Tuesday, March 1, 2022

hukum keluarga islam

 PEMBAHASAN

1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti intisari atau dasar serta kenyataan yang sebenarnya. Adapun keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumahnya atau satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Nama untuk istilah hukum keluarga Islam adalah al-Ahwal al Syakhsiyah atau disebut dengan Nizham alusrah. Nizham secara bahasa adalah susunan, kumpulan, rangkaian dan urutan sedangkan al-Usrah berarti kumpulan, ikatan, pertalian ataupun tameng  pelindung atau mempunyai arti keluarga inti/kecil.

Dalam Bahasa Indonesia, istilah yang digunakan tidak hanya hukum keluarga Islam, tetapi terkadang  isebut dengan Hukum Perkawinan ataupun Hukum Perorangan. Dalam bahasa Inggris biasa disebut Personal Law atau Family Law.

Sementara istilah-istilah dalam bahasa Arab perundang-undangan hukum Islam kontemporer adalah:

a. Qanun al-ahwal Syakhsiyyah;

b. Qanun al-Usrah;

c. Qanun Huquq al-‘ailah;

d. Ahkam al-zawaj;

e. Ahkam al-izwaz.

Dalam bahasa Inggris baik dalam buku atau perundang-undangan hukum keluarga Islam kontemporer digunakan istilah-istilah sebagai berikut:

a. Islamic Personal Law;

b. Islamic Family Law;

c. Moslem Family Law;

d. Islamic Marriage Law.

Beberapa definisi tentang hukum keluarga Islam dari para ahli Fiqih kontemporer. Menurut Abdul Wahhab Khollaf, hukum keluarga (al-ahwal assyakhsiyah) adalah hukum yang mengatur kehidupan keluarga, yang dimulai dari awal pembentukan keluarga. Adapun tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami, istri dan anggota keluarga. Menurut Wahbah az-Zuhaili, hukum keluarga adalah hukum tentang hubungan manusia dengan keluarganya, yang dimulai dari perkawinan hingga berakhir pada suatu pembagian warisan

karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia.

Lebih luas lagi, keluarga di pahami sebagai satu satunya kelompok berdasarkan darah atau hubungan perkawinan yang diakui oleh Islam. Sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, yang pada pokoknya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Dengan demikian, dari pengertian-pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa pengertian hakikat hukum keluarga Islam adalah dasar atau intisari dari hukum Islam yang mengatur kehidupan keluarga sejak manusia belum lahir ke dunia hingga pasca kematiannya atau hal-hal lain yang masuk pada kategori hukum perdata Islam berdasarkan ketentuan Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah Saw.

2. Ruang Lingkup Hukum Keluarga Islam

Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teologis.  Artinya hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang hanya menghendaki kedamaian di dunia saja.

Cakupan pembahasan hukum keluarga Islam dalam kitab-kitab fikih klasik dapat digambarkan sebagai berikut. Salah seorang ulama’ dari madzhab Maliki yaitu Ibnu Jaza al-Maliki memasukkan perkawinan dan perceraian, wakaf, wasiat, dan fara’id (pembagian harga pusaka) dalam kelompok Mu’amalah.

Adapun Ulama’ Syafi’iyah menjadikan hukum keluarga menjadi bahasan tersendiri, yaitu ‘munakahat’. Bab ini menjadi bagian sendiri dari empat bagian hukum keluarga yakni: Ibadah “hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT”. Mu’amalah “hukum yang mengatur hubungan sesama manusia di bidang kebendaan dan pengalihannya.”Munakahat “hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga”,‘Uqubah “hukum yang mengatur tentang keselamatan, jaminan jiwa dan harta benda, serta urusan publik dan kenegaraan.

Salah seorang ulama’ kontemporer, yaitu Mustafa Ahmad al-Zarqa, kemudian membagi fikih menjadi dua kelompok besar, yaitu ‘Ibadah dan Mu’amalah, kemudian membagi lebih rinci menjadi tujuh kelompok, dan salah Satunya adalah hukum keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah”, yaitu hukum  perkawinan (nikah), perceraian (talak, khuluk dan lain-lain.), nasab, nafkah, wasiat, dan waris.

Sedangkan Shobir Ahmad Toha membagi hukum keluarga Islam (Nizham al Usroh) berdasarkan tahapan manusia hidup di dunia yaitu (1) aturan terkait manusia sebelum hadir di dunia diantaranya proses pemilihan calon pasangan hidup dan pemeliharaan janin dalam kandungan ibu, (2) aturan setelah hadir di dunia dari awal kelahiran sampai berakhir dengan kematian di antaranya rodo’ah, hadonah, pernikahan, perceraian dan berbakti kepada orang

tua, (3) aturan setelah meninggalkan kehidupan di antaranya wasiat dan waris.

Melihat pendapat para ahli di bidang hukum keluarga Islam mengenai ruang lingkup/cakupannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya cakupan hukum keluarga Islam diantaranya adalah:

a. Peminangan dalam Pernikahan;

b. Akad dalam Pernikahan;

c. Rukun dan Syarat Pernikahan;

d. Wali dan Saksi dalam Pernikahan;

e. Larangan dalam Pernikahan;

f. Hak dan Kewajiban Suami Istri;

g. Nafkah Keluarga;

h. Kedudukan Harta dalam Pernikahan;

i. Putusnya Pernikahan;

. Batalnya Pernikahan;

k. Perwalian;

l. Hadhanah;

m. Rujuk;

n. Poligami;

o. Waris (Besarnya Bagian, Aul dan Rad, Wasiat);

p. Hibah;

q. Wakaf.

Perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia, selain bersumber dari fikih klasik juga mengalami transformasi menjadi sebuah perundangundangan yang ditetapkan negara. Dalam hal ini, Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang mencakup seluruh aspek dalam permasalahan perkawinan dan perceraian dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I yang membahas tentang Pernikahan, buku II tentang Hukum Kewarisan juga mencakup tentang wasiat, hibah dan buku III yang membahas tentang Hukum Perwakafan  

 

Fungsi

 

Fungsi Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Hal ini dapat diuraikan dari fungsi hukum Islam bagi umat Islam yang tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai karakteristik hukum Islam. Beberapa fungsi hukum Islam adalah sebagai berikut:

(1) Fungsi Ibadah Berdasarkan uraian di atas, fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah. Hukum Islam adalah ajaran Tuhan yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang. Sebagai implementasinya, setiap pelaksanaan hukum Islam diberi pahala, sedangkan setiap pelanggarnya diancam siksaan.

(2) Fungsi Amar Ma'ru Nahi Munkar Walaupun hukum Islam telah ada dan eksis mendahului masyarakat karena kalam Allah yang qadim, dalam praktiknya hukum Islam tetap bersentuhan dengan masyarakat. Contohnya adalah proses pengharaman hukum riba dan khamar (minuman keras), jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum Allah dengan subjek dan objek hukum (perbuatan mukallaj). Penetapan hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba dan khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Penetap hukum menyadari bahwa hukum tidak bersifat elitis dan melangit. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi clan dilaksanakan dengan kesadaran penuh.

Penetap hukum sangat menyadari bahwa cukup riskan bila riba dan khamar diharamkan secara sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari pengharaman riba dan khamar tampak bahwa hukum Islam berfungsi pula sebagai salah satu sarana pengendali sosial (kontrol sosial). Kita sulit membayangkan apa saja yang akan terjadi jika hukum riba dan khamar dipaksakan. Hukum Islam tidak hanya untuk hukum Islam. Hukum juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali sosial terlepas. Secara langsung akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa para pelakunya, namun secara tidak langsung lingkunganpun ikut terancam bahaya tersebut. Dari fungsi amar ma'ru mencapai rujuan hukum Islam yaitu mendatangkan (menciptakan) keislaman dan menghindarkan kemudaratan di dunia dan akhirat.

(3) Fungsi Zawajir Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzins. yang disertai dengan ancaman hukuman alau sanksi hukull1 . Bertujuan untuk tindak pidana terhadap jiwa/badan untuk tindak pidana tertentu (pencurian, perzinaan) dan ta 'zir ullluk lilldak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Zawajir juga diterapkan untuk pelanggaran terhadap hukum Islam yang lidak ada ketentuan sanksi hukumnya dali1 al-Quran dan al-Hadits. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segall! lwmuk ancaman serta perbualan yang membahayakan.

(4) Fungsi Tanzim wa Islah al-Ummah Fungsi hukum Islam keempal adalah sebagai sarana untuk mengalur sebaik mungkin dan memperlancar proses intcraksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis. aman dun sejahtera . Dalam hal-hal terlenlu hukum Islam menetapkan aluran yang cukup rinci dan mendetall sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan. Sedangkan dalam masalah-masalah yang lain. yakni masalah muamalah pada umumnya hukum Islam hanya menetapkan aturan pokok dan nitai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing. dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nital dasar terscbut.

Keempat fungsi hukum Islam tersebut tidak bisa dipilah-pilah begitu saja. Keempatnya saling berkait. Fungsi pertama yaitu fungsi ibadah bukan hanya tidak dapat dipilah dari keliga fungsi lamnya. tetapi ia senantiasa ada dalam seliap bidang hukum. Sementara itu ketiga fungsi lainnya dapal dipisah atau dibedakan.

 

Tujuan syariah

 

Filosofi Syariah (Maqasid Shariah) adalah tujuan pokok pembuat syariah Islam yakni Allah di dalam membuat aturan-aturan yang ada dalam Al Quran dan hadits. Secara etimologis, maqasid (Arab, مقاصد) merupakan bentuk jamak dari maqsad (مقصد) yang berasal dari fi'il (kata kerja) qasada - yaqsidu - qasdan (قصد يقصد قصداً). Kata al-qasd memiliki sejumlah makna antara lain jalan yang lurus dan berpedoman.

Secara terminologis makna maqasid syariah adalah kata maqasid syari' (tujuan pembuat syariah), maqasid syariah (tujuan syariah), dan maqasid syar'iyah (tujuan yang bersifat syar'i) semua istilah ini memiliki satu arti yang dapat diringkas maksudnya menjadi dua yaitu (a) meniadakan bahaya, menghilangkannya dan memutusnya; (b) prinsip syariah yang lima yaitu memelihara agama (حفظ الدين), menjaga individu (حفظ النفس), memelihara akal (حفظ العقل), memelihara keturunan (حفظ النسل) dan menjaga harta (حفظ المال); (c) alasan-alasan khusus atas hokum. fiqih; (d) kemutlakan maslahah baik ia untuk menarik manfaat atau untuk menolak mafsadah (keburukan).

Untuk mencapai tujuan ini ada lima unsur pokok yang harus dipelihara, yaitu:

1.         Memelihara agama (Al muhafazhah ‘alad Dien).

Agama atau ad-din terdiri dari akidah, ibadah dan hukum yang disyariahkan oleh Allah untuk mengatur dan menata hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengelola hubungan antar manusia di mana dengan hukum itu Allah bermaksud untuk membangun dan menetapkan agama dalam jiwa manusia dengan cara mengikuti hukum syariah dan menauhi perilaku dan perkataan yang dilarang syariah.

2.         Memelihara jiwa (Al muhafazhah ‘alan Nafs).

Islam mensyariahkan pemeluknya untuk mewujudkan dan melestarikan kelangsungan manusia dengan cara sempurna yaitu dengan pernikahan dan melahirkan keturunan. Sebagaimana syariah mewajibkan manusia untuk memelihara diri dengan cara memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang menjadi kebutuhannya seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Islam juga mewajibkan manusia untuk mencegah sesuatu yang membahayakan jiwa karena itu makan diwajibkan qishas dan diyat. Dan diharamkan segala sesuatu yang akan berakibat pada kerusakan.

3.         Memelihara akal (Al muhafazhah ‘alal Aql).

Allah mewajibkan manusia menjaga akal oleh karena itu segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram dikonsumsi dan pelakunya akan mendapat siksa.

4.         Memelihara keturunan (Al muhafazhah ‘alan nasl).

Allah mensyariahkan pada manusia untuk menikah dengan tujuan mendapatkan keturunan dan mewajibkan untuk menjaga diri dari danksi zina dan qadzaf (meneduh zina).

5.         Memelihara harta (Al muhafazhah ‘alal Mal)

Islam mewajibkan manusia untuk berusaha mencari rezeki dan membolehkan muamalah atau transaksi jual beli, barter dan perniagaan. Dan haram hukumnya melakukan pencurian, khianat, memakan harta orang lain secara ilegal dan memberi sanksi bagi pelaku pelanggaran serta tidak memubadzirkan harta.

Monday, February 28, 2022

Defenisi, ruanglingkup, kewajiban muqarin dan faedah

 Defenisi, ruanglingkup, kewajiban muqarin dan faedah

 

1. defenisi

             

Fiqh berasal dari bahasa Arab, yaitu mashdar dari faqiha, yafqahu, fiqhan yang berarti memahami, mengetahui dan memahami secara mendalam.. Menurut ahli usul, fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsil (khusus, terinci dan jelas).

Muqaranah adalah isim maf’ul dari qaarana, yuqaarinu, muqaaranatan, muqaarinun yang berarti menghubungkan, mengumpulkan dan membandingkan. Menurut istilah adalah kata yang berarti membandingkan  dua perkara atau lebih

              Fiqh Muqaran adalah Suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilafiyah dalam fiqh, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan dalil masing- masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar, dan prinsip umum syariat Islam.

              Atau bisa juga didefenisikan sebgai

              “mengumpulkan pendapat-pendapat imam-imam mamujtahid beserta dalilnya pada satu masalah yang terdapat perbedaan pendapat didalamnya, dan membandingkan dalil-dalilnya untuk mencari kejelasan setelah dimunaqasyahkan/didiskusikan dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil tersebut”

 

2. ruang lingkup

Muqaranah berarti membandingkan, baik permasalahannya maupun dalil-dalilnya, dan inilah pula yang menjadi maudhu atau objek fiqh muqaran. Sedangkan yang menjadi sasaran pembahasannya adalah antara lain:

·       Hukum-hukum amaliyah baik yang disepakati maupun yang masih diperselisihkan antara para mujtahid dengan membahas cara berijtihad mereka, dan sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar oleh mereka dalam menetapkan hukum.

·       Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid, baik dari Al-Qur'an maupun al-Sunnah, atau dalil-dalil lain yang diakui oleh syara’.

·       Hukum-hukum yang berlaku di negara di mana para muqarin hidup, baik hukum nasional/positif maupun hukum internasional.

 

Sedangkan cabang-cabang fiqh muqaranah ada 4, yaitu:

1)    Muqaranah Mazhaahib Fil Fiqh (Perbandingan Madzhab)

Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, baik menyangkut ibadah, mu’amalat, munakahat (kekeluargaan), jinayat (kepidanaan) dan lain-lain.

2)    Muqaranah Madzhaahib fil Ushuul Fiqh (Ushul Fiqh Perbandingan)

Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, baik definisi-definisi, pembagian hokum, hal yang menyangkut dalil-dalil dari Alquran, Hadis, Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan lain-lain yang termasuk pembahasan ilmu ushul fiqh.

3)    Muqaaranatusy Syaraa’i (Perbandingan Syari’at)

Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah hukum-hukum syariat Islam yang berbeda dengan hukum syariat nasrani dan Yahudi dalam masalah tertentu.

4)    Muqaaranah fil Qawaaniinil Wadh’iyyah (Perbandingan Hukum)

Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah seluruh bidang hukum yang berlaku di suatu tempat pada waktu tertentu, seperti hukum perdata, pidana, tatanegara dan lain-lain.

 

              Adapun untuk kuliah kita, berfokus pada cabang muqaranah poin 1, yaitu Muqaranah Mazahib fil Fiqh (perbandingan mazhab). Dan 3perbandingan lainnya,akan dipelajari sesuai dengan mata kuliah masing-masing.

 

 

3. Kewajiban Muqarin:

 

      Tatkala  muqarin ingin membandingkan suatu persoalan, makaMuqarin berkewajiabn untuk:

1.    mencari titik temu. Titik temu persamaan pandangan mujtahid terhadap permasalahan tersebut dan jug amencari titik temu perbedaan pandangan terhadap masalah tersebut

2.    mencari apa penyebeab perbedaaan pendapat dari permasalah tersebut. Apakah penyebabnya lafaz  teks, ta’arudh atau yang lainnya

3.    3.mencari keseluruh dalil yang berkaitan dengan persoalan tersebut dari sumber al-Qur`an atau hadis Nabi

4.    memilah dalil yang digunakan oleh masing-masing mujathid berdasarkan kuat atau lemahnya beserta cara istidlalnya( bagaimana ulama tersebut mengambil petunjuk dari dalil itu)

5.    mendiskusikan alil sehingga didapatkan yang rajah (dikuatkan) dan marjuh (dilemahkan)

 

Maka untuk bisa melakukan muqaranah, hendaknya Muqarin memiliki persyaratan berikut:

a.              Memiliki sifat ketelitian dalam mengmbil pendapat mazhab dari kitab-kitab fiqihmu’tabar.

b.              Hendaknya mengmbil/memilih dalil-dalil yang kuat dari setiap mazhab serta tidak mmbatasi diri pada dalil-dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu masalah.

c.              Memiliki pengetahuan tentang asal usul dan kaidah yang dijadikan dasar oleh setiap mazhab dalam mengambil dan melakukan hukum.

d.              Mengetahui pendapat-pendapat ulama yang bertebaran dalam kitab-kitab fiqih disertai dalil-dalilnya, dan harus pula mengetahui cara-cara mereka beristidlal

e.              Hendaklah muqarin setelah mendiskusikan pendapat mazhab-mazhab tersebut dengan dalil-dalilnya yang terkuat, mentarjih salah satunya secara objektif, tanpa dipengaruhi oleh pendapat mazhabnya sendiri yang sudah benar-benar adil tanpa dipengaruhi apapun selain membela kebenaran dan keadilan semata

 

4. FAidah Muqaranah

 

manfaat mempelajari ilmu muqaranah adalah sebagai berikut :

1.    Dapat mengetahui hukum agama dengan sempurna dan beramal dengan hukum yang didukung oleh dalil yang terkuat.

2.    Dapat mengetahui berbagai pendapat, baik dalam satu mazhab, maupun mazhab-mazhab lain, baik pendapat itu di sepakati atau di perselisihkan dan dapat mengetahui factor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu.

3.    Dapat mengetahui metode istinbath dan cara penalaran ulama terdahulu dalam menggali hukum syara dari dalilnya yang terperinci.

4.    Dapat mengetahui sebab khilaf atau letak perbedaan pendapat yang diperselisihkan.

5.    Dapat memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para imam dan dapat mentarjihkan mana yang kuat.

6.    Dapat mengetahui betapa luasnya pembahasan ilmu fiqh.

7.    Dapat menghilangkan sifat taqlid buta.

 

 

Sejarah fiqh muqaranah

Sejarah menunjukkan sebagian kaum muslimin telah menyadari bahwa kemunduran yang melanda dirinya merupakan akibat dari perpecahan umat. Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan persatuan dan menyingkirkan sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan.Langkah pertama yang diambil untuk mewujudkan kembali persatuan umat ialah melakukan pendekatan antar madzhab. Pendekatan inilah yang dijadikan pertimbangan oleh para ulama al-Azhar dalam pengambilan keputusan perluasan pengkajian perbandinagn fiqh. Pengkajian tidak hanya terbatas pada pengertian nama-nama firqoh yang ada, namun membahas perbedaan dalam pandangan dasar dan pemahaman dalam masalah far’iyah.

Langkah untuk mendekatkan antar madzhab ini dilakukan untuk menjernihkan akidah sebagai dasar untuk kekuatan Islam. Penjernihan yang dimaksud adalah penafian ajaran Islam dari berbagai unsur penyelewengan dan pemahaman sesat yang disebabkan oleh fanatisme madzhab, suku, dan ras.

Pola perbandingan sebetulnya sudah ada sejak jaman dahulu. Para fuqaha sudah melakukan rintisan perbandingan, diantaranya Ibnu Ruysd dengan bukunya Bidayatul Mujtahid, Ibnu Qudamah dengan bukunya Al-Mughni dan Imam Nawawi dengan kitab Al-Majmu. Walaupun telah digunakan metode perbandingn dalam karya-karya tersebut namun belum membentuk suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, Hanya merupakan perbandinagn sekilas saja dalam masalah-masalah fiqh.

Awal abad ke-20 ini, barulah lahir ilmu perbandingan madzhab, suatu ilmu yang mempunyai corak tersendiri, karena mempunyai metode, sistematika dan tujuan tertentu sebagai suatu ilmu. Jika boleh dikatakan ilmu ini ada pada tahun 1929. Hal ini terlihat dalam undang-undang kekeluargaan Mesir yang pembahasannya tidak hanya bermadzhab pada imam Hanafi tetapi mengambil pula pendapat madzhab-madzhab lainnya. Al-Maraghi adalah orang yang pertama mengusulkan adanya mata kuliah perbandingan madzhab di fakultas-fakultas di Universitas Al-Azhar. Usul ini diterima dan ditetapkan menjadi mata kuliah wajib di masing-masing fakultas.

Jadi munculnya Fiqh Muqaran sudah ada sejak zaman ulama klasik, banyak karya-karya yang memaparkan tentang perbedaan pendapat antar Madzahib Fiqh dan mengkomparasikan pendapat tersebut berdasarkan kaidah istinbath hokum mereka masing-masing, namun munculnya Fiqh Muqaran sebagai kajian ilmu tersendiri, mengalami kemapanan pada era abad 20 an.

Adapun karya-karya ulama klasik tentang Fiqh Muqaran diantaranya adalah sebagai berikut :

1.        Kitab ikhtilaf al ulama’, Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (202 – 294 H)

2.        Ikhtilaf al Fuqaha’, Abu ja’far bin jarir al Thabari (224 – 310 H)

3.        Al Isyraf ‘Ala Madzahib al Ulama’, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir (242 – 318 H)

4.        Ta’sis al Nadhar, Abu Zaid ‘Ubaidillah bin Umar Al Dabusi (430 H) (Hanafiyyah)

5.        Al Hawi al Kabir, Abu al hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi (364 – 450 H) (Syafi’iyyah)

6.        Al Muhalla, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm (384 – 456 H) (Dhahiriyyah)

7.        Al Ma’unah fi al Jadal, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali al Syirazi (393 – 476 H)

8.        Hilyat al ‘Ulama, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin al Husain al Syasyi al Qaffal (429 – 507 H) (Syafi’iyyah)

9.        Thariqat al Khilaf fi al Fiqh Baina al Aimmah al Aslaf, Muhammad bin Abdul hamid al Asmandi (488 – 552 H) (Hanafiyyah)

10.    Al Ifshah An Ma’ani al Shihah, Al Wazir ‘Aun al Din Abu al Mudhaffir Yahya bin Muhammad bin Habirah al Hambali (499 – 560 H) (Hambaliyyah)

11.    Bidayah al Mujtahid, Abu al Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd (520 – 595 H) (Malikiyyah)

12.    Al Mughni, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (541 – 620 H) (Syafi’iyyah)

13.    Al Majmu’, Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al Nawawi (631 – 676 H) (Syafi’iyyah)

14.    Rahmat al Ummah Fikhtilaf al Aimmah, Abu Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman al Dimsiqi al Syafi’i. (Syafi’iyyah)

Dan berikut ini adalah karya ulama kontemporer tentang Fiqh Muqaran , diantaranya :

1.      Muqaranat al Madzahib fi al Fiqh, al Syaikh Mahmud Syaltut wa al Syaikh Ali al Sayis.

2.      Buhus Muqaranah fi al Fiqh al Islami wa Ushulihi, al Syaikh Dr. Muhammad Fathi al Darini.

3.      Muhadlarat fi al Fiqh al Muqaran, Dr. Muhammad Sa’id Ramdlan al Buthi

4.      Kitab al Fiqh al Islami wa Adillatihi, Dr. Wahbah al Zuhaily

 

 

Tanggapan atas pertanyaan

 

1. ltb Muqaranah

              Pelu kita pahami bahwa proses Muqaranah muncu l bukan pada kalangan awam, namun muncul pada tingkatan ulama yang memandang  bahwa, setelah fase keemasan umat Islam yang mana ditandai banyaknya muncul ulama-ulama yang menjadi tokoh sentral seperti ulama yang-4, maka umat Islam masuk pada masa kejumudan yang ditnadai tidak adanya muncul pembeahruan dalam fiqh, justru umat lebih condong mengikuti salah satu pendapat ulama dan cenderung menyalahkan pendapat ulama yang lain, maka ulama yang ada pada waktu itu mencoba mendiskusikan pendapat imam mujtahuid tadi dengan metode yan gkita sebut dengan muqaranah.

              Maka kekurangnnya adalah kita tidak akan bisa mengeluarkan hukum baru (tidak terjadi perkembangn hukum) terkait permasalahan tersebut namun kita hanya mengukuhkan/menguatkan satu pendapat ulama terkait dengan permasalah tersebut dan melemahkan pendapat ulama yang lainnya. Tentu menguatkan dan melemah kan pendapat ini tidak bertentangan dengan agama, karena kita dituntu mengerjakan suatu perkara sesuai dengan perntah dalam al-Qur`an dan sunnah dengan benar.

Pengertian Qawaid Fiqhiyyah

 A. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (قاعدة ), jamaknya qawaid (قواعد ). berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.

Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ  

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:

قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَأَتَى ه اللُّ بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ

Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS. al-Nahl 26)

 fiqhiyyah berasal dari kata fiqh )الفقه(

ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.

-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Begitu pula dalam surah Hud ayat 91 :

قَالُو ا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِير اً مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيف اًوَلَوْلا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ

Mereka berkata: "Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengetahui (mengerti) tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.

Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain:

مَنْ يُرِدِ اللُّ خيرًا يُف ه قههُ فى الدين. رواه مسلم.

Siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan dalam agama.

Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H), yaitu :

العلم بالأحكام ال ه شرعية العمل ه يةِ المُكْتَسَبُ من أدلتِها التفصيل ه يةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Ulama ushul kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi fiqh secara ekslusif, yaitu :

مَجْمُوْعَةُ الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن اَدِلَّتِهَاالتَّفْصِلِيَّةِ

Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.

 

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.

Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany (w. 791 H.) memberikan rumusan, yaitu:

إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ .

Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.

Al-Jurjani (W. 816 H) dalam kitab al-Ta’rifat memberikan rumusan, yaitu:

قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَ

Ketentuan universal yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya.

Ibn al-Subkiy (w. 771 H). dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair memberikan rumusan, yaitu:

الأمرُ الكليُ الذي يَنْطَبِقُ عليه جزئياتٌ كثيرَة تُ فهَمُ أحكامُها منه

Perkara yang bersifat universal yang banyak bagian-bagiannya bersesuaian dengannya, dimana hukum-hukum bagian-bagian tersebut dipahami darinya

Mushtafa Ahmad al-Zarqa, memberikan rumusan, yaitu:

أصولٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فِىْ نُصُوْصٍ مٌوْجَزَةٍ دُسْتُوْرِيَةٍ تَتَضَمَّنُ أَحْكاَماًتَشْرِيْعِيَّةً عامَّةً فِى الْحَوَادِثِ التى تَدْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَ

Pokok-pokok fiqh yang bersifat umum dalam bentuk teks-teks perundang undangan yang ringkas, yang mencakup hukum-hukum yang disyariatkan secara umum pada kejadian-kejadian yang termasuk di bawah naungannya. Sedangkan al-Hamawiy (w.1098.H) dalam kitab Ghamzu ‘Uyun al-Bashair Syarah Asybah wa al-Nazhair merumuskan, yaitu:

حُكْمٌ أَكْثَرِيٌّ لَا كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى أَكْثَرِ جُزْئِيَّاتِهِ لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا مِنْهُ

Hukum yang bersifat mayoritas bukan hukum universal yang dapat diaplikasikan kepada kebanyakan bagian bagiannya agar hukum hukumnya diketahui darinya.

Ali Ahmad al-Nadwi mengkompromikan bentuk definisi qaidah fiqhiyyah di atas dengan rumusan:

أصلٌ فِقْهِىٌّ كُلِّىٌّ يَتَضَمَّنُ أَحْكَامًا تَشْرِعِيَّةً عَامَّةً مِنْ أَبْوَابٍ مَتَعَدِّدَةِ فِى الْقَضَايَا تَحْتَ مَوْضُعَهَا.

Dasar fiqh yang bersifat menyeluruh yang mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk di dalam ruang lingkupnya.

Ali Ahmad al-Nadwi mengemukakan tiga alasan berhubungan dengan pengertian tersebut sebagai berikut;

1) Pengecualian yang ada dalam beberapa qaidah, seperti al-qawaid al-khams (lima qaidah dasar) sangat sedikit sekali, sehingga kurang tepat apabila dalam pendefinisiannya dimasukkan sifat mayoritas.

2) Pernyataan sebagian ulama Malikiyah bahwa sebagian besar qaidah bersifat mayoritas

mengindikasikan bahwa ada beberapa qaidah bersifat universal.

3) Universal di sini adalah kullyyah nisbiyyah (universal/relatif), bukan kullyyah syumuliyyah (universal mutlak), karena ada pengecualian dalam ruang lingkupnya.

Dengan demikian, menurut Ali Ahmad al-Nadwi, qaidah lebih umum dari sifat mayoritas, sebagaimana telah dinyatakan oleh Said al-Khadini (w. 1176 H.) dalam bagian penutup kitabnya yang diberi nama Majami’ al-Haqaiq.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini berdasarkan atas realita bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai suatu yang bersifat universal, dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah) saja.

Perbedaan ini berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat universal berpijak kepada realita bahwa pengecualian yang terdapat dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit, disamping itu mereka berpegang kepada qaidah-qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum, sehingga tidak mengurangi sifat universal qawaid fiqhiyyah.

Ulama yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat mayoritas karena secara realitas bahwa seluruh qawaid fiqhiyyah mempunyai pengecualian, sehingga penyebutan universal terhadap qawaid fiqhiyyah kurang tepat.

Dengan demikian, para ulama sepakat qawaid fiqhiyyah mengandung pengecualian, namun mereka tidak satu pendapat dalam memandang pengecualian tersebut, apakah berpengaruh terhadap keuniversalan qawaid fiqhiyyah ataukah tidak?

Begitu pula para ulama menyebutkan istilah yang berbeda terhadap qawaid fiqhiyyah. Ada yang menyebut dengan qadhiyah (proposisi), ada yang menyebut dengan al-hukmu (Hukum), dan ada yang menyebut dengan al-Ashl (pokok)

Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan qadhiyyah memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu qawaid fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan rumusan hukum beralasan bahwa; qawaid fiqhiyyah merupakan aturan yang mengatur tentang hukum-hukum syara’ sehingga tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum, karena memang mengandung hukum-hukum syara’. Disamping itu, mayoritas hukum adalah qadhiyyah hukum merupakan bagian penting dari sebuah qadhiyyah, karena menjadi parameter yang sangat penting dan kebenaran sebuah qadhiyyah. Sedangkan para ulama yang mendefiniskan qawaid fiqhiyyah dengan sebutan al-ashl, termasuk ulama kontemporer, terlebih dahulu mengkompromikan definisi-definisi yang telah ada, kemudian mereka melihat bahwa pada dasarnya qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan pokok tentang perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum syara’.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para ulama yang memandang qawaid fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah pendapat yang tepat, karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.

B.     Ruang lingkup qawaid fiqhiyah

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :

a.       Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :

1.      Al-Umuru bi maqashidiha.

2.      Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.

3.      Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

4.      Adh-Dhararu Yuzal,

5.      Al- ’Adatu Muhakkamah.

b.      Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.

c.       Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :

1.      Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.

2.      Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.

Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

d.      Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.

Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.

 

C. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah

Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.

1. Peride Kelahiran.

Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج بالضمان (keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار (Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر (bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.

Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh.

Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق عند الشروط

(Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat) Ulama tabiin antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه

(apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur). al-Qadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah:

من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat janji secara suka rela tanpa paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut syarat-syarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi.

Meskipun beberapa orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya, para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj. Kitab tersebut telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut:

ليس للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت معروف.

Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh mereka.

Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya peng-qaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum.

Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.

2. Periode Pembukuan

Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.

Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.

Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H.) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah. Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.

Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah, penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ alSyafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Menjelang abad kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al- Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair oleh Taj al-Din al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), al-Manthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.

Diabad kesembilan Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad al-Zubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah, Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid. Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usahapembukuan ilmu ini di mana al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Asybah wa al- Nazhair. Kitab tersebut telah menggabungkan semua qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair. Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu, bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.

Diskripsi sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah. Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah yang dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.

Dari kelompok fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi (w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah wa al-Nazhair.

Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu, terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman Ibn Rajab (w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh.

Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.

3. Periode Penyempurnaan

Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: لا يجوز لاحد أن يتصرف فى

ملك الغير بلاإذنه (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam versi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.

Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.

Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.

Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said al-Khadimi (w. 1154H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.

hukum keluarga islam

  PEMBAHASAN 1. Pengertian Hakikat Keluarga Islam Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima kata hakikat berarti int...