Navigasi

Bab I PENDAHULUAN  Dalam bidang mahdhah dan kekeluargaan islam aturan Al-Quran dan Al-Hadis lebih rinci dibandingkan dengan fikih-f...



Bab I
PENDAHULUAN
 Dalam bidang mahdhah dan kekeluargaan islam aturan Al-Quran dan Al-Hadis lebih rinci dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya. Akibatnya, di bidang fikih selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Quran dan Al-Hadis untuk bidang selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam hanya menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil bersifat umum, maqashid al-syari’ah, semangat ajaran dan kaidah-kaidah kulliyah. Hal ini tampaknya, erat kaitannya dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah fi al-ardh.
Sebagai hamba Allah, manusia harus diberi tuntutan langsung agar hidupnya tidak menyimpang dan selalu diingatkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepadan-Nya sebagaimana yang tertuang dalam QS Adz-Dzaariyaat 56.
Banyak sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari 25 macam. Sudah barang tentu sekarang dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang makin meningkat, melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesainnya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah[1].
Kaidah-kaidah fikih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifaha Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam majalah al-Ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari1851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah[2].
Dan pada saat ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang kaidah fiqih dalam muamalah dalam makalh ini. Yang akan dijelaskan secara detil dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian
Qawaid   (قواعد)adalah jamak dari kata قاعدة)). Dan secara etimologi bermakna اساس)) atau asas, pangkal, dasar, asas dari segala sesuatu[3].
Dan الفقه adalah faham atau tahu. Menurut istilah yang digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dan menurut al-Zarqa’dai dalam bukunya fiqih secara istilah adalah putusan-putusan umum yang biasanya mencakup sebagian besar dari bagian-bagiannya[4].
Dan muamalah Secara bahasa berasal dari kata عامل - يعامل - معاملة yang artinya saling bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Bila dihubungkan dengan lafaz fiqh, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia.[5]
B.   Kaidah – Kaidah dalam fiqih muamalah
Dari beberapa literatur, kami menemukan beberapa kaidah dalam qawaid fiqhiyyah. Yang mana kaidah tersebut adalah:
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا  1
“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”[6]
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Dan pengecualian bagi yang secara tegas diharamkan oleh nash seperti: tipuan, judi, dan riba.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”[7]
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Hal ini bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”[8]
Atas dasar kaidah ini, maka si pelaku tindakan hukum haruslah pemilik barang yang menjadi objek tindakan hukum atau wakil dari pelaku tindakan hukum atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya.
البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”[9]
  Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.” [10]
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.”[11]
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
            Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”[12]
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di keluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
            Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
الغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Resiko itu menyertai Manfaat.”[13]
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.
9  إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”[14]
Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
10 العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”[15]
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11 كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
“Setiap akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”[16]
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
12  الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”[17]
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13 لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”[18]
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.


14 الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”[19]
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.
15 لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”[20]
Maksud kaidah ini adalah bahwa barang yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dicabut oleh pihak lain, kecuali atas ketentuan syar’i untuk mencabut barang orang tersebut.
16 كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
17 كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalam gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18 كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19  مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
20  كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama dengan riba.”[21]
Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
 كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
Maksud kaidah ini adalah setiap terjadi sebuah pinjaman diantara pelaku akad dan memberikan manfaat bagi orang yang memberi hutang maka itu adalah riba.
Contohnya, si A meminjam uang ke si B sebanyak Rp. 100.000,00 untuk kepentingan yang mendesak. Dan si B menyerahkan pinjamannya kepada si A sesuai dengan kebutuhan si A dengan disertai syarat bahwa si A harus memberikan kembalian uang tersebut harus sebanyak Rp. 110.000,00 kepada si B. Maka si B mendapat kan manfaat/keuntungan dari pinjaman yang ia berika terhadap si A. Dan perbuatan melebihkan pinjaman tersebut yang sebanyak Rp.10.000,00 itu dinamakan dengan riba.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa, dalam bertingkah laku bermuamalah islam mengatur para pemeluknya dalam beertingkah laku sebagai subjek dalam bermuamalah. Dan untuk mengatur tingkah laku subjek tersebut, para ulama telah merangkum beberapa kaidah sebagai pedoman untuk penerapan dari ketentuan-ketentuan yang islam ajarkan.
Di dalam makalah kami telah dijelaskan beberapa kaidah tentang bermuamalah yangmana tidak tertutup kemungkinan akan munculnya kaidah-kaidah lain yang juga akan mengatur hal-hal muamalah khususnya.
B.     Saran
Pemakalah memahami bahwa karya ilmiah yang kami buat ini masih jauh dari yang namanya kesempurnaan. Maka untuk mendapatkan kesempurnaan tersebut diharapkan akan setiap komentar dan saran yang membangun sehingga membuat pemakalah bisa tetap terus berkarya tulis.



DAFTAR KEPUSTAKAAN
ad-da’asi, Azat ubaid. 1989, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, cet. 3, Damaskus: dar at-Tarmizi
al-Zarqa’, Syaikh ahmad bin syaikh muhammad. 1989, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, , cet. 2 Damaskus: dar al-Qalam
Djazuli, 2006, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Ed.1, cet. 3, Jakarta: Kencana
http://langkahsupian.blogspot.com/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html diakses tanggal 09 april 2013
http://www.psycholovegy.com/2012/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fiqh.html diakses tanggal 12april 2013





[1] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al  Islami fi Tsaubihi al-Jadid, (Beirut: Dar al-Fikr. 1965)
[2] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.3. hal 129
[3] Azat ubaid ad-da’asi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, (Damaskus: dar at-Tarmizi. 1989) cet. 3, hal 7
[4] Syaikh ahmad bin syaikh muhammad al-Zarqa’, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: dar al-Qalam 1989), cet. 2, hal 33
[5] http://www.psycholovegy.com/2012/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fiqh.html diakses tanggal 12april 2013
[6] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.3, hal 130
[7] ibid
[8] Ibid, hal 131
[9] Ibid
[10] http://langkahsupian.blogspot.com/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html diakses tanggal 09 april 2013
[11] Azat ubaid ad-Adda’asi, op cit hal 95
[12] Ibid, hal 96
[13] Syaikh ahmad bin syaikh muhammad al-Zarqa’, op cit, hal 437
[14] Djazuli, op cit, hal 134
[15] http://faizalhusen.blogspot.com/2012/03/kaidah-kaidah-fiqh-muamalah.html diakses tanggal 09 april 2013
[16] Dzajuli, opcit, hal 134-138
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid


AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH Oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili Pada kesempatan ini saya mengajak kepada dari saya...


AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH

Oleh

Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili

Pada kesempatan ini saya mengajak kepada dari saya dan para jamaah shalat , agar meningkatkan takwa kepada Allah Azza wa Jalla. Yaitu dengan cara mengerjakan amalan-amalan yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjauhi hal-hal yang dilarangnya. Inilah yang bisa meningkatkan keimanan dan amal kita.

Ingatlah wahai ikhwani, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب البقرة:197

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal”. [Al Baqarah : 197].

Mengingat telah datangnya bulan Ramadhan, maka kami akan menerangkan beberapa materi berkaitan erat dengan bulan yang suci ini, sebagai upaya meneladani Rasulullah n yang senantiasa memberikan petuah kepada para sahabat saat Ramadhan tiba.

Bulan Ramadhan, benar-benar merupakan bulan yang sangat agung, bulan istimewa, menjanjikan pahala tiada terkira besarnya bagi orang yang memanfaatkannya dengan ibadah puasa.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah semata, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau”.

Karena itulah, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu kesempatan emas, sarat dengan kebaikan, satu masa yang menjadi ajang berlomba bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Ikhwani rahimanillahu wa iyyakum jami’an,

Sebagian ulama telah memberikan beberapa kiat dalam menyongsong musim yang penuh dengan limpahan kebaikan ini. Di antaranya:

Pertama : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengingatkan, dalam menyambut datangnya musim-musim ibadah, seorang hamba sangat memerlukan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah. Caranya, (yaitu) dengan bertawakkal kepada Allah.

Salah satu teladan dari ulama Salaf, yakni sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, mereka tekun berdoa dan memohon kepada Allah, agar dapat menjumpai bulan Ramadhan kembali dan memudahkan mereka dalam menggali keutamaannya. Ini merupakan salah satu cerminan berserah diri kepada Allah.

Beliau (Syaikhul Islam) menambahkan, dalam melaksanakan suatu ibadah, seorang muslim berkepentingan dengan beberapa poin (berikut) yang harus diperhatikan menjelang, saat berlangsung dan pasca pelaksanaannya.

1. Mengenai hal yang dibutuhkan sebelum beramal ialah, menunjukkan sikap tawakkal kepada Allah dan semata-mata berharap kepadaNya, agar Dia senantiasa membantu dan meluruskan amalannya.

Ibnu Qayyim menyatakan, para ahlul ilmi telah bersepakat, bahwa salah satu indikasi taufiq Allah kepada hambaNya adalah pertolonganNya kepada hamba. Dan (sebaliknya), salah satu ciri dari kenistaan seorang hamba, yaitu orang yang hanya bermodalkan pada kepercayaan dan kemampuan dirinya semata.

Mengokohkan tawakkal kepada Allah merupakan modal paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah, guna menumbuhkan sikap ketidakberdayaan untuk menunaikan ibadah dengan sempurna, serta menyelamatkan diri dari kemungkinan terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kenistaan, apabila tidak mendapat anugerah taufiq dari Sang pencipta dalam beramal.

Selanjutnya, dia juga harus berdoa dengan penuh harap, supaya dapat bersua kembali dengan Ramadhan pada kesempatan yang akan datang. Juga agar Allah berkenan menolong dan meluruskan amalannya.

Langkah-langkah ini termasuk amalan yang paling agung, yang dapat mendatangkan taufiq Allah dalam menghidupi bulan Ramadhan.

2. Saat penyelesaian ibadah, maka yang perlu diperhatikan seorang hamba ialah ikhlas dalam beramal dan ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Usai pelaksanaan ibadah, yang harus dikerjakan ialah memperbanyak istighfar (meminta ampun) atas kekhilafan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Disamping itu, juga harus memperbanyak pujian kepada Allah yang telah memberikan taufiq. Apabila seorang insan bisa memadukan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh Allah.

Hal-hal di atas, betul-betul sangat perlu untuk diperhatikan, karena setan senantiasa mengintai manusia hingga detik-detik terakhir, bahkan setelah orang tersebut menyelesaikan ibadah sekalipun! Makhluk ini mulai mengungkit-ungkit ibadah seorang muslim, menghembuskan keragu-raguan serta tipu dayanya, dengan membisikkan “Hai fulan… kau telah berbuat begini dan begitu… kau telah berpuasa Ramadhan,…kau telah shalat malam di bulan suci ini… kau telah menunaikan amalan ini, itu dengan sempurna…”, dan dia terus mengungkap seluruh amalan yang telah dilakukan, sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub yang mengantarkannya ke lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seyogyanya kita tidak terjebak dengan jaring-jaring perangkap ‘ujub. Karena, orang yang terpukau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) dan amalan ibadahnya, pada dasarnya telah menunjukkan kenistaan dan kehinaan serta kekurangan diri dan amalannya.

Kedua : Sebelum Ramadhan tiba, hal lain yang harus dilakukan seorang hamba ialah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Banyak dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat. Diantaranya firman Allah Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai”. [At Tahrim : 8].

Masih banyak lagi ayat yang senada. Dan seorang muslim, pasti tidak lepas dari dosa ataupun kesalahan. Dosa hanya akan menjauhkannya dari taufiq, sehingga tidak kuasa untuk beramal shalih. Ini semua merupakan dampak buruk dari dosa yang diperbuatnya. Apabila ternyata dia mau bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka prahara ini akan sirna dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kembali menganugerahkan taufiq kepadanya.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya. Hakikatnya ialah bertaubat kepada Allah dari seluruh macam dosa. Sebagian ulama menjabarkan, taubat yang sempurna ialah taubat dari segala jenis dosa, bertekad bulat dan berniat kuat untuk tidak mengulangi dosa tadi. Jika dosa itu berkaitan erat dengan manusia (seperti mengambil barang dan lain-lain), maka dia harus mengembalikannya kepada sang pemilik.

Ada suatu kekeliruan yang harus diwaspadai, sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad untuk tidak berbuat maksiat, namun –ironisnya- hanya saat bulan Ramadhan saja. Ini merupakan perbuatan dungu …! Semestinya, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari dosa serta meninggalkan maksiat tadi, seharusnya tetap menyala, baik saat Ramadhan maupun bulan-bulan selanjutnya. Tidaklah disebut dengan taubat sejati, apabila seseorang bertaubat di suatu waktu, kemudian ia melanggarnya kembali pada waktu lain. Taubat seperti ini tidak akan dikabulkan. Sebab, salah satu syarat terkabulnya taubat ialah, dengan bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa tadi.

Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian, yaitu berusaha untuk membentengi ibadah puasa dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya, seperti ghibah (ngerumpi) dan namimah (mengadu domba). Dua “penyakit” ini sangat berbahaya, akan tetapi sangat disayangkan, sedikit orang yang menyadarinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak butuh kepada puasanya”.

Ahlul ilmi berbeda pandangan tentang makna hadits tersebut. Sebagian dari mereka melihat, bahwasanya ghibah dan namimah membatalkan pahala puasa, tidak menyisakan sedikitpun … ! Pendapat lainnya menyatakan, ghibah dan namimah mengurangi pahala puasa dan bahkan kadang-kadang hanya tersisa sedikit. Artinya ibadah puasanya tidak bermanfaat.

Orang yang mengekang lidahnya, tidak berbuat ghibah dan namimah ketika berpuasa Ramadhan tanpa diiringi amalan-amalan sunnah, ia lebih baik daripada orang yang berpuasa dengan menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun tidak berhenti dari dua kebiasaan buruk tadi. Demikian kenyataan mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan pelanggaran.

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa. Takwa ialah, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau.

Para ulama menegaskan: “Inilah takwa yang sebenarnya. Adapun mencampur-adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, ini tidak termasuk dalam bingkai takwa, meskipun dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.

Oleh sebab itu, para ahlul ilmi merasa heran terhadap sosok yang menahan (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tetapi masih menyukai perbuatan dosa.

Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: “Kewajiban seorang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan larangan agama. Mengekang diri dari makanan, minuman, jima`, sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan. Sementara itu, ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. Pada bulan suci, larangan tersebut tentunya menjadi lebih tegas”.

Maka, sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang dibolehkan (diluar Ramadhan) seperti makan dan minum, namun tidak merasa alergi dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan setiap waktu, seperti ghibah, namimah, mencaci, mencela, mengumpat, memandang perempuan ajnabiah (menonton film, Pent) dan lain-lain. Semua ini mengikis pahala puasa.

Masalah lain yang perlu diperhatikan, yaitu amalan fardhu. Aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan ialah: mendirikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid (bagi laki-laki), dan berusaha sekuat tenaga tidak tertinggal takbiratul ihram.

Telah diuraikan dalam suatu hadits, barangsiapa yang melaksanakan shalat 40 hari bersama imam dan mendapati takbiratul ihram, ditulis baginya dua jaminan surat kebebasan, (yaitu) bebas dari api neraka dan nifaq. Hadits ini shahih.

Seandainya kita, ternyata termasuk orang-orang mufarrith, yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang yang bersemangat melaksanakan shalat tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Demikian ini merupakan kebodohan dan pelecehan terhadap kewajiban…!

Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja, tanpa melakukan shalat tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan berarti kita memandang remeh terhadap shalat tarawih, akan tetapi, seharusnya seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan sunnah, seperti shalat tarawih.

Sebagaimana pada khutbah pertama telah kami sampaikan, bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat agung, bulan yang teramat istimewa. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang memanfaatkannya. Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi orang yang menginginkan kebaikan di sisi Allah Azza wa Jalla. Salah satu kesempatan emas itu ialah adanya lailatul qadar. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al Qur`an :

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ القدر:3

“Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan”. [Al Qadar : 3].

Karenanya, marilah kita berusaha untuk mendapatkannya, dan mengisi lailatul qadr itu dengan beramal shalih.

Sebagaimana tuntunan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, hendaklah umat ini berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan lailatul qadr pada tujuh hari yang tersisa dari sepuluh hari yang terakhir. Atau dalam hadits Abu Hurairah, carilah dia (lailatul qadr) pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Karenanya, seyogyanya setiap muslim bergegas untuk mencarinya dengan memperbanyak amal ibadah dengan tekun.

Para salafush shalih berusaha meraih lailatul qadr pada malam 21. Sebagian yang lain pada malam 23. Sebagian yang lain pada malam 27. Sebagian yang lain mencari pada malam 24. Dan hampir-hampir pada setiap malam 10 hari terakhir. Maka mengapa kita tidak mencontoh para salafush shalih? Marilah kita berusaha secara maksimal pada 10 terakhir bulan Ramadhan ini, dengan menyibukkan diri beramal dan beribadah, sehingga bisa menggapai pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hanya sedikit amalan, kita bisa menggenggam pahala, lantaran orang yang beramal pada malam lailatul qadr ini akan menyamai amalan ibadah selama seribu bulan.

Kalau ada orang yang tidak berusaha mencarinya kecuali pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan (dengan asumsi lailatul qadr jatuh pada tanggal ini atau itu), walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia -sama sekali- tidak akan pernah mendapatkan moment tersebut. Selanjutnya hanya penyesalan yang ada.

Sekali lagi, hendaklah setiap muslim beramal dan beribadah pada setiap malam sepuluh terakhir itu seraya berkata “malam ini adalah malam lailatul qadr”. Andai dugaannya meleset, dia perlu mengingat, bahwa sesungguhnya malam itu termasuk sepuluh terakhir Ramadhan, malam yang paling utama selama Ramadhan. Sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan lebih afdhal dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah. Wallahu ‘alam bish shawab.

[Diangkat berdasarkan untaian nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, pada malam Jum’at, 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurrain].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]



Sumber: https://almanhaj.or.id/2823-agar-ramadhan-bermakna-indah.html