ini berbuah banyak, sehingga dia untung besar. Atau sebaliknya, gagal panen, sehingga dia rugi besar.

Karena itu, sebagian ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, memberikan definisi tentang gharar dengan pengertian,

الغرر هو المجهول العاقبة

“Gharar adalah Jual beli yang tidak jelas konsekuensinya” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)

Karena inti dari gharar adalah adanya jahalah (ketidak jelasan), baik pada barang maupun harga barang, maka gharar sangat mirip dengan judi. Sama-sama majhul alaqibah (tidak jelas konsekuensinya). Bedanya, judi terjadi pada permainan. Sementara gharar terjadi dalam transaksi.

Meskipun bahaya judi lebih besar, karena ini pemicu permusuhan dan saling membenci, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah. Sehingga diharamkan tanpa kecuali. Berbeda dengan gharar, di sana masih ada bentuk yang ditoleransi syariat. Karena semua transaksi kita, tidak ada yang 100% terbebas dari ketidak-jelasan.

Contoh bentuk gharar

Bentuk tidak jelas pada barang

(1)  Tidak tahu barang sama sekali

(2)  Tahu barangnya, buta kriteria

(3)  Jual beli barang yang belum dimiliki. Tidak jelas, apakah bisa diserahkan atau tidak

(4)  Penjual tidak bisa dipastikan bisa menyerahkan barang. Seperti menjual barang hilang

Bentuk tidak jelas pada harga

(1)  Tidak jelas harganya sama sekali. Misal: Kujual mobil ini, harganya tentukan sendiri. Mereka pisah dan belum ditentukan harganya.

(2)  Dikasih pilihan 2 harga, dan ketika pisah, belum ada pilihan. Baik tidak jelas di depan atau tidak jelas di belakang.

(3)  Tidak jelas masa pelunasannya.

Semua bentuk gharar di atas, menyebabkan ketidak jelasan untung ruginya. Bisa salah satunya lebih diuntungkan, sementara satunya dirugikan.

Syarat Gharar Terlarang

Hukum asal gharar dilarang. Hanya saja, ada beberapa bentuk gharar yang diperbolehkan. Dan secara umum, batasan gharar yang terlarang adalah sebagai berikut,

Pertama, berpengaruh kepada kelanjutan jual beli dan memungkinkan dihindari.

Ini terjadi jika ghararnya besar dan tidak bisa ditoleransi. Jika ghararnya kecil, tidak terlalu diperhitungkan dampaknya, tidak pengaruh. Seperti, detail isi mesin untuk jual beli kendaraan bermotor, atau detail pondasi rumah.

Ibnul Qoyim menjelaskan,

والغرر إذا كان يسيراً أو لا يمكن الاحتراز منه لم يكن مانعاً من صحة العقد، بخلاف الكثير الذي يمكن الاحتراز منه

“Gharar jika hanya sedikit atau tidak mungkin dihindari, tidak mempengaruhi keabsahan jual beli. beda dengan gharar yang besar dan memungkinkan untuk dihindari.” (Zadul Maad, 5/820)

As-Salam

1.      Pengertian As-Salam

Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari

As-Salam merupakan prinsip bai (jual beli) suatu barang tertententu antara pihak penjual dan pembeli sebesar harga pokok ditambah nilai keuntungan yang disepakati, dimana penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan dimuka

Dalam pengertian yang sederahana, salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka, jadi sangat jelas bahwa salam adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat; barang itu ada dalam pengakuan (tangguahan) si penjual.

2.      Dasar Hukum As-Salam

Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.

a)      Al-Quran

يا أيهاالذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282)

b)      Al-Hadits

                        Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana semua penduduknya melakukan salaf (salam)  dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau bersabda:

من اسلف في شيء ففي كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل ممعلوم

“Barang siapa yang melakukan salaf ( salam), hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, dan timbangan yang jelas pula, dengan waktu yang diketahui.”

B.     Rukun  dan Syarat As-Salam

1.      Rukun As-Salam

Pelaksanaan As-Salam harus memenuhi rukun sebagai berikut:

a)                Muslam (pembeli)

b)                Muslam Ilaih (penjual)

c)                Modal atau uang

d)               Muslam fiihi (barang)

e)                Sighat (Ucapan atau lafaz akad)

2.      Syarat As-Salam

a)      Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad (pembayaran dilakukan lebih dulu)

b)      Barang menjadi utang si penjual

c)      Barang diserahkan dikemudian hari (diberikan sesuai waktu yang dijanjikan)

d)     Barang harus jelas, baik ukuran, timbangan ataupun bilangannya

e)      Harus diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya

f)       tempat penyerahan dinyatakan secara jelas

Al-Istishna’

1.      Pengertian Al-Istishna’

Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat, kemudian ditambah huruf alif, sin, dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.

Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.

Transaksi Al-Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membeli atau membuat barang sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak telah setuju atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang

Menurut jumhur fuqaha,Al-Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari dari akad As-Salam. Dengan demikian ketentuan dari Al-Istishna’  mengikuti ketentuan akad As-Salam

2.      Dasar Hukum Al-Istishna’

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada as-salam juga berlaku pada al-istishna’, karna Al-Istishna’ merupakan lanjutan dari As-Salam. Menurut Hanafi, al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun Mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan

a)        Al-Qur’an

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا   

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

(Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini, para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih

b)   Al-hadits

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم

Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)

D.    Rukun dan Syarat Al-Istishna’

1.      Rukun Al-istishna’

a)      Penjual / penerima pesanan ( shani’)

b)      Pembeli / pemesan (mustashni’)

c)      Barang (Mashnu’)

d)     Harga (tsanan)

e)      Ijab qabul (sighat)

2.      Syarat Al-Istishna’

Pada prinsipnya al-istishna’ adalah sama dengan as-salam. Maka rukun dan syarat istishna’  mengikuti rukun dan syarat as-salam.  Hanya saja pada al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.  Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.    

 

Macam-macam Jual Beli dalam Islam

1)      Pembagian Jual Beli Ditinjau Dari Objeknya

a.       Bai’ Al-Mutlaq adalah tukar-menukar  suatu benda dengan mata uang .misal seperti dirham, rupiahn atau dollar.

b.      Bai’ Al-Salam atau salaf adalah tukar menukar atau menjual barang yang penyerahannya ditunda dengan pembayaran modal terlebih dahulu.

c.       Bai’al-sharf adalah tukar-menukar tsaman dengan tsaman lainnya. Misalnya mata uang dengan mata uang, emas dengan emas atau perak dengan perak, bentuk jual beli ini memiliki syarat diantaranya adalah

·         Saling serah terima sebelum berpisah badan Antara kedua belah pihak.

·         Sama jenisnya barang yang dipertukarkan.

·         Tidak terdapat khiyar syarat didalamnya.

·         Penyerahan barangnya tidak ditunda

d.      Bai’ al-muqayadhah(barter) adalah tukar menukar harta dengan harta selain emas dan perak. Jual beli ini disyaratkan haus sama dalam jumlah dan kadarnya. Missal tkar menukar kurma dan gandum.

2)      Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Subjeknya

a)      Dengan lisan

b)      Dengan perantara yaitu penyampaian akad jual beli melalui wakala(utusan), perantara, tulisan, atau surat menyurat sama halnya dengan ucapan. Penjual dan pembeli tidakberhadapan dalam satu majelis akad.

c)      Dengan perbuatan(saling memberikan atau mu’athah) yaitu menganbil dan memberikan barang tanpa ijab qabul secara lisan. Contoh saat kita membeli di swalayan mengambil barang yang sudah dituliskan labelnya oleh penjual dan kita membayar di kasir. Sebagian ulama syafi’iyah melarang adanya jual beli ini karena tanpa ijab qabul, namun sebagian ulama syafi’iyah lainnya seperti imam an-nawawi membolehkan jual beli ini dalam kehidupan sehari-hari.

3)      Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Hukumnya

a.       Bai’ al-Mun’aqid lawannya bai’ al-bathil, yaitu jual beli disyariatkan(diperbolehkan oleh syara’)

b.      Bai’ al-shahih lawannya bai’ al-fasid, yaitu jual beli yang terpenuhi syarat sahnya.

c.       Bai’ al-nafidz lawannya bai’ al-mauquf, yaitu jual beli shahihyang dilakukan oleh orang yang cakap melaksanakannyaseperti baligh dan berakal.

d.      Bai’ al-lazim lawannya bai’ ghair al-lazim, yaitu jul beli shahih yang sempurna dan tidak ada hak khiyar di dalamnya. Jual beli ini disebut juga dengan bai’ al-jaiz.

 

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...