Navigasi

Doa tatkala tertimpa musibah و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخ...

Doa tatkala tertimpa musibah

و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ كَثِيرِ بْنِ أَفْلَحَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ سَفِينَةَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ
{ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ }
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَجَرَهُ اللَّهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِي عُمَرُ يَعْنِي ابْنَ كَثِيرٍ عَنْ ابْنِ سَفِينَةَ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ وَزَادَ قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ مَنْ خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ عَزَمَ اللَّهُ لِي فَقُلْتُهَا قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah lalu ia membaca apa yang telah diperintahkan oleh Allah, 'INAA LILLAHI WAINNAA ILAIHI RAAJI'UUN ALLAHUMMA`JURNII FII MUSHIIBATI WA AKHLIF LII KHAIRAN MINHAA (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Ya Allah, berilah kami pahala karena mushibah ini dan tukarlah bagiku dengan yang lebih baik daripadanya).' melainkan Allah menukar baginya dengan yang lebih baik." Ummu Salamah berkata; Ketika Abu Salamah telah meninggal, maka saya pun membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Allah pun menggantikannya untukku dengan yang lebih baik darinya yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Sa'd bin Abu Sa'id telah mengabarkan kepadaku Umar bin Katsir dari Ibnu Safinah Maula Ummu Salamah, dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yakni serupa dengan haditsnya Abu Usamah, dan ia menambahkan; (Ummu Salamah) berkata, "Siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian Allah pun mengokohkan hatiku untuk mengucapkannya. Lalu aku pun menikah dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Muslim: 1526) - http://hadits.in/muslim/1526

  Etika Perang Dalam Islam   رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَ...

 

Etika Perang Dalam Islam

 

رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَبِمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ: أُغْزُوْا عَلَى اسْمِ اللهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ. أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدُرُوْا، وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيِّتُهُنَّ أَجَابُوْكَ إِلَيْهَا فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ أُدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ، فَإِنْ أَجَابُكَ إِلَيْهَا فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ أُدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ، فَإِنْ أَجَابُكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِيْنَ فَإِنْ أَبَوْا فَأَخْبِرْهُمْ بِأَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِي الْغَنِيْمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْأَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ. فَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِمْ بِاللهِ تَعَالىَ وَقَاتِلْهُمْ. وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنِ فَأَرَادُوْا أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ فَلاَ تَفْعَلْ وَلَكِنِ اجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ فَإِنَّكُمْ إِنْ تَخْفُرُوْا ذِمَمَكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تَخْفُرُوْا ذِمَّةَ اللهِ. وَإِذَا أَرَادُوْكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلْ بَلْ عَلَى حُكْمِكَ فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِيْ أَتُصِيْبُ فِيْهِمْ حُكْمَ اللهِ تَعَالَى أَمْ لاَ. (روه مسلم في كتاب الجهاد باب تأمير الإمام)

"Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat seorang panglima atau komandan pasukan perang, beliau selalu mewasiatkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, kemudian beliau bersabda: "Berperanglah dengan nama Allah untuk menegakkan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan janganlah kalian menipu (dalam harta rampasan), jangan kalian mengkhianati janji, jangan membunuh seseorang dengan cara yang kejam, dan janganlah membunuh anak-anak. Apabila kalian bertemu dengan musuhmu dari orang-orang musyrik, maka ajaklah mereka kepada tiga hal, apabila mereka mau menerima salah satu dari tiga hal tersebut, maka terimalah mereka dan berhentilah memerangi mereka, setelah itu serulah mereka untuk masuk agama Islam. Apabila mereka mau menerima ajakanmu maka terimalah, setelah itu ajaklah mereka untuk pindah dari kampung halaman mereka ke kampung halaman kaum Muhajirin. Apabila mereka mau menerima ajakanmu tersebut, maka beritahukanlah bahwa mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti kaum Muhajirin. Apabila mereka enggan pindah dari kampung halamannya ke kampung halaman kaum Muhajirin, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka sama dengan orang-orang Arab Muslim lainnya, yang tidak memperoleh sedikitpun harta rampasan perang, kecuali jika mereka ikut berjuang bersama kaum Muslimin lainnya. Jika mereka menolak maka mintalah upeti kepada mereka, apabila mereka mau menyerahkan upeti tersebut kepadamu maka terimalah dan janganlah kamu memerangi mereka, namun jika mereka enggan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah lalu perangilah mereka. Apabila kalian mengepung suatu benteng, lalu orang-orang yang berada di dalamnya meminta keamanan dan jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kamu penuhi permintaan tersebut. Tetapi jadikanlah merka dalam perlindungan kalian dan perlindungan sahabat-sahabat kalian, sebab resikonya lebih ringan jika kamu harus merusak keamanan kalian dan teman-teman kalian daripada kalian merusak keamanan Allah dan Rasul-Nya. Apabila mereka menghendaki agar ditempatkan pada hukum Allah maka janganlah kalian berlakukan hal itu kepada mereka, yang lebih baik adalah apabila kalian memberlakukan hukuman sendiri, sebab kalian sendiri mungkin tidak akan mengetahui, apakah kalian dapat menegakkan hukum Allah kepada mereka atau tidak." Abdurrahman berkata, "Seperti ini atau yang semisalnya." Ishaq menambahkan diakhir haditsnya, dari Yahya bin Adam dia berkata; aku meneyebutkan hadits ini kepada Muqatil bin Hayyan. Yahya berkata, "Yaitu bahwa Al Qamah pernah berkata kepada Ibnu Hayyan, katanya; telah menceritakan kepadaku Muslim bin Haisham dari An Nu'man bin Muqarrin dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti itu." Dan telah menceritakan kepadaku Hajjaj bin Sya'ir telah menceritakan kepadaku Abdush Shammad bin Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepadaku 'Alqamah bin Martsad bahwa Sulaiman bin Buraidah telah menceritakan dari ayahnya dia berkata, "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat seorang panglima atau komandan pasukan perang, beliau selalu mendo'akannya dan mewasiatkan kepadanya...lalu dia melanjutkan hadits tersebut semakna dengan hadits Sufyan." Telah menceritakan kepada kami Ibrahim telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra` dari Al Husain bin Walid dari Syu'bah dengan isnad ini." (HR. Muslim: 3261) - http://hadits.in/muslim/3261

Larangan membunuh pekerja حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُرَقَّعِ بْنِ صَيْفِيِّ بْنِ رَبَاحٍ قَالَ...


Larangan membunuh pekerja


حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُرَقَّعِ بْنِ صَيْفِيِّ بْنِ رَبَاحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّهِ رَبَاحِ بْنِ رَبِيعٍ قَالَ
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ فَرَأَى النَّاسَ مُجْتَمِعِينَ عَلَى شَيْءٍ فَبَعَثَ رَجُلًا فَقَالَ انْظُرْ عَلَامَ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ فَجَاءَ فَقَالَ 
عَلَى امْرَأَةٍ قَتِيلٍ فَقَالَ مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُقَاتِلَ قَالَ وَعَلَى الْمُقَدِّمَةِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَبَعَثَ رَجُلًا فَقَالَ قُلْ لِخَالِدٍ لَا يَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلَا عَسِيفًا

"Lihatlah, apakah yang mereka kerumuni?" kemudian orang tersebut datang dan berkata; mengerumuni seorang wanita yang terbunuh. Kemudian beliau berkata; tidak sepantasnya orang ini untuk berperang. Sementara baris depan Khalid bin Al Walid. Kemudian beliau mengutus seseorang dan beliau berkata; katakan kepada Khalid; agar ia tidak membunuh wanita dan orang utusan. (HR. Abu Daud: 2295) - http://hadits.in/abudaud/2295

Larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam peperangan   حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ ...

Larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam peperangan

 
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ
أَنَّ امْرَأَةً وُجِدَتْ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتُولَةً فَأَنْكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Nafi' bahwa 'Abdullah radliallahu 'anhu mengabarkan kepadanya bahwa ada seorang wanita yang ditemukan (dalam keadaan terbunuh) di sebagian peperangan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingkari pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak.(HR. Bukhari: 2791) - http://hadits.in/bukhari/2791

Keutamaan berjamaah di Masjid حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ سَم...


Keutamaan berjamaah di Masjid


حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat seorang laki-laki dengan berjama'ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama'ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo'akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, 'Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia'. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat." (HR. Bukhari: 611) - http://hadits.in/bukhari/611

Doa agar terbebas dari hutang  حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِ...



Doa agar terbebas dari hutang 


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ سَيَّارٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ مُكَاتَبًا جَاءَهُ فَقَالَ إِنِّي قَدْ عَجَزْتُ عَنْ كِتَابَتِي فَأَعِنِّي قَالَ أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَيْنًا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ قَالَ قُلْ اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Hassan telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Abdurrahman bin Ishaq dari Sayyar dari Abu Wail dari Ali radliallahu 'anhu, bahwa seorang budak mukatab (yang mengadakan perjanjian pembebasan dengan tuannya) datang kepadanya dan berkata; aku tidak mampu membayar pembebasanku, maka tolonglah aku! Ali berkata; maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ajarkan kepadaku, yang seandainya engkau memiliki hutang sebesar gunung Shir niscaya Allah akan membayarkannya untukmu? Ali berkata; ucapkanlah; ALLAAHUMMAKFINII BIHALAALIKA 'AN HARAAMIK, WA AGHNINII BIFADHLIKA 'AMMAN SIWAAK (Ya Allah, cukupkanlah aku dengan kehalalanMu sehingga tidak memerlukan keharamanMu, dan jadikanlah aku kaya sehingga tidak butuh kepada selainMu). Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib
http://hadits.in/tirmidzi/3486

Keutamaan bulan Zulhijjah حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ هُوَ الْبَطِينُ وَهُوَ ابْنُ أَب...


Keutamaan bulan Zulhijjah


حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ هُوَ الْبَطِينُ وَهُوَ ابْنُ أَبِي عِمْرَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَجَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ


Telah menceritakan kepada kami [Hannad] telah menceritakan kepada kami [Abu Mu'wiyah] dari [Al A'masy] dari [Muslim] dia adalah Al Bathin yaitu Ibnu Abu Imran dari [Sa'id bin Jubair] dari [Ibnu Abbas] berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tidak ada hari-hari untuk berbuat amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, " para shahabat bertanya, wahai Rasulullah, sekalipun Jihad fi sabilillah?, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam menjawab: "Sekalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang lelaki yang pergi berjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak kembali sedikitpun dari keduanya." Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru dan Jabir. Hadits Ibnu Abbas merupakan hadits hasan shahih gharib.(HR. Tirmidzi: 688) - http://hadits.in/tirmidzi/688

Iri? Boleh, tapi pada 2 orang ini حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي قَيْسٌ عَنْ ا...



Iri? Boleh, tapi pada 2 orang ini

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي قَيْسٌ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Qais dari Ibnu Mas'ud radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain) ".. (HR. Bukhari: 1320) - http://hadits.in/bukhari/1320

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَا...


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala daripada orang mukmin yang lemah. Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; 'Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu'. Tetapi katakanlah; 'lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata 'law' (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan syetan.'" (HR. Muslim: 4816) - 

Segala Sesuatu yang terjadi semuanya dengan Takdir
Iman kepada takdir adalah salah satu pilar Islam. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diketahui oleh Allah sebelum hal itu terjadi. Dan Allah juga telah memerintahkan pena takdir untuk mencatat segala peristiwa yang akan terjadi hingga hari kiamat 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Kehendak Allah pasti terlaksana, tidak ada yang bisa mengelakkannya. Semua makhluk dan perbuatannya merupakan buah dari ciptaan-Nya. Hal ini tentu akan membuat hati seorang yang beriman merasakan ketentraman. Dia akan beramal sebaik-baiknya dan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Maka salah satu sifat yang harus dipunyai oleh seorang muslim ialah bersikap pasrah terhadap takdir dan tidak memprotes keputusan Allah Ta’ala. Sehingga apabila musibah menimpa maka hati mereka merasa ridha terhadap perbuatan-Nya dan bersabar dalam menghadapi musibah. Inilah kewajiban kita.
Berkaitan dengan hukumnya setidak nya ada beberapa hukum berkaitan dengan berandai andai tersebut.
- Pertama, Pengandaian karena memprotes syariat. Dalam hal ini ulama sepakat hukumnya haram.

Misal: seseorang mengatakan; andai rokok itu halal, tentu aku bisa dapat untung besar. Dia ucapkan semacam ini karena kesedihannya ketika harus kehilangan pekerjaan di pabrik rokok atau tembakaunya dibuang.

Pengandaian dalam bentuk protes terhadap syariat semacam ini merupakan karakter orang munafik yang keberatan dengan aturan Allah.
- Kedua, pengandaian untuk memprotes takdir.

Ulama sepakat hukumnya haram.

Misalnya, seseorang sangat sedih karena kehilangan kesempatan menguntungkan. Kemudian dia berandai-andai: “Andai tadi saya di rumah, pasti saya dapat jatah juga.”

Pengandaian semacam ini juga dilakukan orang-orang munafik, karena tidak tahan dengan ujian berat yang menimpa mereka.
- Ketiga, pengandaian karena penyesalan akibat musibah yang menimpanya. Hukumnya haram.

Misal, seseorang mengalami kecelakaan, kemudian dia berandai: “Andai saya tadi gak berangkat, kan gak kecelakaan”

- Keempat, pengandaian karena keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir.

Hukum dari pengandaian ini tergantung dari apa yang diangan-angankan. Jika yang diangankan kebaikan, maka nilainya pahala dan sebaliknya, jika yang diangankan kemaksiatan maka nilainya dosa.

- Kelima, pengandaian untuk hanya sebatas informasi, bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir. hukumnya dibolehkan.

Misal, seseorang mengatakan: “Andai kemarin Anda hadir, Anda akan mendapatkan ceramah yang bermanfaat.”



Referensi: https://konsultasisyariah.com/12275-andai-andai-yang-terlarang.html
https://muslim.or.id/402-berandai-andai-dalam-timbangan-tauhid.html

http://hadits.in/muslim/4816




حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ مُعَاذَ ب...



حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْجَنَّةُ مِائَةُ دَرَجَةٍ كُلُّ دَرَجَةٍ مِنْهَا مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَإِنَّ أَعْلَاهَا الْفِرْدَوْسُ وَإِنَّ أَوْسَطَهَا الْفِرْدَوْسُ وَإِنَّ الْعَرْشَ عَلَى الْفِرْدَوْسِ مِنْهَا تُفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ فَإِذَا مَا سَأَلْتُمْ اللَّهَ فَسَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ
"Jannah memiliki seratus tingkatan, dan setiap tingkatan jaraknya antara langit dan bumi, yang paling tinggi adalah surga Firdaus dan tengahnya Firdaus dan 'Arsy berada di atas Firdaus, darinya di pancarkan sungai-sungai surga. Jika kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surga 
Firdaus." (HR. Ibnu Majah: 4322) - http://hadits.in/ibnumajah/4322


 Hadis diatas juga dikuatkan oleh hadis yang di riwayatkan oleh bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى هِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ جَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيهَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah, menegakkan shalat, berpuasa bulan ramadhan, maka sudah pasti Allah akan memasukkannya kedalam surga, baik apakah dia berjihad di jalan Allah atau dia hanya duduk tinggal di tempat di mana dia dilahirkan”.
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kami sampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya di surga itu ada seratus derajat (kedudukan/tingkat) yang Allah menyediakannya buat para mujahid di jalan Allah dimana jarak antara dua derajat seperti jarak antara langit dan bumi.

Surga bertingkat-tingkat, yang paling utama dan paling tinggi serta paling dekat dengan Allah adalah surga al firdaus, karena ia (al firdaus) tepat di bawah Arsy Allah.Untuk itu bila kalian minta kepada Allah maka mintalah surga al firdaus karena dia adalah tengahnya surga (utama) dan yang paling tinggi. Aku pernah diperlihatkan bahwa diatas firdaus itu adalah singgasanannya Allah Yang Maha Pemurah dimana darinya mengalir sungai-sungai surga”. (HR. Bukhari)

  Tujuan dari perbedaan derajat dan tingkatan ini adalah agar seorang muslim berlomba-lomba untuk mendapatkan yang paling utama dan paling tinggi. Hal ini sebagaimana firman Allah : “Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.”) (QS. Al Muthaffifiin : 26)
Untuk lebih memotivasi kita sebaiknya kita cermat hadis At-Tirmidzi berikut:
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ
Al-Kayyisu (orang yang cerdas) adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal bagi sesuatu setelah mati, dan al-‘aajizu (yang lemah) adalah orang yang menjadikan dirinya sebagai pengikut hawa nafsunya, dan ia berangan-angan (mendapatkan ampunan dari Allah).” (HR At-Tirmidzi)
Setelah beramal dengan amalan shaleh, mari kita barengi dengan amalan lisan kita, dengan berdoa kepada Allah untuk meminta surga yang paling utama dan paling tinggi yaitu alfirdaus, semoga Allah ta’ala memudahkan kita semua untuk beramal di dunia dan mendapatkan rahmatNya dengan dimasukkan kedalam surga firdaus

اَللَّهُمَّ إنّيْ أَسْأَلُكَ الفِرْدَوْسَ أَعْلَى الجَنَّة



حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ...


حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنْ الْمَغْرَمِ فَقَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
وَعَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ فِي صَلَاتِهِ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
"Kenapa tuan banyak meminta perlindungan dari hutang?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya seseorang apabila berhutang dia akan cenderung berkata dusta dan berjanji lalu mengingkarinya." Dan dari Az Zuhri ia berkata, 'Urwah bin Az Zubair telah mengabarkan kepadaku, bahwa 'Aisyah? radliallahu 'anha berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalatnya meminta perlindungan dari fitnah Dajjal." (HR. Bukhari: 789) - http://hadits.in/bukhari/789

أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفُضَيْلِ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْن...


أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفُضَيْلِ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ فَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا وَلَمْ يَقُمْ حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَجَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ حَتَّى تَخَوَّفْنَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ
قُلْتُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ
"Kami puasa Ramadlan bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan beliau tidak bangun (shalat malam) bersama kami hingga tinggal tujuh hari dari bulan Ramadlan. Lalu beliau bangun bersama kami hingga lewat sepertiga malam, kemudian pada malam keenam menjelang akhir Ramadhan beliau tidak bangun (malam)! Maka setelah malam kelima, beliau bangun bersama kami hingga hampir lewat separuh malam. Kami berkata kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, bagaimana jika engkau shalat sunnah bersama kami malam ini? ' Beliau menjawab: 'Jika seseorang shalat bersama imam hingga usai, maka Allah menuliskan baginya pahala menegakkan shalat malam'. Kemudian beliau tidak bangun (guna shalat malam) bersama kami. Ketika bulan (Ramadhan) tinggal tiga hari lagi, beliau bangun untuk shalat malam bersama kami, lalu mengumpulkan keluarga dan para istrinya hingga kami khawatir kehilangan Al Falah ini." Aku lalu bertanya; "Apakah (Al Falah) itu?" Ia menjawab; "Waktu sahur". (HR. Nasa'i: 1587) - http://hadits.in/nasai/1587


Read more at: https://almanhaj.or.id/2224-disunnahkannya-shalat-tarawih-berjamaah.html

MAFHUM MUKHALAFAH A. PENDAHULUAN Manusia diciptakan Allah SWT dengan dianugerahi akal, dimana dengan akal inilah manusia mampu berpi...



MAFHUM MUKHALAFAH
A. PENDAHULUAN
Manusia diciptakan Allah SWT dengan dianugerahi akal, dimana dengan akal inilah manusia mampu berpikir dan memilih. Sehingga setiap tindakan dan perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan akalnya. Hanya saja manusia membutuhkan pedoman dan petunjuk  untuk menggunakan akalnya supaya manusia tidak secara liar berpikir dan memilih yang pada akhirnya akan mengantarkan dan menjerumuskan manusia itu ke jalan yang seharusnya tidak dia tempuh.
Al Qur`an yang  berdampingan dengan hadis merupakan petunjuk yang dipercaya oleh umat Islam sebagai pedoman hidup. Sebagian petunjuk al Qur`an maupun Hadis tersebut adalah mengenai hukum. Ulama dengan berbagai mazhabnya yang berbeda-beda sepakat bahwa manusia tidak terlepas dari hukum dalam kehidupannya sehari-hari, baik hukum yang mangatur hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) ataupun yang mengatur hubungan antar sesama manusia.
Redaksi al Qur`an dan hadis ada yang dapat dipahami dengan apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang. Namun ada kalanya harus masuk ke kedalaman kata atau kalimat yang terkandung di dalamnya sehingga lahir makna-makna baru yang tidak berhubungan langsung dengan apa yang tertulis.
Dalam pandangan ulama Syafi’iyah ada dua macam untuk memahami redaksi nash tersebut, yaitu mantuq dan mafhum yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang salah satu bentuk mafhum, yaitu mafhum mukhalafah dalam pemikiran ulama Syafi’iyah dan landasan hukum ulama Hanafiyah menolak untuk berdalil dengan mafhum mukhalafah ini.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mafhum Mukhalafah
Secara etimologi  ﻣﻔﻬﻮم  adalah isim maf’ul dari ﻓﻬﻢ yang berarti yang “mengerti atau paham”.  Jadi mafhum adalah sesuatu yang dimengerti dan dipahami.
Mafhum menurut istilah Ushul Fiqh adalah “penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan” atau secara lebih sederhana mafhum adalah “apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan”.
Dari pengertian mafhum tersebut di atas, mafhum terbagi atas dua macam, yaitu mafhum muwafaqah (mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz) dan mafhum mukhalafah.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan mafhum mukhalafah sebagai berikut :
ﻫﻮ ﺣﻴﺚ ﻳﻜﻮ ن اﻟﻤﺴﻜﻮت ﻋﻨﻪ ﻣﺧﺎﻟﻔﺎ ﻟﻠﻤﺬ ﻛﻮر اﻟﺤﻜﻢ إﺛﺒﺎﺗﺎ وﻧﻔﻴﺎ
“dimana (hukum) yang tidak disebut (yang dipaham dari lafaz nash) yang berbeda dengan (hukum) yang disebut lafaz nash, baik dalam itsbat maupun nafy.”
Atau bisa juga diartikan dengan “hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq.  Dengan bahasa lain mafhum mukhalafah adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.
Dengan demikian suatu nash bisa menunjukkan dua hukum, yaitu hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang dipahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada hukum halal dengan adaanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, bila qaydnya tidak ada. Seperti firman Allah SWT :
          •     
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa : 25)
Bunyi (manthuq) ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) : orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kemudian jika dipahami dengan kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka.
Mafhum mukhalafah disebut juga dalil al-khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab, karena dalil hukumnya diambil dari jenis khitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan atas hukum itu.




2. Bentuk-bentuk Mafhum Mukhalafah
Ulama Ushul Fiqh membagi mafhum mukhlafah kepada 5 (lima) bentuk. Di antaranya adalah :
a. Mafhum sifat ( اﻟﺼﻔﺔ ﻣﻔﻬﻮم )
Mafhum sifat ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.  Dengan bahasa lain mafhum sifat ialah suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat, maka berlaku hukum pada lafaz itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada, maka berlakulah hukum yang sebaliknya.
Contoh dalam firman Allah SWT :
          •     
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa : 25)
Manthuq ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kemudian jika dipahami dengan mafhum mukhalafah dari lafaznya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila hamba sahaya tersebut tidak mukmin.
Akan tetapi ulama Hanafiyah yang tidak mau mempergunakan mafhum mukhalafah tidak memperdulikan tentang beriman seorang hamba sahaya atau tidak. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin adalah sah,  berdasarkan firman Allah SWT :
            •  •  
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.  (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”. (QS. An Nisa : 24)



Contoh lain dalam hadis Rasulullah SAW :
ﻓﻲ ﺳﺎﺋﻤﺔ اﻟﻐﻨﻢ إذا ﻛﺎﻧﺖ أرﺑﻌﻴﻦ ﻓﻔﻴﻬﺎ ﺷﺎة )   رواﻩ ﻣﺎﻟﻚ وأﺑﻮ داود(
“Zakat binatang ternak, apabila telah mencapai 40 ekor kambing”. (HR. Malik dan Abu Dawud)
Hadis di atas menggunakan lafal  ﺳﺎﺋﻤﺔ  (yang diternak di padang rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya), jika dipahami secara mafhum mukhalafah dalam bentuk mafhum sifat, maka binatang ternak  اﻟﻤﻌﻠﻮﻓﺔ   (yang diambilkan makanannya), maka tidak ada kewajiban menzakatkan ternak kambing yang ma’lunah.

b. Mafhum syarat ( اﻟﺷﺮط ﻣﻔﻬﻮم )
Mafhum syarat adalah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi. Atau dalam definisi yanglebih sederhana : bila syarat terpenuhi, maka berlaku hukum, tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi, maka dapat ditetapkan hukum yang sebaliknya.
Sebagai contoh, firman Allah SWT :
          
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At Thalaq : 6)
Manthuq ayat ini mewajibkan mantan suami memberi nafkah kepada mantan isterinya dengan syarat wanita itu sedang hamil. Dengan demikian, maka berdasarkan mafhum syarat, mantan isteri yang telah dicerai dan tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya.
Namun ulama Hanafiyah mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah, kecuali isteri yang dicerai tersebut telah membebaskannya , berdasarkan firman Allah SWT :
              
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”. (QS. At Thalaq : 7)

c. Mafhum al-ghayah ( اﻟﻐﺎﻴﺔ ﻣﻔﻬﻮم ) / limit waktu
Mafhum al-ghayah ialah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu sudah berlalu. Atau dalam definisi yang lebih sederhana : sebelum limit waktu yang ditentukan habis, maka berlaku hukum, tetapi setelah limit waktu yang ditentukan habis, maka hukum tersebut tidak berlaku lagi.

Contohnya, firman Allah SWT :
          
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al Baqarah : 230)
Manthuq dari ayat tersebut tidak bolehnya menikahi istri yang telah ditalak tiga hingga ia mengawini laki-laki lain. Sedangkan mafhum ghayah dari ayat ini ialah bila bekas isteri yang ditalak tiga telah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, maka boleh mengawini bekas isterinya yang telah ditalak tiga itu.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menetapkan hukum syara’ dengan mafhum ghayah ini. Sementara itu ulama Hanafiyah dan sebagian ulama fuqaha lainnya tidak mau menggunakan mafhum ghayah ini. Berkenaan dengan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hukum asal adalah memperbolehkan menikahi isteri yang ditalak tiga demi kemaslahatan isteri tersebut. Sedang larangan tersebut dibatasi (qayd) dengan suatu batasan atau waktu yang berlangsung selama batas waktu tersebut masih ada. Jika batas waktu tersebut telah hilang maka kembali halal.

d. Mafhum al-‘adad ( اﻟﻌﺪﺩ ﻣﻔﻬﻮم ) / bilangan
Mafhum al-‘adad ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya hukum dengan jumlah bilangan tertentu, yang selanjutnya menafikan hukum tersebut pada jumlah bilangan selain yang dilafazkan dalam nash.
Misalnya firman Allah SWT :
• •  •     
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera” (QS. An Nur : 2)
Manthuq dari ayat di atas adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina laki-laki dan perempuan.
Mafhum al-‘adad dari ayat tersebut adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.


e. Mafhum al-laqab ( اﻟﻟﻗﺐ ﻣﻔﻬﻮم ) / gelar atau sebutan
Mafhum al-laqab ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain.
Sebagai contoh, firman Allah SWT :
      
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku…, (QS. Yusuf : 4)
Dalam manthuq ayat ini Yusuf melaaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa mimpinya. Jadi, hanya Yusuf sendiri yang disebutkan. Dengan demikian mafhum laqabnya ialah selain Yusuf tidak dapat disebutkan sebagai orang yang melaporkan kepada ayah Yusuf tentang peristiwa mimpinya.
Ulama ushul fiqh, selain al-Daqqaq sepakat bahwa mafhum laqab bukanlah hujjah. Sebab mafhum ini tidak mencerminkan suatu pembatasan hukum terhadapnya, bukan pula menegaskan pengkhususan terhadapnya, mapun pengecualian terhadap hal-hal lainnya.




3. Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang popular dalam pembahasan ushul fiqh. Namun tentang penetapan hukum melalui cara mafhum mukhalafah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum mukhalafah. Jumhur ulama menerimanya sebagai hujjah, kecuali mafhum laqab. Dan sebaliknya ulama Hanafiyah menolak kehujjahan dengan mafhum mukhalafah.
Semua ulama sepakat untuk tidak berhujjah dengan mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya; sebab dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya di luar nama itu.
Jumhur ulama sepakat tentang bolehnya berhujjah dengan mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah  dan mafhum al-‘adaddi luar lingkungan nash-nash syari’ah (teks hukum), umpamanya di dalam akad perjanjian dan ucapan-ucapan. Artinya pada perjanjian-perjanjian yang diadakan antara dua belah pihak dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Misalnya, seseorang yang akan berwakaf berkata, “Setelah aku meninggal, aku jadikan seperempat dari wakafku ini untuk karib kerabatku yang miskin”. Manthuq adalah harta wakaf itu tetap diberikan kepada karib kerabat, namun secara mafhum mukhalafah, wakaf itu ditiadakan bagi karib kerabatnya yang tidak miskin.
Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas suatu kejadian bila dikaitkan kepada suatu sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menerapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktunya sudah berlalu.
Di antara argumentasi jumhur ulama tersebut adalah :
a. Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut, juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam suatu keadaan. Maka berlaku mafhum mukhalafah.
b. Kaitan yang terdapat dalam nash hukum baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu untuk menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam hal ini memang tidak berlaku mafhum mukhalafah.
Berbeda dengan jumhur ulama di atas, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa keempat mafhum di atas tidak dapat dijadikan hujjah apabila berlawanan dengan manthuq. Untuk menetapkan hukum kebalikan dari nash-nash tersebut, menurutnya harus dikembalikan kepada :
اﻷﺻﻞ ﻓﻰ اﻟﻸﺷﻴﺎء اﻹﺑﺎﺣﺔ
“Asal segala sesuatu itu adalah mubah”.

4. Mafhum Mukhalafah dalam Pemikiran Ulama Syafi’iyah dan Jumhur Ulama
Ulama Syafi’iyah dan jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah.  Syarat tersebut adalah :
a. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan manthuq atau mafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal. Bila mafhum mukhalafah itu berlawanan dengan keduanya, maka mafhum mukhalafah tidak dapat diamalkan.
Umpamanya firman Allah :
        
“Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. An Nisa : 11)
Ayat ini berlawanan dengan manthuq hadis Nabi yang menyatakan kepada saudara Sa’ad ibnu Rabi :
اﻋﻂ اﺑﻨﺘﻲ ﺳﻌﺪ اﻟﺜﻠﺜﻴﻦ وزوﺟﺘﻪ اﻟﺜﻤﻦ وﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﻓﻬﻮ ﻟﻚ
“Berikan untuk dua orang perempuan Sa’ad dua pertiga, untuk isterinya seperdelapan dan selebihnya untukmu”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa di antara mafhum mukhalafah surat an-Nisa ayat 11, dengan manthuq hadis Nabi itu memang bertentangan. Namun bila terdapat pertentangan antara mafhum dan manthuq, maka didahulukan manthuq. Dengan demikian, hukum yang berlaku adalah berhaknya dua anak perempuan sebesar dua pertiga.

b. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekadar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Umpamanya dalam firman Allah SWT :
     
“Agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar“.(QS. An-Nahl : 16)
Kait yang berupa sifat “daging yang segar” dalam ayat suruhan makan itu tidaklah berarti tidak bolehnya memakan daging yang tidak empuk. Ayat ini hanyalah untuk merangsang dalam berusaha mendapatkannya, dan tidak mempunyai maksud apa-apa di balik itu.

c. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
Contohnya firman Allah SWT :
     
“janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran : 130)
Larangan riba dalam ayat ini muncul terhadap satu bentuk mu’amalah tertentu yang berlaku pada masa jahiliyah, yaitu pinjaman atau utang yang ditangguhkan dengan kewajiban bayaran berlipat ganda. Hal ini sudah biasa dilakukan di waktu itu. Itulah disebut “riba” dan mu’amalah tersebut dilarang. Adanya larangan dengan sifat tertentu itu tidaklah berarti bahwa riba yang tidak mengandung sifat berlipat ganda dibolehkan hukumnya. Dengan demikian, maka mafhum mukhalafah tidak berlaku dalam menghadapi ayat tersebut.

d. Dalil manthuqnya disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
Seperti firman Allah SWT :
       
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. (QS. Al Baqarah : 187)
Keadaan i’tikaf di masjid itu hanyalah sekedar rangkaian kelanjutan dari tidak bolehnya menggauli isteri dalam keadaan puasa. Dengan demikian, tidaklah berarti dibolehkan menggauli isteri dalam puasa yang dilakukan di luar masjid. Oleh karena itu, ucapan “i’tikaf di masjid” itu bukanlah suatu kait yang berlaku pada ucapan itu mafhum mukhalafah.

e. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthuq membicarakan hukum atas sesuatu yang menurut lazimnya berlaku, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
Contoh dalam hal ini umpamanya firman Allah SWT :
             
“Dan (diharamkan atasmu) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,” (QS. An-Nisa : 23)
Dalam ayat yang melarang mengawini anak tiri itu terdapat dua kait : pertama, anak tiri itu berada di bawah asuhan suami atau ayah tiri, dan kedua, ibu anak tiri yang dikawini itu telah digauli. Anak tiri itu berada di bawah pemeliharaan si ayah tiri merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Sedangkan suami menggauli isteri bukanlah suatu hal lazim karena ada saja suami yang tidak pernah menggauli isteri sebelum dicerai. Tentang persyaratan telah digauli, memang berlaku mafhum mukhalafah, maksudnya, bila si ibu belum digauli maka anak tiri tidak haram bagi ayah tirinya. Sedangkan persyaratan anak tiri itu berada dalam pemeliharaan ayah tiri tidak merupakan kait yang berlaku padanya mafhum mukhalafah. Hal ini berarti anak tiri yang ibunya sudah digauli haram dikawini oleh ayah tirinya, baik anak tiri itu berada di bawah pemeliharaan ayah tirinya atau tidak.

Beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh jumhur di atas merupakan pembatasan dalam penggunaan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Dan jumhur ulama tetap menemukan dalil yang memberi petunjuk baginya dalam menetapkan hukum selain dengan cara mafhum mukhalafah ini.



5. Landasan Hukum Ulama Hanafiyah Menolak Berdalil dengan Mafhum Mukhalafah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq (tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui hukumnya hanya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil yang lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhum mukhalafah.
Diantara argumentasi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah adalah :
a. Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa Arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum itu tidak berlaku bila kaitannya itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa Arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu tetapi tidak mengandung daya mafhum.
Umpamanya firman Allah SWT.
    
“Janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran : 130)
Larangan riba dalam ayat ini diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba tersebut tetap saja haram meskipun dilakukan tidak secara berlipat ganda.

b. Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan tersebut tidak ada. Shalat kalau takut akan mendapat serangan , sebagaimana firman Allah SWT :
                 
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (QS. An Nisa : 101)
Bila kita mengamalkan mafhum mukhalafah dari ayat tersebut, tentu tidak boleh mengqashar shalat di waktu tidak ada peperangan. Masih berlakunya qashar shalat meskipun tidak lagi dalam perang berarti mafhum mukhalafah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat tersebut.

Alasan Ulama Hanafiyah menolak mafhum mukhalafah untuk berhujjah adalah i
a. Menggunakan keempat macam mafhum (mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah, dan mafhum al-‘adad) tidak dapat dibenarkan, sebab tidak termasuk dalam cara-cara mengetahui dalalah al-alfaz yang empat : dalalah al-ibarah, isyarah, dalalah al-dalalah dan dalalah al-iqtida’ yang semuanya itu ditentukan oleh bahasa dengan menukil dari sumber-sumber yang mutawatir.
b. Menyebutkan nash yang mengandung hukum kebalikan sesudah nash mengandung hukum yang tetap tidak ada faedahnya,
c. Syari’ sendiri sering tidak menghiraukan mafhum mukhalafah dari suatu ibarat nash beserta adanya kemungkinan untuk diamalkan.
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fiqih menyebutkan bahwa menurut pandangan ulama Hanafiyah, mafhum mukhalafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori metodologi penafsiran nash al Qur`an dan hadis. Bahkan mereka tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai metodologi dalam memahami hukum-hukum Islam, karena faktor-faktor sebagai berikut  :
a. Nash-nash syara’ telah menunjukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunakannya mafhum mukhalafah. Maksudnya, dengan banyaknya nash-nash al Qur`an dan hadis bila dipahami dengan menggunakan mafhum mukhalafah, justru bertentangan dengan ketetapan-ketetapan syara’, maka hal tersebut menunjukkan bahwa uslub al Qur`an dan hadis tidak memberikan peluang bagi mafhum mukhalafah untuk memahami hukum-hukum syara’ dari kedua sumber tersebut. Dengan demikian mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan metode dalam menggali hukum-hukum syara’ dari al Qur`an dan hadis.
b. Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nash al Qur`an dan hadis bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib).
c. Menurut jumhur ulama, bahwa suatu hukum itu pada umumnya membunyai sebab (‘illat) dan ‘illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nash. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan (qayd) itu sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan terkadang hukum yang tidak disebutkan itu mempunyai ‘illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Demikianlah pandangan ulama Hanafiyah. Dari pandangan tersebut, dalam menetapkan hukum dari nash al Qur`an dan hadis mereka tidak mau menggunakan mafhum mukhalafah, tapi hanya menggunakan dilalah yang berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan dengannya.
Pandangan ulama Hanafiyah tersebut menandakan adanya sikap berhati-hati dalam menetapkan hukum yang bersumber dari nash al Qur`an dan hadis.

C. PENUTUP
Dari pembahasan singkat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan mafhum mukhalafah. Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Namun, diantara semua bentuk mafhum mukhalafah, ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ulama Hanafiyah menolak berhujjah dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Makalah ini tentu tidak cukup untuk mengungkap banyak tentang mafhum mukhalafah secara keseluruhan. Tetapi setidaknya bisa menjadi stimulan bagi pembaca untuk mengkaji lebih dalam materi ini. Dan penulis sangat berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta ; Amzah, 2014, Cet. 3
Djazuli, dkk, Ishul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000, Cet. 1
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2012, Cet. Ke-4
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Amzah, 2005, Cet. 1
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, Cet. 5
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013, Cet. 1
Munawwir, Achmad Warson, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif, 2007
Sanusi, Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta : Rajawali Press, Cet. Ke-1, 2015
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Setia, Cet. Ke-4, 2010
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta : Kencana, Cet. Ke-6, 2011
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet. Ke-17, 2013

HUKUM KELUARGA ISLAM DI TURKI  A. PENDAHULUAN  Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang d...


HUKUM KELUARGA ISLAM DI TURKI 

A. PENDAHULUAN 
Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan keberadaan hukum-hukum agamanya.Sebagian negara-negara Muslim sangat kental dengan paham sosialismenya dalam menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan negara, sedangkan di sisi lain, hukum merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga sistem sosial yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam. 
Upaya untuk melaksanakan hukum Islam di berbagai kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga, meskipun dalam bidang-bidang lain seperti hukum muamalah atau tata perekonomian yang berdasarkan syariah yang juga sedang diperjuangkan.Perkembangan hukum Islam di Negara modern terutama yang berhubungan dengan al-ahwal al Syakhsiyah (hukum keluarga Islam) dapat dikatakan sebagai format baru yang mengakomodasikan gagasan-gagasan pembaharuan pemikiran hukum Islam yang relatif fenomenal. Hal baru dalam hukum keluarga tersebut bisa dilhat dari keberanjakannya dari hukum fikih menuju hukum positif yang berupa perundang-undangan di Negara muslim tersebut.ang muncul di dunia muslim 
Satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20 adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan) di Negara-negara mayoritas muslim. Turki misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1917. 
Turki adalah sebuah Negara yang memiliki historis yang unik dan memiliki warna dalam sejarah peradaban Islam dan peradaban dunia. Turki juga merupakan sebuah Negara yang pernah menerapkan syariat Islam secara utuh dengan berpedoman pada Al Qur`an dan Sunnah, kemudian karena pengaruh penetrasi dari dunia barat dan tekanan politik berangsur-angsur menerapkan ideologi sekuler sehingga melepaskan seluruh atribut keislamannya dan menggantinya dengan hukum sipil Eropa. 
Untuk itu dalam makalah ini akan disajikan perkembangan serta pembaharuan hukum keluarga Islam terutama mengenai hukum keluargaIslam di Turki. 

B. PEMBAHASAN 
1. Tentang Turki 
Turki merupakan negara yang berdiri di atas reruntuhan Imperium Turki Usmani yang berkuasa hampir enam abad lamanya (1342-1924 M) pasca perang dunia I yang terletak di Asia Kecil (Anatolia) yang didirikan oleh Mustofa Kemal Attaturk.Turki merupakan negara sekuler pertama di dunia Islam.Negara yang berdekatan dengan benua Eropa ini memproklamirkan diri sebagai negara republik pada tahun 1923. 
Kejayaan Turki Usmani mulai memudar pada tahun 1571 yang diakibatkan oleh serangan dari Portugis dan Rusia ditandai dengan hilangnya satu demi satu wilayah kekuasaan Turki Usmani.Sampai di penghujung awal abad 19 Masehi, Turki Usmani mengalami kehancuran total. 
Turki berbatasan dengan Georgia, Armenia, Azebaijan dan Iran di sebelah Timur, Irak, Suriah, Laut Tengah di sebelah selatan, Laut Hitam di sebelah Utara, Laut Aegia di sebelah Barat dan Yunani di sebelah Barat Laut. Negara dengan ibukota Ankara ini mempunyai luas 779.452 km2 yang sebagian terletak di Eropa dan sebagian lagi terletak di Asia. 
Menurut data, 96 % penduduknya beragama Islam yang mayoritas bermazhab sunni. Penduduk Turki juga banyak yang secara sadar tidak menjalankan syari’at Islam sebagai akibat dari kebijakan sekularisme yang diterapkan. 
Gerakan tanzimat yang dikumandangkan oleh Turki Muda merupakan awal pembaruan Turki di bidang militer, ekonomi, sosial, dan keagamaan.Gerakan tanzimat didasari oleh pemikiran barat dan meninggalkan pola dasar syari’at Islam merupakan gerakan pembaharuan Turki yang mendorong semangat berkobarnya Nasionalisme yang pada akhirnya melepaskan identitas sebagai Muslim. 
Penyingkiran Islam oleh pemerintah Turki salah satunya tercermin dari penghapusan kalimat “agama negara Turki adalah Islam” yang semula terdapat pada pasal 2 konstitusi Negara.Pemerintah Turki juga membentuk komite untuk mengkaji pembaharuan Islam.Tujuan komite tersebut lebih bersifat politis yaitu memisahkan seluruh lembaga social, pendidikan dari yurisdiksi para pemimpin agama beserta sekutu-sekutu politik mereka, serta meletakkannya ke dalam yurisdiksi direktorat urusan agama. 
Kebudayaan Turki mempunyai beberapa persamaan dengan kebudayaan Barat.Hal ini disebabkan karena faktor sejarah dan geografis.Orang-orang Turki dari Anatolia telah menjadi penguasa dan pelindung ujung barat dari dunia Muslim berabad-abad lamanya.Mereka memerintah wilayah yang luas dari Eropa Timur dalam jangka waktu yang lama.Bergaulnya orang Turki dengan orang Eropa telah menciptakan pola-pola kebudayaan tertentu yang membedakan mereka dengan orang Asia.Selain itu, individualisme adalah salah satu ciri yang membedakan masyarakat Turki dan masyarakat Timur Tengah, sehingga membawa mereka lebih dekat dengan masyarakat Eropa. 


2. Perkembangan Hukum Islam di Turki 
Selama masa kejayaan imperium Turki Usmani, imperium memberlakukan sistem yudisial dan legal yang digabungkan dengan hukum syariah, khususnya yurisprudensi mazhab Hanafi, dimana pengadilan diarahkan untuk menerapkan keputusan berbagai kasus.Sistem ini ditopang oleh lembaga keagamaan yang nyaris independen dari kekuasaan sultan (kepala pemerintahan). 
Sultan tidak boleh sewenang-wenangmemberlakukan hukum syariah tanpa legistimasi berupa fatwa dari lembaga mufti. Di pihak lain, mufti memiliki kewenangan untuk memilih para hakim yang mengatur pemberlakuan syariah di seluruh wilayah kerajaan. 
Namun pada abad 19, bersamaan dengan jatuhnya kekuasaan imperium terjadi perubahan keadaan sosial pada sistematisasi dan kodifikasi system legal dan yudisial imperium.Untuk sistematisasi dan kodifikasi system hukum, pada tahun 1839 dikeluarkan dekrit imperium Hatt-I Syarif sebagai pondasi rezim legislatif modern. 
Revolusi politik yang telah memporak-porandakan wilayah imperium usmani dan melengserkan jabatan khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian UU sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum terkodifikasi dengan UU Sipil pada tahun 1926.Sebelumnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan status perseorangan, hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah usmani secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya berlangsung sampai tahun 1915.Perubahan terjadi karena tuntutan perubahan kondisi social yang terjadi, sekalipun upaya perealisasiannya dilakukan secara bertahap. 

3. Sejarah Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki 
Eksistensi hukum keluarga di dunia sebagai hukum positif mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Tahir Mahmood membagi tiga kategori negara berdasarkan hukum keluarga yang dianut , yaitu : 
a. Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional 
Negara yang masuk dalam kategori ini adalah Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Senegal, Somalia, dan lain-lain. 
b. Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler 
Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Filipina dan Uni Sovyet. 
c. Negara yang menerapkan hukum keluarga yang diperbaharui. 
Kategori ini adalah negara yang melakukan pembaharuan substantive dan atau pembaharuan peraturan.Pembaharuan hukum keluarga Islam untuk pertama kalinya dilakukan oleh Turki, Libanon dan Mesir.Negara Brunei, Malaysia dan Indonesia juga termasuk dalam kategori ini. 
Turki mempunyai peran penting dalam sejarah pembaharuan hukum Islam, terutama di Asia Barat.Hukum Islam di Turki didasarkan pada mazhab Hanafi, namun akhirnya memasukkan mazhab-mazhab lain seperti dalam Majallat al-ahkam al-adhiya pada tahun 1876, namun materi hukumnya tidak dilengkapi dengan hukum keluarga dan hukum waris. 
Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915.Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami.Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya. 
Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki).Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga.Hukum tentang hak-hak keluarga (Qanun al-huquq al-Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 tersebut diundangkan pada tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga ini yang mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah)bersumber dari berbagai mazhab sunni. Undang-undang tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Usmaniyyah. 
Pergolakan politik di Turki pada saat itu, sangat mempengaruhi stabilitas perundang-undangan. Terutama ketika isu Turki Modern mulai mengemuka, undang-undang ini sempat dibekukan pada tahun 1919, dengan harapan akan dapat diganti dengan UU yang lebih komprehensif. Pada tahun 1923 pemerintah membentuk panitia untuk membuat draft undang-undang baru. Akan tetapi, para ahli hukum yang diserahi tugas tidak berhasil mencapai hasil yang diinginkan. Akhirnya Turki mengadopsi The Swiss Civil Code tahun 1912, yang dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926), dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki. 
Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan, batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain. Menurut hukum Turki tersebut, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang.Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan. 
Ketentuan tentang perceraian diatur pada pasal 129-138 Hukum Perdata Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan  sebagai berikut : 
a. Salah satu pihak berbuat zina 
b. Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya. 
c. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga 
d. Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain 
e. Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter) 
f. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan  penderitaan. 
Seiring dengan perkembangan zaman, Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933-1956. Hasil amandemen ini antara lainberkaitan dengan ganti rugi, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta terlaksananya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (pasal 125-132). 
Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama, nafkah istri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen 1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang dilakukan oleh legislatif tersebut berakhir pada tahun 1992. 

4. Materi Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki 
Perkembangan hukum keluarga kontemporer di dunia Islam disebabkan oleh empat factor : (a) apakah suatu negara tetap mempertahankan kedudukannya atau didominasi oleh negara Eropa, (b) watak organisasi ulama atau kepemimpinan, (c) perkembangan pendidikan Islam, (d) sifat kebijakan colonial dari negara-negara penjajah. 
Pembaharuan hukum keluarga di Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hukum keluarga diikuti oleh penduduk Turki.Walaupun terdapat perbedaan antara modernis dan tradisionalis, namun tidak sampai pada taraf antipati.Hal ini diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti Mesir.Hal ini sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di Turki. 
Undang-undang Sipil Turki 1926 memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan keluarga dan kewarisan. Berikut materi hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga : 
a. Khitbah &Pertunangan 
Khitbah adalah permintaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk dijadikan isteri melalui cara yang diketahui oleh beberapa pihak. Hukum Keluarga Turki tidak menganjurkan untuk diadakannya pesta seremonial tertentu pra pernikahan. Karena khitbah ini bertujuan untuk saling menjajaki antara pasangan calon pengantin, jadi ada kemungkinan setelah pertunangan ini akan semakin kuat ikatan batin antara keduanya atau akan menggagalkan rencana pernikahan karena ada ketidakcocokan dari masing-masing pihak. 

b. Usia Pernikahan 
Undang-undang Turki menyebutkan batas minimal umur pernikahan seorang perempuan adalah 17 tahun dan 18 tahun untuk seorang laki-laki. Namun dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan dapat mengizinkan pernikahan laki-laki 15 tahun dan perempuan 14 tahun, setelah mendapat keterangan dari orangtua mereka. Setelah dilakukan amandemen tentang batas-batas umur perkawinan, maka yang tertera dalam UU Sipil Turki pasal 88 adalah :“Seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat menikah sebelum berumur 17 dan 15 tahun. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan mengizinkan terjadinya pernikahan umur 15 tahun laki-laki dan 14 tahun perempuan, setelah adanya konsultasi/izin dari wali atau orangtuanya”. 

c. Larangan Melakukan Pernikahan 
UU Sipil Turki menetapkan  beberapa kategori larangan-larangan dalam penyatuan melalui ikatan pernikahan. Yaitu dimana calon mempelai masih mempunyai hubungan darah dalam garis langsung dan juga melalui perkawinan.Dalam pengadilan Turki adopsi juga disebut sebagai salah satu penghalang pernikahan, walaupun secara legal dalam yurispudensi Islam tidak disebutkan.Pasal 121 UU Sipil Turki menegaskan bahwa adopsi dapat dihentikan oleh fakta pernikahan atau sebuah penyataan bahwa pernikahan pernah terjadi. 

d. Poligami 
Turki adalah Negara pertama yang melarang poligami secara mutlak, sebagaimana dalam UU Sipil Turki tahun 1926 pasal 93 : “Seorang suami yang sudah mempunyai isteri tidak boleh menikah lagi kecuali dia dapat membuktikan di depan pengadilan bahwa isterinya bukan isteri yang sah, atau batal, atau telah berpisah, baik karena cerai atau meninggal dunia”. Kemudian aturan ini diamandemen pada tahun 1951 dengan pasal 8 dan 19 :“Poligami dilarang tegas. Seseorang yang akan melakukan akad perkawinan harus lebih dahulu memberi keterangan ke pengadilan bahwa ia sedang tidak berada dalam sebuah ikatan perkawinan. Bila melakukan akad nikah padahal saat yang bersamaan ia sedang dalam ikatan perkawinan, maka akad tersebut dianggap batal”. 

e. Resepsi Pernikahan 
Disebutkan dalam UU Sipil Turki, bahwa resepsi pernikahan boleh dirayakan sesuai dengan agama yang dianut, hanya saja, sebaiknya syarat-syarat formalitas seperti pendaftaran atau pencatatan perkawinan dipenuhi dulu sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

f. Pembatalan Pernikahan 
Pasal 112 UU Sipil Turki tahun 1926 menyebutkan bahwa pernikahan harus dibatalkan bila dalam kondisi : 1) salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah, 2) pada saat menikah salah satu pihak menderita penyakit jiwa, 3) termasuk dalam pernikahan yang dilarang. 
g. Pernikahan yang Tidak Sah 
UU Sipil Turki pasal 20 memberi kewenangan kepada pengadilan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan dengan alasan sebagai berikut : 1) pada saat pernikahan, salah satu pihak merasa dirugikan karena alasan-alasan tertentu, 2) salah satu pihak pada dasarnya tidak punya keinginan sungguh-sungguh untuk menikah dengan pasangannya, 3) salah satu pihak mempunyai anggapan yang mendasar bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas atau kriteria seperti yang diharapkan, 4) salah satu pihak merasa tertipu dengan kepribadian/karakter moralnya, 5) salah satu pihak mempunyai penyakit yang membahayakan atau salah satu pihak masih di bawah umur, 6) salah satu pihak menikah di bawah paksaan dan ancaman orang lain yang membahayakan hidupnya, kesehatannya atau membahayakan orang-orang yang dekat dengannya. 

h. Perceraian 
Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat .hal ini dapat dilihat dari ; 
1) Otoritas pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak pada pihak suami, sedangkan istri tidak mempunyai hak sedikitpun untk dan dengan apapun, sejak munculnya hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri dibolehkan mengajukan perceraian 
2) Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan cerai dari pihak suami atau istri (hasil amandemen pasal 129-135) 
3) Dalam masalah perceraian hukum Turki mengatur dan membolehkan pisah ranjang 
4) Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan mendasar pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan (pasal 129-138 UU Sipil Turki dan pasal 134-144 hasil amandemen tahun 1990) 
5) Suami atau isteri yang nusyuz, maka perlakuan suami yang zina sama dengan isteri yang zina 
6) Penyakit jiwa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam perceraian. 
7) Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (hasil amandemen 1988) 
8) Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat dari perceraian diperbolehkan mengajuakan tuntutan ganti rugi yang layak (pasal 143 hasil amandemen tahun 1990. 
Dalam pasal 20 UU Sipil Turki juga disebutkan alasan masing-masing pihak dapat mengajukan perceraian seperti yang telah dibahas sebelumnya. 

i. Kompensasi dalam Perceraian 
Menurut UU Sipil Turki pengadilan menetapkan bahwa pihak yang bersalah membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan secara fisik, keuangan, atau dirugikan reputasinya. 

j. Hukum Waris 
Buku ketiga UU Sipil Turki tahun 1926 berkaitan dengan kewarisan.Buku ini mengenalkan semua skema warisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU Sipil Swiss.Salah satu bagian terpenting yang ditawarkan adalah prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kewarisan. Dan UU Sipil Turki menetapkan bahwa anak-anak yang ditinggal mati oleh ayah harus mendapatkan warisan yang sama dengan ibunya. 

Metode pembaharuan hukum Islam yang digunakan di Turki pada tahap awal menggunakan metode takhayyur.Hal ini dapat dilihat dari kodifikasi hukum tahun 1876 dengan memilih salah satu dari sekian pendapat mazhab yang ada. 
Metode pembaharuan hukum Islam yang dominan digunakan terutama berkaitan dengan perceraian adalah maslahah mursalah.Hal ini Nampak pada ketentuan yang mewajibkan perceraian di pengadilan, kemaslahatan yang diperoleh adalah sikap kehati-hatian dan kepastian hukum. 

C. PENUTUP 
Turki dikenal sebagai negara sekuler  sebagai salah satu Negara yangmuncul setelah keruntuhan Imperium Turki Usmani. Setelah perang dunia I, Turki mengumumkan negaranya menjadi Negara Republik.Pembatalan syari’at Islam dan pengambilan sebuah ssstem hukum sekuler berdasarkan Hukum Sipil Swiss merupakan system yang sekuler. 
Pada saat ini Turki masih menggunakan UU Sipil Turki tahun 1926 dalam hukum tentang hak-hak keluarga dengan beberapa kali melakukan amandemen terhadap undang-undang tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA 

Andaryuni, Lilil, Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam, Sipakalebbi’, Vol.1, No, 1, 2012 
Esposito, John L, Ensiklopedi Dunia Islam, Bandung : Mizan, 2001 
Fitria, Vita, Hukum Keluarga di Turki sebagai Upaya Perdana Pembaharuan Hukum Islam, Humanika, Vol.12, No.1, 2012 
Hoeve, Van, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru, 1994 
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, Bombay : N.M. Tripathi, Ltd, tt 
Umar, Nasaruddin, Hukum Keluarga Kontemporer di Negara-negara Muslim, Jakarta : Seminar nasional Hukum Materiil Peradilan Agama; Antara Cita, Realita dan Harapan, 2010 

PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI TUNISIA A.     LATAR BELAKANG Agama Islam adalah agama yang universal, tidak dibatasi oleh ruang da...

PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI TUNISIA

A.    LATAR BELAKANG
Agama Islam adalah agama yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.  Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap umatnya, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana umat itu berada. Begitu pula ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan modernitas, karena islam adalah shalihun li kulli zaman wa makan.
Perkembangan hukum Islam, seperti yang telah dapat kita fahami dari penelitian baru-baru ini, menggambarkan dengan cara yang amat bermakna fenomena saling bergantungan dari kesatuan dan keragaman dalam peradaban islam.
Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20 adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan) di negara-negara mayoritas muslim. Terutama Tunisia misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1956.
Pada Tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa Perancis.[1]
Untuk itu pemakalah akan menyajikan perkembangan Hukum Keluarga Islam terutama mengenai hukum perdata Islam di Tunisia.
 B.     DESKRIPSI NEGARA TUNISIA
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim,[2] negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah utara dan timur laut berbatasan dengan Laut Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Aljazair dan timur dan tenggara dengan Libya.[3] Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah timur, sementara di bagian tenggara termasuk kepulauan Djerba.[4] Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 kmmemperoleh kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 Provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan wilayah otonom dari pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.[5]
Pada Tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa Perancis.[6]
Berdasarkan konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi negara. Sedangkan mazhab Maliki mempunyai pengaruh yang sangat dominan di negara tersebut. Latar belakang negara Tunisia digambarkan setidaknya di Tunisia pernah pula berlaku hukum Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang dibawa oleh pemerintah Dinasti Usmani.[7]adapun sekarang Majelis Nasional Tunisia berupaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negaranya.[8]
C. SEJARAH DAN LATARBELAKANG PEMBAHARUAN
Pada tahun 1956 setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui Presiden Habib Bourgubia negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang kontroversial yang dikenal dengan “The Tunisian Code of Personal Status” untuk menggantikan hukum al Qur’an dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan pertentangan dengannya.[9]
Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga Tunisia tersebut berawal dari adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia. Sejumlah ahli hukum Tunisia kemudian mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum Hanafi dan Maliki yang kemudian dipublikasikan dengan judul Laihat Majjalat al-Ahkam as-syar’iyyah (Draft Undang-undang Hukum Islam). Pada akhirnya pemerintah Tunisia membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam Muhammad Ja’it untuk merancang undang-undang secara resmi.[10]
Komite  tersebut kemudian merancang dan mengajukan rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut bersumber dari Laihat Majjalat al-Ahkam as-syar’iyyah, selain itu juga bersumber dari Hukum Keluarga Mesir, Jordania, Syria dan Turki Utsmani. Setelah disetujui pemerintah rancangan tersebut akhirnya diundangkan pada tanggal 1 Januari 1957 dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru.
Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-199), dan hibah (200-213).
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang merupakan modifikasi dari undang-undang keluarga tahun 1956. Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari komite yang terdiri dari ahli hukum, yaitu pengacara, hakim, dan pengajar hukum yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap hukum syari’ah yang berhubungan dengan hak-hak keluarga.[11]
Ada beberapa alasan pembentukan dan pemberlakuan undang-undang baru tersebut, sebagai berikut:[12]
a.       Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan mazhab Maliki;
b.      Untuk penyatuan pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
c.       Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
d.      Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
e.       Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas.
D. PRO DAN KONTRA
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, sebagai berikut:
1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi  dan  Maliki
2. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak  ada  lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Dari sekian banyak pembaharuan terhadap Undang- undang Status Personal 1956 ini, ada dua hal yang mendapat respon negatif dari sejumlah orang yakni tentang keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami. Ketentuan hukum ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama negara-negara Arab. Mayoritas ulama menolak ketentuan ini. Meskipun demikian, reformasi hukum keluarga di Tunisia tetap dilakukan dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.
E. MATERI PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA
a.       Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan pernikahan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956, sebelum dirubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 harus mendapat izin dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah menjadi Usia minimum pernikahan adalah 20 untuk pria dan 17 untuk wanita. Pernikahan di bawah usia ini membutuhkan   izin khusus dari pengadilan, yang dapat diberikan hanya untuk alasan mendesak dan atas dasar dari kepentingan yang jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh kedua pasangan dengan pernikahan. Pernikahan di bawah umur memerlukan persetujuan dari wali, jika wali menolak memberikan izin padahal kedua belah pihak berhasrat melakukan pernikahan, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh mazhab Maliki, sebab di dalam kitab fiqh Maliki tidak ada batasan mengenai usia penikahan.[13]
b.      Poligami
Dalam pasal 18 Undang-Undang hukum keluarga di tunisia menyatakan:
1.      Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
2.      Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
3.      Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.[14]
Undang-Undang di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat  Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»tâur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa : 3).

  Ayat di atas telah dibatasi oleh ayat al-Qur’an itu sendiri yaitu:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa’:129).

Dengan demikian, idealnya al-Quran adalah monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil terhapad istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.[15]
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: Pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan Kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.[16]
c.       Perjanjian perkawinan.
Undang-Undang tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart (perjanjian perkawinan). Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang di rugikan atas pelanggaran perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan. Perjanjian tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna.[17]
d.      Pernikahan yang tidak sah
Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang hukum keluarga di tunisia adalah:
1.    Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21)
2.    Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami atau istri (pasal 3).
3.    Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan hukum yang lain (pasal 5).
4.    Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 15-17).
5.    Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
Pernikahan seperti di atas dapat segera dianulir. Akibat hukum yang lahir, jika perkawinan memang telah berlangsung sempurna (ba’da ad dukhul), adalah bahwa istri berhak atas mahar dan kewajiban menjalani masa iddah. Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul, istri berhak terhadap mahar. Anak yang lahir dapat disandarkan nasabnya kepada suami, akan tetapi tidak berhubungan dengan harta warisan antara dua pihak tersebut.[18]
e.       Perceraian
Perceraian adalah hal yang ketat dalam hukum di tunisia, perceraian yang di jatuhkan secara sepihak tidak tidak berdampak jatuhnya talak, perceraian yang sah dan efektif hanya diputuskan di pengadilan.
Pengadilan dapat memberikan perceraian berdasarkan 1) kesepakatan dari pasangan 2) petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan oleh yang lain. Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian apabila salah satu pihak bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak yang mengajukan gugatan perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang lain. Keputusan perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian pasangan suami istri tersebut gagal.[19]
f.       Talak tiga.
Pasal 19 UU 1954 tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk bekas istri yang telah di talak tiga (talak bain kubro). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan.[20]
g.      Nafkah bagi isteri.
Undang-undang hukum keluarga tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab Maliki dalam hal hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah tergantung kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada saat itu (pasal 52).
Fiqih mazhab Maliki yang banyak menjadi sumber rumusan undang-undang tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah balig. Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami harus baliq.[21]
h.      Pemeliharaan anak.
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang tua dan para wali terhadap pemeliharaan anak. Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip Mazhab Maliki. dalam fiqh Mazhab Maliki dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemaslahatan dan kebutuhan anak dari pada ayah atau keluarga yang lain.
Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadhanah menjadi terputus apabila ibu melangsungkan pernikahan, sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek dari garis ibu asalkan kakek (ayah dari ibu)  merupakan kakek secara langsung dari anak tersebut.[22]
Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika orang tua yang berhak mengasuh anak tersebut meninggal dunia sedangkan sebelumnya perkawinan telah bubar, hak hadhanah tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak atau boleh juga diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkan dalam fiqh dinyatakan bahwa berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki sudah mencapai usia balig dan anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat mazhab syafi’i yang menyatakan bahwa anak perempuan putus atau berakhir masa hadhanahnya ketika ia sudah balig.[23]
i.      Hukum Waris.
Berkaitan dengan masalah warisan, di Tunisia secara umum hanya melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapat warisan dari almarhum[24].
j.      Hukum Wasiat
a)      Perbedaan agama dan kewarganegaraan.
Diantara ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175). Sedangkan bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup sebagai alat bukti (pasal 176).
b)     Wasiat wajibah.
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian cucu perempuan.[25]
k. Adopsi                                                                                  
Adopsi atau anak angkat diperkenalkan dalam hukum keluarga Tunisia melalui Undang-undang Perwalian dan Adopsi Tahun 1958 . Undang-undang ini terdiri dari 60 pasal yang dibagi dalam 3 bab, masing-masing mengenai perwalian umum, kafalah dan anak angkat atau adopsi. Akan tetapi, satu tahun kemudian, ketentuan mengenai anak angkat diamademen. Tata cara, ketentuan dan syarat pengangkatan anak itu secara detail disebutkan dalam pasal 9-16.
Pihak yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak adalah laki-laki dan perempuan, namun disyaratkan haruslah sudah dewasa, telah menikah dan mempunyai hak sipil secara penuh, berkarakter moral yang baik, sehat jasmani maupun rohani dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan seorang anak yang diangkat. Pihak pengadilan juga bisa memberikan izin kepada seorang janda atau duda untuk (karena kematian pasangannya), atau orang yang telah bercerai untuk mengangkat seorang anak (pasal 9). Dalam hal ini, pengadilan mewajibkan orang-orang tersebut untuk memenuhi semua aspek adopsi yang diusulkan sebagai keperluan anak yang hendak diadopsi. Izin dari pasangan (suami/istri) disyaratkan untuk menentukan sah atau tidaknya praktek adopsi yang dilakukan oleh seseorang (pasal 11).
Beda atau selisih usia antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan anak yang hendak diadopsi minimal 15 tahun. Seorang warga Negara Tunisia juga boleh melakukan adopsi terhadap seorang anak yang bukan dari warga Negara Tunisia (pasal 10). Praktek adopsi berakibat pada diperolehnya nama baru (nasab) bagi si anak dari orang tua angkatnya, nama aslinya juga bisa dirubah. Jika diinginkan oleh oleh pihak yang melakukan adopsi, maka nama baru anak yang diadopsi itu bisa dicatatkan pada surat adopsi tersebut (pasal 14). Dalam keluarga angkatnya, anak angkat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagaimana layaknya anak kandung, demikian juga halnya dengan orang tua angkatnya. Akan tetapi, bagi anak tersebut masih berlaku larangan-larangan kawin dengan keluarga kandungnya (pasal 15), seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang Status Personalia Tunisia 1956.
Selanjutnya, pengadilan –melalui jaksa penuntut umumnya—bisa mengambil alih anak angkat dari orang tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian dalam pemenuhan kewajibannya, dan haknya dipindahkan kepada orang lain. Hal ini dilakukan demi menjaga kepentingan anak tersebut (pasal 16).[26]
            Adapun peraturan tentang wakaf diatur pada tahun 1874 dan baru dijalankan setelah kemerdekaan Negara Tunisia.[27]
F. METODOLOGI PEMBAHARUAN
            Berdasarkan analisis penulis, corak pembaharuan yang dipakai oleh Negara Tunisia adalah metode talfiq. Hal itu ditandai dengan upaya penggabungan dua mazhab mazhab Hanafi dan mazhab Maliki,sehingga didapatkan sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga yang dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia.
G.    PENUTUP
            Proses perumusan dan penataan kembali hukum keluarga di tunisia yang disebut dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Tidak hanya sekedar upaya membukukan fiqh mazhab Maliki, tetapi juga melakukan langkah-langkah yang sangat progresif dalam upaya melakukan pembuatan Undang-Undang dan pengaturannya dalam bidang hukum keluarga. Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru. Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-199), dan hibah (200-213).
Reformasi hukum yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan hukum keluarga tidaklah bermaksud melakukan penyimpangan dan meninggalkan prinsip-prinsip hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kemashlahatan bangsa dan rakyat Tunisia itu sendiri.
Selanjutnya pemakalah memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu pemakalah mengharapkan adanya tambahan berupa kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan makalah ini kedepannya.





[1]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[2]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[3] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:Icchtiar Baru Van Hoeve, 2005) jil. 7, hal 142.
[4]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[5]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[6]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
 [7]M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) Hlm. 84
[8]https://www.islampos.com/tunisia-resmi-jadikan-islam-sebagai-dasar-negara-95788/ diakses pada tanggal 14 mei 2016.
[9]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[10]Atho Muzdhor dan Khaoiruddin Nasution, Hukum Keluarga …,h. 86.
[11]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[12]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[13]M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia.... Hlm. 88
[14]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[15]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam , (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), hal 181.
[16]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[17]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[18]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[19]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[20]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[21]http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html dialses pada tanggal 30 maret 2016.
[22]Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[23]http://auliarahmat-alakazaam.blogspot.co.id/2011/04/hukum-keluarga-islam-di-republik.html diakses pada tanggal 30 maret 2016.
[24] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[25] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[26] Aulia Rahmat, Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia, Jurnal al-Muqaranah, Vol V, No 1, 2014.
[27]Hasil diskusi pascasarjana HI-B IAIN Bukittinggi pada tanggal 23 april 2016.