Navigasi

KAIDAH UMUM MU’AMALAH Kaidah pertama, Hukum Asal Jual Beli Adalah Mubah Kaidah menyatakan, الأصل في المعاملات الحل والإباحة “Huk...




KAIDAH UMUM MU’AMALAH

Kaidah pertama,

Hukum Asal Jual Beli Adalah Mubah

Kaidah menyatakan,

الأصل في المعاملات الحل والإباحة

“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”

Aktivitas manusia di dunia ini bisa kita bagi menjadi 2:

[1] Aktivitas ibadah

[2] Aktivitas non Ibadah

Untuk aktivitas ibadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi batasan, semua kegiatan ibadah harus ada dalilnya. Tanpa dalil, kegiatan ibadah itu tidak diterima. Kita sepakat, semua manusia buta akhirat. Bahkan mereka juga buta tentang cara untuk bisa mendapatkan kebahagiaan akhirat. Sehingga Allah turunkan wahyu, yang disampaikan melalui manusia pilihan-Nya yaitu para nabi. Sehingga tidak ada cara yang dibenarkan untuk mendapatkan jalan akhirat, selain mengikuti petunjuk para nabi.

Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, setiap kegiatan agama, tanpa panduan dari beliau, tidak akan diterima. Beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ

Siapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak ada ajarannya dari kami, maka amal itu tertolak. (HR. Muslim 4590).

Berbeda dengan aktivitas yang kedua, aktivitas non ibadah, manusia diberi hak untuk berkreasi, melakukan kegiatan apapun yang bisa memberikan kebaikan untuk dirinya, selama tidak melanggar larangan.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, bahwa umatnya lebih tentang urusan dunia mereka.

Dalam hadis yang sangat terkenal, yang menyatakan,

أنتم أعلم بأمور دنياكم

“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

Kaidah Kedua,

Akad Dinilai Sah dengan Cara Apapun yang Menunjukkan Keridhaan

Kaidah menyatakan,

تنعقد المعاملة بما يدل عليها من قولٍ أو فعلٍ

“Muamalah dinilai sah, dengan ucapan maupun perbuatan apapun yang menunjukkan adanya transaksi”

Ungkapan lain untuk kaidah masalah akad,

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

“Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat”

Penjelasan:

Salah satu diantara rukun jual beli  adalah adanya shighat akad, yaitu  ucapan atau tindakan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan transaksi tanpa paksaan.

Jika Shighat ini disampaikan secara lisan, para ulama menyebutnya dengan istilah: ijab qabul.  Sementara shighat dalam jual beli disampaikan dalam bentuk perbuatan atau isyarat, disebut Bai’ Mu’athah.

Shighat (bentuk) Pernyataan Saling Ridha

Saling ridha antara penjual dan pembeli menjadi syarat penting dalam transaksi jual beli. Karena ini yang memastikan bahwa dalam akad tersebut tidak ada unsur kedzaliman.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (an-Nisa: 29)

Dari Abu Said al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Jual beli harus dilakukan saling ridha. (HR. Ibn Majah 2269, Ibn Hibban 4967 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Kaidah Ketiga,

Semua Yang Halal Dimanfaatkan, Halal Diperjual Belikan

Kaidah menyatakan,

كل ما صح نفعه صح بيعه إلا بدليل

Semua yang boleh dimanfaatkan, boleh diperjual belikan, kecuali jika ada dalil

Keterangan:

Sebagaimana yang pernah dibahas di kaidah yang pertama, bahwa Allah ciptakan bumi dan isinya untuk dimanfaatkan manusia. Allah berfirman,

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.. (QS. al-Jatsiyah: 13)

Hanya saja, banyak benda di alam ini yang itu berada di bawah kekuasaan orang lain, menjadi hak milik orang lain. Sehingga satu-satunya cara bagi kita untuk bisa mendapatkan barang itu adalah dengan melakukan transaksi dengan pemiliknya. Baik transaksi komersial maupun non komersial.

Dalam kaidah ini, benda yang boleh diperjual-belikan adalah benda yang boleh dimanfaatkan. Ada 2 syarat agar benda itu bisa disebut boleh dimanfaatkan:

[1] Benda ini ada manfaatnya.

Benda yang sama sekali tidak ada manfaatnya, tidak boleh diperjual-belikan. Misalnya, serangga kecil, kutu, yang sama sekali tidak ada manfaatnya.

[2] Manfaat benda ini hukumnya mubah.

Sehingga benda yang tidak bermanfaat kecuali untuk sesuatu yang haram, tidak boleh diperjual-belikan. Seperti patung, alat musik, rokok, dan benda-benda fasilitas maksiat lainnya.

Semua yang Najis, Tidak Boleh Diperjual Belikan

Semua yang najis tidak boleh di-jual-beli-kan.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah ketika Fathu Mekah,

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ، وَالْمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَالْأَصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala.

Para sahabat bertanya,

Ya Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit hewan, dan digunakan untuk bahan bakar lampu?

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا، هُوَ حَرَامٌ

“Tidak boleh, itu haram.” (HR. Muslim 1581, Ahmad 14472 dan yang lainnya).

Syaikh as-Syinqithi mengatakan,

قال جمهور العلماء : نظرنا فيها فوجدنا العلة في الخمر والميتة والخنزير أنها نجسة ووجدنا الأصنام نجسة المعنى وإن لم تكن نجسة الحس

Mayoritas ulama mengatakan, kami perhatikan semua yang diharamkan itu. Kami simpulkan bahwa alasan khamr, bangkai, dan babi dilarang, karena ini barang najis. Sementara berhala dilarang, karena dia najis maknawi, meskipun bendanya tidak najis.

Kemudian beliau melanjutkan,

إذا ثبت أن تحريم البيع أن النبي- صلى الله عليه وسلم حرم بيع هذه الاشياء من أجل نجاستها قالوا فكل نجس لا يجوز بيعه

Jika disimpulkan tentang haramnya jual beli, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan jual beli barang tertentu karena status najisnya, maka para ulama menetapkan kaidah, “Semua yang najis tidak boleh diperjual belikan.”

Kaidah Keempat, kaidah berkaitan masalah syarat dalam Jual Beli

Hukum asal mengajukan syarat adalah mubah kecuali jika ada dalil yang melarang

Kaidah keempat menyatakan,

الأصل في الشروط في المعاملات الحل والإباحة إلا بدليل

Hukum asal mengajukan syarat dalam muamalah adalah halal dan mubah, kecuali jika ada dalil.

Keterangan:

Sebelumnya perlu dibedakan antara syarat sah dalam muamalah dan mengajukan syarat dalam bermuamalah.

Untuk yang pertama, syarat sah dalam muamalah adalah semua keadaan yang menyebabkan muamalah yang kita kerjakan bernilai sah. Syarat sah ini yang menetapkan syariat, sehingga semuanya berdasarkan dalil. Atau bagian dari konsekuensi akad.

Misalnya, diantara syarat sah jual beli, harus dilakukan saling ridha (‘an taradhin), berdasarkan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa: 29)

Untuk yang kedua, mengajukan syarat dalam bermuamalah, maksudnya adalah syarat yang diajukan oleh orang yang melakukan akad. Artinya, murni atas inisiatif orang yang berakad. Misalnya, pembeli minta syarat agar barang diantar ke rumahnya.

Dari keterangan di atas, ada perbedaan syarat sah muamalah dengan mengajukan syarat dalam muamalah,

Syarat sah muamalah ditetapkan oleh syariat, atau sebagai bagian dari konsekuensi akad. Sementara syarat dalam bermuamalah ditetapkan berdasarkan kesepakatan aqidain (orang yang melakukan akad)

Jika salah satu syarat sah tidak terpenuhi maka muamalahnya tidak sah. Jika salah satu syarat dalam bermuamalah tidak dipenuhi, kembali kepada kerelaan pihak yang dirugikan.

Kaidah Kelima, kaidah terkait masalah gharar dan jahalah dalam Jual Beli

Kaidah menyatakan,

كل معاملة فيها غرر أو جهالة فيما يقصد فهي باطلة

Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi, statusnya batal

Keterangan:

Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari gharrara – yugharriru – Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi. (al-Mishbah al-Munir, 2/445)

Para ulama menyebutkan, secara umum, muamalah yang dilarang, karena di sana mengandung salah satu dari  3 unsur: [1] Dzalim, [2] Gharar, dan [3] Riba.

Adanya unsur jahalah, membuat gharar mirip dengan judi. Sementara judi termasuk tradisi setan. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (al-Maidah: 90)

Terdapat banyak dalil dari hadis yang menunjukkan larangan gharar. Kita akan sebutkan beberapa hadis seputar gharar, dengan harapan kita bisa memahami makna gharar secara lebih utuh,

[1]Hadis Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar. (HR. Muslim 3881, Nasai 4535, dan yang lainnya).

[2] Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sperma hewan pejantan. (HR. Ahmad 4732, Bukhari 2284).

Dari semua hadis di atas, jika kita simpulkan, semua jual beli yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muaranya kembali kepada satu kata, yaitu adanya ketidak jelasan. Modal dan uang yang diberikan oleh penjual dan pembeli, digantikan dengan sesuatu yang tidak jelas. Bisa jadi untung besar, atau bisa jadi sangat merugikan.

[1] Pada jual beli sperma hewan pejantan, terjadi ketidak jelasan, apakah nanti sperma ini bisa membuahi ovum betina ataukah tidak.

Artinya, petani yang beli sperma pejantan, uang yang dia bayarkan digantikan dengan peluang kehamilan.

[2] Pada jual beli habalul habalah, unsur ghararnya sangat jelas. Baik yang terkait waktunya atau bendanya. Baik penjual maupun pembeli tidak akan pernah tahu masa depan bayi hewan yang ada di kandungan.

Sehingga uang yang dibayarkan pembeli digantikan dengan peluang masa depan janin.

[3] Pada jual beli mulamasah dan munabadzah, unsur ketidak jelasannya sangat nampak. Jika kainnya bagus, dia bisa dapat untung. Jika jelek, dia rugi. Sangat mirip dengan judi.

[4] Pada jual beli ijon, uang yang dibayarkan dipertaruhkan. Karena bisa jadi pohon ini berbuah banyak, sehingga dia untung besar. Atau sebaliknya, gagal panen, sehingga dia rugi besar.

Karena itu, sebagian ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, memberikan definisi tentang gharar dengan pengertian,

الغرر هو المجهول العاقبة

“Gharar adalah Jual beli yang tidak jelas konsekuensinya” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)

Karena inti dari gharar adalah adanya jahalah (ketidak jelasan), baik pada barang maupun harga barang, maka gharar sangat mirip dengan judi. Sama-sama majhul alaqibah (tidak jelas konsekuensinya). Bedanya, judi terjadi pada permainan. Sementara gharar terjadi dalam transaksi.

Meskipun bahaya judi lebih besar, karena ini pemicu permusuhan dan saling membenci, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah. Sehingga diharamkan tanpa kecuali. Berbeda dengan gharar, di sana masih ada bentuk yang ditoleransi syariat. Karena semua transaksi kita, tidak ada yang 100% terbebas dari ketidak-jelasan.

Contoh bentuk gharar

Bentuk tidak jelas pada barang

(1)  Tidak tahu barang sama sekali

(2)  Tahu barangnya, buta kriteria

(3)  Jual beli barang yang belum dimiliki. Tidak jelas, apakah bisa diserahkan atau tidak

(4)  Penjual tidak bisa dipastikan bisa menyerahkan barang. Seperti menjual barang hilang

Bentuk tidak jelas pada harga

(1)  Tidak jelas harganya sama sekali. Misal: Kujual mobil ini, harganya tentukan sendiri. Mereka pisah dan belum ditentukan harganya.

(2)  Dikasih pilihan 2 harga, dan ketika pisah, belum ada pilihan. Baik tidak jelas di depan atau tidak jelas di belakang.

(3)  Tidak jelas masa pelunasannya.

Semua bentuk gharar di atas, menyebabkan ketidak jelasan untung ruginya. Bisa salah satunya lebih diuntungkan, sementara satunya dirugikan.

Syarat Gharar Terlarang

Hukum asal gharar dilarang. Hanya saja, ada beberapa bentuk gharar yang diperbolehkan. Dan secara umum, batasan gharar yang terlarang adalah sebagai berikut,

Pertama, berpengaruh kepada kelanjutan jual beli dan memungkinkan dihindari.

Ini terjadi jika ghararnya besar dan tidak bisa ditoleransi. Jika ghararnya kecil, tidak terlalu diperhitungkan dampaknya, tidak pengaruh. Seperti, detail isi mesin untuk jual beli kendaraan bermotor, atau detail pondasi rumah.

Ibnul Qoyim menjelaskan,

والغرر إذا كان يسيراً أو لا يمكن الاحتراز منه لم يكن مانعاً من صحة العقد، بخلاف الكثير الذي يمكن الاحتراز منه

“Gharar jika hanya sedikit atau tidak mungkin dihindari, tidak mempengaruhi keabsahan jual beli. beda dengan gharar yang besar dan memungkinkan untuk dihindari.” (Zadul Maad, 5/820)

As-Salam

1.      Pengertian As-Salam

Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari

As-Salam merupakan prinsip bai (jual beli) suatu barang tertententu antara pihak penjual dan pembeli sebesar harga pokok ditambah nilai keuntungan yang disepakati, dimana penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan dimuka

Dalam pengertian yang sederahana, salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka, jadi sangat jelas bahwa salam adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat; barang itu ada dalam pengakuan (tangguahan) si penjual.

2.      Dasar Hukum As-Salam

Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.

a)      Al-Quran

يا أيهاالذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282)

b)      Al-Hadits

                        Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana semua penduduknya melakukan salaf (salam)  dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau bersabda:

من اسلف في شيء ففي كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل ممعلوم

“Barang siapa yang melakukan salaf ( salam), hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, dan timbangan yang jelas pula, dengan waktu yang diketahui.”

B.     Rukun  dan Syarat As-Salam

1.      Rukun As-Salam

Pelaksanaan As-Salam harus memenuhi rukun sebagai berikut:

a)                Muslam (pembeli)

b)                Muslam Ilaih (penjual)

c)                Modal atau uang

d)               Muslam fiihi (barang)

e)                Sighat (Ucapan atau lafaz akad)

2.      Syarat As-Salam

a)      Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad (pembayaran dilakukan lebih dulu)

b)      Barang menjadi utang si penjual

c)      Barang diserahkan dikemudian hari (diberikan sesuai waktu yang dijanjikan)

d)     Barang harus jelas, baik ukuran, timbangan ataupun bilangannya

e)      Harus diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya

f)       tempat penyerahan dinyatakan secara jelas

Al-Istishna’

1.      Pengertian Al-Istishna’

Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat, kemudian ditambah huruf alif, sin, dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.

Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.

Transaksi Al-Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membeli atau membuat barang sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak telah setuju atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang

Menurut jumhur fuqaha,Al-Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari dari akad As-Salam. Dengan demikian ketentuan dari Al-Istishna’  mengikuti ketentuan akad As-Salam

2.      Dasar Hukum Al-Istishna’

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada as-salam juga berlaku pada al-istishna’, karna Al-Istishna’ merupakan lanjutan dari As-Salam. Menurut Hanafi, al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun Mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan

a)        Al-Qur’an

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا   

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

(Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini, para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih

b)   Al-hadits

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم

Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)

D.    Rukun dan Syarat Al-Istishna’

1.      Rukun Al-istishna’

a)      Penjual / penerima pesanan ( shani’)

b)      Pembeli / pemesan (mustashni’)

c)      Barang (Mashnu’)

d)     Harga (tsanan)

e)      Ijab qabul (sighat)

2.      Syarat Al-Istishna’

Pada prinsipnya al-istishna’ adalah sama dengan as-salam. Maka rukun dan syarat istishna’  mengikuti rukun dan syarat as-salam.  Hanya saja pada al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.  Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.    

 

Macam-macam Jual Beli dalam Islam

1)      Pembagian Jual Beli Ditinjau Dari Objeknya

a.       Bai’ Al-Mutlaq adalah tukar-menukar  suatu benda dengan mata uang .misal seperti dirham, rupiahn atau dollar.

b.      Bai’ Al-Salam atau salaf adalah tukar menukar atau menjual barang yang penyerahannya ditunda dengan pembayaran modal terlebih dahulu.

c.       Bai’al-sharf adalah tukar-menukar tsaman dengan tsaman lainnya. Misalnya mata uang dengan mata uang, emas dengan emas atau perak dengan perak, bentuk jual beli ini memiliki syarat diantaranya adalah

·         Saling serah terima sebelum berpisah badan Antara kedua belah pihak.

·         Sama jenisnya barang yang dipertukarkan.

·         Tidak terdapat khiyar syarat didalamnya.

·         Penyerahan barangnya tidak ditunda

d.      Bai’ al-muqayadhah(barter) adalah tukar menukar harta dengan harta selain emas dan perak. Jual beli ini disyaratkan haus sama dalam jumlah dan kadarnya. Missal tkar menukar kurma dan gandum.

2)      Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Subjeknya

a)      Dengan lisan

b)      Dengan perantara yaitu penyampaian akad jual beli melalui wakala(utusan), perantara, tulisan, atau surat menyurat sama halnya dengan ucapan. Penjual dan pembeli tidakberhadapan dalam satu majelis akad.

c)      Dengan perbuatan(saling memberikan atau mu’athah) yaitu menganbil dan memberikan barang tanpa ijab qabul secara lisan. Contoh saat kita membeli di swalayan mengambil barang yang sudah dituliskan labelnya oleh penjual dan kita membayar di kasir. Sebagian ulama syafi’iyah melarang adanya jual beli ini karena tanpa ijab qabul, namun sebagian ulama syafi’iyah lainnya seperti imam an-nawawi membolehkan jual beli ini dalam kehidupan sehari-hari.

3)      Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Hukumnya

a.       Bai’ al-Mun’aqid lawannya bai’ al-bathil, yaitu jual beli disyariatkan(diperbolehkan oleh syara’)

b.      Bai’ al-shahih lawannya bai’ al-fasid, yaitu jual beli yang terpenuhi syarat sahnya.

c.       Bai’ al-nafidz lawannya bai’ al-mauquf, yaitu jual beli shahihyang dilakukan oleh orang yang cakap melaksanakannyaseperti baligh dan berakal.

d.      Bai’ al-lazim lawannya bai’ ghair al-lazim, yaitu jul beli shahih yang sempurna dan tidak ada hak khiyar di dalamnya. Jual beli ini disebut juga dengan bai’ al-jaiz.

 

  JAGALAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENJAGAMU Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas   حفظه الله...


 JAGALAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENJAGAMU

Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas

 حفظه الله عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَوْمًا ، فَقَالَ «يَا غُلَامُ ! إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ ، وَإِذَا  اسْتَعَنْتَ فَاسْتَـعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِاجْتَمَعَتْ عَلىَ أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَ إِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ  اللهُ عَلَيْكَ ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ».  رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ   : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيِحٌ.  وَفِي رِوَايَةٍ غَيْرِ التِّرْمِذِيِّ : «اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَاأَخْطَأَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ ، وَمَا أَصَابَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا».

 Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , ia mengatakan, “Pada suatu hari, aku pernah dibonceng di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.’” [HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahîh”] Dalam riwayat selain at-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”

TAKHRIJ HADITS

  Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2516), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 425), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 2549), Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah (II/829-830, no. 412), al-Lâlika-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1094, 1095), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 11243, 11416, 11560, 12988), ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no. 635), al-Hâkim (III/541, 542), Abu Nu’aim dalam al-Hilyatul Auliyâ’  (I/389, no. 1110), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 192). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fî Takhrîjis Sunnah (no. 315-318) dan Hidâyatur Ruwât (no. 5232), dishahihkan juga oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad (no. 2669, 2763, 2804).

SYARAH HADITS JAGALAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA, NISCAYA DIA SUBHANAHU WA TA’ALA AKAN MENJAGAMU

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah,” Maksudnya jagalah batas-batas Allah, hak-hak-Nya, serta menjaga perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya dengan mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Demikian pula, dengan mempelajari agama-Nya sehingga dengannya engkau dapat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan bermuamalah dengan manusia serta mendakwahkannya di jalan Allah. Hal-Hal Terbesar Yang Harus Dijaga Oleh Seorang Hamba

1.                  Tauhid Yang Merupakan Hak Allah Azza Wa Jalla Yang Paling Besar

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal  Radhiyallahu anhu :

 يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, dan apa hak hamba atas Allah?” Mu’adz pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah hanya kepada Allah saja dan mereka tidak boleh berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan suatu apa pun juga. Sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.”

Setiap muslim dan muslimah wajib memenuhi hak Allah, yaitu dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan Allah dalam seluruh ben-tuk ibadah dan ditujukan hanya kepada Allah saja dan tidak boleh berbuat syirik, tidak boleh menyekutukan Allah dengan suatu apa pun juga.

2.                  Shalat Wajib Lima Waktu.

 Allah Azza wa Jalla  berfirman:

 حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Jagalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha; berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu‘  [al-Baqarah/2:238]

 وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. [al-Ma’ârij/70:34]

 Menjaga shalat wajib lima waktu, yaitu melaksanakan dan memerintahkannya kepada keluarga dan saudara-saudara kita, dengan memperhatikan waktu, tata cara, khusyu’, dan berjama’ahnya.

3.                  Menjaga Thaharah (Bersuci)

Seorang mukmin dan mukminah harus menjaga dirinya dari hadats kecil dan hadats besar dengan thaharah (bersuci), yaitu berwudhu dan mandi janabah serta mandi setelah bersih dari haid dan nifas.

Bersuci termasuk sebagian dari iman . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ

Bersuci adalah sebagian dari iman

Berwudhu adalah kunci shalat. Seseorang tidak akan diterima shalatnya apabila dia tidak berwudhu. Seorang hamba terkadang batal wudhunya, sedangkan dia tidak mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla . Karena itu, menjaga wudhu untuk shalat menunjukkan konsistensi  iman pada hati seorang hamba.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْـرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ، وَلَا يُـحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ.

“… Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhu  melainkan orang mukmin.”

4.                  Menjaga Sumpah

Allah Azza wa Jalla berfirman:

 وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ

“… Dan jagalah sumpahmu…” [al-Mâ-idah/5:89]

Apabila seseorang bersumpah kemudian ia tidak melaksanakan sumpah tersebut atau dilanggar, maka ia berdosa dan wajib membayar kaffârat (tebusan). Yaitu:

-Memberi makan 10 orang miskin, atau

-Memberikan pakaian kepada mereka, atau

-Memerdekakan budak.

-Barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka ia berpuasa tiga hari.

Dan jangan sekali-kali bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla . Karena barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla , ia telah berbuat syirik.

 مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat syirik

5.                  Menjaga Kepala Dan Perut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ ؛ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya badan. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.

 Yang ada pada kepala adalah: (1) mata, yaitu dengan menjaganya agar tidak melihat yang haram, (2) telinga, yaitu dengan menjaganya agar tidak mendengarkan hal-hal yang haram, seperti musik, lagu, ghibah, dan lainnya, dan (3) lisan, yaitu dengan menjaganya dari pembicaraan yang mengandung dosa berupa ghibah, caci maki, adu domba, memfitnah dan semisalnya. Sedang menjaga perut ialah dengan menjaganya agar barang-barang yang haram tidak masuk ke dalamnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

 كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap badan yang dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak bagi dirinya.”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Niscaya Dia Akan Menjagamu”

Maksudnya, barangsiapa menjaga perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan kewajibannya serta menahan diri dari apa  yang dilarang darinya, niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjaga agama, keluarga, harta, dan dirinya karena Allah Azza wa Jalla akan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan-Nya. Karena, amal itu tergantung dari jenis amal. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

Jika engkau menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu. [Muhammad/47:7]

 Penjagaan Allah Azza wa Jalla  terhadap hamba-Nya terbagi dua:

 Pertama : Allah Azza wa Jalla akan menjaga para hamba-Nya dalam urusan duniawinya. Seperti penjagaan Allah atas badan, harta, anak, dan keluarga dari para hamba-Nya. Allah akan menjaga anak keturunan orang-orang shalih yang menjaga batas-batas-Nya, sebagaimana firman-Nya:

 وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

Dan ayah kedua (anak ini) adalah orang shalih. [al-Kahfi/18:82]

Di dalam (ayat ini) terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan senantiasa dijaga keturunannya oleh Allah Azza wa Jalla. Begitu juga, barokah ibadahnya mencakup  para anak keturunannya di dunia dan di akhirat. Apabila seorang hamba menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan menjaganya.

Kedua, dan ini yang paling penting, yaitu penjagaan Allah Azza wa Jalla atas agamanya dan menyelamatkannya dari kesesatan. Karena, jika seseorang diberi petunjuk, maka Allah Azza wa Jalla akan menambahkan petunjuk kepadanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan kepada mereka.  [Muhammad/47:17]

 Dari keterangan ini diketahui bahwa orang yang tidak menjaga Allah Azza wa Jalla , maka dia tidak berhak mendapat penjagaan-Nya. Dan di dalamnya juga terkandung motivasi untuk selalu menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla .

 KEBERSAMAAN DAN PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”

 Maksudnya, barangsiapa menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla dalam diri dan keluarganya serta tetap istiqamah dalam mengikuti al-Qur-ân dan Sunnah, maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya dalam setiap keadaan. Allah Azza wa Jalla akan selalu memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik kepadanya, meluruskannya, dan senantiasa melindungi, dan menolongnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَالَّذِيْنَ هُمْ مُحْسِنُوْنَ.

 Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan. [an-Nahl/16:128]

 Qatadah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya. Dan barangsiapa yang Allah Azza wa Jalla bersamanya, maka dia masuk dalam golongan yang tidak dapat dikalahkan, dia bersama penjaga yang tidak tidur, dan dia bersama pemberi petunjuk yang tidak menyesatkan.”

 KENALILAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DI SAAT SENANG, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENGENALMU DI SAAT SUSAH

Ini adalah hikmah nabawiyah yang selayaknya dijaga dan disebarkan yaitu melakukan ajakan untuk mengenal Allah Azza wa Jalla di saat senang, sehat, kaya, aman, dan kuat. Mengenal Allah Azza wa Jalla dapat dilakukan dengan cara menjaga berbagai kewajiban, menjauhi berbagai larangan, dan menambah usaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak amalan sunnah. Maka, barangsiapa mengenal Allah Azza wa Jalla dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla akan mengenalnya pada saat keadaannya susah, sempit, fakir, sakit.

 Sungguh, kekasih kita Nabi Muhammad Shaallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengenal Rabb-nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenal beliau pada saat berada di gua, pada saat Perang Badar, dan Perang Ahzâb, lalu Allah Azza wa Jalla menolongnya, meneguhkannya, mengalahkan musuh-musuhnya. Demikian pula,  Nabi Yunus Alaihissalam mengenal Rabb-nya pada saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenalnya pada saat berada di dalam perut ikan lalu menyelamatkannya, meneguhkan hatinya, dan menolongnya. Maka, barangsiapa yang bermuamalah dengan Allah Azza wa Jalla dengan takwa dan menaati-Nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kasih sayang kepadanya dan menolongnya di saat dia mengalami kesulitan.

SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA, MAKA MINTALAH KEPADA ALLAH.”

Maksud dari meminta di hadits ini adalah doa, sedang doa adalah ibadah. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 اَلدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Doa adalah ibadah. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla :

 وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doa kalian.’”[Ghâfir/40:60]

Wajib bagi setiap muslim agar meminta kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak boleh meminta kepada selain Allah Azza wa Jalla dalam perkara-perkara yang tidak mungkin terwujudkan kecuali oleh Allah Azza wa Jalla semata. Barangsiapa jatuh ke dalamnya, berarti ia telah jatuh dalam kesyirikan. Allah Azza wa Jalla  berfirman.

 وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdo’a (menyembah) kepada selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat… [al-Ahqâf/46:5]

Adapun tentang meminta-minta kepada manusia dalam urusan dunia yang mampu diwujudkan, maka terdapat dalil-dalil yang banyak yang melarang dan mengecamnya. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِـيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِـيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَـحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.” Hadits ini dan yang sepertinya menunjukkan haramnya minta-minta kepada orang lain, dan tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA PERTOLONGAN, MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH.”

Maksudnya, jika engkau meminta suatu kebutuhan maka janganlah meminta kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , jangan sekali-kali meminta kepada makhluk. Seandainya engkau meminta kepada makhluk sesuatu yang ia mampu memberikannya, maka ketahuilah bahwa itu termasuk perantara saja, sedang yang berkuasa mewujudkan sebab itu adalah Allah Azza wa Jalla . Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, Dia akan menghalanginya memberikan apa yang engkau minta. Maka  bersandarlah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Seorang hamba meskipun telah diberikan kedudukan, kekuatan, dan kekuasaan, dia tetap saja tak mampu dan lemah untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia wajib meminta tolong kepada Allah Azza wa Jalla semata untuk kebaikan agama dan dunianya. Barangsiapa yang ditolong Allah Azza wa Jalla , dialah orang yang ditolong dan diberi taufik, dan barangsiapa yang dihinakan-Nya dan dibiarkan sendirian, maka dialah orang yang rugi dan bangkrut. Maka, wajib atas setiap muslim untuk memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla untuk menaati-Nya dan meninggalkan perbuatan maksiat kepada-Nya, mohon pertolongan untuk sabar terhadap seluruh takdir-Nya serta keteguhan hati pada hari bertemu dengan-Nya, yaitu pada hari dimana anak dan harta tidak bermanfaat lagi. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

 Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ ، وَلَا تَعْجَزْ

 “Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah.”

 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Muadz bin Jabal Radhyallahu anhu agar selalu berdzikir sesudah shalat wajib lima waktu, agar membaca:

 اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya  Allah, tolonglahlah aku dalam berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu

 Seorang hamba pasti memerlukan bantuan Allah Azza wa Jalla, baik untuk mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan dan sabar dalam ujian, seperti yang dialami oleh Nabi Ya’kub Alaihissallam yang telah beliau sampaikan kepada putranya lewat firman  Allah Azza wa Jalla :

 فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ

Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan  Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.  [Yûsuf/12:18]

IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

 Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh ummat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan  Allah untukmu.”

Maksudnya, jika seluruh manusia yang pertama sampai yang terakhir berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, mereka sekali-kali tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Oleh karena itu, apabila ada makhluk yang memberikan manfaat kepada seseorang, maka hal itu pada hakikatnya bersumber dari Allah Azza wa Jalla karena Allahlah yang telah menentukan manfaat itu untuknya. Hal ini menjadi pendorong bagi kita untuk bersandar kepada Allah dan meyakini bahwa seluruh manusia tidak akan mampu mendatangkan suatu kebaikan kepada kita  atau membahayakan kita kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.”

Oleh karena itu, jika engkau mendapat keburukan dari seseorang, yakinilah bahwa Allah telah menetapkan keburukan itu atasmu, maka ridhalah terhadap qadha dan qadar Allah. Dan tidak ada salahnya engkau berusaha menolak keburukan tersebut karena Allah Ta’ala berfirman,

 وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa…” [asy-Syûrâ/42:40]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Ini adalah kiasan yang menunjukkan bahwa penulisan semua takdir telah selesai sejak dahulu kala. Karena sebuah buku jika telah selesai ditulisi, pena-pena diangkat darinya, dan telah berlalu sekian lama, maka tinta yang dipakai menulis menjadi kering, dan buku-buku yang ditulis dengan tinta itu  menjadi kering pula. Ini merupakan kiasan terbagus dan terindah.

Semua yang terjadi dan yang akan terjadi di langit dan di bumi serta di antara keduanya, mulai penciptaan makhluk sampai manusia masuk Surga dan Neraka, semua itu sudah tercatat di Lauhul Mahfûzh. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya, firman Allah Ta’ala,

 مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Setiap  bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” [al-Hadîd/57: 22].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah.’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadi hari Kiamat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda,

 كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْـخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَـخْلُقَ السَّمَـاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِـخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.”

Maksudnya, apa yang telah terjadi padamu tidak akan tertolak darimu, dan apa yang tidak akan engkau peroleh tidak mungkin pula engkau mendapatkannya. Mungkin juga (sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas-red) bermakna : apa yang telah Allah takdirkan akan menimpamu, tidak akan meleset darimu, pasti terjadi. Dan apa yang Allah takdirkan tidak menimpamu, maka hal itu tidak akan menimpamu selama-lamanya. Segala urusan ada di tangan Allah. Kondisi ini mendorong manusia agar bersandar kepada Allah secara total.

Iman kepada qadha dan qadar memiliki empat tingkatan:

(1) al-‘ilmu : maksudnya seorang mukmin yang beriman kepada qadar harus meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui semua yang ada di alam ini,

(2) al-Kitâbah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua kejadian – baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi- telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfuzh

(3) al-Masyî-ah,  maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua hal yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah

(4) al-Khalq,  maksudnya bahwa manusia mempunyai kehendak dan keinginan, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah. Allah Azza wa Jalla  berfirman,

 وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [ at-Takwîr/81: 29]

 Kemudian meyakini bahwa semua yang terjadi ini karena Allah yang menciptakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”  [ash-Shaffât/37: 96]

 Sedangkan terhadap musibah, ada dua tingkatan bagi orang mukmin yaitu :

 (1) Ridha dengannya. (Ini tingkatan yang paling tinggi). Dan

 (2) Sabar terhadapnya.

 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 عَجَبًا ِلأَمْرِ الْـمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya”

 KEMENANGAN ADA BERSAMA KESABARAN

 Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran.” Dalam kalimat ini terdapat anjuran agar berlaku sabar karena jika (diketahui) kemenangan bersama kesabaran, maka seseorang pasti akan bersabar demi memperoleh kemenangan. Makna seperti ini diperkuat oleh firman Allah Azza wa Jalla,

 قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Allah mengatakan, ‘Betapa banyak kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.’ Dan Allah bersama dengan orang-orang yang bersabar.” [al-Baqarah/2:249]

 Sabar ada tiga macam :

 (1) sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada  Allah,

(2) sabar dalam meninggalkan maksiat,

 (3) sabar dalam menerima musibah atau takdir yang buruk dari  Allah Azza wa Jalla.

 Demikian pula dalam menghadapi musuh-musuh Allah, butuh kesabaran karena dalam jihad terdapat banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Sabar dalam menghadapi mereka merupakan sebab dan jalan mendapat kemenangan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam jihad melawan musuh yang nampak, yaitu orang-orang kafir, maupun dalam jihad melawan musuh yang tidak nampak, yaitu hawa nafsu. Orang  yang sabar pada kedua jihad ini, ia akan ditolong dan akan berhasil mengalahkan musuhnya. Sedangkan yang tidak bersabar dan berkeluh kesah, maka ia akan kalah dan menjadi tawanan musuh atau terbunuh.

 Pertolongan  Allah pasti datang bila kaum mukminin menolong agama Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah  Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Saat melaksanakan perintah dan menjauhi larangan inilah mutlak diperlukan kesabaran. Tanpa kesabaran, tidak mungkin bisa melakukannya.

KELAPANGAN ADA BERSAMA KESEMPITAN

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan kelapangan bersama kesempitan.”

Terkadang musibah, fitnah, dan cobaan menimpa seorang muslim sehingga urusannya menjadi sulit, dunia terasa sempit dan rasa sedih serta galau semakin bertambah. Apabila ia mengharapkan pahala, bersabar, dan mengetahui bahwa apa yang menimpanya adalah atas takdir Allah serta tidak putus asa dari rahmat Allah, niscaya inâyah (pertolongan) Allah, maaf-Nya, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya akan dia peroleh. Itulah kelapangan. Allah Ta’ala berfirman :

 أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Ataukah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan guncangan (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” [al-Baqarah/2: 214]

Betapa sering  Allah Azza wa Jalla membawakan kisah-kisah tentang ujian dan cobaan yang dialami para Nabi, kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan pertolongan-Nya. Seperti kisah Nabi Nuh  Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan di atas perahu, Nabi Ibrahim Alaihissallam diselamatkan dari api, Nabi Ismail Alaihissallam diganti dengan domba ketika diperintahkan  Allah untuk disembelih. Kisah lainnya, Nabi Musa Alaihissallam  dan pengikutnya yang diselamatkan dari Fir’aun, kisah Nabi Yunus alaihissallam . Juga kisah Nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditolong ketika bersembunyi di gua, dibantu pada waktu Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Ahzâb, Perang Hunain dan lain-lain.

SESUNGGUHNYA BERSAMA KESULITAN ADA KEMUDAHAN

 Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.” Maksudnya, setiap kemudahan akan datang setelah adanya kesulitan, bahkan setiap kesulitan itu akan diiringi dua kemudahan: kemudahan sebelumnya dan kemudahan yang akan datang. Allah Ta’ala berfirman,

 فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا   إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” [al-Insyirâh/94: 5-6]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas menegaskan bahwa kesulitan tidaklah menimpa manusia terus menerus selama ia ridha dengan ketentuan Allah, senantiasa komitmen terhadap segala perintah dan larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan. Allah Ta’ala berfirman,

 وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“…Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…”  [ath-Thalâq/65:3]

FAWAA-ID HADITS

1.       Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.

2.        Disunnahkan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.

3.       Berkemauan keras untuk membina kaum muslimin.

4.        Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.

5.        Wajib atas seorang hamba menjaga batas-batas Allah, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk mengagungkan-Nya.

6.        Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas Allah, maka Allah tidak akan menjaganya. [al-Hasyr/59: 19].

7.        Diharamkan meminta kepada selain Allah dalam hal-hal yang makhluk tidak mampu memberikannya  seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dan lain sebagainya.

8.       Seluruh makhluk itu lemah dan butuh kepada Allah Azza wa Jalla . Karena itu, seorang hamba wajib memohon pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.

9.       Wajib beriman kepada al-Qadha wal Qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh Allah, tidak ada satu pun yang terluput.

10.     Wajib bagi setiap hamba untuk mencari keridhaan Allah meski dibenci oleh manusia lainnya.

11.     Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk menolak bahaya, melainkan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, ia wajib menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.

12.     Perbuatan makar—meskipun direncanakan oleh orang  banyak—tidak akan terlaksana kecuali dengan izin Allah Azza wa Jalla  [at-Taubah/9: 51].

13.    Catatan takdir di Lauhul Mahfûzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.

14.    Perbanyaklah ibadah, dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan menolongmu di saat mengalami kesulitan.

15.    Setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan dan kemudahan.

16.    Kelapangan dan kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.

17.    Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada Allah agar dihilangkan kesulitannya. Karena hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya (kesulitan). [al-An’âm/6:17,  Yûnus/10: 107]. Allah akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada  para hamba-Nya yang sabar. Jihad di jalan Allah membutuhkan kesabaran dan istiqamah. Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam agama dapat diproleh. (Perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah

 

Referensi: https://almanhaj.or.id/12197-jagalah-allah-subhanahu-wa-taala-niscaya-allah-subhanahu-wa-taala-menjagamu.html