A. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah
adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan
fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi,
kata qaidah (قاعدة ),
jamaknya qawaid (قواعد ).
berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang
bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi
hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.
Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu
yang bersifat materi terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ
الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan
kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah
al-Nahl ayat 26:
قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَأَتَى ه
اللُّ بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ
Sesungguhnya
orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS. al-Nahl 26)
fiqhiyyah berasal dari kata fiqh )الفقه(
ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi
sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti
pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.
-Qur’an menyebut
kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ
كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya
bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
Begitu pula dalam surah Hud ayat 91 :
قَالُو ا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِير اً
مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيف اًوَلَوْلا رَهْطُكَ
لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ
Mereka berkata:
"Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengetahui (mengerti) tentang apa yang
kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang
lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah
merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.
Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis
Rasulullah SAW. antara lain:
مَنْ يُرِدِ اللُّ خيرًا يُف ه قههُ فى الدين.
رواه مسلم.
Siapa yang
dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan dalam
agama.
Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh
Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H), yaitu :
العلم بالأحكام ال ه شرعية العمل ه يةِ
المُكْتَسَبُ من أدلتِها التفصيل ه يةِ
Ilmu tentang
hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
Ulama ushul
kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi fiqh secara
ekslusif, yaitu :
مَجْمُوْعَةُ الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن اَدِلَّتِهَاالتَّفْصِلِيَّةِ
Kumpulan
hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya
yang terperinci.
Dari pengertian di
atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi
berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.
Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut
terminologi, al-Taftazany (w. 791 H.) memberikan rumusan, yaitu:
إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على
جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ .
Suatu hukum yang
bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat
diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.
Al-Jurjani (W. 816 H) dalam kitab al-Ta’rifat
memberikan rumusan, yaitu:
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى
جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَ
Ketentuan universal
yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya.
Ibn al-Subkiy (w. 771 H). dalam kitab
al-Asybah wa al-Nazhair memberikan rumusan, yaitu:
الأمرُ الكليُ الذي يَنْطَبِقُ عليه جزئياتٌ
كثيرَة تُ فهَمُ أحكامُها منه
Perkara yang
bersifat universal yang banyak bagian-bagiannya bersesuaian dengannya, dimana
hukum-hukum bagian-bagian tersebut dipahami darinya
Mushtafa Ahmad al-Zarqa, memberikan rumusan,
yaitu:
أصولٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فِىْ نُصُوْصٍ
مٌوْجَزَةٍ دُسْتُوْرِيَةٍ تَتَضَمَّنُ أَحْكاَماًتَشْرِيْعِيَّةً عامَّةً فِى
الْحَوَادِثِ التى تَدْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَ
Pokok-pokok fiqh
yang bersifat umum dalam bentuk teks-teks perundang undangan yang ringkas, yang
mencakup hukum-hukum yang disyariatkan secara umum pada kejadian-kejadian yang
termasuk di bawah naungannya. Sedangkan al-Hamawiy (w.1098.H) dalam kitab
Ghamzu ‘Uyun al-Bashair Syarah Asybah wa al-Nazhair merumuskan, yaitu:
حُكْمٌ أَكْثَرِيٌّ لَا كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ
عَلَى أَكْثَرِ جُزْئِيَّاتِهِ لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا مِنْهُ
Hukum yang bersifat
mayoritas bukan hukum universal yang dapat diaplikasikan kepada kebanyakan
bagian bagiannya agar hukum hukumnya diketahui darinya.
Ali Ahmad al-Nadwi mengkompromikan bentuk
definisi qaidah fiqhiyyah di atas dengan rumusan:
أصلٌ فِقْهِىٌّ كُلِّىٌّ يَتَضَمَّنُ أَحْكَامًا
تَشْرِعِيَّةً عَامَّةً مِنْ أَبْوَابٍ مَتَعَدِّدَةِ فِى الْقَضَايَا تَحْتَ مَوْضُعَهَا.
Dasar fiqh yang
bersifat menyeluruh yang mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam
berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk di dalam ruang lingkupnya.
Ali Ahmad al-Nadwi mengemukakan tiga alasan
berhubungan dengan pengertian tersebut sebagai berikut;
1) Pengecualian yang ada dalam beberapa
qaidah, seperti al-qawaid al-khams (lima qaidah dasar) sangat sedikit sekali,
sehingga kurang tepat apabila dalam pendefinisiannya dimasukkan sifat
mayoritas.
2) Pernyataan sebagian ulama Malikiyah bahwa
sebagian besar qaidah bersifat mayoritas
mengindikasikan bahwa ada beberapa qaidah
bersifat universal.
3) Universal di sini adalah kullyyah nisbiyyah
(universal/relatif), bukan kullyyah syumuliyyah (universal mutlak), karena ada
pengecualian dalam ruang lingkupnya.
Dengan demikian, menurut Ali Ahmad al-Nadwi,
qaidah lebih umum dari sifat mayoritas, sebagaimana telah dinyatakan oleh Said
al-Khadini (w. 1176 H.) dalam bagian penutup kitabnya yang diberi nama Majami’
al-Haqaiq.
Berdasarkan
beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi menjadi dua
kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini berdasarkan atas
realita bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai
suatu yang bersifat universal, dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai
sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah) saja.
Perbedaan ini
berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah
bersifat universal berpijak kepada realita bahwa pengecualian yang terdapat
dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit, disamping itu mereka berpegang kepada
qaidah-qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum, sehingga tidak
mengurangi sifat universal qawaid fiqhiyyah.
Ulama yang
berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat mayoritas karena secara realitas
bahwa seluruh qawaid fiqhiyyah mempunyai pengecualian, sehingga penyebutan
universal terhadap qawaid fiqhiyyah kurang tepat.
Dengan demikian,
para ulama sepakat qawaid fiqhiyyah mengandung pengecualian, namun mereka tidak
satu pendapat dalam memandang pengecualian tersebut, apakah berpengaruh
terhadap keuniversalan qawaid fiqhiyyah ataukah tidak?
Begitu pula para
ulama menyebutkan istilah yang berbeda terhadap qawaid fiqhiyyah. Ada yang
menyebut dengan qadhiyah (proposisi), ada yang menyebut dengan al-hukmu
(Hukum), dan ada yang menyebut dengan al-Ashl (pokok)
Para ulama yang
menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan qadhiyyah memandang bahwa qawaid fiqhiyyah
adalah aturan-aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu
qawaid fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan para
mukallaf. Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan rumusan hukum
beralasan bahwa; qawaid fiqhiyyah merupakan aturan yang mengatur tentang
hukum-hukum syara’ sehingga tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum,
karena memang mengandung hukum-hukum syara’. Disamping itu, mayoritas hukum
adalah qadhiyyah hukum merupakan bagian penting dari sebuah qadhiyyah, karena
menjadi parameter yang sangat penting dan kebenaran sebuah qadhiyyah. Sedangkan
para ulama yang mendefiniskan qawaid fiqhiyyah dengan sebutan al-ashl, termasuk
ulama kontemporer, terlebih dahulu mengkompromikan definisi-definisi yang telah
ada, kemudian mereka melihat bahwa pada dasarnya qawaid fiqhiyyah adalah
aturan-aturan pokok tentang perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum
syara’.
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para ulama yang memandang qawaid
fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah pendapat yang tepat,
karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.
B.
Ruang lingkup qawaid fiqhiyah
Menurut M.
az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas
terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau
diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu
madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :
a.
Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh
yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh.
Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini
adalah :
1.
Al-Umuru bi maqashidiha.
2.
Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
3.
Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
4.
Adh-Dhararu Yuzal,
5.
Al- ’Adatu Muhakkamah.
b.
Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima
oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari
pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak
mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah :
adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar
dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada
kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.
c.
Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang
menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini
terbagi pada 2 bagian :
1.
Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2.
Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al-
Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di
kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan
dirinci di kalangan madzhab Maliki.
d.
Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu
furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’
satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi
al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti?
Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya
diawali dengan kata :hal/ /apakah.
C. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan
Qawaid Fiqhiyyah
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul
kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode
kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.
1. Peride Kelahiran.
Masa kelahiran
dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad
lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari
segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi
Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman
tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa
kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio
kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’
‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh
yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad
SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian
juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim
dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa sabda
Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum.
Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’
al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya
cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج
بالضمان (keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار (Tidak
ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر (bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah
kewajiban orang yang telah membantahnya.
Hadis-Hadis
tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena
bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai
qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi
banyak bab fiqh.
Sahabat Rasulullah
SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab dalam kitab shahih
Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق عند الشروط
(Penerimaan hak berdasarkan kepada
syarat-syarat) Ulama tabiin antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah
fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم
إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه
(apabila yang besar gugur, yang kecilpun
gugur). al-Qadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah:
من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat janji secara suka rela tanpa paksaan, maka
janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut syarat-syarat yang
disanggupi seorang dalam bertransaksi.
Meskipun beberapa
orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya, para
pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan
disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang membuat
rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah dijumpai
dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj. Kitab tersebut telah dikarang oleh Abu
Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun
al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian
telah digunakan dan disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah
tersebut. Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut:
ليس للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت
معروف.
Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk
mengambil sesuatu dari seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah
tersedia diketahui oleh mereka.
Sahabat Abu Yusuf
yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan yang
sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil
(mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya
peng-qaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa
berfungsi sebagai qaidah hukum.
Ibnu Nujaym (w.
970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya
sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis
usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan mereka pula
bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.
2. Periode Pembukuan
Pada abad ini
terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya
kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan
dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh
yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab
beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa
pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis
yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum
baru.
Karena faktor mulai
tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan
dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang
lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan
pembukuan qawaid fiqhiyyah.
Pada periode pembukuan,
qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat
diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir
al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah
orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah
mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu
al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H.) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah. Kemudian
Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430H.), telah
menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini memuat
sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan terperinci berkenaan
qawaid tersebut.
Kegiatan tersebut
di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H.)
dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah, penulisan ilmu ini
telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki (w. 613 H.) dan
Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid
fi Furu’ alSyafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Menjelang abad
kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah
dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa al-
Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al-
Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab
oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair oleh Taj al-Din
al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.),
al-Manthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi
al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh
`Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam
proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Diabad kesembilan
Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad al-Zubayri
(w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn al-Haim
al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah, Taqiy al-Din
al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid. Diabad kesepuluh, yang
merupakan puncak usahapembukuan ilmu ini di mana al-Imam Jalal al-Din
al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang ini yang
berjudul al-Asybah wa al- Nazhair. Kitab tersebut telah menggabungkan semua
qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan
al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun
sebuah kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair.
Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada
dua bagian yaitu, bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah enam
qaidah, sedangkan bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang
terperinci.
Diskripsi sejarah
pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha Malikiyyah telah
memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah. Diantaranya ialah
Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah mengarang kitab dalam
bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula dengan Syihab al-Din
Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan fuqaha abad ketujuh
Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di dalam kitabnya
yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah yang
dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh masalah cabang
atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di antara qaidah yang
terdapat di dalam kitab karangannya itu.
Dari kelompok
fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid
fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha
abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam fi
Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki telah
menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang kemudian telah
disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi (w. 911H)
dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah wa
al-Nazhair.
Dari kelompok
fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam
kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang
telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu,
terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah
menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman Ibn Rajab (w.
795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh.
Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir
dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.
3. Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H.
lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah
disempurnakan. Misalnya qaidah: لا
يجوز لاحد أن يتصرف فى
ملك الغير بلاإذنه
(sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik
orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam versi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu
hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan.
Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak
milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.
Al-Majallah
merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100
butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh.
Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari
pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah
fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.
Pada abad ke 11 H.
telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad
bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan
kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al-
Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu
‘Uyun al-Basa’ir.
Pada pertengahan
abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said al-Khadimi
(w. 1154H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘
al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya
mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan
dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa
Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.
Sejarah pertumbuhan
dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahawa para
ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius
mengembangkan pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan
kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang
ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan yang mempunyai
persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu
qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah
sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah
fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang
bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk
terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh
yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid
fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam
jangka waktu yang tidak begitu lama.
No comments:
Write komentar