PENGGUNAAN
VAKSIN MENINGITIS DALAM IBADAH HAJI DAN UMRAH DALAM PANDANGAN ISLAM
A.
Pandahuluan
1.
Latar belakang masalah
Vaksin meningitis adalah vaksin yang disuntikkan kepada para Jemaah
haji yang hendak melaksanakan ibadah haji dengan tujuan mencegah penularan
meningitis meningokokus.
Sedangkan meningitis itu sendiri merupakan penyakit radang
selaput otak. Penyakit ini terjadi pada meningen,
yaitu selaput (membran) yang melapisi otak dan syaraf tunjang. Meningitis dapat
disebabkan oleh berbagai organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang
menyebar masuk ke dalam darah dan berpindah ke dalam cairan otak. Banyak ahli kesehatan berpendapat penyebab penyakit meningitis adalah virus
yang umumnya tidak berbahaya dan akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang
spesifik.
Namun meningitis yang disebabkan oleh bakteri bisa
mengakibatkan kondisi serius, misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran,
kurangnya kemampuan belajar, bahkan bisa menyebabkan kematian. Sedangkan meningitis
yang disebabkan oleh jamur sangat jarang. Jenis ini umumnya
dideritaoleh orang yang daya tahan tubuhnya menurun seperti pada penderita HumanImmunodeficieny
Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS).
Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis
diantaranya Streptococcus pneumoniae (pneumonoccus).Bakteri ini yang
paling umum menyebabkan meningitis pada bayi atau anak-anak.Jenis bakteri ini
juga yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung
(sinus).Bakteri lainnya adalah jenis Neisseria meningitidis
(meningococcus).Bakteri inimerupakan penyebab kedua terbanyak setelah Streptococcus
pneumenie.Meningitis terjadi akibat adanya infeksi pada saluran nafas
bagian atas yang kemudian bakterinya masuk ke dalam peredaran darah.[1]
Selain itu, meningitis dapat disebabkan oleh virus,
ditularkan melalui batuk, bersin, ciuman, sharing makan atau sendok,
pemakaian sikat gigi bersama dan merokok bergantian dalam satu batangnya. Penularan
meningitis kerap terjadi, termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji. Dalam pelaksanaan
ibadah haji pada tahun 2000 lalu, sebanyak 14 orang jemaah haji Indonesia
tertular penyakit ini. Sebanyak 6 orang dari 14 penderita meningitis tersebut
meninggal di Arab Saudi dengan penyebab kematian meningitis meningokokus serogrup
W-135.Angka tersebut bertambah pada tahun 2001 menjadi 18 penderita dan
enam di antaranya meninggal di Arab Saudi.[2]
Arab Saudi memang dikenal sebagai negara endemik penyakit
meningitis.Maka, untuk melindungi jemaah haji atau umrah dari kemungkinan
tertular dan menularkan meningitis kepada orang lain, maka jemaah tersebut
perlu divaksinasi meningitis.Sejak tahun 2002, Kementerian Kerajaan Arab Saudi
telah mengharuskan negara yang mengirimkan jemaah haji untuk diberikan
vaksinasi meningitis meningokokus dan menjadikannya syarat pokok dalam
pemberian visa haji dan umrah.[3]
Kebijakan tersebut diperbaharui dengan Nota Diplomatik Kedubes
Kerajaan Saudi Arabia di Jakarta No 211/94/71/577 tanggal 1 Juni 2006 yang
ditujukan kepada Departemen Luar Negeri tanggal 7 Juni 2006.[4] Isinya memastikan
suntik meningitis vaksinasi meningitis meningokokus ACYW 135 bagi semua jemaah
haji, umrah, dan tenaga kerja wanita atau tenaga kerja Indonesia yang akan
masuk ke Arab Saudi.
Kontroversi ini berawal dari pernyataan Ketua Majelis
Ulama Indonesia Sumatera Selatan K.H. Sodikun, 24 April 2009, yang menyatakan
bahwa penelitian Lembaga Pengawasan Penelitian Obat dan Makanan Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI) Sumatera Selatan dan Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang menemukan kandungan enzim babi pada vaksin meningitis
meningokokus ACWY 135. Pada Rabu, 20 Mei 2009,
berlangsung pertemuan antara produsen vaksin, yaitu GSK (Glaxo Smith Kline) di
hadapan berbagai pihak. Dalam pertemuan itu terungkap bahwa meski pada hasil
akhirnya vaksin meningitis itu tidak lagi mengandung enzim babi, namun dalam prosesnya
masih menggunakan enzim babi. Kesimpulan ini sejalan dengan penjelasan Ketua
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Husniah Rubiana Thamrin , yang pernah
menyatakan bahwa tidak ad kandungan babi dalam vaksin karena penggunaan enzim
hanya untuk proses pemisahan bahan vaksin dari media.[5]
Namun, yang menjadi permasalahan adalah sebelumnya Majelis
Ulama Indonesia Pusat mengeluarkan fatwa keharaman vaksin itu pada tanggal 8 Mei
2009 yang lalu. Melalui salah seorang ketuanya,
K.H. Umar Shihab, komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia telah memutuskan bahwa
haram hukumnya menggunakan vaksin yang mengandung babi. Akan tetapi,
karena tidak ada vaksin yang lain, Majelis Ulama Indonesia menetapkan penggunaan
vaksin tersebut boleh dilakukan karena keadaan darurat. Dalam hal ini yang
menjadi perhatian penulis adalah bagaimana pndangan Islam terhadap penggunaan
vaksin meningitis dalam pelaksanaan haji.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Vaksin Meningitis
Vaksin meningitis adalah
sejenis vaksin yang disuntikkan kedalam tubuh agar tubuh kita kebal terhadap
penyakit meningitis. Fungsi meningitis ini adalah sebagai tameng dari penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria Meningitis. Banyak ahli kesehatan
berpendapat penyebab penyakit meningitis adalah virus yang umumnya tidak
berbahaya dan akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun
meningitis yang disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius,
misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya kemampuan belajar,
bahkan bisa menyebabkan kematian.Sedangkan meningitis yang disebabkan oleh
jamur sangat jarang.Jenis ini umumnya diderita oleh orang yang daya tahan
tubuhnya menurun seperti pada penderita HIV/AIDS.
Faktor-faktor pemicu
terjangkitnya penyakit meningitis yaitu:
a. Daya tahan tubuh lemah.Tinggal ditempat yang padat.
a. Daya tahan tubuh lemah.Tinggal ditempat yang padat.
b. Bergaul langsung dengan penderita atau kontak langsung
melalui air ludah, dahak, ingus dan debu.
Tanda-tanda dan gejala yang
muncul yaitu;
a. Panas mendadak
b.Perut mual dan muntah
c. Bicara tidak menentu (mengigau)
d. Kaku kuduk
e. Sakit kepala
f. Demam
g. Sakit pada leher
Ada beberapa
penjelasan dari hasil Audit Tim Auditor LPPOM MUI ke tiga perusahaan tentang
vaksin meningitis, yaitu :
a.
Tim Auditor Glaxo Smith Kline Becham Pharmaceutical Belgium, yang menyatakan antara lain bahwa dalam proses produksi vaksin
diperusahaan ini pernah bersentuhan dengan bahan yang tercemar babi.
b.
Tim auditor Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i, yang menyatakan
antara lain bahwa dalam proses produksi vaksin di perusahaan ini tidak
bersentuhan dengan babi atau bahan yang tercemar babi dan telah melalui proses
pencucian.
c.
Tim auditor Zheijiang Tianyuan Bio Pharmaceutical Co.Ltd., yang
menyatakan antara lain bahwa dalam proses produksi vaksin diperusahaan ini
tidak bersentuhan dengan babi atau bahan yang tercemar babi dan telah melalui
proses pencucian.[6]
2.
Proses pembuatan vaksin[7]
Pembuatan vaksin anti-virus saat
ini merupakan proses rumit, apalagi pada saat mengkonversi dari skala lab menjadi
skala produksi. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
a.
Menyiapkan
“benih” virus
Pembuatan vaksin dimulai dengan
memilih benih virus yang akan dijadikan vaksin pada sebuah medium. Virus harus
bebas dari kotoran, termasuk virus lain yang sejenis dan bahkan variasi jenis
virus yang sama. Selain itu, benih itu harus disimpan di bawah kondisi”ideal”,
biasanya pada kondisi beku, yang mencegah virus menjadi lebih kuat atau lebih
lemah dari yang diinginkan. Benih yang disimpan dalam gelas kecil atau kontainer
plastik, dengan volume sebesar 5 atau 10 ml tetapi mengandung ribuan-jutaan
virus, akan menghasilkan beberapa ratus liter vaksin. Freezer dijaga pada suhu
tertentu yang dikontrol secara otomatis.
b.
Penumbuhan
virus
Setelah diambil dari tempat
penyimpanannya, bibit virus dicairkan dan dihangatkan secara hati-hati pada
keadaan tertentu. Sejumlah kecil sel virus ditempatkan dalam sebuah
“pabrik sel”, yaitu sebuah mesin kecil yang, dengan penambahan media yang sesuai,
memungkinkan sel virus untuk berkembang biak. Setiap jenis virus tumbuh baik
dalam media khusus untuk itu, yang mengandung protein dari mamalia, misalnya
protein murni dari darah sapi. Media juga mengandung
protein lainnya dan senyawa organik yang mendorong reproduksi sel virus. (Nampaknya
proses ini memungkinkan unsur babi masuk dalam tahap pembuatan
vaksin, jika protein yang dipakai berasal dari babi).
Selain suhu, faktor-faktor lain harus dipantau, termasuk pH
campuran. pH adalah ukuran keasaman atau kebasaan, diukur pada skala dari 0
hingga 14, dan virus harus disimpan pada pH yang ditentukan dalam pabrik sel.
Virus dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan dari medium, dan ditempatkan
dalam medium kedua untuk pertumbuhan tambahan. Pertumbuhan sel virus sangat
dirangsang dengan penambahan enzim ke medium, di mana yang
paling umum digunakan adalah tripsin. Enzim adalah protein
yang juga berfungsi sebagai katalis dalam metabolisme dan pertumbuhan sel.
Tripsin dapat diperoleh dari pankreas sapi atau babi, sehingga unsur babi juga
bisa masuk pada proses ini jika dipakai tripsin yang berasal dari babi. Virus
yang sedang tumbuh disimpan dalam wadah yang lebih besar tapi mirip dengan
pabrik sel untuk mengoptimalkan pertumbuhannya.
c. Pemisahan dan pemilihan strain virus
Bila sudah cukup banyak virus
yang ditumbuhkan, mereka kemudian dipisahkan dari mediumnya, misalnya dengan
filtrasi dan kemudian sentrifugasi, atau dengan teknik lain. Vaksin
akan dibuat dari virus yang dilemahkan atau dibunuh. Apakah hanya akan
dilemahkan atau dibunuh antara lain tergantung dari sifat kekuatan virus atau
virulensinya. Vaksin rabies, misalnya, karena cukup virulen, maka merupakan
virus yang dibunuh.
Untuk vaksin yang berasal dari
virus yang dilemahkan, virus biasanya dilemahkan sebelum menjalani proses
produksi. Strain virus yang dipilih secara hati-hati lalu ditumbuhkan berulang
kali di berbagai media. Ada jenis virus yang benar-benar menjadi kuat saat
mereka tumbuh. Strain ini jelas tidak dapat digunakan untuk pembuatan vaksin.
Strain lainnya yang menjadi terlalu lemah karena mereka dibudidayakan
berulang-ulang juga tidak bisa diterima untuk penggunaan vaksin. Perlu
dipilih strain virus yang tumbuh dengan kekuatan yang “tepat” seperti yang
diinginkan untuk dijadikan vaksin.Virus
ini kemudian dipisahkan dari medium tempat mereka ditanam, lalu dibuat menjadi
sediaan vaksin. Vaksin dapat terdiri dari kombinasi beberapa jenis virus
yang dipilih sebelum kemudian dikemas, dengan menggunakan media pembawa yang
sesuai dengan kadar yang sudah ditentukan.[8]
3.
Pandangan
Hukum Islam Terhadap Vaksin
1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi
ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah
Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini,
ما
هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟
Artinya:“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
Beliau menjawab,
لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء
لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع
لبلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من
تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء
قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي
كان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء
المرض الذي يخشى منه[9].
Artinya:“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara
seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau
sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau
menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa
makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh
buruk sihir atau racun”
Ini termasuk tindakan
menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan
timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang
muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena
hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati,
demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
2. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah
Imam masjid dan khatib di Masjid
Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan,
pengasuh situs www.islam-qa.com.
Dalam fatwa beliau mengenai
imunisasi dan vaksin beliau menjawab. Rincian bagian ketiga yang sesuai
dengan pembahasan imunisasi dengan bahan yang haram tetapi memberi manfaat yang
lebih besar. syaikh berkata,
لقسم
الثالث : ما كان منها مواد محرَّمة أو نجسة في أصلها ، ولكنها عولجت كيميائيّاً أو
أضيفت إليها مواد أخرى غيَّرت من اسمها ووصفها إلى مواد مباحة ، وهو ما يسمَّى ”
الاستحالة ” ، ويكون لها آثار نافعة .
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال[10] .
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال[10] .
Artinya:“rincian ketiga: vaksin yang terdapat didalamnya bahan yang
haram atau najis pada asalnya. Akan tetapi dalam proses kimia atau ketika
ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang
mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan [mubah ini] mempunyai efek
yang bermanfaat.”
Vaksin jenis ini bisa digunakan
karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya. Dan mengubah hukumnya
menjadi mubah/boleh digunakan.”
3. Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa
dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]Memutuskan dua hal:
أولا:
إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال
ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء
على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار
كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل –
وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب
الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد
الشريعة هو تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا:
يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور
الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص
القطعية[11]
Artinya:
Pertama, Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari
segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka
dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum
ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat
semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan
alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak
mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak
mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis).
Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur)
karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini
masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan
bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat
serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua, Majelis merekomendasikan
pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak
bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi
anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).
4.
Hukum vaksin meningitis di
Indonesia
Komisi Fatwa MUI menetapkan
fatwa tentang hukum penggunaan Vaksin Meningitis produk dari ketiga
produsen tersebut bagi jama’ah Haji dan atau Umrah, sebagai pedoman bagi
pemerintah, umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya yang ditetapkan dalam fatwa Nomor 06 tahun 2010
yang berisi:
Dasar hukum yang di gunakan:
a.
Firman Allah SWT, Q.S Al-Baqarah:173
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, da binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha
Penyayang”. (QS. Al Baqarah: 173)
b.
Q.S.Al-Maidah:3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam biantang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu memakan hewan) yang disembelih untuk behala…” (QS. Al Maidah
: 3)
c.
Q.S.Al-An’am:145
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِير فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Katakanlah Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau memakan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging
babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau bianatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(QS. Al-An’am: 145)
d.
Hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمْ الطَّيْرُ فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَدَاوَى فَقَالَ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ[12]
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami
Hafsh bin Umar An Namari telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin
'Ilaqah dari Usamah bin Syarik ia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan seolah-olah di atas
kepala mereka terdapat burung. Aku kemudian mengucapkan salam dan duduk, lalu
ada seorang Arab badui datang dari arah ini dan ini, mereka lalu berkata,
"Wahai Rasulullah, apakah boleh kami berobat?" Beliau menjawab:
"Berobatlah, sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak menciptakan penyakit
melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu pikun."
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَادَةَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ[13]
Artinya: “Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin 'Ubadah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Yazid bin
Harun telah mengabarkan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy dari Tsa'labah bin
Muslim dari Abu Imran Al Anshari dari Ummu Ad Darda dari Abu Ad Darda ia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan
bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat
dengan sesuatu yang haram!"
e.
Kaidah-kaidah tentang sad adzari’ah:
Serta mengingat :
a.
Pendapat
para ulama, antara lain ; “Imam Zuhri (w. 124 H) berkata, Tidak halal meminum air seni manusia
karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah
najis; Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)…’ (QS. Al-Maidah[5]: 5). Dan Ibnu Mas’ud (w 32 H) berkata tentang sakar (minuman keras), Allah tidakmenjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (HR al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, juz 17, h. 328).
najis; Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)…’ (QS. Al-Maidah[5]: 5). Dan Ibnu Mas’ud (w 32 H) berkata tentang sakar (minuman keras), Allah tidakmenjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (HR al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, juz 17, h. 328).
b.
Pendapat
para ulama tentang rukun dan syarat tathhir (pensucian).
c.
Keterangan Menteri Kesehatan RI pada tanggal 9 Juli 2010 Menyatakan bahwa sampai saat ini
kebijakan mewajibkan para pengunjung Arab Saudi memakai vaksin meningitis masih
tetap berlaku.
d.
Pendapat peserta rapat Komisi Fatwa pada tanggal 10 Juni 2010, 12 Juni
2010, 16 Juni 2010, tanggal 22 Juni 2010, 24 Juni 2010, tanggal 30 Juni 2010, 9
Juli 2010 dan 16 Juli 2010, yang antara lain:
1) Bahwa produk vaksin yang dalam proses
produksinya pernah bersentuhan dengan bahan yang tercemar babi dinyatakan telah
memanfaatkan (intifa’) babi.
2) Bahwa produk vaksin yang dalam proses
produksinya tidak bersentuhan dengan babi atau bahan yang tercemar babi tapi
bersentuhan dengan bahan najis selain babi dapat disucikan kembali.
3) Pencucian dalam produksi vaksin diperusahaan Novartis
Vaccine and Diagnotics S.r.i dan Zheijiang Tianyuan Bio Pharmaceutical Co. Ltd
dipandang telah memenuhi ketentuan pencucian secara syara’ (tathhir syara’an)
Menetapkan : FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN
MENINGITISBAGI JEMAAH HAJI ATAU UMRAH
Ketentuan Umum :
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
a. Vaksin MencevaxTM ACW135Y
adalah vaksin meningitis yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Beecham
Pharmaceutical- Belgium.
b. Vaksin Menveo Meningococcal
adalah vaksin yang mempunyai nama produksi Menveo Meningococcal Group A, C,
W135 and Y Conyugate Vaccine yang diproduksi oleh Novartis accine and
Diagnostics S.r.i.
c.
Vaksin Meningococcal adalah vaksin yang mempunyai nama produksi
Meningococcal Vaccine yang diproduksi oleh Zheijiang Tianyuan Bio
Pharmaceutical Co. Ltd.
Ketentuan Hukum:
1.Vaksin Mencevax ACW135Y hukumnya
Haram.
2.Vaksin Menveo Meningococcal dan Vaksin
Meningococcal hukumnya Halal.
3.Vaksin yang boleh digunakan hanyalah
vaksin meningitis yang Halal
4.Ketentuan dalam Fatwa MUI Nomor 5
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan haji wajib atau
umrah wajib boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena al-hajah
(kebutuhan mendesak) dinyatakan tidak berlaku lagi.[14]
5. Hukum Berobat Dengan Yang Haram
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang najis
atau yang haram.[15]
Dalam masalah ini paling tidak ada 3 (tiga) pendapat:
1. Jumhur
ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam
keadaan darurat.[16]
2. Sebagian
ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah (bermazhab Syafii)
menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis. [17]
3. Sebagian
ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an-Nabhani, menyatakan makruh hukumnya berobat
dengan zat yang najis atau yang haram.[18]
Menurut
kami, pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat
ketiga, yang memakruhkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, karena
dalilnya lebih kuat.
Menurut Imam
Taqiyuddin An-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah (3/116),
berobat dengan benda yang najis/haram hukumnya makruh, bukan haram. Dalil
kemakruhannya dapat dipahami dari dua kelompok hadis :Pertama,
hadis-hadis yang mengandung larangan (nahi) untuk berobat dengan sesuatu
yang haram/najis. Kedua, hadis-hadis yang yang membolehkan berobat
dengan sesuatu yang haram/najis.Hadis kelompok kedua ini menjadi indikasi (qarinah)
bahwa larangan yang ada pada kelompok hadis pertama bukanlah larangan tegas
(haram), namun larangan tidak tegas (makruh).
Hadis yang
melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis, misalnya sabda Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,”Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan
penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit.Maka
berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.”(HR Abu Dawud, no
3376). Sabda Nabi SAW “janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram”
(wa laa tadawau bi-haram) menunjukkan larangan (nahi) berobat
dengan sesuatu yang haram/najis.
Namun
menurut Imam An-Nabhani, hadis ini tidak otomatis mengandung hukum haram (tahrim),
melainkan sekedar larangan (nahi). Maka, diperlukan dalil lain sebagai
indikasi/petunjuk (qarinah) apakah larangan ini bersifat jazim/tegas
(haram), ataukah tidak jazim (makruh).
Di sinilah
Imam An-Nabhani berpendapat, ada hadis yang menunjukkan larangan itu tidaklah
bersifat jazim (tegas). Dalam Sahih Bukhari terdapat hadis,
orang-orang suku ‘Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu masuk Islam. Namun mereka kemudian
sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air
kencing unta… (Sahih Bukhari, no 226; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul
Bari, 1/367). Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pernah memberi rukhshash (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan
Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit
kulit. (HR Ahmad, no. 13178).
Kedua hadis
ini menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis (air kencing unta),
dan sesuatu yang haram (sutera). (Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Taqrib Fiqh
Ath-Thabib, hal. 74-75).
Kedua hadis
inilah yang dijadikan qarinah (indikasi) oleh Imam An-Nabhani bahwa
larangan berobat dengan sesuatu yang najis/haram hukumnya bukanlah haram,
melainkan makruh.Maka dari itu, hukum vaksin meningitis andai mengandung zat
babi yang najis, hukumnya adalah makruh, bukan haram.
6. Analisis
Adapun pendapat penulis adalah bahwasanya Meningitis merupakan penyakit
berbahaya dan menular yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus atau
bakteri, yang menyebar dalam darah dan menyebabkan radang selaput otak sehingga
membawa kerusakan kendali gerak, pikiran bahkan kematian. Untuk melindungi
jama’ah haji agar tidak terserang penyakit tersebut maka diperlukan adanya
vaksin meningitis. Sesuai dengan pendapat yang dikemukan kan oleh Syeikh
Abdullah bin Baz yakni tidak masalah
menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah
pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”.
Dipahami bahwa bertujuan untuk menangkal sesuatu atau sebagai antisipasi.
Hal di atas tentunya tidak terlepas dalam penggunaan
vaksin meningitis yang terbuat dari bahan – bahan yang halal sesuai dengan
kategori yang telah diupayakan oleh MUI dalam fatwanya Nomor 06 Tahun 2010.
Adapun vaksin meningitis yang terbuat atau tercemar dari enzim babi hukumnya
adalah haram, dengan alasan sebagai berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam biantang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu memakan hewan) yang disembelih untuk behala…” (QS.
Al Maidah : 3)
Dari ayat diatas jelas bahwa
daging babi itu haram termasuk yang ada didalam kandungannya. Dan vaksin yang menggunakan bahan yang tercemar atau ada kandungan enzim
babinya adalah haram.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
Meningitis
merupakan penyakit berbahaya dan menular yang disebabkan oleh mikroorganisme,
seperti virus atau bakteri, yang menyebar dalam darah dan menyebabkan radang
selaput otak sehingga membawa kerusakan kendali gerak, pikiran bahkan
kematian.Vaksin meningitis adalah sejenis vaksin yang disuntikkan kedalam tubuh
agar tubuh kita kebal terhadap penyakit meningitis.Fungsi meningitis ini adalah
sebagai tameng dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
Meningitis.Maka untuk melindungi masyarakat utamanya jama’ah haji agar bisa
beribadah dengan sebaik-baiknya perlu adanya vaksin meningitis dan tentunya
menggukan bahan yang halal.Vaksin yang sudah tercemar dan terbuat dari bahan
babi maka hukumnya haram.
Dalam
penggunaannya ulama mengatakan bahwakebolehan dalam
menggunakannya dengan alasan yang bermacam macam seperti:
1. Syeikh Abdullah bin Baz: Artinya:“La ba’sa (tidak
masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa
penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah
menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah
pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun.
2.
Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid: Artinya:“rincian ketiga: vaksin yang terdapat
didalamnya bahan yang haram atau najis pada asalnya. Akan tetapi dalam proses
kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya
menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan [mubah
ini] mempunyai efek yang bermanfaat.
3. Fatwa
Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء] Artinya: Pertama, Penggunaan obat semacam
itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi
anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam
ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal
ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan
dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih
parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi
kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan
tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami
istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak.
Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang
dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah
menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua, Majelis merekomendasikan
pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak
bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi
anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).
2.
Saran
Demikianlah
makalah ini penulis buat. Makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari segi
pemhaman terhadap ayat-ayat, literature ayat serta buku-buku tafsir yang
menjadi rujukan yang amat terbatas. Oleh karena itu penulis mengharapkan
krtikan dan saran yang membangun. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima
kasih.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
as-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin al-As’at, tt. Sunan Abu Daud. Juz 4. Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Arabi.
Fatwa MUI Nomor 06 Tahun 2010
http://doktersehat.com/penyakit-meningitis/ diakses pada
tanggal 18 maret 2016.
http://www.binbaz.org.sa/fatawa/236
diakses pada tanggal 17 maret 2016.
http://www.daftarhajiumroh.com/cara-syarat-dan-biaya-vaksin-meningitis-untuk-jamaah-haji-dan-umroh/diakses
pada tanggal 18 maret 2016
http://www.depkes.go.id/article/print/2277/selamatkan-jemaah-haji-dan-umroh-dari-bahaya-meningitis-meningokokus.html
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
http://www.madehow.com/Volume-2/Vaccine.html
diakses p[ada tanggal 18 maret 2016.
http://www.unsri.ac.id/unsri_artikel_detil.php?act=seminar_detil&id=26
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
https://islamqa.info/ar/159845
diakses pada tanggal 17 maret 2016
https://konsultasi.wordpress.com/2009/11/02/hukum-vaksin-meningitis-untuk-jamaah-haji/
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
https://muslim.or.id/19708-fatwa-para-ulama-ustadz-dan-ahli-medis-tentang-bolehnya-imunisasi.html
diakses pada tanggal 17 maret 2016.
https://zulliesikawati.wordpress.com/tag/vaksin-meningitis/
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
Rusyd, Ibnu. 1990. Bidayatul Mujtahid, Juz I. Beirut
: Darul Fikr.
Salam, Izzuddin bin Abdis. 1999. Qawa’idul Ahkam fi
Mashalih Al-Ahkam. Jil. 2. Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah.
Zuhaili, al-Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
Juz IX. Damaskus : Darul Fikr.
[2]
https://konsultasi.wordpress.com/2009/11/02/hukum-vaksin-meningitis-untuk-jamaah-haji/
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
[3] http://www.daftarhajiumroh.com/cara-syarat-dan-biaya-vaksin-meningitis-untuk-jamaah-haji-dan-umroh/diakses
pada tanggal 18 maret 2016
[4]http://www.depkes.go.id/article/print/2277/selamatkan-jemaah-haji-dan-umroh-dari-bahaya-meningitis-meningokokus.html
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
[5]
http://www.unsri.ac.id/unsri_artikel_detil.php?act=seminar_detil&id=26
diakses pada tanggal 18 maret 2016.
[7] https://zulliesikawati.wordpress.com/tag/vaksin-meningitis/ diakses
pada tanggal 18 maret 2016.
[8] http://www.madehow.com/Volume-2/Vaccine.html diakses p[ada tanggal
18 maret 2016.
[9] http://www.binbaz.org.sa/fatawa/236 diakses pada tanggal 17 maret
2016.
[10] https://islamqa.info/ar/159845 diakses pada tanggal 17 maret 2016
[11]https://muslim.or.id/19708-fatwa-para-ulama-ustadz-dan-ahli-medis-tentang-bolehnya-imunisasi.html
diakses pada tanggal 17 maret 2016.
[12] Abu Daud Sulaiman bin
al-As’at as-Sajastani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
tt), Juz 4, Hal 1.
[16] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr,
1996), Juz IX hal. 662
[17] Izzuddin
bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al-Ahkam, (Beirut : Darul
Kutub al-Ilmiyah, 1999), Juz II hal. 6
loading...
No comments:
Write komentar