Friday, April 27, 2018

PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI TUNISIA

A.    LATAR BELAKANG
Agama Islam adalah agama yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.  Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap umatnya, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana umat itu berada. Begitu pula ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan modernitas, karena islam adalah shalihun li kulli zaman wa makan.
Perkembangan hukum Islam, seperti yang telah dapat kita fahami dari penelitian baru-baru ini, menggambarkan dengan cara yang amat bermakna fenomena saling bergantungan dari kesatuan dan keragaman dalam peradaban islam.
Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20 adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan) di negara-negara mayoritas muslim. Terutama Tunisia misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1956.
Pada Tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa Perancis.[1]
Untuk itu pemakalah akan menyajikan perkembangan Hukum Keluarga Islam terutama mengenai hukum perdata Islam di Tunisia.
 B.     DESKRIPSI NEGARA TUNISIA
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim,[2] negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah utara dan timur laut berbatasan dengan Laut Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Aljazair dan timur dan tenggara dengan Libya.[3] Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah timur, sementara di bagian tenggara termasuk kepulauan Djerba.[4] Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 kmmemperoleh kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 Provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan wilayah otonom dari pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.[5]
Pada Tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa Perancis.[6]
Berdasarkan konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi negara. Sedangkan mazhab Maliki mempunyai pengaruh yang sangat dominan di negara tersebut. Latar belakang negara Tunisia digambarkan setidaknya di Tunisia pernah pula berlaku hukum Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang dibawa oleh pemerintah Dinasti Usmani.[7]adapun sekarang Majelis Nasional Tunisia berupaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negaranya.[8]
C. SEJARAH DAN LATARBELAKANG PEMBAHARUAN
Pada tahun 1956 setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui Presiden Habib Bourgubia negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang kontroversial yang dikenal dengan “The Tunisian Code of Personal Status” untuk menggantikan hukum al Qur’an dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan pertentangan dengannya.[9]
Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga Tunisia tersebut berawal dari adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia. Sejumlah ahli hukum Tunisia kemudian mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum Hanafi dan Maliki yang kemudian dipublikasikan dengan judul Laihat Majjalat al-Ahkam as-syar’iyyah (Draft Undang-undang Hukum Islam). Pada akhirnya pemerintah Tunisia membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam Muhammad Ja’it untuk merancang undang-undang secara resmi.[10]
Komite  tersebut kemudian merancang dan mengajukan rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut bersumber dari Laihat Majjalat al-Ahkam as-syar’iyyah, selain itu juga bersumber dari Hukum Keluarga Mesir, Jordania, Syria dan Turki Utsmani. Setelah disetujui pemerintah rancangan tersebut akhirnya diundangkan pada tanggal 1 Januari 1957 dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru.
Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-199), dan hibah (200-213).
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang merupakan modifikasi dari undang-undang keluarga tahun 1956. Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari komite yang terdiri dari ahli hukum, yaitu pengacara, hakim, dan pengajar hukum yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap hukum syari’ah yang berhubungan dengan hak-hak keluarga.[11]
Ada beberapa alasan pembentukan dan pemberlakuan undang-undang baru tersebut, sebagai berikut:[12]
a.       Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan mazhab Maliki;
b.      Untuk penyatuan pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
c.       Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
d.      Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
e.       Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas.
D. PRO DAN KONTRA
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, sebagai berikut:
1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi  dan  Maliki
2. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak  ada  lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Dari sekian banyak pembaharuan terhadap Undang- undang Status Personal 1956 ini, ada dua hal yang mendapat respon negatif dari sejumlah orang yakni tentang keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami. Ketentuan hukum ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama negara-negara Arab. Mayoritas ulama menolak ketentuan ini. Meskipun demikian, reformasi hukum keluarga di Tunisia tetap dilakukan dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.
E. MATERI PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA
a.       Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan pernikahan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956, sebelum dirubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 harus mendapat izin dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah menjadi Usia minimum pernikahan adalah 20 untuk pria dan 17 untuk wanita. Pernikahan di bawah usia ini membutuhkan   izin khusus dari pengadilan, yang dapat diberikan hanya untuk alasan mendesak dan atas dasar dari kepentingan yang jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh kedua pasangan dengan pernikahan. Pernikahan di bawah umur memerlukan persetujuan dari wali, jika wali menolak memberikan izin padahal kedua belah pihak berhasrat melakukan pernikahan, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh mazhab Maliki, sebab di dalam kitab fiqh Maliki tidak ada batasan mengenai usia penikahan.[13]
b.      Poligami
Dalam pasal 18 Undang-Undang hukum keluarga di tunisia menyatakan:
1.      Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
2.      Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
3.      Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.[14]
Undang-Undang di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat  Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»tâur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa : 3).

  Ayat di atas telah dibatasi oleh ayat al-Qur’an itu sendiri yaitu:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa’:129).

Dengan demikian, idealnya al-Quran adalah monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil terhapad istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.[15]
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: Pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan Kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.[16]
c.       Perjanjian perkawinan.
Undang-Undang tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart (perjanjian perkawinan). Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang di rugikan atas pelanggaran perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan. Perjanjian tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna.[17]
d.      Pernikahan yang tidak sah
Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang hukum keluarga di tunisia adalah:
1.    Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21)
2.    Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami atau istri (pasal 3).
3.    Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan hukum yang lain (pasal 5).
4.    Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 15-17).
5.    Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
Pernikahan seperti di atas dapat segera dianulir. Akibat hukum yang lahir, jika perkawinan memang telah berlangsung sempurna (ba’da ad dukhul), adalah bahwa istri berhak atas mahar dan kewajiban menjalani masa iddah. Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul, istri berhak terhadap mahar. Anak yang lahir dapat disandarkan nasabnya kepada suami, akan tetapi tidak berhubungan dengan harta warisan antara dua pihak tersebut.[18]
e.       Perceraian
Perceraian adalah hal yang ketat dalam hukum di tunisia, perceraian yang di jatuhkan secara sepihak tidak tidak berdampak jatuhnya talak, perceraian yang sah dan efektif hanya diputuskan di pengadilan.
Pengadilan dapat memberikan perceraian berdasarkan 1) kesepakatan dari pasangan 2) petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan oleh yang lain. Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian apabila salah satu pihak bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak yang mengajukan gugatan perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang lain. Keputusan perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian pasangan suami istri tersebut gagal.[19]
f.       Talak tiga.
Pasal 19 UU 1954 tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk bekas istri yang telah di talak tiga (talak bain kubro). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan.[20]
g.      Nafkah bagi isteri.
Undang-undang hukum keluarga tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab Maliki dalam hal hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah tergantung kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada saat itu (pasal 52).
Fiqih mazhab Maliki yang banyak menjadi sumber rumusan undang-undang tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah balig. Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami harus baliq.[21]
h.      Pemeliharaan anak.
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang tua dan para wali terhadap pemeliharaan anak. Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip Mazhab Maliki. dalam fiqh Mazhab Maliki dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemaslahatan dan kebutuhan anak dari pada ayah atau keluarga yang lain.
Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadhanah menjadi terputus apabila ibu melangsungkan pernikahan, sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek dari garis ibu asalkan kakek (ayah dari ibu)  merupakan kakek secara langsung dari anak tersebut.[22]
Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika orang tua yang berhak mengasuh anak tersebut meninggal dunia sedangkan sebelumnya perkawinan telah bubar, hak hadhanah tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak atau boleh juga diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkan dalam fiqh dinyatakan bahwa berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki sudah mencapai usia balig dan anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat mazhab syafi’i yang menyatakan bahwa anak perempuan putus atau berakhir masa hadhanahnya ketika ia sudah balig.[23]
i.      Hukum Waris.
Berkaitan dengan masalah warisan, di Tunisia secara umum hanya melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapat warisan dari almarhum[24].
j.      Hukum Wasiat
a)      Perbedaan agama dan kewarganegaraan.
Diantara ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175). Sedangkan bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup sebagai alat bukti (pasal 176).
b)     Wasiat wajibah.
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian cucu perempuan.[25]
k. Adopsi                                                                                  
Adopsi atau anak angkat diperkenalkan dalam hukum keluarga Tunisia melalui Undang-undang Perwalian dan Adopsi Tahun 1958 . Undang-undang ini terdiri dari 60 pasal yang dibagi dalam 3 bab, masing-masing mengenai perwalian umum, kafalah dan anak angkat atau adopsi. Akan tetapi, satu tahun kemudian, ketentuan mengenai anak angkat diamademen. Tata cara, ketentuan dan syarat pengangkatan anak itu secara detail disebutkan dalam pasal 9-16.
Pihak yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak adalah laki-laki dan perempuan, namun disyaratkan haruslah sudah dewasa, telah menikah dan mempunyai hak sipil secara penuh, berkarakter moral yang baik, sehat jasmani maupun rohani dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan seorang anak yang diangkat. Pihak pengadilan juga bisa memberikan izin kepada seorang janda atau duda untuk (karena kematian pasangannya), atau orang yang telah bercerai untuk mengangkat seorang anak (pasal 9). Dalam hal ini, pengadilan mewajibkan orang-orang tersebut untuk memenuhi semua aspek adopsi yang diusulkan sebagai keperluan anak yang hendak diadopsi. Izin dari pasangan (suami/istri) disyaratkan untuk menentukan sah atau tidaknya praktek adopsi yang dilakukan oleh seseorang (pasal 11).
Beda atau selisih usia antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan anak yang hendak diadopsi minimal 15 tahun. Seorang warga Negara Tunisia juga boleh melakukan adopsi terhadap seorang anak yang bukan dari warga Negara Tunisia (pasal 10). Praktek adopsi berakibat pada diperolehnya nama baru (nasab) bagi si anak dari orang tua angkatnya, nama aslinya juga bisa dirubah. Jika diinginkan oleh oleh pihak yang melakukan adopsi, maka nama baru anak yang diadopsi itu bisa dicatatkan pada surat adopsi tersebut (pasal 14). Dalam keluarga angkatnya, anak angkat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagaimana layaknya anak kandung, demikian juga halnya dengan orang tua angkatnya. Akan tetapi, bagi anak tersebut masih berlaku larangan-larangan kawin dengan keluarga kandungnya (pasal 15), seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang Status Personalia Tunisia 1956.
Selanjutnya, pengadilan –melalui jaksa penuntut umumnya—bisa mengambil alih anak angkat dari orang tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian dalam pemenuhan kewajibannya, dan haknya dipindahkan kepada orang lain. Hal ini dilakukan demi menjaga kepentingan anak tersebut (pasal 16).[26]
            Adapun peraturan tentang wakaf diatur pada tahun 1874 dan baru dijalankan setelah kemerdekaan Negara Tunisia.[27]
F. METODOLOGI PEMBAHARUAN
            Berdasarkan analisis penulis, corak pembaharuan yang dipakai oleh Negara Tunisia adalah metode talfiq. Hal itu ditandai dengan upaya penggabungan dua mazhab mazhab Hanafi dan mazhab Maliki,sehingga didapatkan sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga yang dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia.
G.    PENUTUP
            Proses perumusan dan penataan kembali hukum keluarga di tunisia yang disebut dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Tidak hanya sekedar upaya membukukan fiqh mazhab Maliki, tetapi juga melakukan langkah-langkah yang sangat progresif dalam upaya melakukan pembuatan Undang-Undang dan pengaturannya dalam bidang hukum keluarga. Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru. Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-199), dan hibah (200-213).
Reformasi hukum yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan hukum keluarga tidaklah bermaksud melakukan penyimpangan dan meninggalkan prinsip-prinsip hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kemashlahatan bangsa dan rakyat Tunisia itu sendiri.
Selanjutnya pemakalah memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu pemakalah mengharapkan adanya tambahan berupa kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan makalah ini kedepannya.





[1]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[2]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[3] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:Icchtiar Baru Van Hoeve, 2005) jil. 7, hal 142.
[4]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[5]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[6]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
 [7]M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) Hlm. 84
[8]https://www.islampos.com/tunisia-resmi-jadikan-islam-sebagai-dasar-negara-95788/ diakses pada tanggal 14 mei 2016.
[9]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[10]Atho Muzdhor dan Khaoiruddin Nasution, Hukum Keluarga …,h. 86.
[11]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[12]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[13]M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia.... Hlm. 88
[14]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[15]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam , (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), hal 181.
[16]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[17]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[18]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[19]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[20]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[21]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html dialses pada tanggal 30 maret 2016.
[22]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[23]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[24] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[25] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[26] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[27]Hasil diskusi pascasarjana HI-B IAIN Bukittinggi pada tanggal 23 april 2016. 

loading...
No comments:
Write komentar

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...