A.
LATAR BELAKANG
Agama Islam adalah agama
yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. al-Qur’an sendiri
menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia. Oleh
karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap umatnya, tanpa harus
ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana umat itu berada. Begitu
pula ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam tentunya dituntut untuk
dapat menghadapi tantangan modernitas, karena islam adalah shalihun li
kulli zaman wa makan.
Perkembangan
hukum Islam, seperti yang telah dapat kita fahami dari penelitian baru-baru
ini, menggambarkan dengan cara yang amat bermakna fenomena saling bergantungan
dari kesatuan dan keragaman dalam peradaban islam.
Salah
satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20 adalah adanya usaha
pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan) di
negara-negara mayoritas muslim. Terutama Tunisia misalnya, melakukan
pembaharuan pada tahun 1956.
Pada Tanggal 20
Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada
tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan
kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum
al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan
baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan
menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa
Perancis.[1]
Untuk
itu pemakalah akan menyajikan perkembangan Hukum Keluarga Islam terutama
mengenai hukum perdata Islam di Tunisia.
B.
DESKRIPSI
NEGARA TUNISIA
Tunisia
merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara
yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.
Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim,[2] negara yang terletak di
Afrika Utara, sebelah utara dan timur laut berbatasan dengan Laut Tengah,
sebelah barat berbatasan dengan Aljazair dan timur dan tenggara dengan Libya.[3]
Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah timur, sementara di bagian
tenggara termasuk kepulauan Djerba.[4] Negara
yang memiliki luas wilayah 163.610 km2
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama
Habib Bourguiba, yang membawahi 23 Provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan
wilayah otonom dari pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi
negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.[5]
Pada Tanggal 20
Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada
tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan
kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum
al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan
baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan
menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa
Perancis.[6]
Berdasarkan
konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi negara. Sedangkan mazhab Maliki
mempunyai pengaruh yang sangat dominan di negara tersebut. Latar belakang
negara Tunisia digambarkan setidaknya di Tunisia pernah pula berlaku hukum
Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang dibawa oleh
pemerintah Dinasti Usmani.[7]adapun
sekarang Majelis Nasional Tunisia berupaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negaranya.[8]
C. SEJARAH
DAN LATARBELAKANG PEMBAHARUAN
Pada tahun
1956 setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui Presiden Habib
Bourgubia negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang kontroversial yang
dikenal dengan “The Tunisian Code of
Personal Status” untuk menggantikan hukum al Qur’an dalam bidang
perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya
menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan pertentangan
dengannya.[9]
Sejarah
lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga Tunisia tersebut berawal dari
adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa
dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah
ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia. Sejumlah ahli
hukum Tunisia kemudian mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum
Hanafi dan Maliki yang kemudian dipublikasikan dengan judul Laihat Majjalat al-Ahkam as-syar’iyyah
(Draft Undang-undang Hukum Islam). Pada akhirnya pemerintah Tunisia membentuk
sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam Muhammad Ja’it untuk merancang
undang-undang secara resmi.[10]
Komite tersebut kemudian merancang dan mengajukan
rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut
bersumber dari Laihat Majjalat al-Ahkam
as-syar’iyyah, selain itu juga bersumber dari Hukum Keluarga Mesir,
Jordania, Syria dan Turki Utsmani. Setelah disetujui pemerintah rancangan
tersebut akhirnya diundangkan pada tanggal 1 Januari 1957 dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code
of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Undang-undang ini mengalami
beberapa kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru.
Setelah
diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal
yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36),
nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar
(77-80), orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170),
wasiat (171-199), dan hibah (200-213).
Pada tahun
1981 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang merupakan modifikasi dari
undang-undang keluarga tahun 1956. Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan
rekomendasi dari komite yang terdiri dari ahli hukum, yaitu pengacara, hakim,
dan pengajar hukum yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini
berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap hukum syari’ah yang berhubungan
dengan hak-hak keluarga.[11]
Ada beberapa alasan pembentukan dan
pemberlakuan undang-undang baru tersebut, sebagai berikut:[12]
a.
Untuk menghindari pertentangan antara
pemikir mazhab Hanafi dan mazhab Maliki;
b.
Untuk penyatuan pengadilan nasional,
sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan
negeri;
c.
Untuk membentuk undang-undang modern,
sebagai referensi para hakim;
d.
Untuk menyatukan pandangan masyarakat
secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
e.
Untuk memperkenalkan undang-undang baru
yang sesuai dengan tuntutan modernitas.
D. PRO DAN KONTRA
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut,
sebagai berikut:
1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki
2. Untuk penyatuan pengadilan
menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama
dan pengadilan negeri;
3. Untuk membentuk undang-undang
modern, sebagai
referensi para hakim;
4. Untuk menyatukan pandangan
masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai
dengan tuntutan modernitas;
Dari sekian banyak pembaharuan
terhadap Undang- undang Status Personal 1956 ini, ada dua
hal yang mendapat respon negatif dari sejumlah orang yakni tentang
keharusan perceraian di pengadilan dan
larangan poligami. Ketentuan hukum ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama negara-negara Arab. Mayoritas ulama menolak ketentuan ini. Meskipun demikian, reformasi hukum keluarga
di Tunisia tetap dilakukan dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.
E. MATERI PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA
a.
Usia pernikahan
Laki-laki
dan perempuan di Tunisia dapat melakukan pernikahan jika telah berusia 20
tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956,
sebelum dirubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20
tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan
harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang
berusia 17 harus mendapat izin dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin,
perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Pada tahun 1981, ketentuan
pasal ini berubah menjadi Usia
minimum pernikahan adalah 20 untuk pria dan 17 untuk wanita. Pernikahan di bawah usia ini
membutuhkan izin khusus dari pengadilan, yang dapat
diberikan hanya untuk alasan mendesak dan atas dasar dari kepentingan yang
jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh kedua pasangan dengan
pernikahan. Pernikahan di bawah umur memerlukan persetujuan dari wali, jika
wali menolak memberikan izin padahal kedua belah pihak berhasrat melakukan
pernikahan, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Ketentuan ini
merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh
mazhab Maliki, sebab di dalam kitab fiqh Maliki tidak ada batasan mengenai usia
penikahan.[13]
b.
Poligami
Dalam pasal 18
Undang-Undang hukum keluarga di tunisia menyatakan:
1. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan
pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman
penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3
Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan
kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang
sama.
3. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman,
menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang
sama.[14]
Undang-Undang di
atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon
mempunyai landasan hukum pada ayat
Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan
seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya
yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»tâ‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa :
3).
Ayat di atas telah dibatasi
oleh ayat al-Qur’an itu sendiri yaitu:
`s9ur (#þqãè‹ÏÜtFó¡n@ br& (#qä9ω÷ès? tû÷üt Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâ‘x‹tGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇÊËÒÈ
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa’:129).
Dengan demikian, idealnya al-Quran
adalah monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil
terhapad istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu kondisi yang sangat
sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.[15]
Ada dua alasan
yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: Pertama,
bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa
transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat
berbudaya; dan Kedua, bahwa syarat
mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara
fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW. yang mampu berlaku adil terhadap
istri-istrinya.[16]
c.
Perjanjian perkawinan.
Undang-Undang
tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart (perjanjian perkawinan).
Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang di rugikan atas pelanggaran
perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan. Perjanjian
tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal tersebut terjadi sebelum
perkawinan terlaksana secara sempurna.[17]
d.
Pernikahan yang tidak sah
Pernikahan yang
dipandang tidak sah menurut Undang-Undang hukum keluarga di tunisia adalah:
1.
Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21)
2.
Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami atau istri (pasal
3).
3.
Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan
hukum yang lain (pasal 5).
4.
Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan untuk melangsungkan
perkawinan (pasal 15-17).
5.
Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
Pernikahan
seperti di atas dapat segera dianulir. Akibat hukum yang lahir, jika perkawinan
memang telah berlangsung sempurna (ba’da
ad dukhul), adalah bahwa istri berhak atas mahar dan kewajiban menjalani
masa iddah. Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul, istri berhak terhadap mahar. Anak yang lahir dapat
disandarkan nasabnya kepada suami, akan tetapi tidak berhubungan dengan harta
warisan antara dua pihak tersebut.[18]
e.
Perceraian
Perceraian
adalah hal yang ketat dalam hukum di tunisia, perceraian yang di jatuhkan
secara sepihak tidak tidak berdampak jatuhnya talak, perceraian yang sah dan
efektif hanya diputuskan di pengadilan.
Pengadilan dapat memberikan perceraian berdasarkan 1) kesepakatan dari
pasangan 2) petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan
oleh yang lain. Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian
apabila salah satu pihak bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak
yang mengajukan gugatan perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang
lain. Keputusan perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian pasangan
suami istri tersebut gagal.[19]
f.
Talak tiga.
Pasal 19 UU
1954 tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk bekas istri yang
telah di talak tiga (talak bain kubro).
Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat
permanen untuk pernikahan.[20]
g.
Nafkah bagi isteri.
Undang-undang
hukum keluarga tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab Maliki dalam hal hak
istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci di atur
dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa isteri diizinkan
membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan untuk
diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah tergantung kemampuan
suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada saat itu (pasal 52).
Fiqih mazhab
Maliki yang banyak menjadi sumber rumusan undang-undang tunisia menyatakan
bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah balig. Pandangan ini berbeda dengan pendapat
Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami
harus baliq.[21]
h.
Pemeliharaan anak.
Pasal 54-57 UU
1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang tua dan para wali
terhadap pemeliharaan anak. Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum
bersumber dari prinsip-prinsip Mazhab Maliki. dalam fiqh Mazhab Maliki
dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki mentalaq istrinya, pemeliharaan anak
menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan
memahami kemaslahatan dan kebutuhan anak dari pada ayah atau keluarga yang
lain.
Formulasi fiqh
juga menyatakan bahwa hak hadhanah menjadi terputus apabila ibu
melangsungkan pernikahan, sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam
mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang dan
sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek
dari garis ibu asalkan kakek (ayah dari ibu) merupakan kakek secara langsung dari anak
tersebut.[22]
Pada pasal 67
yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika orang tua yang
berhak mengasuh anak tersebut meninggal dunia sedangkan
sebelumnya perkawinan telah bubar, hak hadhanah tersebut berpindah
kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan
kedua belak pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah
satu pihak atau boleh juga diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya,
pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan
sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkan dalam
fiqh dinyatakan bahwa berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki
sudah mencapai usia balig dan anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbeda
dengan pendapat mazhab syafi’i yang menyatakan bahwa anak perempuan putus atau
berakhir masa hadhanahnya ketika ia sudah balig.[23]
i. Hukum Waris.
Berkaitan
dengan masalah warisan, di Tunisia secara umum hanya melakukan kodifikasi
terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal
terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada
pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 88
yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan
kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau
mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak
berhak mendapat warisan dari almarhum[24].
j. Hukum Wasiat
a) Perbedaan agama
dan kewarganegaraan.
Diantara
ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal sahnya wasiat antara dua
pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang dilakukan
para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175). Sedangkan bukti terjadinya
wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan ditandatangani pihak
yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup sebagai alat bukti
(pasal 176).
b) Wasiat wajibah.
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir
pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum perihal kewajiban adanya wasiat
bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan
Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya
diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun
perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua
kali lebih besar dari bagian cucu perempuan.[25]
k.
Adopsi
Adopsi atau anak angkat diperkenalkan dalam
hukum keluarga Tunisia melalui Undang-undang Perwalian dan Adopsi Tahun 1958 .
Undang-undang ini terdiri dari 60 pasal yang dibagi dalam 3 bab, masing-masing
mengenai perwalian umum, kafalah dan anak angkat atau adopsi. Akan tetapi, satu
tahun kemudian, ketentuan mengenai anak angkat diamademen. Tata cara, ketentuan
dan syarat pengangkatan anak itu secara detail disebutkan dalam pasal 9-16.
Pihak yang diperbolehkan melakukan pengangkatan
anak adalah laki-laki dan perempuan, namun disyaratkan haruslah sudah dewasa,
telah menikah dan mempunyai hak sipil secara penuh, berkarakter moral yang
baik, sehat jasmani maupun rohani dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan
seorang anak yang diangkat. Pihak pengadilan juga bisa memberikan izin kepada
seorang janda atau duda untuk (karena kematian pasangannya), atau orang yang
telah bercerai untuk mengangkat seorang anak (pasal 9). Dalam hal ini,
pengadilan mewajibkan orang-orang tersebut untuk memenuhi semua aspek adopsi yang
diusulkan sebagai keperluan anak yang hendak diadopsi. Izin dari pasangan
(suami/istri) disyaratkan untuk menentukan sah atau tidaknya praktek adopsi
yang dilakukan oleh seseorang (pasal 11).
Beda atau selisih usia antara pihak yang akan
melakukan adopsi dengan anak yang hendak diadopsi minimal 15 tahun. Seorang
warga Negara Tunisia juga boleh melakukan adopsi terhadap seorang anak yang
bukan dari warga Negara Tunisia (pasal 10). Praktek adopsi berakibat pada
diperolehnya nama baru (nasab) bagi si anak dari orang tua angkatnya, nama
aslinya juga bisa dirubah. Jika diinginkan oleh oleh pihak yang melakukan
adopsi, maka nama baru anak yang diadopsi itu bisa dicatatkan pada surat adopsi
tersebut (pasal 14). Dalam keluarga angkatnya, anak angkat memperoleh hak dan
kewajiban yang sama sebagaimana layaknya anak kandung, demikian juga halnya
dengan orang tua angkatnya. Akan tetapi, bagi anak tersebut masih berlaku
larangan-larangan kawin dengan keluarga kandungnya (pasal 15), seperti yang
ditetapkan dalam Undang-undang Status Personalia Tunisia 1956.
Selanjutnya, pengadilan –melalui jaksa penuntut umumnya—bisa mengambil alih anak angkat dari orang tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian dalam pemenuhan kewajibannya, dan haknya dipindahkan kepada orang lain. Hal ini dilakukan demi menjaga kepentingan anak tersebut (pasal 16).[26]
Selanjutnya, pengadilan –melalui jaksa penuntut umumnya—bisa mengambil alih anak angkat dari orang tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian dalam pemenuhan kewajibannya, dan haknya dipindahkan kepada orang lain. Hal ini dilakukan demi menjaga kepentingan anak tersebut (pasal 16).[26]
Adapun peraturan tentang wakaf diatur pada
tahun 1874 dan baru dijalankan setelah kemerdekaan Negara Tunisia.[27]
F.
METODOLOGI PEMBAHARUAN
Berdasarkan analisis penulis, corak pembaharuan
yang dipakai oleh Negara Tunisia adalah metode talfiq. Hal itu ditandai
dengan upaya penggabungan dua mazhab mazhab Hanafi dan mazhab Maliki,sehingga
didapatkan sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga yang dapat
dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial
kemasyarakatan Tunisia.
G. PENUTUP
Proses
perumusan dan penataan kembali hukum keluarga di tunisia yang disebut dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code
of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Tidak hanya sekedar upaya
membukukan fiqh mazhab Maliki, tetapi juga melakukan langkah-langkah yang
sangat progresif dalam upaya melakukan pembuatan Undang-Undang dan
pengaturannya dalam bidang hukum keluarga. Undang-undang ini mengalami beberapa
kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru. Setelah
diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal
yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah
(37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80),
orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat
(171-199), dan hibah (200-213).
Reformasi hukum
yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan hukum keluarga
tidaklah bermaksud melakukan penyimpangan dan meninggalkan prinsip-prinsip
hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk menjamin
kesejahteraan, kedamaian, dan kemashlahatan bangsa dan rakyat Tunisia itu sendiri.
Selanjutnya
pemakalah memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu pemakalah mengharapkan adanya tambahan berupa kritik dan saran dalam rangka
penyempurnaan makalah ini kedepannya.
[1]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[2]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[4]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[5]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[6]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[8]https://www.islampos.com/tunisia-resmi-jadikan-islam-sebagai-dasar-negara-95788/
diakses pada tanggal 14 mei 2016.
[9]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[10]Atho Muzdhor dan
Khaoiruddin Nasution, Hukum Keluarga …,h. 86.
[11]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[12]Aulia
Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal
al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[13]M. Atho’ Muzdhar
dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga
Dunia.... Hlm. 88
[14]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[15]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam ,
(Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), hal 181.
[16]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[17]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[18]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[19]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[20]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[21]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html
dialses pada tanggal 30 maret 2016.
[22]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[23]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[24] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[25] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[26] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga
Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[27]Hasil diskusi pascasarjana HI-B IAIN Bukittinggi pada tanggal 23
april 2016.
loading...
No comments:
Write komentar