Monday, February 28, 2022

Pengertian Qawaid Fiqhiyyah

 A. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (قاعدة ), jamaknya qawaid (قواعد ). berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.

Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ  

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:

قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَأَتَى ه اللُّ بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ

Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS. al-Nahl 26)

 fiqhiyyah berasal dari kata fiqh )الفقه(

ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.

-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Begitu pula dalam surah Hud ayat 91 :

قَالُو ا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِير اً مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيف اًوَلَوْلا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ

Mereka berkata: "Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengetahui (mengerti) tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.

Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain:

مَنْ يُرِدِ اللُّ خيرًا يُف ه قههُ فى الدين. رواه مسلم.

Siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan dalam agama.

Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H), yaitu :

العلم بالأحكام ال ه شرعية العمل ه يةِ المُكْتَسَبُ من أدلتِها التفصيل ه يةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Ulama ushul kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi fiqh secara ekslusif, yaitu :

مَجْمُوْعَةُ الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن اَدِلَّتِهَاالتَّفْصِلِيَّةِ

Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.

 

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.

Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany (w. 791 H.) memberikan rumusan, yaitu:

إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ .

Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.

Al-Jurjani (W. 816 H) dalam kitab al-Ta’rifat memberikan rumusan, yaitu:

قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَ

Ketentuan universal yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya.

Ibn al-Subkiy (w. 771 H). dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair memberikan rumusan, yaitu:

الأمرُ الكليُ الذي يَنْطَبِقُ عليه جزئياتٌ كثيرَة تُ فهَمُ أحكامُها منه

Perkara yang bersifat universal yang banyak bagian-bagiannya bersesuaian dengannya, dimana hukum-hukum bagian-bagian tersebut dipahami darinya

Mushtafa Ahmad al-Zarqa, memberikan rumusan, yaitu:

أصولٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فِىْ نُصُوْصٍ مٌوْجَزَةٍ دُسْتُوْرِيَةٍ تَتَضَمَّنُ أَحْكاَماًتَشْرِيْعِيَّةً عامَّةً فِى الْحَوَادِثِ التى تَدْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَ

Pokok-pokok fiqh yang bersifat umum dalam bentuk teks-teks perundang undangan yang ringkas, yang mencakup hukum-hukum yang disyariatkan secara umum pada kejadian-kejadian yang termasuk di bawah naungannya. Sedangkan al-Hamawiy (w.1098.H) dalam kitab Ghamzu ‘Uyun al-Bashair Syarah Asybah wa al-Nazhair merumuskan, yaitu:

حُكْمٌ أَكْثَرِيٌّ لَا كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى أَكْثَرِ جُزْئِيَّاتِهِ لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا مِنْهُ

Hukum yang bersifat mayoritas bukan hukum universal yang dapat diaplikasikan kepada kebanyakan bagian bagiannya agar hukum hukumnya diketahui darinya.

Ali Ahmad al-Nadwi mengkompromikan bentuk definisi qaidah fiqhiyyah di atas dengan rumusan:

أصلٌ فِقْهِىٌّ كُلِّىٌّ يَتَضَمَّنُ أَحْكَامًا تَشْرِعِيَّةً عَامَّةً مِنْ أَبْوَابٍ مَتَعَدِّدَةِ فِى الْقَضَايَا تَحْتَ مَوْضُعَهَا.

Dasar fiqh yang bersifat menyeluruh yang mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk di dalam ruang lingkupnya.

Ali Ahmad al-Nadwi mengemukakan tiga alasan berhubungan dengan pengertian tersebut sebagai berikut;

1) Pengecualian yang ada dalam beberapa qaidah, seperti al-qawaid al-khams (lima qaidah dasar) sangat sedikit sekali, sehingga kurang tepat apabila dalam pendefinisiannya dimasukkan sifat mayoritas.

2) Pernyataan sebagian ulama Malikiyah bahwa sebagian besar qaidah bersifat mayoritas

mengindikasikan bahwa ada beberapa qaidah bersifat universal.

3) Universal di sini adalah kullyyah nisbiyyah (universal/relatif), bukan kullyyah syumuliyyah (universal mutlak), karena ada pengecualian dalam ruang lingkupnya.

Dengan demikian, menurut Ali Ahmad al-Nadwi, qaidah lebih umum dari sifat mayoritas, sebagaimana telah dinyatakan oleh Said al-Khadini (w. 1176 H.) dalam bagian penutup kitabnya yang diberi nama Majami’ al-Haqaiq.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini berdasarkan atas realita bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai suatu yang bersifat universal, dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah) saja.

Perbedaan ini berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat universal berpijak kepada realita bahwa pengecualian yang terdapat dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit, disamping itu mereka berpegang kepada qaidah-qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum, sehingga tidak mengurangi sifat universal qawaid fiqhiyyah.

Ulama yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat mayoritas karena secara realitas bahwa seluruh qawaid fiqhiyyah mempunyai pengecualian, sehingga penyebutan universal terhadap qawaid fiqhiyyah kurang tepat.

Dengan demikian, para ulama sepakat qawaid fiqhiyyah mengandung pengecualian, namun mereka tidak satu pendapat dalam memandang pengecualian tersebut, apakah berpengaruh terhadap keuniversalan qawaid fiqhiyyah ataukah tidak?

Begitu pula para ulama menyebutkan istilah yang berbeda terhadap qawaid fiqhiyyah. Ada yang menyebut dengan qadhiyah (proposisi), ada yang menyebut dengan al-hukmu (Hukum), dan ada yang menyebut dengan al-Ashl (pokok)

Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan qadhiyyah memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu qawaid fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan rumusan hukum beralasan bahwa; qawaid fiqhiyyah merupakan aturan yang mengatur tentang hukum-hukum syara’ sehingga tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum, karena memang mengandung hukum-hukum syara’. Disamping itu, mayoritas hukum adalah qadhiyyah hukum merupakan bagian penting dari sebuah qadhiyyah, karena menjadi parameter yang sangat penting dan kebenaran sebuah qadhiyyah. Sedangkan para ulama yang mendefiniskan qawaid fiqhiyyah dengan sebutan al-ashl, termasuk ulama kontemporer, terlebih dahulu mengkompromikan definisi-definisi yang telah ada, kemudian mereka melihat bahwa pada dasarnya qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan pokok tentang perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum syara’.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para ulama yang memandang qawaid fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah pendapat yang tepat, karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.

B.     Ruang lingkup qawaid fiqhiyah

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :

a.       Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :

1.      Al-Umuru bi maqashidiha.

2.      Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.

3.      Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

4.      Adh-Dhararu Yuzal,

5.      Al- ’Adatu Muhakkamah.

b.      Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.

c.       Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :

1.      Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.

2.      Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.

Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

d.      Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.

Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.

 

C. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah

Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.

1. Peride Kelahiran.

Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج بالضمان (keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار (Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر (bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.

Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh.

Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق عند الشروط

(Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat) Ulama tabiin antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه

(apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur). al-Qadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah:

من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat janji secara suka rela tanpa paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut syarat-syarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi.

Meskipun beberapa orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya, para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj. Kitab tersebut telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut:

ليس للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت معروف.

Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh mereka.

Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya peng-qaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum.

Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.

2. Periode Pembukuan

Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.

Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.

Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H.) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah. Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.

Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah, penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ alSyafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Menjelang abad kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al- Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair oleh Taj al-Din al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), al-Manthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.

Diabad kesembilan Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad al-Zubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah, Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid. Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usahapembukuan ilmu ini di mana al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Asybah wa al- Nazhair. Kitab tersebut telah menggabungkan semua qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair. Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu, bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.

Diskripsi sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah. Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah yang dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.

Dari kelompok fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi (w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah wa al-Nazhair.

Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu, terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman Ibn Rajab (w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh.

Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.

3. Periode Penyempurnaan

Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: لا يجوز لاحد أن يتصرف فى

ملك الغير بلاإذنه (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam versi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.

Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.

Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.

Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said al-Khadimi (w. 1154H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...