Thursday, June 18, 2020

hakikat dalam ushul fiqh


    A.     PENDAHULUAN
Setiap lafal mengandung arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami seseorang ketika ia mendengar lafal itu diucapkan, atau ketika ia membaca lafal itu dalam tulisan. Lafal dari segi penggunaannya Ulama ushul fiqh membagi suatu redaksi/ lafal ditinjau dari segi penggunaannya kepada dua macam, yaitu : hakikat dan majas.  Sedangkan ditinjau dari segi kejelasan maknanya untuk menyampaikan tujuan penggunaannya, masing-masing lafal hakikat dan majas dapat dibagi pula kepada sharih dan kinayah. \
Adapun suatu lafal tersebut tidak dapat dinilai dan diberi predikat sebagai hakikat atau majas, sebelum digunakan untuk menunjuk suatu pengertian terminologis oleh penggunanya. Dengan kata lain, jika suatu komunitas menggunakan suatu lafal sesuai dengan makna terminologis (istilah), maka lafal tersebut diberi predikat “hakikat”. Tetapi jika yang mereka maksud bukan makna terminologisnya, maka lafal tersebut diberi predikat “majas”. Dalam pada itu, pemberian sifat kepada suatu lafal sebagai hakikat atau majas,tergantung pula kepada komunitas pengguna lafal tersebut.
Berdasarkan hal tersebut menimbulkan perbedaan dalam memahami hakikat dan majas bagi ulama terutama dalam mengistinbatkan hukum. Karena itu perlu kiranya dipahami kenapa terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, dengan memahami apa yang dimaksudkan dengan hakikat dan majas serta pembagiannya?, selanjutnya bagaimana pendapat ulama mengenai hal tersebut?.
lihat juga: Sharih dan KInayah Dalam ushul fiqh
B.      PEMBAHASAN
1.   HAKIKAT
a.   Pengertian Hakikat
Secara bahasa hakikat (al-haqiqah) artinya adalah arti yang sebenarnya[1]. Sedangkan secara istilah hakikat berarti lafal yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang ditentukan untuknya, baik dalam penggunaan kebahasaan, penggunaan syarak, maupun dalam penggunaan adat kebiasaan (‘urf)[2].
Adapun ulama memberikan defenisi hakikat dengan polesan yang berbeda walaupun yang dimaksudkan adalah sama. Beberapa rumusan tentang pengertian “haqiqah” menurut ulama adalah sebagai berikut:
a)      Menurut Ibnu Subki
هُوَ اللَّفْظُ الْمُسْتَعْمَلُ فِيْمَا وُضِعَ لَهُ ابْتِدَا ءً
 “Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya”.
b)       Menurut Ibnu Kudamah
هُوَ اللَّفْظُ الْمُسْتَعْمَلُ فَي مَوْضُوْعِهِ الْأَ صْلِىٍّ
 “Lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula”.
c)      Menurut Al-Sarkhisi
كُلُّ لَفْظٍ هُوَمَوْضُوْعٍ فِى الْأَ صْلِ لِشَيْءٍ مَعْلُوْمٍ
 “Setiap lafaz yang ia ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu”.
d)      Menurut Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin
Hakikat yaitu :
الَّفْظُ الْمُسْتَعْمَلُ فِيْما وَضَعَ لَهُ
 Lafaz yang digunakan  pada asal peletakannya[3].
Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukkan makna yang sebenarnya sebagaimana yang dituliskan.
Seperti kata “kursi”; menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan kekuasaan melainkan “tempat duduk”.
b.   Pembagian Hakikat
Hakikat suatu lafal dapat digunakan pada tiga sisi, yaitu sisi bahasa, jika digunakan dalam konteks kebahasaan, sisi syarak jika digunakan dalam konteks syarak, dan sisi ‘urf  jika digunakan dalam konteks urf. Apabila suatu lafal digunakan dalam hakikat kebahasaan, maka penggunaannya dalam konteks syarak atau konteks ‘urf  berubah menjadi majas. Apabila hakikat suatu lafal digunakan dalam konteks syarak, maka penggunaannya dalam konteks kebahasaan atau ’urf  berubah menjadi majas[4].
Penggunaan tersebut yang dibedakan kepada tiga bentuk, dapat dilihat sebagai berikut :
1)    Haqiqah Lughawiyyah (yang ditetapkan oleh bahasa)
Yaitu lafal yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa itu sendiri[5]. Atau lafal yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa. Bahasa yang dimaksudkan disini adalah lafal tersebut digunakan untuk makna yang dibuat oleh ahli bahasa Arab.
     Contoh : kata “manusia” yang digunakan untuk semua hewan yang berakal.
2)    Haqiqah Sayr’iyyah  (yang ditetapkan oleh syari’)
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’[6]. Dengan kata lain yang dimaksudkan oleh kata tersebut ditujukan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pembuat hukum.
      Contohnya: kata “shalat” yang digunakan untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.
Meskipun secara bahasa shalat diartikan dengan doa akan tetapi karena yang ditentukan oleh syara’ adalah untuk perbuatan tertentu maka digunakan lah lafal shalat untuk perbuatan tersebut.
3)    Haqiqah ‘Urfryah (yang ditetapkan oleh kebiasaan)
Yaitu lafal yang digunakan untuk asal peletakannya secara adat/kebiasaan[7]. Maksudnya kata yang digunakan ditujukan sesuai dengan makna yang ditetapkan kebiasaan.
Haqiqah ‘Urfryah di bagi kepada dua, yaitu:
                                          i.     Haqiqah ‘Urfyah Ammah
     Yaitu lafal yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.
Contoh :  penggunaan istilah ijma’ di kalangan ahli fiqh.
                                        ii.     Haqiqah ‘Urfyah Khashshah
Yaitu lafal yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum.
Contoh : penggunaan kata dabbah dalam bahasa Arab untuk hewan ternak yang berkaki empat[8].
Persoalan hakikat dan majas adalah persoalan al-qawa’id al-lughawiyyah (kaidah-kaidah kebahasaan) yang dibahas ulama ushul fiqh dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan/atau sunah Rasulullah SAW.
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila ketentuan makna lafal itu digunakan dalam konteks kebahasaan, maka hakikat lafal harus digunakan sesuai dengan ketetapan kebahasaan. Misalnya, lafal ash-Shalah (salat) dengan makna doa. Oleh sebab itu, apabila sumber lafal itu adalah syarak dan digunakan dalam konteks syarak, maka makna hakikat dari lafal itu adalah doa. Apabila sumber lafal itu adalah syarak dan digunakan dalam konteks syarak, maka makna hakikat dari lafal tersebut adalah makna syarak. Misalnya, dalam lafal ash-Shalah menurut syarak adalah perbuatan dan perkataan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Lebih lanjut ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila sumber suatu lafal berasal dari ‘urf dan digunakan dalam konteks ‘urf, maka makna hakikat dari lafal itu adalah makna yang ditetapkan ‘urf. Misalnya penggunaan lafal ad-dabbah (hewan) dengan makna hewan yang berlaku.
c.   Kehujahan Lafal Hakikat
Ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa suatu lafal harus digunakan dalam makna hakikatnya, baik hakikat bahasa, syarak, maupun ‘urf selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari makna tersebut[9]. Misalnya firman Allah SWT  dalam surah al-An’am ayat 151 :
Artinya: “…dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…”.
Pengertian “membunuh” dalam ayat ini  harus diartikan dalam makna hakikatnya, yaitu menghabisi nyawa seseorang. Oleh sebab itu, tanpa alasan yang dibolehkan oleh syarak, perbuatan membunuh sesorang dilarang sama sekali. Lebih lanjut, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara makna hakikat dan makna majas, maka yang didahulukan adalah makna hakikat, selama hal itu bisa dilakukan.
Apabila seseorang berwasiat kepada A misalnya, maka wasiat secara hakikat harus diberikan kepada A, bukan kepada anak A atau cucunya, karena anak dan cucu merupakan makna majas dari A sendiri. Atas dasar itu pula maka ulama usul fiqh menginduksi sebuah kaidah yang menyatakan bahwa “al-asl fi al-kalam al-haqiqah” yaitu pada dasarnya yang menjadi patokan dalam suatu ungkapan adalah makna hakikatnya
d.     Penyebab tidak berlakunya hakikat
1)  Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafal[10].
                        Dalam hal ini hakikat lafal ditinggalkan, maka yang diamalkan adalah apa yang mudah dipahami dari lafal tersebut. Hal ini disebabkan karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah terbiasa orang menggunakan suatu lafal untuk maksud tertentu, maka penggunaan lafal itu sudah menempati kedudukan hakikat. Misalnya penggunaan lafal “shalat”, menurut hakikat penggunaannya adalah untuk “doa”. Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah suatu bentuk tertentu dari perbuatan tertentu dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti hakikatnya adalah doa itu tidak lagi digunakan.
2)  Adanya petunjuk lafal.
                        Maksudnya lafal memberi petunjuk kepada sesuatu secara hakikat, namun yang dimaksud bukan untuk itu. Contohnya seseorang berkata, “Demi Allah saya tidak makan daging”. Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melanggar sumpahnya , karena pengertian daging berlaku untuk seluruh jenis daging secara hakikatnya.
                        Pengertian menurut hakikat ini tidak lagi digunakan karena penunjuk lafal menghendaki “Daging” itu selain daging ikan dan belalang yang keduanya tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang digunakan, maka orang yang bersumpah itu  melanggar sumpahnya.
3)  Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
                        Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikat, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikat. Umpamanya firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 29 :
Artinya : “Barangsiapa yang mau, berimanlah, dan barangsiapa yang mau kafirlah. Sesungguhnya Kami menyediakan neraka bagi orang yang zalim” .

                        Secara hakikat  ungkapan ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk kafir. Namun karena di ujung ayat ada ancaman bagi orang zalim yang kafir, maka ayat ini tidak dipahami menurut hakikatnya, tetapi dengan arti lain, yaitu keharusan beriman dan dalam hal ini tidak ada pilihan.
4)  Adanya petunjuk dari sifat pembicara[11]
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut hakikatnya berarti menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka hakikat yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan. Sebagaimana firman Allah surah al-Isra’ ayat 64 :
Artinya : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu.

Meskipun pada ayat di atas, hakikatnya mengandung “perintah”, namun setiap orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang menyangkal bahwa Allah tidak menyuruh kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.
5)    Adanya petunjuk tentang empat atau sasaran pembicaraan. Berdasarkan hakikat penggunaan lafal, lafal itu harus dipahami menurut apa adanya; namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafal itu menurut hakikatnya. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Fathir ayat 19 :
                    Artinya : Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat.
            Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut hakikatnya secara umum berlaku untuk segala hal. Namun kalau kita memerhatikan arah pembicaraan ayat di atas, tentu hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti tidak untuk menurut tuntutan hakikat lafaz.
lihat juga: Majas Dalam Ushul Fiqh


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta : PT. Mahmud Yunus, 1990), hlm. 106
[2] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve),hlm. 500
[3] Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, (Iskandariah : Darul Iman, tt), hlm. 15
[4] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,…,hlm.501
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 27-28
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…,hlm. 28
[7] Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul,…,  hlm.15
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…, hlm.27-28
[9] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,…,hlm.501
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…, hlm.34
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…, hlm.35-36

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...